Sabtu, 30 April 2011

Sumber Hukum dalam Islam


Sumber Hukum dalam Islam
Menurut Kamus Bahasa Indonesia kata "sumber" berarti tempat keluar mata air, mata air, sumur, bahan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya, atau segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai hasil dan asal dari sesuatu (yang mempunyai makna banyak).[1] Hal ini berarti sumber adalah sesuatu yang menjadi asal, atau hal yang menjadi sandaran atas sesuatu.
Dalam bahasa Arab istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya adalah  أصول الأحكام  ushul al-ahkam (dasar hukum), مصادر الأحكام  mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) dan  دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif). Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz   مصادر الأحكام  (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah dalil-dalil syariat  الأدلة الشرعية  al-adilah asy-syar'iyyah. Kata "sumber hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan "dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam.[2]
Secara etimologi kata  مصدر  mashdar” adalah bentuk mufrad, dalam bentuk jama'  االمصادر   (al-mashadir) berarti wadah yang dari padanya digali norma-norma hukum tertentu,  dikatakan   المصادر الشرعية  yaitu rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan Al-Sunnah.[3] Sedangkan الدليل ad-dalil merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل   (al-dalil) bentuk jama'nya adalah الأدلة  (al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
االهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
Petunjuk jalan kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat maknawi/abstrak.[4] Hamd bin Hamdi Al-Sha'idy menyatakan bahwa الدليل ad-dalil secara bahasa  bermakna المرشد   al-mursyid (petunjuk).[5] Sedangkan secara istilah  الدليل al-dalil bermakna :
ما يستدل بالنظر الصحيح فيه على حكم الشرع عملي على سبيل القطع او الظن.
"Setiap sesuatu yang menunjukan kepada kebenaran pada hukum syar'i yang bersifat amali dengan mengambil sandaran yang qath'i ataupun yang dhanny."[6] Sebagian ulama ushul mendefinisikan dalil dengan "Setiap sesuatu yang disandarkan padanya hukum syar'i dengan menyandarkannya kepada dalil yang qath'i", adapun jika sandaran tersebut bersifat dzanny maka hanya sebuah isyarat saja bukan dalil. Nasrun Haroen mengatakan “Dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan sumber adalah masdar, yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat yang merujuk segala sesuatu.”[7]
Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan (ijma') para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'dy menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah ta'ala memerintahkan kita untuk taat kepadaNya, lalu kepada RasulNya dan ulil amri. Jika terjadi permasalahan pada suatu masalah baik dalam masalah ushul maupun furu' hendaknya dikembalikan kepada Allah dan RasulNya yaitu kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dan Al-Sunnah (Al-Hadits), Pada keduanya terdapat pemutus dari setiap masalah khilafiyah. Karena Kitabullah dan sunnah RasulNya adalah pondasi bagi bangunan dien, maka tidak akan tegak iman kecuali dengan keduanya dan mengembalikan masalah kepada keduanya adalah syarat iman.[8] 
Sedangkan hadist Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud :
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Dari Miqdam bin Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). HR Ahmad no. 16546.
Dalam hadits ini Rasululah menyebutkan bahwa beliau diberikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup dan sumber hukum bagi setiap permasalahan yang ada. Selain itu beliau juga diberikan sesuatu yang serupa dengan Al-Qur'an yaitu Al-Sunnah  sebagai pelengkapnya. Dalam riwayat yang lain teksnya adalah : 
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ
Dari Miqdam bin Ma'di Karaba Dari Rasulullah bahwa beliau bersabda sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah)...HR Abu Daud, Kitab Al-Sunnah no. 3988.
Kedua atsar tersebut menunjukan kedudukan hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam, keduanya merupakan wahyu yang turun sebagai pedoman bagi setiap permasalahan yang muncul. Al-Baghawy membawakan sebuah riwayat yang derajatnya diperselisihkan oleh para ulama dan ada kecacatan padanya, yaitu riwayat dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululah pernah mengutusnya ke Yaman, maka beliau bersabda :
حديث معاذ لما قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم بما تقضي قال بكتاب الله  قال فإن لم تجد قال فبسنة رسول الله قال فإن لم تجد قال أجتهد رأيي قال الحمدلله الذي وفق رسول رسوله
”Bagaimana engkau memutuskan suatu masalah yang engkau hadapi ?”, maka Muadz menjawab “Aku akan berhukum dengan Kitabullah“, “Jika tidak didapati hukumnya dalam Al-Qur'an?”, Muadz menjawab “Aku akan mengambil Sunnah Rasulullah (Al-Hadits)”, “Apabila tidak juga didapati dalam sunnah rasulullah ?”, Muadz menjawab lagi “Aku akan berijtihad dengan pemikiranku dan aku tidak akan membiarkannya” Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan mengucapkan “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik utusan rasulNya dengan segala yang diridhainya” HR Abu Daud, Thirmidzi, Ahmad dan yang lainnya.[9]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyebutkan bahwa tingkatan pengambilan sumber hukum dalam hadits ini adalah benar, yaitu Al-Qur'an dan Al-Sunnah/Al-Hadits. Jika tidak ada nash sharih dalam Al-Qur'an maka dapat beralih ke Al-Hadits, hal ini karena fungsi dari hadits Nabi adalah merinci hukum-hukum yang masih mujmal, mentaqyid yang mutlak dan mengkhususkan yang umum dari Al-Qur'an.[10] Dari sini menunjukan bahwa urutan dalam pengambilan sebuah dalil adalah benar yaitu setelah tidak ada nash qath'i dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah maka seorang mujtahid diperkenankan untuk berijtihad. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawy dari Maimun bin Mahran, ia berkata :
كان أبو بكر إذا ورد عليه الخصم نظر في كتاب الله فان وجد فيه ما يقضي بينهم قضى به وان لم يكن في الكتاب وعلم من رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك الأمر سنة قضى بها فان أعياه خرج فسأل المسلمين وقال أتاني كذا وكذا فهل علمتم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قضى في ذلك بقضاء فربما اجتمع إليه النفر كلهم بذكر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه قضاء فيقول أبو بكر الحمد لله الذي جعل فينا من يحفظ علينا علم نبينا فإن أعياه أن يجد فيه سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم جمع رؤوس الناس وخيارهم فاستشارهم فاذا اجتمع رأيهم على أمر قضى به
Abu Bakar apabila akan memutuskan sesuatu maka dia melihat kepada Al-Qur'an, apabila terdapat padanya maka dia berhukum dengannya, apabila tidak ada dalam Al-Qur'an maka akan diambil dari Al-Sunnah dan akan berhukum dengannya, maka jika tidak terdapat juga dalam Al-Sunnah maka dia akan mengumpulkan para shahabat Nabi dan bermusyawarah dengan mereka, jika mereka sepakat maka akan diambil kesepakatan itu sebagai pemutus suatu masalah.[11]
Hal ini juga dilakukan oleh Umar dan para shahabat Nabi yang lainnya, demikian pula pemimpin-pemimpin kaum muslimin. Tidak ada yang menyelisihi tentang hal ini.[12] Al-Qur'an dan Al-Sunnah adalah pedoman pokok dalam menyelesaikan hukum-hukum yang dihadapi oleh manusia, hal ini seperti  wasiat Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam kepada kita dalam sebuah hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda “Telah aku tinggalkan dua perkara, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya jika kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitabullah dan sunnah NabiNya. HR. Malik no. 1395.[13]
Kesimpulan dari hadits-hadits tersebut adalah bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam dan tidak ada perselisihan padanya. Keduanya merupakan pondasi bagi permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ada nashnya.
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah ijma, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad adz-dzara'i dan syar'u man qablana (syariat umat sebelum kita).[14] Di sini ada ikhtilaf di kalangan ulama tentang metode pengambilan dalil jika ada nash dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Namun perbedaan pendapat ini bukanlah merupakan terpecahnya mereka dalam dien, karena hal ini hanya mencakup masalah manhaj istidlal (metode penggunaan dalil) dan bukan pada masalah-masalah (ushul) prinsip. Karena seluruh ulama bersepakat bahwa ketika sebuah permasalahan tidak ada nashnya maka hendaknya digunakan ijtihad yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Dengan berkembangnya masa, perbedaan-perbedaan tersebut kini semakin menipis. Hal ini disebabkan sikap para mujtahid setelahnya yang semakin terbuka dalam menghadapai berbagai permasalahan umat Islam yang semakin komplek, terutama pada hal-hal yang tidak ditemukan nash qath'i/sharih. Permasalahan seperti haruslah dapat dicari landasan hukumnya agar dapat dijabarkan secara jelas kepada umat. Upaya pencarian landasan hukum dan penjabarannya adalah merupakan lapangan kajian ushul fiqh. Setiap mujtahid yang berkompeten dalam ilmu ini haruslah mampu beristidlal dalam menghukumi berbagai permasalahan kontemporer, dari sinilah urgensi ushul fiqh.  
Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni menyatakan bahwa urgennya ilmu ushul fiqh dalam era modern ini karena akan menumbuhkan keyakinan dan kepuasan di dalam jiwa setiap mukmin, bahwa fiqh yang diikutinya semata-mata merupakan produk pemahaman, berasal dari penggalian terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah yang dibangun di atas kaidah yang konstan dan permanen secara syar'i  dan merupakan hasil pembahasan yang mendalam, bukan hanya pendapat atau kehendak seseorang.[15]

B.        Sumber Hukum Islam Yang disepakati
Dari pembahasan tentang sumber hukum Islam dapat disimpulkan bahwa sumber hukum yang disepakati oleh umat Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan yang disepakati oleh jumhur al-ulama adalah Ijma dan Qiyas, adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad al-dzara'i dan syar'u man qabalana (syariat umat sebelum kita). Berikut ini adalah penjelasan masing-masingnya :

1.       Al-Qur'an. Manna' Al-Qathan mengatakan dalam Mabahits Fi Ulum Al-Qur'an bahwa asal kata Al-Qur'an adalah kata  قرأ – قرائة – قرئان  (qara-a – qira-atun – qur'anan) yang bisa berarti berkumpul dan menghimpun[16], seperti dalam QS Al-Qiyamah ayat 17-18 :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ , فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
        “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa lafadz "al-qur'an" adalah bentuk masdar dari kata قرأ  qara-a,  seperti kata  غفر   ghafara bentuk mashdarnya adalah غفران   ghufraan.[17] Al-Qur'an adalah firman Allah ta'ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam melalui malaikat Jibril dan membacanya termasuk ibadah.[18] Sementara ada yang mendefinisikannya dengan "Kalam (ucapan) Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada qalbu (hati) Muhammad Shalallahu Alahi wa salam dengan lafadz bahasa Arab dan maknanya adalah benar, sebagai hujjah (bukti) baginya bahwa beliau adalah utusan Allah sebagai dustur bagi manusia untuk mencapai petunjuk membacanya adalah ibadah yang telah terkumpul dalam satu mushaf diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas telah sampai kepada kita secara mutawatir dari generasi demi generasi dan terjaga dari perubahan". Sebagaimana firmanNya : 
 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
        “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” QS Al-Hijr ayat 9. Demikianlah, Al-Qur'an adalah sumber utama dalam setiap menetapkan suatu hukum dalam Islam, kepadanyalah semua masalah dikembalikan. 
2.      Al-Sunnah. Al-Sunnah secara bahasa  berasal dari bahasa Arab yaitu  سن – يسن – ويسن – سنا فهو مسنون و جمعه سنن و سن الأمر أى بينه    yang berarti  menerangkan.  والسنة : السيرة والطبيعة والطريقة  sunnah adalah sirah (sejarah), tabiat dan jalan. Kata ini muradif dengan kata "al-hadits" yang berasal dari kata  hadatsa  حدث yang berarti percakapan atau sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah adalah :
ما صدر عن رسول الله صلى الله عليه والسلم من قول أو فعل أو تقرير
        “Setiap yang datang dari Nabi Shalallahu alaihi wasalam baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (sesuatu yang didiamkannya)”.[19] Sunnah sendiri terbagi menjadi dua yaitu sunnah qauliyah dan sunnah fi'liyah. Sunah qauliyah adalah hadits-hadits (ucapan) yang telah disampaikan oleh Nabi  dengan berbagai tujuan dan keperluan yang sesuai. Sedangkan sunnah fi'liyah yaitu amalan-amalan Nabi seperti cara-cara shalat, cara melakukan manasik haji dan yang lainnya.[20] Yazid Abdul Qadir Jawwas mendefinisikan Al-Sunnah dengan “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam  dalam bentuk ucapan, amalan, taqrir dan sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri' bagi umat Islam.[21]   Dari semua pengertian tersebut menunjukan bahwa Al-Sunnah atau al-hadits adalah setiap ucapan dan amalan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, serta suatu perkara yang didiamkankannya sebagai bentuk persetujuannya. Al-Sunnah adalah sumber hukum utama dalam Islam selain Al-Qur'an, kedudukan keduanya sama, dan tidak boleh memisahkan di antara keduanya, karena keduanya sama-sama datang dari Allah ta'ala.
3.       Ijma'.  Ijma menurut bahasa adalah العزم والإتفاق  yang berarti niat, maksud dan keinginan yang kuat serta bersepakat, sedangkan menurut istilah :
اتفاق علماء العصر على حكم الحادثة
       "Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan yang baru".[22] Sementara menurut Salam Madkur ijma' adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat.[23] Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi pada hukum syar'i yang mereka hadapi.[24]. Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti disebutkan Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma' yang dapat diakui adalah ijma fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut kalangan syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya ijma' dari kalahan mujtahidin syiah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat.[25] Terlepas dari perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahidin setelah wafatnya Nabi sampai akhir zaman atas suatu masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya secara sharih.
4.       Qiyas. Qiyas secara bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang konkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan sebagainya, maupun benda yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian dan sebagainya.[26] Dalam Syarh Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya ilat yang sama”. Qiyas sendiri terbagi tiga yaitu : Qiyas 'ilat, Qiyas Dalalah dan Qiyas Syibh.[27] Abdul Wahab Khalaf menyebutkan “Definisi qiyas menurut pendapat ulama ushul  adalah Memutuskan sesuatu yang terjadi yang tidak ada nash hukum tentang hal tersebut dengan sesuatu yang terjadi dan telah ada nash hukumnya dan pada hukum yang sudah jelas nashnya, menyamakan dua  kejadian tersebut dengan ilat hukum yang sama.[28] Abdullah bin Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa qiyas adalah ushul keempat dari pokok-pokok sumber hukum Islam. Kalangan Dzahiriyah menyelisihi hal ini, namun pendapat yang paling benar adalah pendapat Jumhur, yaitu dipakainya qiyas sebagai dalil hukum syar'i, jika dikatakan bahwa qiyas sebagai dalil yang bersifat dzanny, maka hal ini tidaklah tepat karena khabar ahad juga merupakan dalil yang bersifat dzani namun tetap dapat digunakan sebagai sumber hukum.[29] Sementara Ahmad Hanafi  mendefinisikan qiyas dengan “Mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan alam antara keduanya yang disebut illat”.[30]  Pada zaman sekarang ini urgensi dari qiyas begitu banyak, mengingat semakin berkembangnya hal-hal baru yang tidak ada nash dalilnya baik dari Al-Qur'an maupun Al-Sunnah, sehingga diperlukan adanya qiyas yang dapat mengatasi semua masalah tersebut.

C.  Sumber Hukum Islam yang diperselisihkan  
1.     Istihsan.  Wahbah Al-Zuhaily mengatakan bahwa kata istihsan menurut bahasa عد الشء واعتقاده حسنا artinya adalah memilih suatu masalah yang dianggap lebih baik dari yang lainnya.[31] Sedangkan Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa istihsan secara bahasa adalah “Memperkirakan sesuatu hukum yang dianggap terbaik”, sedangkan menurut istilah adalah “Tindakan mujtahid dalam menghadapai suatu masalah yang lebih mengutamakan dalil qiyas yang jaly daripada qiyas khafy, atau dari hukum yang bersifat kully (menyeluruh) kepada hukum yang bersifat pengecualian pada dalil yang diambil dalam pemikirannya yang lebih rajih dalam hal keadilan”.[32] Dalam kesempatan yang lain Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa makna yang lebih komprehensif tentang ihtihsan yaitu “Pindah dari suatu hukum mengenai suatu masalah kepada hukum lain (dalam memutuskan persoalan tersebut) karena ada dalil syar'i yang mengharuskan demikian.[33]  Ahmad Hanafi mendefinisikan istihsan dengan mengecualikan (memindahkan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum-hukum peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut.[34] Dari semua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah memilih hukum yang lebih baik dengan ukuran dari sumber-sumber hukum Islam.  
2.      Maslahah Mursalah/Istishlah. Secara etimologi مصلحة maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.[35] Menurut ulama ushul, maslahah mursalah adalah kemaslahatan (kebaikan) yang disyariatkan Allah akan tetapi tidak ditetapkan hukumnya, dan tidak ada dalil syar'i yang menetapkannya atau membatalkannya.[36] Imam Al-Ghazaly mengatakan “Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudzarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi bukan itu yang kami maksud sebab meraih manfaat dan menghindarkan mudzarat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud dengan kemaslahatan adalah memelihara tujuan syara' (hukum Islam). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhluk ada lima : yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.”[37] Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Imam Al-Syatibi  yang mengatakan “Setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara' serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara', maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan rujukan. Demikian itu apabila kemaslahatan tersebut (berdasarkan kumpulan beberapa dalil) dapat dipastikan kebenarannya, sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan dalil yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu. Hal tersebut karena yang demikian itu nampaknya sulit terjadi.”[38]  Masjfuk Zuhdi mendefinisikan maslahah  dengan “Kebaikan yang tidak terikat pada dalil/ nash Al-Qur'an dan Sunnah. Para ulama membagi istislah  menjadi dua yaitu : Maslahah Mu'tabarah dan Maslahah Mursalah. Maslahah Mu'tabarah adalah kemaslahatan atau kebaikan yang memang diakui oleh Islam. Sedangkan  Maslahah Mursalah. adalah kemaslahatan yang diakui adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah Nabi wafat.[39] Nasrun Haroen menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah “Suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz'i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma' yang mendukungnya, tetapi kemaslahatn ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara Istiqra' (induksi dari sejumlah nash).[40] Adapun maslahah jika dilihat dari jenisnya ada tiga macam : Pertama Maslahah Adz-Dzaruriyat, yaitu kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat, seperti pemeliharaan dan perlindungan terhadap, agama, jiwa, akal, nasab, keturunan dan harta. Kedua Maslahah Al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang diperlukan oleh manusia untuk menghilangkan kesempitan dan kesukaran, maka apabila tidak ada kemaslahatan ini maka manusia akan merasa sempat dan susah, contohnya Allah mensyariatkan beberapa jenis muamalat semisal jual beli, sewa menyewa, serta berbagai keringanan bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu. Ketiga Maslahah Al-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bertujuan untuk menyempurnakan budaya dan keluhuran akhlak, seperti bersuci sebagai pra syarat sholat, Berpakaian yang bagus dan makanan yang baik, mengharamkan segala sesuatu yang khabaits dan sebagainya.[41] Sebagai pedoman agar maslahat ini tidak disalah artikan, maka para ulama banyak memberikan berbagai persyaratan terkait dengan hal ini, seperti Abdul Wahab Khalaf dalam Mashadiru Al-Tasyri' Fima la Nasha fihi yang membahas secara panjang lebar tentang maslahat mursalah (istislah) ini. Beliau memberikan beberapa syarat ketika seorang mujtahid ingin menggunakan maslahah mursalah ini, di antara syarat tersebut adalah : Pertama, penetapan maslahah harus dilakukan setelah diadakannya penyelidikan, analisa dan penelitian sehingga maslahat yang dimaksud benar-benar hakiki, bukan bayang-bayang. Kedua : Maslahat yang dimaksud adalah maslahat hakiki, bersifat umum dan bukan maslahat yang bersifat individu. Ketiga :  Hendaknya maslahat umum itu tidak bertentangan dengan syariat yang ada nash dan ijma' ulama.[42] Majelis Ulama Indonesia dalam salah satu fatwanya memberikan batasan maslahat dengan “Maslahat yang dibenarkan oleh syariat adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, maslahat tidak boleh bertentangan dengan nash”.[43] Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode maslahah mursalah atau istislah adalah sebuah metode untuk menetapkan sebuah hukum dengan berdasarkan kepada kemaslahatan yang dapat dirasakan oleh seluruh manusia, dan sebagai sarana untuk menolak kemudharatan yang ditimbulkan ketika maslahat ini tidak ditegakkan, selain itu ruang lingkup maslahat adalah ketika tidak ada dalil yang sharih yang menjadi sumber hukum atas suatu masalah yang sedang dihadapi. Maslahat ini bukanlah hanya untuk kepentingan individu atau hanya segelintir orang saja, akan tetapi manfaatnya benar-benar diperlukan oleh umat manusia.       
3.      'Urf. العرف   (Al-'Urf ) secara bahasa adalah mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran sehat, sebagaimana firmanNya :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” QS Al-A'raf ayat 199. 'Urf biasa diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat, Ahmad Fahmi Abu Sunnah mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-Fuqaha bahwa adat adalah “Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.[44] Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa 'urf adalah setiap sesuatu yang menjadi adat kebiasaan manusia dalam bertindak sesuai dengannya seperti segi perkataan, perbuatan dan cara-cara lainnya yang disebut juga adat. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara 'urf dan al-'adah. 'Urf atau adat terbagi menjadi dua yaitu : 'urf 'amaly misalnya jual belinya manusia tanpa menggunakan lafadz yang jelas, dan 'urf qauly misalnya memutlakkan kata walad dengan anak laki-laki.[45] Jika dilihat dari segi keabsahannya maka 'urf ini terbagi menjadi dua, yaitu Al-'Urf Al-Shahih dan  Al-'Urf Al-Fasid. Al-'Urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Adapun Al-'Urf Al-Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara'.[46] Dari pemaparan tersebut dapat dipastikan bahwa 'urf yang dapat dijadikan dalil/sumber hukum adalah 'urf yang shahih, yaitu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat yang tidak ada nashnya secara sharih dan tidak bertentangan dengan syara'. Mengenai landasan hukum berupa 'urf (adat) para ulama sejak dulu sudah menggunakannya.[47]  
4.      Istishab. Secara etimologi إصتصحاب  (Istishab) berarti “Minta bersahabat” atau “Membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”, sedangkan secara terminologi yaitu hukum pada sesuatu dengan keadaan yang telah terjadi sebelumnya, sampai adanya dalil pada perubahan keadaan tersebut, atau menjadikan sebuah hukum yang tetap pada waktu yang lampau pada sebuah keadaan hingga adanya dalil yang merubahnya.[48] Imam Al-Ghazali mendefinisikannya dengan “Berpegang pada dalil akal atau syara', bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada”.[49] Maksud dari istishab adalah bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lalu tetap berlaku sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu. 
5.       Syar'u man Qablana. Syariat sebelum kita yaitu syariat umat-umat terdahulu yang dibenarkan oleh Islam dengan ditetapkannya dalil-dalil baik dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah sebagai sebuah amalan.[50]  Misalnya syariat puasa, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
       "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". QS Al-Baqarah ayat 183. Para ahli tafsir menyatakan bahwa shaum atau puasa adalah sebuah ibadah yang telah diwajibkan sebelum Islam datang, hanya saja tata caranya yang sedikit berbeda. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syar'u man Qablana itu diakui ketika ada nash yang menguatkannya dan tidak ada ayat yang menghapuskannya.[51]
6.        Madzhab Shahaby. Setelah wafatnya Rasulullah, sangat diperlukan fatwa bagi kaum muslimin dan penetapan hukum bagi mereka dari kalangan shahabat Nabi yang telah diketahui dengan pemahaman mereka tentang fiqh, ilmu dan lamanya mereka bersama Nabi serta pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an serta hukum-hukumnya, maka banyak muncul fatwa-fatwa yang bermacam-macam pada berbagai permasalahan.[52] Hal inilah yang mendasari pendapat bahwa madzhab shahabat dapat dijadikan dalil hukum, karena ketika seorang shahabat Nabi berkata atau beramal, tentu ia mendengarnya langsung dari Nabi.   

Demikianlah sumber dan dalil hukum dalam Islam. Secara hirarki setiap permasalahan haruslah dicarikan hukumnya dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Jika tidak ada maka beralih ke dalil-dalil hukum Islam seperti Ijma, Qiyas, istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad al-dzara'i dan syar'u man qablana.

























Daftar Pustaka


1.      Al-Qur’an dan terjemahnya
2.      Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Reality Publiser
3.      Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam
4.      Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I
5.      Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh
6.      Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'dy,  Taisir Karimi Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan, Jum’iyah Ihya Al-Turats Al-Islami : Kuwait, 2003
7.      Ahmad bin Abdurrahim Waliyullah Ad-Dahlawy, Al-Inshaf Fi Bayan Asbab Al-Ikhtilaf, Beirut : Dar An-Nafais 1404 H.
8.       Malik bin Anas, Al-Muwatha, Kuwait : Jamiyyah Ihya At-turats Al-Islamy, 1998
9.      Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang : tt, hlm. 54. lihat Hamd bin Hamdy Ash-Sha'idy
10.  Abdul Halim Uways, Al-Fiqh Al-Islam baina Al-Thatahawur wa Al-Istbat (terjemah : Fiqih Statis dan Dinamis, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1998
11.  Manna' Al-Qathan,  Mabahits Fi Ulum Al-Qur'an
12.  Yazid Abdul Qadir Jawwas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Jakarta :  Pustaka Al-Kautsar, 1993


[1] Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Reality Publiser,  hlm. 508.  
[2] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, hlm. 82.
[3] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 15.
[4] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 19.
[5] Hamd bin Hamdi As-Sha'idy, Muwazanah Baina Dalalah An-nash Wa Al-Qiyas Al-Ushuly Wa atsaru Dzalika 'Ala Furu' Al-Fiqhiyah, Mesir : Dar Al-Harir li thiba'ah, 1993, hlm. 17. 
[6] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 19.
[7] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 15.
[8] Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'dy,  Taisir Karimi Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan, Jum’iyah Ihya Al-Turats Al-Islami : Kuwait, 2003. hlm. 228.
[9] Ulama hadits mendaifkan riwayat ini, namun Ibnu Al-Jauzy menyatakan bahwa maknanya shahih. Pendapat ini dikomentari lagi oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dengan mengatakan bahwa jika dilihat dari makna penggunaan ijtihad dikarenakan tidak ditemukannya nash qath'i itu jelas benar, karena tidak ada perbedaan pendapat padanya namun tidak benar (menurut Al-Albani) makna yang berkaitan dengan susunan antara Al-Qur'an,  As-Sunnah dan ijtihad, karena tidak diperbolehkan berijtihad jika ada nashnya, hal ini pula yang membuat tidak diambilnya as-sunnah  jika ada nashnya dalam Al-Qur'an, hal ini adalah bentuk pemisahan antara Al-Qur'an dan As-Sunnah yang tidak boleh dilakukan oleh setiap muslim, karena wajib untuk mengambil keduanya secara bersamaan. hal ini disebabkan karena fungsi As-Sunnah adalah menjelaskan Al-Qur'an. 
[10] Hamd bin Hamdy Al-Sha'idy, Muwazanah baina Dalalah An-nash wa Al-Qiyash Al-ushuly, hlm. 58.
[11] Ahmad bin Abdurrahim Waliyullah Ad-Dahlawy, Al-Inshaf Fi Bayan Asbab Al-Ikhtilaf, Beirut : Dar An-Nafais 1404 H. hlm. 51. 
[12] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 20.
[13] Malik bin Anas, Al-Muwatha, Kuwait : Jamiyyah Ihya At-turats Al-Islamy, 1998, hlm. 321.
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang : tt, hlm. 54. lihat Hamd bin Hamdy Ash-Sha'idy, Muwazanah baina Dalalah An-nash wa Al-Qiyash Al-ushuly, hlm. 56.
[15] Abdul Halim Uways, Al-Fiqh Al-Islam baina Al-Thatahawur wa Al-Istbat (terjemah : Fiqih Statis dan Dinamis, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 146.
[16] Lihat Lisan Al-Arab juz I  hal, 128. Maktabah Syamilah
[17] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 21.
[18] Manna' Al-Qathan,  Mabahits Fi Ulum Al-Qur'an, hlm. 12.
[19] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 32.
[20] Ibid, hlm. 32.
[21] Yazid Abdul Qadir Jawwas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Jakarta :  Pustaka Al-Kautsar, 1993,  hlm. 22. 
[22] Abdurrahman bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh, Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997,  hlm. 194. 
[23] Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal li  Al-fiqh Al-'Am.
[24] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 40.
[25] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Syari'ah, hlm. 65.
[26] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh,  hlm. 75.
[27] Abdurrahman bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh, hlm. 225. 
[28] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 47.
[29] Abdurrahman bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat, hlm. 225.
[30] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, hlm. 63.
[31] Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh Al-Islamy Juz. II, Damaskus : Dar Al-Fikr, 1998 M / 1418 H, hlm. 736.
[32] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh,  hlm. 70
[33] Abdul Wahab Khalaf, Mashadiru At-Tasyri' Fima la Nasha fihi (Sumber-sumber Hukum Islam), hlm. 105.
[34] Ahmad Hanafi, Pengantar Hukum Islam,  hlm. 66.
[35] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 114.
[36] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh,  hlm. 74.
[37] Imam Ghazaly, Al-Musytasfa, Maktabah  Syamilah. lihat fatwa MUI tentang maslahat. 
[38] Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat, Maktabah Syamilah. lihat fatwa MUI tentang maslahat.
[39] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, hlm. 84. 
[40] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 113.
[41] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islamy, hlm. 755.
[42] Abdul Wahab Khalaf, Mashadiru At-Tasyri' Fima la Nasha fihi (Sumber-sumber Hukum Islam), hlm. 148.
[43] Fatwa Majelis Ulama Indonesia,  hlm. 57.
[44] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 139.
[45] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 79.
[46] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 141.
[47] Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh Al-Islamy, hlm. 840.
[48] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 81.
[49] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 128.
[50] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 83.
[51] Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthuby tentang ayat ini.
[52] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 85. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...