Selasa, 12 Juli 2011

Antara Syuro dan Demokrasi Islam...



Oleh : Samsul Ma`arif


Banyak upaya dari kalangan ilmuwan untuk mempertemukan konsep syura dan demokrasi, meskipun keduanya berangkat dari sejarah dan latar belakang yang berbeda. Namun menerima atau tidak persamaan dan perbedaan terdapat dari keduanya. Syura merupakan sebuah istilah agama yang penuh dengan nilai-nilai profetis, sementara demokrasi merupakan hasil ijtihad menusia yang tidak luput dari berbagai kekurangan.
Kajian mengenai demokrasi dan syuro mungkin kita sudah banyak menemukan dalam tulisan-tulisan para pemikir islam yang mengulas sekelumit tentang permasalahan-permaslahan tersebut, permasalahan yang menjadi perdebatan para pemikir islam antara lain tentang perbedaan dan persamaan syura dan demokrasi dalam islam, pendapat para cendikiawan muslim yang banyak mengutip tentang keduanya banyak bercerita penolakan bahwa syuro bukanlah demokrasi ataupun pendapat yang sepakat mengenai istilah syuro sama dengan demokrasi. Syuro dan demokrasi merupakan sebuah istilah yang hamper mempunyai kesamaan di dalamnya baik dalam prosesnya maupun dari prinsip teknisnya. Intinya demokrasi dan syura adalah sebuah proses diskursus dalam memcahkan suatu permasalahan dengan cara bermusyawarah sebagai upaya bersama dalam mencapai kesepakatan. Namun banyak terdapat perbedaan dan persamaan antar keduanya.
Saya mencoba mengantarkan tentang sejarah timbul dan perkembangan demokrasi dari masa Yunani hingga abad modern dan sejarah nilai-nilai sosial syura yang sarat dengan pemenuhan kebutuhan sosial manusia. Tentu saja tulisan ini sekaligus akan menggambarkan sisi lemah demokrasi dalam Islam sebagai sebuah dasar (basic source) dalam kehidupan sosial-politik, bermasyarakat dan bernegara, dan akhirnya tulisan sederhana ini akan mencoba mengawali dengan kajian yang bersifat teoritis tentang arti syuro dan demokrasi. Kemudian pada bagian selanjutnya akan dikedepankan tinjauan historis kemunculan syuro dan demokrasi Indonesia, aspek apa saja yang menjadi persamaan dan perbedaan yang terdapat dari keduanya.

  1. Unsur Kebahasaan
Dari sisi istilah bahasa saya melihat bahawa menurut pengertian bahasa arab, syura (syura/musyawarah) adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syawara (Zallum, 2002: 216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, jilid II halaman 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syura antara lain adalah mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhrâj al-‘asl min qursh asy-syama’); memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-âmah wa ad-dâbbah ‘inda asy-syirâ’); menampakkan diri dalam medan perang (isti‘râdh an-nafs fi maydan al-qitâl); dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980: 141; Zallum, 2002: 216).[1]
Menurut pengertian syariat yang didasarkan pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, syura bermakna mengambil pendapat (akhdh ar-ra’y[i]) (An-Nabhani, 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’y[i] min al-mustasyâr) (Zallum, 2002: 216). Istilah lain dari syura adalah masyûrah (An-Nabhani, 2001: 111) atau at-tasyâwur (An-Nabhani, 1994: 246.[2]
Setelah memahami tentang pengertian syuro kemudian kita mengenal istilah demokrasi, Pada awalnya demokrasi hanya dibatasi pada wilayah kekuasaan (politik). Secara etimologis demokrasi berarti pemerintahan (demos) dan rakyat (kratos) yaitu pemerintahan rakyat. yaitu menyangkut seluruh seluruh aspek, politik, gender, agama, ras hak sosial dan lain sebagainya.[3] Jadi demokrasi merupakan suatu system pemerintahan yang memberikan kontribusi besar bagi kemajuan suatu Negara terutama dalam system pemerintahan, karena prinsip demokrasi sendiri lebih menekankan kepada memberikan kebebasan kepada setiap anggotanya untuk mengeluarkan pendapat dalam mengambil sebuah keputusan dalam memecahkan suatu masalah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa demokrasi adalah sebuah system yang banyak dipergunakan oleh berbagai Negara di berbagai penjuru dunia, kebanyakan dari mereka sangat mengagungkan tentang penerapan demokrasi di Negara masing-masing, mungkin dikarenakan hasil dari keputusan dalam demokrasi itu (dari rakyat dan untuk rakyat) adalah sebagai jelan keluar atau titik akhir dalam menyelesaikan sebuah permaslahan, yang mana tidak ada jalan selain ditentukan oleh suara terbanyak, serta keputusan tersebut harus diakui dan harus diterapkan apapun resikonya dan semua bertanggungjawab atasnya. Maka tak heran apabila banyak Negara yang menganut system ini.
Dalam islam sendiri mengenai penetapan hokum saya mengamati dari berbagai sumber bacaan bahwa memang hukum itu hanyalah kepunyaan Allah, Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Namun sekali lagi islam menekankan behwa segala sesuatu itu harus bersumber kepada Allah, manusia hanya ditugaskan berusaha menggali hokum-hukum Allah, berusaha menyelsaikan masalah dengan cara bertanya, membaca dan bermusyawarah dengan berlandaskan nilai-nilai etika islama dan keilmuannya, bukan menetapkan hokum yang berlandaskan kebersamaan dan kebebasan semata tanpa ada acuan yang melandasinya. Jadi tidak ada keputusan mutlak yang datang dari sekelompok orang maupun golongan dalam menentukan sebuah hokum, manusia tidak mempunyai otoritasi, yang mutlak hanyalah keputasan dan kehendak dari Allah SWT.

  1. Unsur Historis
Kajian mengenai sejarah syura dan demokrasi mungkin sudah banyak dibahas lebih luas oleh tokoh-tokoh islam, para pemikir dan ulama-ulama besar baik diluar maupun didalam negeri, namun kebanyakan dari mereka membahas mengenai syuro itu bukan demokrasi islam tidak mengakui adanya demokrasi karena demokrasi apabila kita lihat dari konsep historisnya bukan produk islam melainkan produk barat. Sejarah mencatat bahwa demokrasi pertama kali muncul pada zaman kerajaan kota Athena pada masa Yunani kuno, yang mana memiliki jumlah penduduk yang hanya ratusan. Pada zaman ini setiap keputusan yang akan dibuat akan ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat kerajaan kota tersebut dengan cara mengumpulkan mereka di pusat kota Athena[4].
Sedangkan dalam syura sejarahnya pada waktu itu para pemuka suku atau kota mekkah menjalankan urusan bersama melalui permusyawarahan. “institusi inilah yang kemudian didemokrasikan oleh al-qur’an, yang menggunakn istilah syura[5], Dalam sirah Nabawiyah (sejarah Nabi), kita dapati bagaimana Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabatnya. Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah. Hasilnya adalah pembagian tugas dari masing-masing sahabat Di samping itu, pada saat hendak berperang, beliau juga bermusyawarah dalam mengatur strategi perang sehingga para sahabat bisa menyampaikan usul dan saran, bahkan bila usul dan saran itu memang bagus, hal itu bisa menjadi keputusan yang disepakati, itulah yang terjadi pada perang khandak atau perang ahzab, dan juga Allah memerintahkan RasulNya untuk memutuskan perkara dengan apa yang Allah turunkan berupa syariat
Syura tidak lahir dari akidah (falsafah) sekularisme, melainkan lahir dari akidah Islam. Syura adalah hukum syariat yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sebaliknya, demokrasi lahir dari rahim ide sekularisme yang bias dikatakan kufur. Sebab, setelah terjadi sekularisasi, yakni setelah agama dipisahkan dari kehidupan sehingga agama tidak lagi mengatur urusan kehidupan manusia seperti politik, dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan hidupnya. Inilah asal-usul ideologis lahirnya demokrasi di negara-negara Eropa pasca Abad Pertengahan (V-XV M), setelah sebelumnya masyarakat Eropa ditindas oleh kolaborasi antara raja/kaisar dengan para agamawan Katolik yang korup dan manipulatif[6].
Dalam sejarah perjalan perjuangan kaum muslimin di Indonesia, dua jalan yang berbeda antara aliran yang menempuh jalan ‘demokrasi’ dan jalan ‘jihad’ sama-sama mempunyai penerus dan pengikut. Sehingga ada kelompok yang mengharamkan ikut serta dalam proses demokrasi dan menempuh jalur ‘jihad.’ Dengan mengusung slogan penegakan Syar’at Islam di bumi Indonesia. Maka dari pada itu jika kita berasumsi bahwa syura berbeda dengan demokrasi, maka yang menjadi landasan adalah sejarahnya.

  1. Unsur Sumber Hukum dan Wilayah Kajian
Syura berlandaskan Al-quran dan Sunnah sedangkan demokrasi berdasarkan suara terbanyak. Perbedaan lain antara syra dan demokrasi adalah dari sisi sumbernya, syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang banyak, syura dipandang sebagai bagian dari agama, sedangkan demokrasi adalah aturan sendiri. Di dalam syura ada orang-orang berakal dari kalangan ulama ahli fikih dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan, merekalah yang mempunyai kapabilitas menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan syariat Islam, sedangkan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir bahkan kafir sekalipun. Dalam demokrasi semua orang sama posisinya; orang alim dan bertakwa pun sama dengan pelacur, orang shalih sama dengan orang bejat dll, sedangkan dalam syura maka semuanya diposisikan secara proporsional.[7]
Kemudain kita juga harus melihat dari segi wilayah kajiannya, syura yang saya pahami banyak membahasa mengenai wilayah kajian tentang keagamaan baik dari segi penetapan hokum maupun mencari solusi keagamaan dan sosial. Sedangkan demokrasi lebih menkankan pada kenegaraan dan kemasyarakatan, kadang dalam demokrasi terdapat unsure-unsur politik yang bias mempengaruhi hasil dari musyawarah tersebut. Maka bagaimana mungkin demokrasi disebut Siyasah atau hokum Syar’iah, bahkan menyamakan Syura dengan demokrasi dalam Islam, padahal pada dasarnya demokrasi bertentangan dengan syariat Islam.
  1. Unsur prinsip
Persamaan antara keduanya memang terletak dari prinsip musyawarah dalam mengambil keputusan, di dalam syura dan demokrasi menggunakan system pemerintahan yang mengambil keputusan denagn cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Islam sendiri menjadi sifat dasar dari demokrasi, ini dikarenakan konsep syura, ijtihad, dan ijma’ itu semua merupakan konsep yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi. Hampir tidak ada perbedaan pandangan bahwa syura merupakan prinsip Islam dan demokrasi. Islam selalu mengedepankan musyawarah untuk mencapai kemufakatan bersama yang itu dimulai sejak Nabi menjadi pemimpin umat di Madinah.
Sistem demokrasi mempunyai ciri-ciri: berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan); dibuat oleh manusia; didasarkan pada 2 (dua) ide pokok, yaitu: (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaa, memegang prinsip suara mayoritas dan menuntut kebebasan individu (freedom) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.[8] Sedangkan prinsip syura ada empat pokok, Pertama, syura tidak mungkin berlangsung tanpa pengakuan terhadap prinsip kesetaraan. Kedua, harus adapengakuan terhadap hak mengeluarkan pendapat. Ketiga, ada hak untuk berbeda pendapat. Keempat, menghormati kesepakatan.[9]
Tokoh yang ikut berpartisipasi dalam proses demokrasi lebih banyak diilhami oleh cita-cita politik yang diperjuangkn oleh M.Natsir dengan Masyuminya dan Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya. Dan ada kelompok lain yang menjadi bagian dari gerakan internasional yaitu Hizbu Tahrir mengusung penegakan kembali Khilafah Islamiyah[10].
Sesungguhnya Islam bukan hanya mendukung demokrasi tapi justru mensyaratkan demokrasi. ''Islam jelas bukan hanya mendukung, dia mensyaratkan. Kalau mendukung, ini seakan-akan datang dari luar yang didukung. Sebenarnya, demokrasi yang diajarkan Islam justru lebih dulu, lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Barat (Yunani),'' Teknik penerapannya pun tidak jauh berbeda antara keduanya, namun persoalan-persoalan masyarakat itu dikembalikan kepada kehendak masyarakat. Kehendak masyarakat itu bisa diketahui dengan bertanya kepada orang demi orang, bisa melalui perwakilan. Kita di Indonesia kan melalui perwakilan. Demokrasi yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi, bentuk demokrasi disesuaikan oleh masyarakat di mana demokrasi itu akan diterapkan. Disesuaikan syura itu dengan konteks masyarakat di mana syura itu diterapkan [11]
Baik syura maupun demokrasi umumnya adalah musyawarah dalam sebuah pengambilan keputusan, dimana syura sendiri berlandaskan syariat islam yang melibatkan atau mengajak para tokoh tertentu dari para pemuka agama dalam prosesnya, prinsip syura dari segi hukum islam manusia dibenarkan melakukan syura hanya dalam hal-hal yang ma’ruf atau kebaikan. Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya, Karena itu syura dilarang untuk digunakan dalam hal-hal yang mungkar, sedangkan demokrasi melibatkan semua pihak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan untuk kehidupan tatanan negara. Dan demokrasi landasanya adalah ditangan para anggotanya (rakyat) tidak ada mencampurkan urusan agama dan individu tapi mementingkan kepentingan bersama.


KESIMPULAN

Maka kesimpulannya adalah bahwa sesungguhnya dalam islam namanaya demokrasi itu ada, namun dengan keegoisannya islam sendiri lebih cenderung memaknai demokrasi dengan syuro, walaupun banyak tokoh yang menentang bahwa syuro buakanlah demokrasi, tetapi pada intinya terdapat persamaan dan perbedaaan didalamnya, persamaan itu tertuang terutama dalam konsep nilai. Islam sendiri menjadi sifat dasar dari demokrasi, ini dikarenakan konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi dan tidak bisa dipungkiri. Perbedaanpun mungkin tidak pula sedikit antara syura dan demokrasi yang diantaranya lebih kepada konsep wilayah kajian hitoris dan sumber landasannya.
Jika lebih jeli sebenarnya ada dua pokok perbedaan pendapat dari para ulama atau tokoh musilm mengenai syura dan demokrasi itu sendiri, yang pertama, ada golongan yang menolak tentang penerapan demokrasi, alasan mereka adalah Al-Qur’an surat Yusuf 40 dan Al-Maidah 49 kekuasaan yang mutlak ditangan sang pencipta. Pendapat kedua adalah yang mendukung demokrasi alasan mereka adalah bahwa karena dalam demokras tercermin nilai-nilai agama seperti musyawarah.
Kemudian perbedaan yang mungkin lebih penting adalah sifatnya, demokrasi bersifat tidak menentu (inkonsistensi) semua tergantung rakyat, sedangakan syura yang berlandaskan nilai-nilai agama sifatnya tetap (konsisten) dan mutlak. Diakui atau tidak bahwasanya pengakuan demokrasi islam memang diakui keberadaan dan eksistensinya, dimana demokrasi islam sendiri lebih menekankan kepada permasalahan-permasalahan yang belum pernaha ada dalam nash-nash (hokum tuhan) dan harus oleh orang-orang yang memenuhi syarat dalam melakukan musyawarah (syura) maka itulah yang dinamakan demokrasi dalam islam, namun sejauh kita memandang keduanya haruslah dari sisi dan nilai positif yang mestinya bisa untuk lebih mengembangkan nilai-nilai kebersamaan, persatuan dalam menyamakan konsep dan tujuan seperti yang dicita-citakan agama bangsa dan Negara.
Antara syura dan demokrasi harus dilihat secara parsial dengan titik tekan pada wilayah-wilayah tertentu. Sebab bila melihat persoalan syura dan demokrasi secara keseluruhan akan berhadapan dengan katup yang saling berlawanan. Menurut islam sendiri kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah SWT, kita tidak diperkenankan mempunyai otoritasi, Tidak juga di tangan tokoh-tokoh agamawan (sebagaimana kasus di Katolik) karena Islam tidak sama dengan paham “teokrasi”. Tidak juga di tangan undang-undang, karena itu demokrasi tidak sejalan dengan Islam. Islam dan demokrasi tidak selalu berjalan beriringan dan juga tidak selalu berlawanan. Yang diinginkan Islam adalah syura yang tidak luntur dari nilai dan dasar islam yang tidak dikombinasikan dengan nilai-nilai politik dan juga demokrasi yang disemangati oleh nilai-nilai syariah dan kemasyarakatan, itulah kiranya yang menjadi cita-cita yang diharapkan bukan menghukumi beda atau tidak antar keduanya.




Referensi

Al-Jawi, M. Shiddiq. Syura Bukan Demokrasi. http://hati.unit.itb.ac.id/?p=89
Anwar, M. Syafi’i 1995. Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Harapan dan Realitas Demokrasi http://putvi.multiply.com/journal/item/12
Rahmat, M. Imdadun. 2003. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama, Membaca Realitas. Jakarta : Erlangga
Taranggono, Eko. Islam dan Demokrasi upaya mencari titik temu http://jurnalushuluddin.files.wordpress.com/2008/03/islam-_-demokrasi.pdf


[1] M. Shiddiq Al-Jawi. Syura Bukan Demokrasi. Sumber: http://hati.unit.itb.ac.id/?p=89
[2] Ibid.
[3] Jurnal Al-Afkar, Edisi VI,Tahun ke 5 : Juli-Desember 2002
[5] M. Syafi’i anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.222-227
[6] Ibid. Al-Afkar
[8] Ibid, Jurnal Al-Afkar
[9] M. Imadun Rahmat. Islam Pribumi, 2003. hal 134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...