Kamis, 10 November 2011

Al-Amwal – Harta – Wealth




A. Pengertian Al Amwal (Harta Kekayaan).
Kekayaan (Amwal) merupakan bentuk jamak dari kata mal, dan mal bagi orang Arab, yang dengan bahasanya Al Qur`an diturunkan, adalah “segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya”. Dengan demikian unta, sapi, kambing, tanah, kelapa, emas dan perak adalah kekayaan (amwal). Oleh karena itulah ensiklopedi-ensiklopedi di Arab, misalnya Al Qamus, dan Lisan Al Arab, mengatakan bahwa kekayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki; namun orang-orang desa sering menghubungkannya dengan ternak dan orang-orang kota sering menghubungkannya dengan emas dan perak, tetapi semuanya adalah kekayaan (Al Amwal).
Penyusun Qamus Al Muhith mengatakan :

المال هو ما ملكته من شيئ

Kekayaan adalah segala sesuatu yang anda miliki[1]
Ibnu Al Atsir mengatakan :

المال في الأصل ما يملك من الذهب و الفضة ثم أطلق على كل ما يقتنى و يملك من الأعيان

Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki”.[2]
Tetapi ahli-ahli fiqih berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kekayaan menurut pengertian terpakai. Menurut ulama-ulama mazhab Hanafi sesuatu dapat menjadi Al Mal (kekayaan) jika memenuhi dua unsur utama, yaitu :
1-      إمكان حيازته :Memungkinkan untuk dipunyai
2-      إمكان الإنتفاع به على وجه معتاد و مشروع : Memungkinkan untuk diambil manfaatnya menurut cara yang biasa dan sesuai syara`.[3]
Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit adalah kekayaan, seperti tanah, binatang, barang-barang perlengkapan, dan uang. Tetapi sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki dan diambil manfaatnya juga termasuk kekayaan, misalnya segala yang boleh diambil, seperti ikan di laut, burung di langit, binatang di hutan, dan sebagainya. Sebaliknya sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari, tidaklah termasuk kekayaan. Begitu juga tidaklah termasuk kekayaan sesuatu yang pada ghalibnya tidak dapat diambil manfaatnya tetapi dapat secara konkrit dipunyai. Seperti segenggam tanah, setitik air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Konsekuensi definisi itu adalah bahwa kekayaan berarti hanya yang berwujud benda sehingga dapat dipegang dan dipunyai. Akibat lebih lanjut ialah bahwa manfaat dari benda yang konkrit itu , seperti penempatan rumah, perjalanan kendaraan, dan penggunaan pekaian, tidaklah termasuk kekayaan. Serupa dengan hal-hal itu adalah hak-hak, seperti hak dari pengasuhan anak dan hak dari pemeliharaan. Ini menurut mazhab Hanafi.[4]
            Ulama Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa manfaat itu termasuk harta, sebab menurut mereka harta itu tidak disyaratkan padanya kemungkinan disimpan materinya, tetapi kemungkinan penguasaan terhadap harta dicukupkan dengan menguasai pokok dan sumbernya, sedangkan menfaat itu dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumber manfaat itu. Orang yang menguasai sebuah mobil dapat mencegah orang lain untuk memanfaatkannya tanpa idzinnya. [5]
            Imam Syafi`i ketika berbicara tentang Mal mengatakan :
لا يقع اسم مال إلا على ما له قيمة يباع بها و تلزم متلفه و إن قلت و ما لا يطرحه الناس مثل الفلوس و ما أشبه ذلك
Nama Mal (Harta) tidak ada kecuali bagi sesuatu yang memiliki nilai yang dapat dijual dan adanya konsekwensi menanggung biaya kecelakaan, sekalipun sedikit serta apa saja yang tidak ditolak manusia seperti uang dan yang sejenisnya”.[6]
            Sedangkan pandangan para fuqaha Malikiyah – yang diwakili oleh Asy Syathibi – mengatakan :

ما يقع عليه الملك و يستبد به المالك عن غيره إذا أخذه من وجهه

Apa saja yang dapat dimiliki dan pemilik dapat menghalangi pihak lain untuk mengambil apa yang ada padanya”. [7]
            Dan para fuqaha Hanabilah menjelaskan :

ما يباح نفعه مطلقا أو إقتناؤه لغير حاجة أو ضرورة

Apa saja yang boleh dimanfaatkan secara mutlak atau dapat disimpan bukan karena hajat atau dharurat”. [8]
            Untuk menetapkan sesuatu adalah harta, kita perlu tahu tentang unsur-unsur kemaliahan sesuatu, sehingga kita dapat mengukur apakah sesuatu itu mal atau bukan. Asas-asas dan unsur-unsur Maliyah sesuatu adalah :
  1. Sesuatu tersebut memiliki nilai di kalangan manusia, baik berbentuk benda atau manfaat dari suatu yang konkrit atau manfaat yang bersifat abstrak. Seandainya sesuatu itu tidak memiliki nilai di kalangan manusia, maka tidak dapat dikatakan harta atau mal, seperti sebutir beras atau harumnya buah apel.
  2. Sesuatu tersebut secara hukum Syar`i dibolehkan untuk dimanfaatkan, baik dalam kondisi sulit atau normal. Untuk itu segala sesuatu yang tidak dibolehkan untuk dimanfaatkan menurut hukum Syara` tidak disebut mal atau harta, seperti khamar, bangkai dan lain-lain.[9]

B. Al Amwal Dalam Pandangan Al Qur`an

Sebagaimana telah didefinisikan di atas, bahwasanya amwal pada hakekatnya adalah merujuk pada semua parameter sumber-sumber alam. Yang menurut pandangan Al Qur`an, itu adalah nikmat Allah I, alat-alat provisi (perlengkapan), kesenangan dan kebanggan. Harta bukanlah sesuatu yang buruk dan tidak juga sesuatu yang menjijikan. Al Qur`an menyatakan bahwa ia adalah sesuatu yang baik (khair) dan juga sebagai alat yang membantu kehidupan manusia. Al Qur`an banyak menekankan untuk mempergunakan kekayaan dalam hal-hal yang baik, yang disebut dengan infaq. Implikasinya ialah bahwasanya mencari penghasilan, memiliki kekayaan bukan saja suatu hal yang baik, namun itu adalah hal yang sangat esensial agar orang bisa berinfak. Sebab sangat tidak mungkin seseorang akan berinfak jika dia tidak memiliki harta benda.
C. Al Amwal ; Milik Allah I  dan Kepemilikan Manusia
Beberapa akibat langsung dari Al Mal adalah milik Allah I  - menurut Syauqi Abduh As Sahi – adalah sebagai berikut :
  1. Tidak ada seorangpun- siapaun dia- yang berhak memiliki harta secara final, yang ada hanyalah hak pendayagunaan.
  2. Jama`ah yang diwujudkan oleh pemerintah kaum muslimin memiliki hak untuk menata metode pendayagunaan harta tersebut.
  3. Jama`ah yang diwujudkan oleh pemerintah kaum muslimin berhak mencabut hak pendayagunaan mal dari pemiliknya, jika adanya tuntutan maslahat umum.
  4. Sekalipun Islam membolehkan kemerdekaan kepemilikan bagi setiap individu, Islampun membolehkan pemerintah kaum muslimin membatasi kepemilikan individu terhadap mal-mal tertentu, jika terdapat tuntutan maslahat umum.[10]
Bebarapa hikmah dari pemberian hak kepemilikan kepada manusia yang diberikan Allah I  adalah :
  1. Penyandaran kepemilikan Al Mal kepada Allah I merupakan kandungan rasa (Dhaman Wujdani) yang dapat membimbing harta untuk manfaat hamba-hambaNya. Sedangkan penyandaran kepemilikian Al Mal kepada individu manusia merupakan kandungan keseimbangan yang dapat mengarahkan pemilik harta untuk memanfaatkan Al Mal yang dimilikinya sesuai batas-batas yang telah digariskan oleh Allah I.
Hal tersebut mengindikasikan pula bahwa manusia bukan memiliki harta, tetapi memiliki hak pendayagunaan harta dengan segala konsekwensinya dalam hak distribusi, konsumsi dan produksi.
  1. Islam adalah dien tanggung jawab, dimana tanggung jawab manusia terhadap mal yang diserahkan dan dititipkan oleh Allah I  kepada mereka itu tidak diterima sebagai tanggungjawab bebas tanpa batas. Sehingga dengan demikian manusia memiliki tanggungjawab terhadap hasil-hasil kerja, pemeliharaan dan pendayagunaan harta serta penunaian kewajiban yang diamanahkan kepada mereka.
  2. Sebagaimana dimengerti bahwa Islam adalah agama fithrah, sedangkan fithrah manusia merindukan dan mencintai harta atau al mal, maka Syari`at mengikat harta untuk individu manusia, sehingga instink mereka bangkit jangan sampai kehilangan harta dan mendorong semangat mereka untuk mendayagunakan al mal tersebut.[11]
Dengan demikian beberapa akibat langsung dari Al Mal dimiliki oleh manusia adalah sebagai berikut :
  1. Manusia tidak boleh memiliki kehendak mutlak dalam mendayagunakan harta, akan tetapi wajib menjaga batasan-batasan syari`at, tidak membawa pada bahaya bagi dirinya, pihak lain atau masyarakat serta menjaga realisasi kemaslahatan umum.
  2. Kepemilikan manfaat berkait dengan benda atau pribadi, sehingga pemilik manfaat dapat memindahkan kepemilikannya kepada pihak lain, dengan jual beli, wasiat dan bentuk transaksi lain.
  3. Kepemilikan manfaat dijadikan agar dapat diambil manfaat oleh individu secara langsung dan oleh jama`ah secara tidak langsung. Sehingga, jika pemilik manfaat harta mengabaikan dan tidak mengambil manfaat hartanya tersebut, maka berarti dia mengabaikan dan merusak pengambilan manfaat jama`ah. Untuk itu, jama`ah berhak mencabut kepemilikannya.
  4. Terakhir, Seseorang yang akan mendayagunakan al mal untuk komitmen terhadap seluruh batasan yang telah digariskan oleh Islam dalam cara meraihnya, mengembangkannya, menjaganya dan mendistribusikannya. [12]
Majduddin Al Fairuz Abadi, Al Qamus Al Muhith, (Beirut, Al Muassasah Al `Arabiyah Li Ath Thuba`ah wa An Nashr, tt)
Abu Al Fadhl Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab, (Beirut, Dar Shadir, tt)
Alauddin Mahmud Zatari, An Nuqud Wazaifuha Al Asasiyah Wa Ahkamuha Asy Syar`iyah, (Tripoli, Dar Qutaibah, 1996) Cet-1
Yusuf Qardhawi, Fiqh Az Zakat (Edisi Indonesia “Hukum Zakat”, penterjemah : Dr Salman Harun dan Dr. Didin Hafiduddin), (Jakarta, Pt Litera Antar Nusa, 1993) Cet-3
Drs. H. Zahri Hamid, Harta dan Milik Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta, CV. Bina Usaha, 1985) Cet-1
As Suyuthi, Al Asybah wa An Nadzair Fi Qawaid Wa Furu` Fiqh Asy Syafi`iyah, (Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1983) Cet-1
Asy Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul Asy Syari`at, (Beirut, Dar Al Ma`rifat, tt)
Manshur Al Bahuthi, Daqaiq Uli An Nuha Li Syarh Al Muntaha, (Beirut, Dar Al Fikr, tt)
Syauqi Abduh As Sahi, Al Mal wa Thuruq Istitsmarihi Fi Al Islam, (Kairo, Mathbaah Hasan, 1985) Cet-2



[1] Majduddin Al Fairuz Abadi, Al Qamus Al Muhith, (Beirut, Al Muassasah Al `Arabiyah Li Ath Thiba`ah wa An Nashr, tt) : 4/53
[2] Abu Al Fadhl Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab, (Beirut, Dar Shadir, tt) : 11/636)
[3] Alauddin Mahmud Zatari, An Nuqud Wazaifuha Al Asasiyah Wa Ahkamuha Asy Syar`iyah, (Tripoli, Dar Qutaibah, 1996) Cet-1 : 65
[4] Yusuf Qardhawi, Fiqh Az Zakat (Edisi Indonesia “Hukum Zakat”, penterjemah : Dr Salman Harun dan Dr. Didin Hafiduddin), (Jakarta, Pt Litera Antar Nusa, 1993) Cet-3 : 124
[5] Drs. H. Zahri Hamid, Harta dan Milik Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta, CV. Bina Usaha, 1985) Cet-1 : 3
[6] As Suyuthi, Al Asybah wa An Nadzair Fi Qawaid Wa Furu` Fiqh Asy Syafi`iyah, (Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1983) Cet-1 : 327
[7] Asy Syathibi, Al Muwafaqat Fi Ushul Asy Syari`at, (Beirut, Dar Al Ma`rifat, tt) : 2/17
[8] Manshur Al Bahuthi, Daqaiq Uli An Nuha Li Syarh Al Muntaha, (Beirut, Dar Al Fikr, tt) : 2/140
[9] Alauddin Mahmud Zatari, Op. Cit : 68
[10] Syauqi Abduh As Sahi, Al Mal wa Thuruq Istitsmarihi Fi Al Islam, (Kairo, Mathbaah Hasan, 1985) Cet-2 : 48
[11] Syauqi Abduh As Sahi, Op. Cit : 50-51
[12] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...