Rabu, 16 November 2011

Masa Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib





1. Latar Belakang Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Ali adalah putera Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali merupakan sepupu dan juga menantu dari Rasulullah SAW yaitu suami dari puteri Rasulullah, Fatimah Az-Zahra. Ali masuk Islam tatkala usianya belum mencapai 10 tahun. Dengan demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW semenjak kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian setelah kakeknya meninggal beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Karena hasrat hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka beliau mengasuh dan mendidik Ali. Pengetahuan agamanya amat luas. Karena kedekatannya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Beliau juga terkenal dengan keberaniannya dan hampir diseluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada dibarisan depan. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak.
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW.
2. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan dan kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ali dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Abdullah dan Saad misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair, mereka membai’at secara terpaksa. Mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah dan Bashrah.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak barada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada di tanah Hejaz (Mekkah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali tidak bertanggung jawab dan tidak menindaklanjuti pencarian pelaku atas pembunuhan Utsman tetapi malah mengutamakan pemerintahannya.
Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan pembai’atan.Setelah pelantikan selesai, Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi. Setelah memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:“Sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Allah telah menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas, memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan dan tauhid sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan muslim lainnya dari ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Bersegeralah membenahi kepentingan umum, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila melihat keburukan tinggalkanlah.”
“Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari  agama Islam.”
3. Kondisi Perpolitikan
Ada banyak peperangan yang terjadi di masa Ali, di antaranya:
1.   Perang Jamal / Perang Unta
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan. Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan keluarga Utsman sendiri dengan alasan:
·  Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman
·  Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru.
Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di Madinah saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui Ali menjabat sebagai khalifah keempat. Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya sebagai khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Utsman. Sehingga Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Pertempuran inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin.
Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.
2.   Perang Shiffin
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dariGubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, GubernurDamaskus dan keluarga dekat Utsman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Alimengadili pembunuh Utsman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalampembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali.Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantungjubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbarmasjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Denganadanya peristiwa tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman.Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju keSyiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arussungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidakmengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusanpada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyahmenolak. Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasaipihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanandidataran Shiffin, dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan caradamai. Ali mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untukmelangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 Mmereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara danmasing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi semangattempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun sebagaikhalifah, Ali terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa’ ayat59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah Ali menempuh jalan damai dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk mengangkat bai’at Ali dansebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islamdi kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitklansemangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korbanpada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang panji-panjiperang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada pihak lawanmaka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah,Amru bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berserumarilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telahmeminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkandiantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali, mariberserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap andaseperti apa yang kami perbuat pada Usman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang-orang sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari pihak Ali dan45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu tidak dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tigagolongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikutMu’awiyah dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujungmasa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.
3. Perang Nahrawan
Setelah terjadi tahkimsebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yangmenerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenaldengan nama Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:
·   Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka wajib dibasmi.
·    Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah raguterhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuhuntuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
·   Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ahdan membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
·   Pemuka kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAlitidak ingin memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalambersikap diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengansadis sekali hanya karena menolak untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggalNabi adalah kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Ali.
·     Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatutempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah). Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij. Dan Ali memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: “Barang siapapulang kembali ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelahitu 500 orang diantara mereka ber-iktijalsebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagipindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang.Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karenakeberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenanganberada dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhabtewas dalam peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib) yangbermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatanpada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampumerebut Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambilposisi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihakAli.

4.  Perang Badar
Beberapa saat setelah Ali menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas ditangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
5.  Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
6.  Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi SAW bersabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Dan masih banyak lagi peperangan lainnya yang Ali ikuti keculai Perang Tabuk, karena pada saat itu Ali mewakili Rasulullah untuk menjaga kota Madinah.[9]
4. Sistem Ekonomi dan Fiskal
Masa pemerintahan Khlifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan.Sekalipun demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru.
Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya, menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.
5. Kondisi Kebudayaan
Perkembangan yang ada pada masa Ali adalah:
·   Terciptanya ilmu bahasa/nahwu (Aqidah Nahwiyah)
·   Berkembangnya ilmu Khat al-Qur’an
·   Berkembangnya Sastra.[11]
6. Kaum Syi’ah (pengikut Ali)
Muslim Syi'ah percaya bahwa keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang al-Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah.Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu danmenantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawiHadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
7. Wafatnya Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Ali wafat di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij(pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah, Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf.

2 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...