Sabtu, 30 April 2011

Akhlak Mulia, Cermin Peradaban Manusia


Oleh : Ibnu Muhammad


A.    Pengertian Akhlak Mulia

 

Akar kata 'AKHLAQ' dalam bahasa 'Arab adalah 'kholaqo' (masdar tsulastsy) yang merupakan akar pula kata-kata 'kholiq', 'kholq' dan 'makhluq'. 'kholaqo' sendiri berarti menciptakan. Ketiga buah kata 'Kholiq', 'Akhlaq' dan 'makhluq' merupakan kata yang saling berhubungan erat. Dan ini bisa kita sama-sama rujuk kepada Al-Qur'an, surah Ar-Rahmaan ayat 1-4:
الرَّحْمَنُ {1} عَلَّمَ الْقُرْءَانَ {2} خَلَقَ اْلإِنسَانَ {3} عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
"Ar-Rahmaan (Allah, Al-Kholiq). (Yang) Mengajarkan Al-Qur'an. (Yang)  Menciptakan (kholaqo) Manusia (Al-Insaan, Al-Makhluuq). (Yang) mengajarkannya  Al-Bayaan."
Insya' Allah, dengan bashirah (daya pandang) yang senantiasa dituntun oleh fitrah yang suci, kita akan memahami hakikat ayat ini bahwa: Allah adalah Al-Khaliq yang telah menciptakan makhluq-Nya (manusia) dan membekalinya, menuntunnya, mengajarkan melalui utusannya Al-Qur'an yang merupakan penjelas bagi segala sesuatu (Al-Bayaan). Dengan berbekal dan berpedoman kepada Al-Qur'an manusia menjadi terbimbing dan terarah hidupnya.
Jadi akhlaq di dalam Islam bukanlah semata-mata sopan santun, etika, atau moral dan hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
Islam selalu menyertai definisi dari sisi syari'ah di samping definisi secara bahasa. Ketika Islam (baca: Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW) memperkenalkan sebuah kata atau menggunakan kata yang sudah lazim digunakan manusia, maka kita harus memahami dalam konteks apakah hal itu digunakan? Karena kata-kata yang digunakan Al-Qur'an dan As-Sunnah seringkali memiliki arti sendiri/khas yang tidak selalu sama dengan definisi umum (baca: bahasa). Adalah keliru jika kita sebagai seorang muslim hanya menggunakan definisi secara bahasa saja. Misalnya kata sholat yang dalam pengertian bahasa adalah do'a, maka dengan berpedoman pada pengertian sholat sebagai do'a akan kacau-balaulah sholat kaum muslimin karena masing-masing merasa bebas untuk mengekspresikan do'anya. Namun ketika Rasulullah SAW menyatakan 'Sholluw kama roaytumuniy usholliy' (sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat) dan RasululLaah SAW mempraktekkan shalat, maka disitulah definisi syar'i-nya diberikan, yaitu 'gerakan-gerakan yang diawali dengan takbiiratu 'l-Ihraam dan diakhiri dengan salam, dikerjakan dengan syarat dan rukun tertentu." Demikian pula kata 'Al-Jaahiliyyah' yang diambil dari bahasa 'arab (akar katanya 'Jahala'), namun tidak pernah digunakan oleh orang 'arab sendiri sampai Al-Qur'an menggunakannya. Karena itu definisi secara bahasanya yaitu bodoh tidak ber- ilmu' haruslah diiringi arti secara Al-Qur'an sebagai penentu akan esensi kata tersebut (Ma'na Al-Jaahiliyyah mudah-mudahan sudah pernah dikupas...). 
'Akhlaq'-pun tidak terlepas dari definisi secara syar'i. Perhatikan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (makaarima 'l-Akhlaaq)." Disitu digunakan kata akhlaq-nya menggunakan Alif-lam yang sama dengan 'the' dalam bahasa Inggeris, jadi sudah spesifik apa yang dimaksud dengan Al-Akhlaaq disitu, dan tentunya bukanlah semata-mata etika, sopansantun atau moral. Ibunda 'Aisyah ra menerangkan: "Adalah akhlaq beliau (RasululLaah SAW) itu Al-Qur'an." Al-Qur'an telah menegaskan pula bahwa:"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlaq mulia (khuluqin 'adhiim)." (QS. Al-Qolam:4). 
Dari hadits-hadits dan ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Akhlaaq, sebagaimana Islam itu sendiri, bersifat menyeluruh dan universal. Ia merupakan tata nilai yang memang diset-up oleh Al-Khaliq bagi manusia untuk kemudahannya dan kesejahteraannya dalam menjalankan missi kekhalifahannya dimuka bumi ini. Ia merupakan tata nilai yang selalu selaras dengan fitrah kemanusiaannya dan sudah pasti sinkron/nyambung dengan Al-Qur'an dan Sunnah RasuluLaah SAW. 
Kemudian, Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita RasululLaah SAW yang menjadi uswah hasanah. RasuluLaah SAW merupakan  insan
kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman: 
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia." (QS. Al-Qolam:4)
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orang mengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab:21)
Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan  minumnya adalah standard akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita. 
Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da'i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita. Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akn pernah berubah. Contoh-contoh akhlaq beliau: 
RasululLaah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq hati dan lisan: "Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya." (H.R. Ahmad) Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan RasululLaah SAW, yang tidakakan mungkin cukup kolom ini mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluq lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya.
Jadi akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan 'akhlaq', moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu.
Ukuran kebaikkan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma'af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya sejak RasululLaah SAW ada sampai sekarang.
Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan 'hello' 'goodbye' juga akan mengucapakan 'hello' 'goodbye' ketika bertemu seseorang.
Oleh karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita. Allah SWT berfirman:
صِبْغَةَ اللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
 "Shibghoh Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah kami mengabdikan diri." (QS: Al-Baqarah:138).
Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih.
Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasud tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain didunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak.
Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya.
 

 

B.     Keutamaan Akhlak yang mulia

لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنَ الْخُلُقِ الْحَسَنِ (صحيح الجامع)
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan selain akhlak yang baik “ (Shahih Jami)
إِنَّ الرَّجُـلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ قَائِمِ الَّليْلِ صَائِمِ النَّهَار(صحيح الجامع ِ   )
“ Sesungguhnya seseorang yang berakhlak baik akan mendapatkan derajat orang yang bangun malam (beribadah), dan puasa pada siang harinya”

إِنَّ أَقْرَبَكُـمْ مِنِّي مَنْزِلاً يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا فِي الدُّنْيَا   (صحيح الجامع)
“ Sesungguhnya orang yang paling dekat diantara kalian kepadaku pada hari kiamat adalah mereka yang akhlaknya baik di dunia “ (Shahih Jami’)

C.    Urgensi akhlak Mulia 
 
Persoalan akhlaq adalah persoalan besar bagi umat Islam, persoalan yang menentukan eksistensi seorang Muslim sebagai makhluq Allah, sebagai pribadi di dalam keluarganya, sebagai individu di dalam masyarakatnya, sebagai muharrik dalam sebuah gerakan Islam, sebagai Muslim di tengah umat, sebagai bagian dari umat di tengah interkasinya dengan bangsa dan peradaban lain di Dunia.  Akhlaq adalah persoalan jati diri, persoalan karakter inheren yang tak bisa lepas kemana seseorang manusia pergi. Sekaligus akhlaq merupakan lambang kualitas seorang manusia, masyarakat dan umat.  Karena akhlaq adalah seperangkat tindakan atau gaya hidup (namth) yang terpuji, yang merupakan refleksi nilai-nilai Islam yang diyakini dengan motivasi semata-mata mencari keridhaan Allah SWT. 
Akhlaq adalah nilai-nilai Islam yang membumi, yang terjelma dalam bentuk konkret manusia, umat atau peradaban.  Dia merupakan nilai terpuji, karena nilai-nilai islami adalah nilai fitrah manusiawi, yang bersih dan lurus.  Karenanya sebaik-baik manusia adalah manusia yang sesuai dengan fitrahnya, manusia yang baik akhlaqnya. Dalam bingkai potret peradaban umat di hari ini, akhlaq islami menjadi penting, bahkan merupak an sebuah urgensi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.  Karena potret buram dan retak peradaban umat di hari ini tak lepas dari pengaruh lunturnya akhlaq di kalangan kaum Muslimin.  Dan lunturnya akhlaq ini pula yang telah menggeser timbangan umat dari posisi khairu ummah menjadi "buih", yang dengan mudahnya dicerai-beraikan musuh-musuh Allah.  Karenanya upaya peningkatan akhlaq islami mestilah disasarkan pada pribadi Muslim, dai dan muharrik, keluarga, masyarakat, amal islami dan umat secara keseluruhan. 
Dalam skala pribadi perbaikan akhlaq akan membuat seorang Muslim memiliki ketenangan dan kekuatan jiwa, dihormati dan diteladani, dapat menjalankan kewajiban dengan baik, dapat memberikan sumbangan bagi aktifitas kemaslahatan masyarakat, kemudian akan berkembang ruh mahabah dan ukhuwah antar pribadi Muslim.
Dalam skala masyarakat, maka pribadi-pribadi Muslim yang berakhlaqul kharimah dapat memberikan ketertiban dan kesejahteraan umum, masyarakat menjadi teratur dan bersih.  Dalam skala amal islami, dengan menguatnya akhlaq para aktifis harakah, pertumbuhan dan kekuatan dapat diciptakan, yang pada gilirannya mampu meningkatkan manuver-manuver da'wah serta memberikan daya tahan (imunitas) terhadap serangan futur (kemandegan). 
Peningkatan akhlaq para aktifis gerakan Islam akan memberikan pertumbuhan vertikal berupa peningkatan tanggung-jawab (mas'uliyah) dan kepemimpinan, memunculkan afkar-afkar (anggota) yang berkualitas, yang selanjutnya dapat mengadakan pertumbuhan horizontal berupa perluasan medan da'wah. Kemudian dari hub (rasa cinta) dan ikha' (rasa persaudaraan) akan memunculkan kekuatan wihdah (persatuan).
Dalam skala umat, maka akhlaq islami akan menyediakan kekuatan dan peningkatan produktifitas kerja, keberkatan dan ridha Allah SWT, dihormati, dikagumi, diteladani dan disegani bangsa dan peradaban lain.  Dan peningkatan akhlaq islami ini secara langsung akan memajukan peradaban kaum Muslimin. 
Pengaruh akhlaq yang demikian tinggi baik bagi pribadi Muslim,masyarakat, bahkan umat bukanlah tanpa alasan.  Karena karakter inheren akhlaq itu sendiri yang merupakan penyebabnya.  Karena akhlaq islami adalah suatu keyakinan terhadap nilai-nilai Rabbani yang dijawantahkan dalam kehidupan nyata untuk hanya mencari rasa suka, ridha Allah.  Akhlaq Islami merupakan aktifitas lahir sekaligus bathin.  Aktifitas lahir nampak dalam budi pekerti (suluk) terpuji dan aktifitas bathin nampak dalam bentuk keteguhan dan kekuatan jiwa, menumbuhkan optimisme dan tekad yang kuat.  Belumlah sampai pada tingkat akhlaq, kalau penampakan dzahir suatu perbuatan, yang nampaknya terpuji, kalau tidak diiringi dengan ketulusan niat bahwa perbuatan itu dalam rangka mencari rasa suka Allah.  Sikap dzahir yang nampaknya terpuji namun dengan diiringi hati yang bertolak-belakang adalah sikap kaum munafiq, tanpa diiringi keikhlasan adalah sikap kaum musyrik. 
Seorang Muslim yang berakhlaqul kharimah tidak dapat bersikap pura-pura dalam tingkah laku harian untuk sekedar mendapat penghargaan secara sosial.  Tetapi segala tindak tanduknya keluar dari keyakinan, sikap hidup yang bersumber untuk mencari ridha Allah.  Keyakinan bathiniah ini sendiri mengiringi dan mewarnai (sibghah) aktifitas dzahir.  Karenanya aktifitas dzahir baik kaum Muslimin bukan hanya bermakna sosial dan profan tetapi juga sakral, bukan saja dalam rangka berlaku baik terhadap manusia, tetapi juga dalam rangka mengharapkan pujian Allah.  Pujian Allah inilah yang mestinya lebih mendominasi dan didamba Muslim yang berakhlaqul kharimah.  
Di antara akhlak yang baik yang diajarkan oleh Allah kepada manusia Anjuran untuk berakhlak dengan akhlak yang disyaratkan atas setiap muslim, seperti:

Sifat jujur / Shiiddiq 
"Biasakanlah kamu berkata benar, karena kebenaran itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menuntun kepada surga.  Dan seseorang itu selalu berkata benar sehingga dicatat di sisi Allah; shiiddiq.  Dan awaslah kamu dari dusta, karenadusta itu menuntun kepada kejahatan, dan kejahatan itu menuntun kepada neraka.  Dan seseorang itu berdusta sehingga dicatat di sisi Allah; pendusta." (H.R. Bukhari)
Ibarat lampu akhlaq, maka shiiddiq adalah cahayanya. Dia bersinar menerangi sekeliling bak mercu suar.  Sifat ini mengantarkan si pelaku pada ketenangan jiwa, karena tak ada yang dia sembunyikan, tak ada yang perlu dia dustai. Dia, seorang Muslim, yang hidup secara transparant (nir kaca). Maka buahnya adalah kepercayaan, kehormatan, dan kemuliaan, bukan saja dari manusia, tetapi juga dari Allah Pencipta Manusia. Hati yang bersih akan selalu terikat pada kebenaran, hanya beriltizam (komit) pada kebenaran.  Maka itu semua akan berpengaruh terhadap kata-kata yang dituturkan, atau perbuatan yang dipersembahkan.  
Tak ada keperluan baginya untuk berdusta, karena keterikatan pada kebenaran menutup peluang untuk berdusta. Dusta muncul karena perbuatan tercela yang tak ingin diketahui orang lain; dusta muncul karena harapan-harapan egois, serakah dan kecurangan; dusta muncul karena bakhil dan ketakutan yang sangat melanda jiwa.  Maka bagi hati yang bersih, karena sibgha Allah (pewarnaan Allah), tak ada lagi yang perlu didustakan dan tidak ada manfaatnya berdusta, tak ada yang malu untuk disampaikan, tak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakuti.  Hatinya mantab, tenang dan damai, tak ada ketakutan atau kecurangan. Maka kemuliaan dari manusia dan ridha Allah adalah balasan yang setimpal. Dalam garis pemahaman dien ini, maka dua arah berlaku shiiddiq yang saling mengkait terbentang; berlaku shiiddiq kepada Allah dan berlaku shiiddiq kepada manusia. Berlaku shiiddiq kepada manusia sendiri muncul setelah seorang Muslim menjalin hubungannya dengan Allah secara benar.  Hubungan dengan Allah ini yang menjadi basis, sumber motivasi dan penggerak segala amaliah seorang  Muslim.  Sehingga segala amaliah dan mua mallahnya akan bersandar pada syar'i, pada upaya mencari ridha Allah.  Tanpa berlaku shiiddiq kepada Allah, maka akan sulitlah bagi seorang manusia untuk berlaku benar terhadap sesamanya. Ibarat lampu akhlaq islami, shiiddiq adalah cahayanya, shiiddiq adalah cahaya kebenaran, dan jalan menuju mardhotillah.  
"Tunaikanlah segala kewajiban kepada Allah, apabila kamu telah berjanji " (An-Nahl:91)
"Hai sekalian orang beriman, mengapa kamu mengatakanapa-apa yang tidak kamu perbuat.  Sungguh besar murka Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (Ash-Shaf: 3-4)
Berlaku shiiddiq kepada Allah adalah PERINTAH, WAJIB untuk dilaksanakan.  Berdusta kepada Allah akan mendapat murkaNya, dan murka Allah adalah azab yang pedih.  Ridha Allah surga yang indah, maka murka Allah adalah neraka jahanam.  Maka seorang yang beriman tidak akan menbuat Allah menjadi murka, dia tidak akan mengingkari apa yang dia katakan, apa yang dia janjikan kepada Allah. Kita telah bersyahadah, bahkan janji dan sumpah itu kita ulang-ulang setiap shalat.  Kita bersumpah setia kepada Allah, bahwa tiada ilah selain Allah: bahwa tiada tuhan, yang mendo- minasi kehidupan kita selain Allah; bahwa tiada yang kita ikuti selain Allah; tiada yang kita cintai selain Allah; bahwa tiada yang kita takuti selain Allah.  Kalimat ini kita ulang-ulang dengan kesungguhan.  Itu merupakan sumpah dan janji kita kepada Allah Penguasa Jagad Raya, yang jiwa kita ada di tanganNya.
Lalu, setelah janji itu kita ikrarkan; apakah benar hidup kita diserahkan untuk didominasi oleh aturan Allah, bukan aturan manusia, bukan kehendak syahwat ? Apakah benar kita telah mengikuti semua aturan Allah, dan tidak akan mengikuti aturan, prilaku, konsep-konsep yang datang dari selain Allah? Atau malah sebaliknya kesenangan mengikuti aturan taghut? Apakah benar kita mencintai Allah, dimana orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah, mencintai dienNya, sehingga dalam shalat pun kita berjanji "inna shalati wa nusuki, wamayahya, wama mati lillahi rabbil 'alamiin" (shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Tuhan Semesta Alam). Benarkah kita telah menyerahkan hidup dan mati hanya untuk Allah, atau hanya untuk mengejar karier, materi atau kedudukan? Apakah benar kita takut kepada Allah, takut akan menerima azabNya, sehingga melaksanakan semua perintahNya dan menjauhkan segala laranganNya, beramar ma'ruf nahi munkar? atau malah dengan terang-terangan kita BERANI mengingkari aturan hidup yang telah diberikanNya; menyerahkan wala (loyalitas) tidak kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman; berkasih- sayang kepada musuh-musuh Allah; bercuriga terhadap pejuang-pejuang agama Allah yang ikhlash; serta mengangkat pemimpin orang-orang yang tidak membela agama Allah?  Benarkah kita telah memenuhi janji kepada Allah, membuktikan syahadah kita, atau hanya DUSTA belaka?
Dalam shalat kita katakan Allahu Akbar, Allah Maha Besar, hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.  Namun setelah selesai shalat apakah benar setiap perkataan dan gerak kita untuk membesarkan nama Allah, untuk mengagungkan agama Allah, atau malah sebaliknya ? Benarkah kita hanya meminta tolong kepada Allah, RasulNya dan orang-orang beriman ? Atau justru malah meminta pertolongan kepada musuh-musuh Allah dan musuh orang-orang yang beriman?
"Sungguh besar murka Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" "Dan celakalah orang-orang yang shalat, yang shalatnya karena riya'"
Apakah kita akan mengulang dan terus mengulang dusta ini kepada Allah? Sesungguhnya murka Allah adalah jahanam, seburuk-buruknya tempat kembali.

Sifat amanah (bertanggung jawab)
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah kepada yang berhak" (An-Nisa: 58) Menunaikan amanah adalah salah satu PERINTAH Allah, yang WAJIB untuk dilaksanakan dan dalam surat Al Mu'minuun dijanjikan Allah dengan surga sebagai balasan bagi mereka yang berlaku amanah. Amanah adalah nilai fitri, yang setiap hati merah manusia, baik Muslim ataupun kafir mengakuinya.  Inilah ciri akhlaq islami, ciri yang tak dipunyai kaum munafiq.  Rasulullah bersabda; Ciri munafiq itu ada 3, jika bicara dia berdusta, jika berjanji dia ingkar, jika dipercaya dia berkhianat  (H.R. Bukhari, Muslim).
Di awal masa tegaknya risalah Allah ini, Rasulullah Muhammad telah mencontohkan keharusan menegakkan amanah. Meski dalam keadaan sulit, sehubungan dengan persiapan hijrah ke Madinah, Rasulullah tetap menjaga amanah dan mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepada beliau melalui Ali. R.A. Di tengah kondisi yang terjepit dan mendapat incaran para pembunuh bayaran, menjaga dan mengembalikan barang yang diamanahkan orang lain tetap merupakan hal yang utama. Inilah diinul Islam.  Dia tegak di atas sendi-sendi aturan "langit", di atas nilai-nilai luhur, dan berkembang dalam basis fitri kemanusiaan.  Apalah artinya hijrah kalau amanah dilanggar; apalah artinya persiapan teliti untuk suatu perjuangan islam kalau amanah diabaikan?  Sesungguhnya Islam tegak dan ditegakkan untuk dan melalui nilai-nilai luhur yang datang dari Allah, bukan menegakkan kekuasaan untuk kekuasaan.  Dan bukan pula meraih kekuasaan dahulu baru menegakkan nilai-nilai samawi. Sejak panji risalah ini dikibarkan, maka nilai-nilai "langit" ditegakkan di bumi dengan kekuasaan ataupun tidak.  
Karenanya dalam titik ini, menegakkan amanah, menegakkan satu nilai islami dalam diri seorang Muslim berarti menegakkan Islam dan memancarkan keharumannya. Inilah agama yang lurus. Islam adalah agama yang mulia.  Hanya dengan kemuliaandia ditegakkan dan untuk kemuliaan dia tegak. Hanya orang-orang yang berhati mulia ikut dalam barisannya dan tidak untuk mereka yang munafiq.  Maka dalam pemahaman aqidah ini kekuasaan hanyalah alat bukan tujuan, perangkat kekuasaan dan politik adalah sarana bukan ghoyyah. Qiadah (kepemimpinan) muncul dari tegaknya nilai-nilai islami dalam dada setiap Muslim, dan nilai-nilai itu yang ingin ditegakkan dengan ataupun tanpa kekuasaan dan perangkatnya.  Sesungguhnya qiadah itu akan muncul dengan sendirinya, manakala kondisi islami telah tercipta.  Ibarat buah, manakala tepung sari sudah menempel pada putik, secara alamiah sunatullah, buah akan muncul perlahan tapi pasti.  Inilah diinul islam dengan misi tunggal rahmattan lil alamiin.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh…. (Al-Ahzab: 72)
Seperti juga kewajiban memelihara amanah dari manusia, maka memelihara amanah dari Allah, Tuhan manusia, adalah juga kewajiban yang mesti dijalankan manusia yang beriman. Adalah tidak logis kalau seorang manusia menjaga amanah dari sesamanya namun mengingkari amanah Allah.  Bahkan dalam sudut pandang aqidah ini, menjalankan amanah yang datang dari Allah adalah kemuliaan, karena Allah telah mempercayai kita, Allah mengakui kelebihan kita disbanding makhluk yang lain.  Suatu karunia yang amat besar.
Tugas itu, amanah itu adalah untuk menegakkan diinullah di alam ini.  Tugas yang teramat berat, langit, bumi, dan bebukitan menolak tugas ini. "sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat" (al-Muzzammil: 5). Perkataan yang berat, berat dalam arti konsekuensi yang harus diterima dalam meniti jalan itu. Itulah jalan kemuliaan, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi ni'mat, jalan para Nabi, shiddiqiin, syuhada dan para shalihiin, jalan yang sukar lagi mendaki, jalan ketaqwaan.
Amanah itu mesti dipenuhi agar tidak ada lagi fitnah, agar tidak ada lagi penyembahan manusia pada manusia, penyembahan manusia pada materi dan kekuasaan, pada pangkat dan nafsu syahwat.  Semua penyembahan hanya untuk Allah Rabbal'alamiin.  Dalam skala individual amanah ini menjadi tanggung jawab pribadi Muslim.  Dalam skala global adalah menjadi tugas qiyadah islamiyah (kepemimpinan islam) untuk mewujudkannya. Tugas dalam skala global itu kini praktis terbengkalai. Bukan hanya fitnah menghegemoni jagad, namun kondisi ummat sangat memperihatinkan.  Umat Islam terhina dan dihinakan, baik di Bosnia maupun Palestina.  Tiada qiadah islamiyah yang mempersatukan, membela, dan menegakkan izzah (harga diri) Islam dan ummatnya.  Inilah azab atas kelalaian menjaga amanah Allah. "Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh " zalim terhadap dirinya sendiri dan bodoh terhadap diin yang telah dituntunkan Allah untuknya. Kini, tak ada waktu lagi untuk berfalsafah, kenapa mesti menerima amanah Allah itu dsb-dsb.?  Yang perlu adalah menyambut amanah ini mewujudkan qiadah Allah di Bumi dalam semangat dan kesiapan sami'na wa atho'ana (kami dengar dan kami taat).
 
Sabar 
Ibnu Mas'ud R.A. berkata: Seolah-olah saya masih melihat pada Rasulullah SAW ketika mencontohkan kejadian seorang Nabi yang dianiya kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darah dari mukanya berkata ALLAHUMAGHFIR LIQOUMI FA INNAHUM LA YA'LAMUN (ya Allah ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui). (H.R Bukhari, Muslim). Sabar adalah sepenggal kata yang sering diucap dan enteng untuk dituturkan, namun dengan konsekuensi yang luar biasa berat.  Sabar lebih sebagai sebuah hasil tempaan panjang tak-winniyah ketimbang sebuah bekal untuk belajar.  Dia wujud karena kematangan fikrah dan kelembutan khusyu'.  Dia adalahsebuah karakter yang diidamkan, kokoh, ibarat karang di tengah gelombang pasang.  Ibarat black hole yang menyerap semua sinar tanpa membuatnya kehilangan pegangan.  Maka Allah bersama orang-orang yang sabar.  Maka Nabi-nabi Allah selalu dengan kesabaran.  Tanpa akhlaq islami ini da'wah islamiah tak akan tegak.  Tanpa sabar al Haq tak dapat ditegakkan.  Karena, jalan bersama al haq, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi ni'mat, jalan para Nabi, Shiiddiqiin, syuhada dan shalihiin, jalan ketaqwaan adalah jalan yang sukar lagi mendaki, jalan yang penuh celaan dari orang-orang yang suka mencela, jalan penuh hasutan dari orang-orang yang suka menghasut, jalan yang penuh hinaan dari orang-orang yang suka menghina, jalan penuh fitnah, teror, interogasi dan intimidasi.  Tanpa sabar jalan yang mendaki menjadi lebih mendaki dan tak dapat dilalui. Rasulullah saat di Tha'if berlumuran darah dilempari batu, begitu juga Nabi-nabi lain, karena kaumnya belum faham, tidak tahu kebenaran Allah, mereka jahil.  Kalau saja mereka tahu, mereka faham, maka mereka akan lebih banyak menangis karena kesalahan-kesalahan mereka.  Apa yang harus dilakukan untuk mereka yang tidak tahu, selain memohonkan pengampunan pada Sang Khalik? Memasukkan kebenaran ke dalam kepala, hati lalu mewujud dalam amaliah seseorang mad'u, bukanlah pekerjaan sederhana. Ini adalah pekerjaan para anbiya, makhluk pilihan Allah.  Coba kita bermuhasabah, baru saja perkataan kita disinggung saudara kita, ditanggapi dengan sedikit sinis atau dibiarkan, segenap ketersinggungan meluncur, meluap, lalu kita serang mereka yang bersinis-sinis kepada kita dengan kata-kata tajam-menusuk jantung.  Baru saja nasehat-nasehat kita dibalas dengan canda, dibalas dengan tawa, dibalas dengan olok-olok, segera saja segenap kebencian melanda.  Belum lagi menghadapi fikrah rekan- rekan yang lain, yang tidak sama dengan kita, yang nampak kacau yang merugikkan, yang nampak munafiq, segenap kebencian penuh menghiasi layar kaca.  Setumpuk buruk sangka menghiasi muka. Lalu dimana letak sabar?  Akankah kebenaran merasuk dalam hati rekan-rekan yang kepada mereka ingin kita sampaikan kebenaran, dengan tetap memelihara ketidaksabaran?  Apakah kita menganggap orang lain segera akan menerima kata-kata kita, meresapinya, lalu mengamalkannya, dengan sangat mudahnya?  Apakah kita berharap masuk surga, padahal belum datang cobaan kepada kita sebagaimana cobaan datang kepada mereka yang terdahulu?  Astaghfirullah, kita sering bermimpi.
 
 
 
Daftar Pustaka
 
1.     Al-Qur’an dan terjemahnya
2.     Kitab Shahih Bukhary 
3.     Kitab Shahih Muslim
4.     Shahih Jami’ Ash-Shaghir
5.     Kitab Sunan Thirmidzi 
6.     Riyadhus Shalihin
7.     Bbulughul Maram

Ayat-ayat tentang Ibadah


 Oleh : Bambang Sahaja

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. QS Al-Baqarah : 21  
Hai manusia
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
sembahlah Tuhanmu
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
yang telah menciptakanmu
الَّذِي خَلَقَكُمْ
dan orang-orang yang sebelummu
خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
agar kamu bertakwa
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Syarah Ayat :
Ayat  ini adalah sebuah perintah bagi seluruh manusia untuk menyembah Allah ta'ala. Karena Dialah yang telah menciptakan manusia. Baik  manusia terdahulu ataupun manusia yang akan datang. Perintah menyembah atau beribadah dalam ayat ini memiliki makna yang luas, tidak hanya penyembahan dalam arti ibadah mahdhah saja, melainkan ibdah dalam arti luas. Ayat ini memiliki korelasi yang kuat dengan tujuan dari diciptakannya jin dan manusia, yaitu untuk beribdah kepadaNya saja.
Dalam ayat ini juga terdapat kewajiban untuk beribadah kepadaNya saja. Karena Alloh adalah Pencipta yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan menciptakan manusia dari ketiadaan, Dia juga telah menciptakan umat-umat sebelum kita. Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang nyata dan nikmat yang tidak nampak. Dan menjadikan bumi sebagai tempat tinggal dan tempat berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah menciptakan langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya matahari, bulan dan bintang. 
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di menyatakan bahwa perintah dalam ayat ini bersifat umum untuk seluruh manusia. Sifat perintahnya sendiri umum yaitu untuk beribadah dengan segala bentuk ibadah, yaitu melaksanakan semua yang diperintahkanNya dan menjauhi yang dilarangNya serta membenarkan kabar-kabarnya. Hal ini sebagaimana perintah Alloh ta'ala dalam QS Adz-Dzariyat : 56. Allah ta'ala berfirman :
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS Adz-Dzaariyat : 56.
Ayat ini menegaskan tentang tujuan diciptakannya jin dan manusia di muka bumi ini, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Makna ibdah dalam pengertian yang komprehensif disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, beliau menyebutkan :
العبادة هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Alloh dan yang diridhaiNya berupa perkataan atau perbuatan baik yang berupa amalan batin ataupun yang dhahir (nyata).
Dari pendapat ini berarti setiap aktifitas kita yang dicintai dan diridhaiNya maka semua itu adalah bagian dari ibadah.  Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah (Al Khairaat / Al Ihsaan) adalah semua kerja manusia (baik perkataan maupun gerak fisik dan hati) yang mencakup kerja yang murni berhubungan dengan Khaliqnya maupun kerja yang berhubungan dengan sesamanya dalam manifestasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain serta kerja yang berhubungan dengan lingkungan hidup yang kesemuanya dengan syarat masuk dalam lingkup keridhaan dan kecintaan Allah.
Membahas tentang ibadah maka wajib bagi kita untuk mempersembahkan ibadah, seperti berdoa, meminta perlindungan, memohon pertolongan, bernazar, menyembelih kurban, tawakal, takut, berharap dan mencintai selain kepada Allah Ta'ala adalah perbuatan syirik, meskipun perbuatan itu dilakukan kepada malaikat, seorang nabi utusan, atau kepada hambaNya yang shaleh.
Salah satu sendi utama ibadah ialah beribadah kepada Allah dengan penuh rasa cinta, rasa takut dan penuh harap dengan menyeluruh. Beribadah kepada Allah dengan sebagian daripadanya tanpa yang lain, juga kesesatan.
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.
Pertama : Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.
Kedua : Jenis
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga : Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat : Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.
Kelima : Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam : Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
"Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu : Pertama : Ikhlas dan kedua : Mutaba'ah.
1.    Ikhlas, Hal ini berintikan 2 hal :
a.    Iman   : semua aktifitas harus dilandaskan pada keimanan.
b.    Ihtisab : semua aktifitas harus bertujuan mencari ridha Allah
Dari Amirul mukminin Abu Hafshin Umar Ibnul Khothob t, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah r bersabda : Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niat, dan untuk setiap orang itu sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya akan diterima Allah dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ia inginkan atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang dia niatkan.”
Imam Asy Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Ali Ibnu Al Madini, Abu Daud, Ad Daruquthni dan lain-lain berkata : “Bahwa hadist ini sepertiga ilmu”…Al Baihaqi memberikan arahan tentang makna sepertiga ilmu tersebut “bahwa usaha / aktifitas seorang hamba dilakukan pada tiga hal : hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya. Maka, niat merupakan salah satu di antara tiga bagian tersebut. Bahkan, niat merupakan yang paling akurat, dikarenakan dia merupakan ibadah tersendiri yang dibutuhkan oleh ibadah lainnya”.
Ikhlas karena Allah I dalam beramal adalah salah satu syarat diterimanya amal. Karena, Allah I tidak menerima amal kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas karena-Nya.
Sedangkan 2 makna ikhlas yaitu iman dan ihtisab ada pada sabda Rasulullah :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa dengan penuh iman dan ihtisab (mencari ridha Allah), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta manusia, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan mereka. Nilai seseorang tidak terletak pada besarnya badan, mulianya keturunan, kerennya penampilan dan tidak pula pada popularitas dan kredibiltasnya di mata manusia. Nilai mereka yang sebenarnya di sisi Allah adalah terletak pada iman mereka, yang tercakup di dalamnya amal perbuatan yang lahir karena iman serta jiwa ikhlas yang menyertai amal. Hal tersebut berarti bahwa salah satu fokus perhatian utama manusia harus ditumpukan pada motif dan tujuan suatu pekerjaan; bukan sekedar bentuknya. Setiap pekerjaan itu ada tubuh dan ruhnya; tubuh adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar. Sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya pekerjaan itu dan jiwa ikhlas yang menyertainya. Tanpanya, sebuah pekerjaan tidak diterima Allah. Allah I berfirman :
وَ مَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus,. (QS. Al Bayyinah :5)
2.    Mutaba’ah (sebuah amal harus mengikuti tuntutan dan tuntunan Rasulullah. Allah berfirman :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ
Sesungguhnya pada diri Rasulullah r ada contoh tauladan yang baik orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir.”  (Qs. Al Ahzaab : 21)
Contoh tauladan yang baik ada pada Rasulullah r. Karena, orang yang mengikuti beliau adalah orang yang menempuh jalan yang dapat mengarahkannya kepada kemulian Allah I yaitu Shirotol Mustaqim (Jalan yang lurus).
Maksudnya bahwa seluruh perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin harus sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah atau dilarang olehNya yang telah dituntunkan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam masalah mutaba`ah ini hendaknya kita memperhatikan beberapa kaedah di bawah ini :
فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر    
Asal pada hukum ibadah murni adalah bathil sampai ada dalil yang memerintahkannya.
والأصل في العقود و المعاملات الصحة حتى يقوم دليل على المنع    
Asal pada hukum akad dan Mu’amalah adalah sah sampai ada dalil yang melarangnya Dari keterangan tersebut dapat kita simpulkan : Bahwa mutaba’ah dalam ibadah ritual (seperti wudhu, shalat dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah apakah ada contoh dan perintah dari Rasulullah r atau tidak yang mencakup antara lain :
-    caranya                      : Misalnya cara-cara shalat, wudhu dan lain-lain.
-    Waktunya                  : Misalnya waktu shalat, waktu haji dan lain-lain.
-    Jumlahnya                : Misalnya jumlah bilangan shalat malam dan lain-lain.
-    Jenisnya                    : Misalnya jenis binatang kurban dan lain-lain.
-    Syaratnya                  : Misalnya syarat shalat dan lain-lain.
-    Sebabnya                  : Misalnya sebab shalat malam dan lain-lain
Melanggar ketentuan tersebut berarti jatuh pada perkara bid’ah. Rasulullah r bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal tanpa landasan perintah kami, maka tertolak.”
1.    Bahwa mutaba’ah dalam ibadah Mu’amalah (seperti perekonomian dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah adakah larangannya dari Rasulullah atau tidak serta tidak melanggar sistem dan etika bermuamalah yang diajarkan beliau. Yang mencakup antara lain :
a.    Benda, barang atau bahan yang akan dikerjakan.
b.    Caranya :
-          Cara memperolehnya
-          Cara mengolahnya
-          Cara menyalurkannya
c.    Lingkungan kerja :
-          Orang-orang yang bekerja
-          Kondisi/tempat bekerja
-          Waktu bekerja dan lain-lain.
Hal tersebut perlu sekali diperhatikan dengan penuh seksama, agar semua perbuatan kita bernilai ibadah di sisi Allah I, dan tidak dipandang sia-sia.

Maka, dapat disimpulkan bahwa kita perlu menekankan pentingnya dua perkara dasar di mana suatu amal dapat diterima di sisi Allah dengan terpenuhinya dua perkara tersebut. Pertama, yaitu ikhlas, dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena riya, ingin dipuji atau cinta dunia. Kedua, dilakukan dengan benar dan sesuai dengan Sunnah Allah dalam ciptaanNya dan sejalan dengan petunjuk-petunjuk Allah dalam syari`ahNya.
Hal tersebut sesuai dengan penafsiran seorang imam, Fudhail bin `Iyadh ketika mentafsirkan firman Allah I :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk :2)
Dia berkata bahwa sebaik-baik perbuatan adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ditanyakan kepadanya : “Apa maksud yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Dia menjawab : “Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan benar. Jika perbuatan itu dikerjakan dengan benar tetapi tidak ikhlas, akan ditolak ; jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, juga ditolak, sampai amal itu ikhlas dan benar. Perbuatan yang ikhlas adalah perbuatan yang dilakukan hanya kepada dan karena Allah. Sedangkan perbuatan yang benar adalah yang sesuai dengan sunnah”.
Ibnu Rajab Al Hanbali ketika menjelaskan tiga hadits Rasulullah r yang tercantum dalam kitab Al Arba`in An Nawawiyah yang dinilai sebagai ushul Islam, yaitu :
1.  إنما الأعمال بالنيات   (hadits, No : 1)
2. من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد  (Hadits, No : 5)
3. الحلال بين و الحرام بين   (Hadits, No : 6)
Beliau mengatakan : “Sesungguhnya, seluruh ajaran agama bermuara kepada melaksanakan berbagai perintah, menjauhkan berbagai larangan dan tawaqquf terhadap masalah syubhat, itulah yang terkandung di dalam hadits An Nu`man bin Basyir (Hadits, No : 6). Sedangkan hal tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan perkara : Pertama, amal tersebut secara dzahir harus sesuai dengan Sunnah seperti yang terkandung di dalam hadits `Aisyah t (Hadits, No : 5). Kedua, amal tersebut secara bathin ditujukan mencari wajah dan keridhaan Allah U seperti yang terkandung di dalam hadits Umar (hadits, No : 1)”.
            Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata :
لاَ يَصِحُّ الْقَوْلُ إِلاَّ بِعَمَلٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ وَ عَمَلٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ وَ عَمَلٌ وَ نِيَّةٌ إِلاَّ بِالسُّنَّةِ
 “Perkataan tidak shah kecuali dengan amal. Perkataan dan amal perbuatan tidak shah kecuali dengan niat. Perkataan, amal perbuatan dan niat tidak shah kecuali dengan Sunnah”.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfaan” memberikan nasehat yang amat berharga. Beliau mengingatkan : “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluknya sia-sia tanpa arti. Akan tetapi, Dia menciptakan mereka guna menerima tugas taklif, mengemban amanah perintah dan larangan serta mengharuskan mereka untuk memahami apa yang ditunjukkan kepada mereka, baik secara global maupun secara rinci. Dia telah membagi mereka menjadi dua golongan, golongan yang sa`ied (berbahagia) dan golongan yang syaqiy (celaka). Dia telah menjadikan masing-masing mereka tempat kembali yang harus mereka tempati serta memberikan mereka bahan-bahan ilmu dan amal yang berwujud kalbu, pendengaran, penglihatan dan anggota tubuh lainnya sebagai sebuah kenikmatan dan anugerah yang diberikanNya kepada mereka. Maka, barangsiapa yang menggunakan semua itu dalam rangka menta`atiNya serta berupaya melangkah dalam menempuh jalan mengenal apa yang ditunjukiNya serta tidak menggantikannya dengan perkara lainnya, itu berarti dia telah sukses dalam mensyukuri apa yang diberikan kepadanya, juga berarti dia telah tepat dalam melangkah di jalan keridhaan Allah I. Dan barangsiapa yang menggunakan semua itu hanya untuk segala kemauannya dan hawa nafsunya serta tidak memperdulikan hak Penciptanya, maka pada waktunya dia akan merugi, saat ditanya tentang semua itu serta akan mendapatkan duka yang berkepanjangan. Karena, semua hak anggota tubuhnya itu pasti akan dimintakan pertanggungjawabannya untuk dihisab, berdasarkan firman Allah :
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertang-gunganjawabnya. (QS. Al Israa:36)
Sebagaian ulama salaf mengatakan : ‘Tidak ada satu perbuatanpun – sekalipun kecil kecuali akan diajukan kepadanya dua lembar pertanyaan : mengapa ? dan bagaimana? Yaitu mengapa engkau lakukan ? dan bagaimana engkau lakukan? …
Pertanyaan pertama menyangkut apakah engkau melakukannya karena Allah I ataukah karena hawa nafsu dan keinginan-keinginan lain yang engkau harapkan?
Dan pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang mengikuti Rasul r dalam melakukan ibadah tersebut. Artinya, apakah amal tersebut adalah sesuatu yang Aku syari`atkan melalui lisan RasulKu ataukah amalan yang tidak Aku syari`atkan dan tidak Aku ridhai?
Jalan selamat dari pertanyaan pertama adalah memurnikan keikhlasan dan jalan selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutaba`ah (mengikuti dan mencontoh Rasulullah r, pent). Kalbu yang sejahtera berarti selamat dari kehendak yang bertentangan dengan keikhlasan serta hawa nafsu yang bertentangan dengan ittiba`. Inilah hakekat kesejanteraan kalbu yang membawa keselamatan dan kebahagiaan.”


Referensi
1.    Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor – Jabar.
2.    Menjadi Muslim Mandiri, Abdurrahman Ar-Rasyid, Hambali Swadaya Putra  Jakarta, 2009.
3.    Al-Ubudiyyah, Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
4.    Taisir Karim Ar-Rohman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir  As-Sa'di.
5.    Ilmu Ushul Al-Bida',  Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi.