Kamis, 30 Juni 2011

Manisnya Buah Kesabaran

Oleh Ummu Reza


Salah satu sifat yang harus dimiliki orang yang bertaqwa adalah sabar, yakni menahan diri dari bersikap dan melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan Alloh subhanallohu wa ta'ala karena mengharap ridha-Nya. Dalam hidup ini, sabar merupakan sesuatu yang sangat penting, karenanya Alloh subhanallohu wa ta'ala akan menunjukkan kebersamaan-Nya kepada orang yang sabar.

Jika seseorang merasa tidak sanggup menerima ujian, merasa berat menjalani apa yang menjadi taqdirnya, selalu berkeluh kesah, itu berarti kita sudah keluar dari kesabaran, karena sabar itu tak akan pernah ada batasnya. Ingatlah janji Alloh, bahwa Alloh akan selalu bersama orang-orang yang sabar. Alloh Subhanallohu wa ta'ala berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar" (QS Al Baqarah [2]:153).

Ketika beratnya ujian dalam berda'wah untuk mengajak orang lain ke dalam kebaikan, tidak dipungkiri kesedihan terkadang hadir. Terlebih yang kita da'wahkan adalah keluarga, pasangan kita, ayah atau ibu dari anak-anak kita. Tanpa sengaja keluh kesah itu keluar begitu saja dari lisan kita, kejenuhan melanda, air mata 
mengalir ibarat air yang memancar dari mata air di pegununungan, mengapa begini, kenapa harus terjadi dan lain sebagainya. Namun itulah taqdir, seorang muslim harus mengimani adanya taqdir baik dan taqdir buruk yang telah menjadi ketetapan Alloh. 

Baik bagi kita, belum tentu baik bagi Alloh. Buruk bagi kita, belum tentu buruk di mata Alloh. Ketahuilah setiap yang terjadi di muka bumi ini sudah tercatat di Lauhul Mahfuzh sejak 50.000 tahun yang lalu sebelum penciptaan langit dan bumi. Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Alloh telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)

Jika seseorang mengimani taqdir ini dengan benar, maka ia pasti akan memperoleh kebaikan yang teramat banyak. Ibnul Qayyim rahimahulloh mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Alloh kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Alloh kehendaki tidak akan terjadi.” (Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94)

Suatu pelajaran yang patut dicontoh adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama istrinya, Sarah. Lihatlah impiannya untuk memiliki anak sekian lama, akhirnya bisa terwujud. Sarah sudah sangat tua, Ibrahim pun demikian, namun karena kesabaran mereka, di usia yang sudah sangat senja, Alloh subhanallohu wa ta'ala memudahkan mereka memiliki anak, yaitu Ishaq yang kelak menjadi seorang Nabi

Alloh subhanallohu wa ta'ala membuat istri Nabi Luth dan istri Nabi Nuh perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan kedua orang-orang Shalih diantara hamba-hamba kami. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. Maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Alloh; Dan dikatakan kepada keduanya "Masuklah ke dalam Neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)" QS At-Tahrim (66):10

Tetaplah optimis dengan selalu bertawakkal (menyandarkan hati pada Alloh) dan tetap berusaha untuk menggapai impian yang kita cita-citakan. Ingatlah bahwa siapa saja yang bertakwa, bersabar dan bertawakkal pada Alloh dengan sebenar-benarnya, maka pasti Alloh akan memberikan ia jalan keluar dan akan memberikan ia selalu kecukupan. Alloh subhanallohu wa ta'ala berfirman,
Barangsiapa bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

Dan Ingatlah buah kesabaran itu pastilah manis karena setiap taqdir Alloh tidaklah akan sia-sia dan pasti ada ibrah (pelajaran) di balik itu semua. Tetaplah bersabar dan istiqamah wahai saudaraku....

Wallohu Ta'ala A'lam

Senin, 27 Juni 2011

Islam Sebagai Dien...

Sesuatu Yang Karenanya Allah Ciptakan
 Manusia dan Jin

Jika anda telah mengenal –wahai orang berakal- bahwa  Robbmulah yang telah menciptkanmu. Maka ketahuilah bahwa Allah tidaklah menciptakan anda sia-sia begitu saja. Akan tetapi Dia menciptakan anda supaya anda beribadah kepada-Nya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

]وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُون(57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ[ (58) الذاريات

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (Adz Dzariat : 56-58)

Makna Ayat Secara Umum:
Allah ta’ala memberitahukan pada ayat pertama bahwa Dia menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Nya semata. Lalu pada ayat kedua dan ketiga Allah memberitahukan bahwa Dia Maha Kaya tidak membutuhkan hamba-Nya. Tidak menghendaki sedikitpun rizki maupun makanan dari mereka. Karena Dia Maha Pemberi rizki lagi Maha Kuat dimana tidak ada rizki bagi manusia maupun selainnya melainkan berasal dari-Nya. Dialah yang menurunkan hujan dan mengeluarkan rizki dari bumi.
Adapun makhluk lain tak berakal yang terdapat di bumi, maka Allah Ta’ala  memberitahukan bahwa Dia menciptakan mereka demi manusia supaya manusia menggunakannya sebagai sarana taat kepada-Nya dan mengolahnya sesuai syariat Allah. Jadi setiap makhluk, setiap gerakan maupun diam di alam semesta ini, maka Allah lah yang mengadakannya karena suatu himah yang Dia terangkan dalam Al Qur’an serta dikenal oleh para ulama melalui syariat Allah. Masing-masing menurut kadar ilmunya. Bahkan sampai perbedaan umur, rizki, berbagai peristiwa dan musibah semua itu berlaku atas izin Allah untuk menguji hamba-Nya yang berakal. Siapa yang ridho dengan taqdir Allah, berserah diri disertai kesungguhan dalam melakukan amal yang diridhoi-Nya maka ia mendapatkan ridho Allah serta kebagiaan di dunia dan akhirat setelah mati. Sedang siapa yang tidak ridho dengan ketentuan Allah, tidak mau berserah diri dan tidak menaati-Nya maka ia mendapatkan murka Allah dan celaka dunia dan akhirat. Kita memohon kepada Allah akan ridho-Nya dan berlindung dari murka-Nya.

Di Antara Sifat Allah itu...

Abdur Rohman bin Hammad 

Di antara sifat Allah Ta’ala adalah Dia Maha Awal tanpa permulaan, Maha Hidup terus menerus, tidak akan mati maupun usai, Maha Kaya sekaligus Mengurus sendiri, tidak membutuhkan yang lain serta Maha Esa tanpa sekutu. Allah Ta’ala berfirman:

}بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1)اللَّهُ الصَّمَد(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ(3)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ(4){
 “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (Al Ikhlas:1- 4)
Makna ayat:
Tatkala orang-orang kafir bertanya kepada Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam tentang sifat Allah maka Allah menurunkan surat ini seraya memerintahkan kepada beliau untuk menyatakan kepada mereka: Allah itu Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah itu Dia-lah Yang Maha Hidup Abadi lagi Maha Mengatur. Bagi-Nya semata kekuasaan mutlak atas alam semesta, manusia dan segala sesuatu. Hanya kepada-Nya semata seluruh manusia wajib kembali dalam rangka memenuhi segala kebutuhan mereka.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak benar Dia mempunyai putra atau putri, ayah atau ibu. Bahkan Dia sangat menafikan itu semua dari diri-Nya dalam surat ini demikian pula pada surat yang lain. Sebab berketurunan dan beranak pinak merupakan sifat makhluk. Allah telah membantah ucapan kaum nasrani: “Al Masih itu anak Allah” dan ucapan kaum yahudi: “Uzair itu anak Allah. Serta ucapan yang lain yang menyatakan: “Malaikat putri Allah” dan Dia mengecam keras ucapan bathil ini.
Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan Al masih Isa u dari seorang ibu tanpa ayah dengan kuasa-Nya sebagaimana Dia menciptakan Adam moyang manusia dari tanah. Sebagaimana pula Dia menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam lalu tiba-tiba Adam melihat Hawa telah ada di sampingnya. Kemudian menciptakan anak keturunan Adam dari air laki-laki dan perempuan. Allah telah menciptakan segala sesuatu pada permulaan yang semula tidak ada dan menjadikan setelah itu sebagai sunnah dan aturan bagi semua makhluk-Nya yang tak seorangpun mampu merubahnya. Dan jika Allah menghendaki merubah aturan ini maka Dia rubah sesuai kehendak-Nya sebagaimana Dia mewujudkan Isa ‘alaihissalam dari seorang ibu tanpa bapak. Sebagaimana Dia menjadikan Isa mampu berbicara di buaian sebagaimana pula Dia merubah tongkat Musa ‘alaihis salam  menjadi seekor ular yang bergerak-gerak. Tatkala Musa memukulkan tongkat tersebut ke laut maka lautpun terbelah dan menjadi sebuah jalan yang bisa dilewati Musa beserta kaumnya. Sebagaimana pula Allah mampu membelah bulan untuk penutup para Rasul, Muhammad sollallohu ‘alaihi wa sallam, menjadikan pohon bisa mengucapkan salam kepada beliau ketika melewatinya. Dia menjadikan hewan bersaksi atas kerasulan beliau di hadapan beliau dengan suara yang bisa didengar manusia. Hewan itu berkata: Aku bersaksi engkau utusan Allah. Beliau pernah diperjalankan di atas Buraq dari masjid Haram ke masjid Al Aqsa. Kemudian beliau dimi’rojkan ke langit ditemani malaikat Jibril hingga sampai di atas langit. Lalu Allah ta’aala berbicara kepada beliau dan mewajibkan sholat atas beliau. Kemudian kembali ke masjid Al Haram di bumi. Beliau melihat di perjalanan para penghuni langit. Semua itu terjadi hanya pada tempo semalam sebelum terbit fajar. Kisah Isra’ Mi’raj ini masyhur baik di Al Qur’an, hadits maupun buku-buku sejarah.
Di antara sifat Allah ta’ala: Mendengar, melihat, ilmu, qudrah (kuasa), iradah (kehendak). Dia mendengar dan melihat segala sesuatu. Tidak ada hijab apapun yang menghalang-halangi pendengaran dan penglihatan-Nya.
Allah mengetahui apa yang ada di dalam rahim dan apa yang tersembunyi dalam dada, apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Dialah yang Maha Kuasa lagi Maha berkehendak yang jika menghendaki sesuatu tinggal berkata: “Kun” (Jadilah) maka terjadi.
Di antara sifat Allah Ta’ala yang Dia sifatkan untuk diri-Nya: Berbicara sesuai apa yang dikehendaki-Nya dan kapan saja Dia berkehendak. Allah telah berbicara kepada Musa ‘alaihis salam berbicara kepada Rasul sollallohu ‘alaihi wa sallam dan Al Qur’an merupakan kalam Allah baik huruf maupun maknanya yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya Muhammad sollallohu ‘alaihi wa sallam. Jadi ia merupakan satu sifat diantara sifat-sifat-Nya. Bukan makhluk sebagaimana yang dikatakan kaum Mu’tazilah yang sesat.
Di antara sifat Allah Ta’ala yang Dia sifatkan bagi diri-Nya dan disifatkan pula oleh Rasul-Nya: wajah, dua tangan, istiwa’ (bersemayam), turun, ridho dan marah. Allah ridho terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin dan murka terhadap orang-orang kafir serta orang-orang yang mengerjakan hal-hal yang mengakibatkan murka-Nya. Ridho dan murka-Nya sebagaimana sifat-sifat yang lain, tidak serupa dengan sifat makhluk, tidak boleh dita’wilkan maupun didiskripsikan.
Dinyatakan dalam Al Qur’an dan As Sunnah bahwa orang-orang mukmin kelak melihat Allah ta’ala dengan mata kepala di padang mahsyar dan di surga. Sifat-sifat Allah ta’ala disebutkan secara rinci dalam Al Qur’an dan hadits-hadits Rasul sollallohu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya anda merujuk kepadanya.

Sepuluh Bukti Allah itu Ada...

Abdur Rohman bin Hammad 

Ketahuilah wahai manusia yang berakal, sesungguhnya Rob anda yang menciptakan anda dari mulanya tidak ada dan telah mendidik anda dengan nikmat-Nya adalah (Allah) Rob semesta alam. Dan orang-orang berakal mereka beriman pada Allah Yang Maha tinggi[[2]], mereka tidak melihat-Nya dengan mata kepala mereka, namun mereka telah melihat bukti-bukti yang menunjukkan akan keberadaan-Nya, dan bahwa Dia adalah Pencipta yang Mengurus semua yang ada, mereka mengenalnya dengan bukti-bukti itu. Diantara bukti-bukti itu adalah :

Bukti yang pertama :
Keberadaan manusia dan kehidupan: dia adalah sesuatu yang baru yang memiliki permulaan dan akhir, membutuhkan pada yang lain. Sedangkan sesuatu yang baru dan butuh pada yang lain ia adalah makhluq, dan makluq itu harus ada yang menciptakanya, dan Pencipta (Khaliq) yang Maha Agung ini adalah ( Allah ).
Dan Allah adalah yang telah mengabarkan akan Dzat-Nya  yang Suci sendiri, bahwasanya Dialah Pencipta ( Khaliq ), Yang Mengurus semua yang ada, sedangkan kabar ini datangnya dari Allah Ta’ala dalam kitab-kitab-Nya, yang telah diturunkan pada para Rasul-Nya.
Dan Rasulullah telah menyampaikan Firman-Nya pada manusia, mengajak mereka untuk beriman pada-Nya dan hanya beribadah pada-Nya.
Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang Agung:

}إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ{ (54) سورة الأعراف

Sesungguhnya Rob kalian semua adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam masa enam hari, kemudian Dia bersemayam diatas Arsy.Dia menutupkan malam pada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakannya pula_ matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk pada perintah-Nya, Ingatlah menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah, Maha suci Allah Rob semesta alam “. (QS, 7;54)

Makna secara umum dari ayat yang mulia ini : “ Allah mengabarkan pada seluruh manusia bahwa Dia adalah Rob mereka yang telah menciptakan mereka dan menciptakan langit dan bumi dalam enam hari[1] dan mengabarkan bahwa Dia Bersemayam diatas Arsy-Nya.[2]
Dan Arsy itu diatas langit, sedangkan arsy itu merupakan makluq yang tertinggi dan terluas, Dan Allah berada diatas Arsy ini, Allah bersama seluruh makhluqnya dengan Ilmu-Nya, Pendengaran-Nya dan Penglihatan-Nya.
Tidak ada sesuatu urusan makhluqpun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah yang Maha Perkasa mengabarkan bahwa Dia menjadikan malam menutup siang dengan kegelapannya, kemudian siang mengikutinya dengan cepat, Diapun mengabarkan bahwa Dia menciptakan matahari, bulan dan bintang-bintang, semuanya tunduk dan berjalan diatas peredarannya dengan perintah-Nya, dan Allah mengabarkan juga bahwa hanya bagi-Nya lah urusan penciptaan dan pengaturan alam semesta ini, Dia  yang Maha Sempurna Dzat dan sifat-sifat-Nya, yang memberikan kebaikan yang banyak dan terus-menerus, dan Dialah Rob alam semesta yang menciptakan mereka dan mendidiknya dengan nikmat-Nya.
Allah Ta’ala Berfirman :

}وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ {(37) سورة فصلت

“ Dan sebagaian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang, matahari dan bulan . Janganlah bersujud pada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan,tapi bersujudlah pada Allah, yang menciptakannya,  jika kamu hanya kepada-Nya berserah diri “.  (QS, 41;37)



Makna ayat yang mulia secara umum.

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa diantara tanda yang menunjukkan akan kekuasaan-Nya adalah : malam dan siang, matahari dan bulan dan Allah melarang untuk sujud pada matahari, dan bulan karena keduanya adalah makhluq sebagaimana makhluq yang lainnya, makhluq itu tidak layak untuk disembah, sedangkan sujud termasuk jenis ibadah. Dan pada ayat ini Allah memerintahkan pada manusia, sebagaimana memerintahkan mereka  selainnya, supaya mereka hanya bersujud pada-Nya saja, karena Dialah Pencipta, Pengatur yang berhak diibadahi.

Bukti yang kedua.
Bahwa dia telah menciptakan laki-laki dan perempuan: keberadaan perempuan dan lelaki adalah sebagai bukti akan adanya Allah.
Bukti yang ketiga.
Perbedaan bahasa dan warna kulit: tidak pernah didapati dua orang yang suaranya satu atau warna kulitnya sama, tapi pasti ada perbedaannya antara keduanya.
Bukti yang keempat.
Perbedaan nasib: Yang ini kaya, yang ini miskin, yang ini pemimpin dan yang itu yang dipimpin (rakyat) padahal mereka semuanya sama-sama memiliki akal, pikiran dan ilmu dan menginginkan apa apa yang tidak bisa dicapai seperti kaya, kemuliaan, istri yang cantik, namun tidak ada seorangpun yang mampu mencapai kecuali yang di taqdirkan Allah untuknya, hal itu karena hikmah yang besar yang telah dikehendaki Allah Swt. Dan semua ini adalah ujian bagi manusia satu sama lain dan kebutuhan manusia satu sama yang lain sehingga tidak hilang kemaslahatan mereka semua.
Dan bagi yang tidak ditaqdirkan oleh Allah bernasib baik didunia, Allah mengabarkan bahwa Allah memberikan padanya nasib baiknya sebuah tambahan didalam kenikmatannya di sorga jika ia mati dalam kondisi iman pada Allah, Allah telah memberi orang fakir suatu keistemewaan yang bisa dinikmati jiwa dan kesehatan, yang kebanyakan tidak didapatkan pada orang-orang  yang kaya dan ini merupakan kebijaksanaan dan keadilan Allah .

Bukti kelima.
Tidur dan mimpi benar yang Allah tampakkan didalamnya kepada orang yang tidur suatu perkara ghaib sebagai berita gembira atau peringatan.
Bukti keenam.
Ruh dimana tidak ada yang mengenal hakekat ruh selain Allah saja.
Bukti ketujuh.
Manusia berikut yang ada di tubuhnya berupa panca indra, urat saraf, otak, alat pencernaan dan selainnya.
Bukti kedalapan.
Allah menurunkan hujan pada tanah mati lalu muncullah tetumbuhan serta pepohonan beraneka ragam bentuk, corak, manfaat dan rasanya. Ini merupakan sedikit diantara ratusan bukti yang Allah Ta’ala sebutkan dalam Al Qur’an  dan yang Dia khabarkan bahwa semua itu merupakan bukti kuat akan eksistensi Allah dan bahwa Dialah Pencipta sekaligus Pengatur seluruh makhluk yang ada.
Bukti kesembilan.
Fitrah yang Allah ciptakan pada manusia mengakui akan eksistensi Allah sebagai Pencipta dan Pengaturnya. Siapa yang mengingkari hal itu berarti dia hanya mencelakakan dirinya sendiri. Orang atheis misalnya, hidup di dunia ini dalam keadaan celaka sedang tempat kembalinya kelak setelah kematian adalah neraka sebagai balasan dia mendustakan Robbnya yang telah menciptakan dirinya dari awalnya tidak ada dan memeliharanya dengan berbagai macam nikmat. Kecuali kalau dia mau bertaubat kepada Allah dan beriman kepada-Nya, agama serta Rasul-Nya.
Bukti kesepuluh.
Berkah, yaitu semakin bertambah banyaknya pada sebagian makhluk seperti kambing. Sedang kebalikan berkah adalah gagal sebagaimana pada binatang anjing dan kucing. 


[1]] Alloh adalah nama khusus untuk Ilaah [Dzat Yang berhak disembah] alam semesta dan manusia, dan segala sesuatu,  dan nama ini nama ‘alam Alloh memberikan nama diri-Nya yang suci artinya llah Yang Haq.
[2]] Ta’aala kata pengagungan dan pujian untuk Alloh, Dia disifati dengan ketinggian dan kesucian dari segala kekurangan, dan kata : subhaanahu artinya Sucilah Alloh dan terbebas dari segala kekurangan.
1] Tahapan dalam pencitaan ini, karena hikmah yang dikehendaki oleh Allah, padahal Dia mampu menciptakan seluruh makhluq lebih cepat dari kejapan mata, sebab Dia telah memberitakan jika berkehendak untuk menciptakan sesuatu cukup dengan mengatakan “Jadilah” maka jadilah.
2]Istiwa’ dalam bahasa arab yang dia bahasa Al-Qur’an maknanya : Diatas dan tinggi, sedangkan istiwa’ (bersemayamnya) Allah diatas Arsy-Nya ia Ketinggiannya diatas arsy yang sesuai dengan kebesaran-Nya, dan tidak ada yang tahu akan bagaimana istiwa’Nya selain Dia. Dan bukanlah maknanya menguasai, menguasai kerajaan, sebagaimana anggapan orang-orang yang sesat yang mereka mengingkari hakikat dari sifat yang Allah sifatkan bagi Diri-Nya, dan yang disifatkan oleh Rasul-Nya, karena anggapan bahwa  jika mereka menetapkan sifat Allah atas hakikatnya, mereka menyerupakan-Nya dengan makluq-Nya, dan ini merupakan anggapan yang rusak, karena penyerupaan itu adalah jika dikatakan : “ dia itu menyerupai begini atau serupa begini dari sifat-sifat makluq-Nya. Adapun menetapkan sifat dari sisi yang layak dengan Allah dengan tidak menyerupakan, mengumpamakan, membagaimanakan, dan meniadakan makna, dan menta’wilkan itu adalah cara yang ditempuh para Rasul yang diikuti oleh ulama’ salaf shaleh. Itulah kebenaran yang  seharusnya orang yang beriman berpegang teguh dengannya, sekalipun kebanyakan manusia meninggalkannya.

Minggu, 26 Juni 2011

Problematika Hadits Ahad

Oleh : Abdullah

 
I. Definisi hadits ahad
 
Hadits ahad adalah hadits yang tidak terpenuhi  di dalamnya syarat-syarat Mutawatir, hadits Ahad terbagi menjadi tiga yaitu Masyhur, ‘Aziz dan Ghorib. Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih selama tidak sampai kepada derajat mutawatir.
 
‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah itu hanya ditemui pada salah satu tobaqot sanad. Ghorib adalah  hadits yang diriwayatkan oleh seorang rowi walaupun hanya dijumpai pada salah satu tobaqot sanad.
 
II. Hukum hadits Ahad dan dalil-dalilnya.
 
Ulama hadits bersepakat akan wajibnya beramal dengan hadits Ahad, kata  Ibnu ‘Abdil Barr (463H) :”Para ulama dari ahli fiqih dan atsar diseluruh negri  bersepakat untuk menerima kabar wahid yang adil dan mewajibkan beramal  dengannya, diatas pendapat inilah seluruh fuqoha disetiap masa dari masa sahabat sampai hari ini kecuali khowarij dan sekelompok dari ahli bid’ah yang  tidak dianggap khilafnya”. (Attamhiid 1/2)
 
Kata Alkhothiib albaghdady (463H) :”dan beramal dengan kabar wahid adalah pendapat seluruh tabi’in dan generasi setelahnya dari para fuqoha diseluruh  negri sampai zaman ini dan belum sampai kepada kami bahwa salah seorang dari mereka mengingkarinya tidak juga menentangnya, jadi jelas keyakinan mereka seluruhnya adalah wajibnya menerima (hadits ahad)…” (Alkifayah hal.31).
 
Kata alhafidz Ibnu Hajar (852H) :”Para ulama bersepakat akan wajibnya beramal dengan setiap yang sah dari kabar walaupun tidak dikeluarkan oleh Bukhary dan  Muslim (dalam sahih mereka)”. (Nuzhatunnadzor : )
 
CATATAN 
kata-kata mereka “wajib menerima hadits ahad” tercakup di dalamnya masalah ‘aqidah maupun ahkaam dan ini adalah madzhab seluruh ahlussunnah, kata  Ibnu ‘Abdilbarr (463H) :” dan semuanya (ahli fiqih dan atsar) meyakini kabar  wahid yang adil dalam ‘aqidah, memusuhi dan berloyalitas diatasnya dan menjadikannya sebagi syari’at dan agama dalam keyakinannya dan itulah pendapat jama’ah ahlussunnah…” (Attamhiid 1/8)
 
Ketika Imam Ahmad ditanya tentang hadits ru’yah (melihatnya kaum mukminin kepada Allah pada hari kiamat) jawab beliau :”hadits-hadits yang sahih kita imani dan tetapkan, dan setiap yang diriwayatkan dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam dengan sanad yang jayyid kita imani dan tetapkan”. (Syarah ushul I’tiqod oleh Allalikaiy 3/507 no.889) Beliau tidak mensyaratkan mutawatir dalam kabar tapi beliau hanya mensyaratkan sahih saja.
 
Kata ‘Abbaas adduury :”Saya mendengar Aba Ubaid alqoosim bin salaam menyebutkan bab yang diriwayatkan didalamnya hadits ru’yah, hadits kursi tempat dua kaki, hadits tertawanya Allah kepada hambanya yang berputus asa, hadits dimana Allah sebelum menciptakan langit dan bumi, hadits bahwa jahannam tidk pernah penuh sampai Allah memasukan kaki-Nya kedalamnya sehingga jahannam mengatakan : “ cukup ! cukup! “, dan hadits-hadits lainnya yang serupa, kata beliau : “ Ini adalah hadits-hadits shohih yang dibawa oleh ahli hadits dan ahli fikih sebagian mereka dari sebagian lainnya dan semuanya disisi kami benar tidak ada keraguan  didalamnya “. (Riwayat daaroqutny dalam kitab Assifat hal . 41-42) 
 
Ahmad bin Nashr bertanya kepada Sufyan bin uyainah : “ bagaimana pendapat anda tentang hadits Abidah dari Abdullah dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwa Allah membawa langit dengan jari, bumi dengan jari, juga hadits bahwa hati  manusia diantara dua jari Arrohman dan hadits bahwa Allah kagum dan tertawa ? “ Jawab Imam Sufyan :”hadits-hadits itu sebagaimana dzohirnya kita imani dan sampaikan tanpa bertanya bagaimana ( tata cara sifat tersebut ) “. (Riwayat Daarokutny dalam sifat Assifat 41-42).
 
Kata Imam Al-Aajurry setelah menyebutkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa  Allah tertawa :” Dan semua hadits-hadits ini kita imani, tanpa bertanya  bagaimana (tata caranya) karena para ulama yang menukil hadits-hadits ini mereka pula yang menukil hadits-hadits tentang thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan seluruh hokum halal dan haram, para ulamapun menerimanya dengan penerimaan yang baik dan tidak menolak hadits-hadits ini, kecuali mereka yang berpegang dengan madzhab mu’tazilah, barang siapa yang memungkiri dan menolak hadits-hadits ini, atau bertanya bagaimana tata caranya maka tuduhlah dia dan berhati-hatilah darinya”. (Assyari’ah 2/61-62 Tahqiq Alwaliid bin Muhammad bin Nabih seif Annaashir)
 
Kata beliau juga ketika akan menyebutkan hadits-hadits tentang turunnya Allah kelangit dunia :”Mengimaninya adalah wajib, dan tidak boleh bagi seorang Muslim yang berakal untuk bertanya bagaimana tata cara turunNya ? dan tidak ada yang menolaknya kecuali mu’tazilah, adapun ahlulhaq mereka mengatakan :”Beriman kepadanya adalah wajib tanpa bertanya bagaimana tata caranya, karena kabar dari Rosulullah sallallahu’alaihi wasallam telah sahih bahwa Allah turun kelangit dunia setiap malam, dan para ulama yang menukil kabar ini adalah mereka yang menukil hadits-hadits tentang hokum halal dan haram,shalat, puasa, haji dan jihad, sebagaimana para ulama menerima hadits-hadits ini merekapun menerima hadits-hadits tentang turunnya Allah kelangit dunia, mereka juga mengatakan :”Barang siapa yang menolaknya maka dia sesat dan khobiits (jelek), mereka berhati-hati darinya dan memperingatkan umat akan kesesatannya”. (Assyarii’ah 2/93)
 
Kemudian beliau menyebutkan perkataan para ulama diantaranya perkataan imam Syariik alqadly ketika disebutkan kepada beliau hadits turunnya Allah kelangit dunia :”Sesungguhnya orang yang membawa hadits ini adalah mereka yang membawa dari Rosulullah hadits-hadits tentang shalat, puasa, zakat dan haji, dengan hadits-hadits 
ini kita dapat mengenal Allah”. 
 
Kata Imam Asysyafi’iy :”Tidak ada dalam sunnah Rosulullah kecuali kita  diperintahkan oleh Allah untuk mengikutinya, adapun masalah bagaimana (tata cara sifat-sifat Allah) yang telah ditunjukkan oleh sunnah bukanlah pekerjaan seorang ‘alim”.
 
Kata Imam Ishaq bin Manshur alkausaj setelah mengatakan kepada imam Ahmad tentang hadits turunnya Allah kelangit dunia, hadits bahwa ahli syurga akan  melihat Allah, juga hadits larangan memukul muka karena Allah menciptakan Adam dengan rupanya, hadits pengaduan neraka kepada Allah sehingga Allah meletakkan kakiNya kedalam neraka, dan hadits bahwa Nabi Musa menempeleng malaikat maut, kata beliau :”hadits-hadits ini sahih, tidak ada yang mengingkarinya kecuali ahli bid’ah atau orang yang lemah akal”. (Assyarii’ah 2/93).
 
Kata Ibnu Taimiyah setelah menyebutkan hadits bahwa Allah turun kelangit dunia, dan hadits bahwa Allah gembira melihat hambanya yang bertaubat, juga hadits  bahwa Allah tertawa kepada dua orang yang saling membunuh dan kedua-duanya masuk syurga, dan hadits bahwa Allah meletakkan kakinya dineraka ,sehingga neraka mengatakan :” 
cukup ! cukup ! serta hadits-hadits lainnya, kata beliau :”Sesungguhnya golongan yang selamat –ahlussunnah- mengimaninya  sebagaimana mereka mengimani alqur’an, tanpa tahrif dan ta’thil, tanpa takyif  dan tamtsil, bahkan mereka adalah golongan tengah-tengah.

Urgensi Niat Ikhlas



عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ    يَقُوْلُ: (( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )) [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري و أبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb ra, dia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap orang pun (akan dibalas) sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)


Catatan Penting:
1.    Diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, Mus-lim, Ashhāb as-Sunan dan lainnya.
Pada mulanya diriwayatkan secara ta-farrud (menyendiri, hadits ahad), yaitu ha-nya diriwayatkan oleh ‘Umar, kemudian oleh ‘Alqamah bin Abī Waqqāsh, kemu-dian oleh Muhammad bin Ibrāhīm at-Tay-miy, kemudian oleh Yahyā bin Sa’īd al-Anshāriy, kemudian setelah itu baru diri-wayatkan oleh banyak perawi.
Hadits ini termasuk hadits sangat me-ngagumkan yang tercantum dalam Shahīh al-Bukhāriy sekaligus sebagai hadits pe-ngantar. Demikian juga beliau menutup kitabnya dengan hadits yang sangat meng-agumkan pula, yaitu hadits yang diriwa-yatkan oleh Abū Hurayrah rda:
(( كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ... ))
“Ada 2 (dua) kalimat yang disukai oleh al-Rahmān, yaitu…”
2.    Imam an-Nawawiy memulai ‘Ar-ba’īn-nya dengan hadits ini.
Banyak pula di antara para ulama yang memulai kitabnya dengan mencantumkan hadits ini, di antaranya adalah Imam al-Bukhāriy dalam Shāhih-nya, ‘Abd al-Ghaniy al-Maqdisiy dalam ‘Umdah al-Ahkam, al-Baghawiy dalam Syarh as-Sunnah dan Ma-shābīh as-Sunnah, dan as-Suyūthiy dalam al-Jāmi’ ash-Shaghīr.
Imam an-Nawawiy dalam bagian awal kitab al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab (1/35) mengemukakan sebuah pasal yang me-ngupas hadits ini, kemudian berkata:
“Pasal tentang ikhlash, jujur dan mengha-dirkan niat ketika mengerjakan setiap amal perbuatan, yang nampak nyata dan terlihat maupun yang samar tersembunyi. Kemudian beliau mengemukakan 3 (tiga) ayat al-Qur’an, lalu hadits “Sesungguhnya setiap amal perbu-atan tergantung pada niatnya”, dengan mem-berikan komentar: “Hadits ini telah disepakati keshahihan dan keagungan kedudukannya. Ha-dits ini merupakan salah satu poros dan pilar keimanan, bahkan sebagai rukun utamanya”
Imam asy-Syāfi’iy berkata:
“Hadits ini merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih”, dan di lain waktu beliau berkata:
“Hadits ini menghimpun sepertiga ilmu”, dan ungkapan senada seperti ini telah di-kemukakan pula oleh para ulama lainnya.
Hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi pilar agama, meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan bilangan hadits-hadits tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat 3 (tiga) ha-dits, 4 (empat) hadits, 2 (dua) hadits dan ada pula yang menyatakan hanya 1 (satu) hadits saja. Dan saya telah menghimpun hadits ini berjumlah 40 (empat puluh)-an hadits. Barangsiapa yang ingin mengeta-hui ajaran agamanya, maka hadits-hadits tersebut telah mencukupinya, karena se-muanya adalah hadits-hadits shahih dan sekaligus sebagai hadits-hadits yang meng-himpun kaedah-kaedah Islam, baik dalam ushūl (pokok) maupun furū’ (cabang), ten-tang zuhud, adab, akhlak dan lainnya. Dalam kitab saya, saya memulainya de-ngan hadits ini karena ingin meneladani para imam salaf terdahulu. Penghulu para imam ahli hadits, Imam Abū ‘Abdillah al-Bukhāriy, memulai Shāhih-nya dengan hadits ini. Dan diriwayatkan bahwa para imam ahli hadits sangat menyenangi un-tuk memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Tujuannya adalah untuk meng-ingatkan para pencari ilmu agar senanti-asa meluruskan dan membenarkan niatnya, yaitu hanya untuk mengharapkan wajah Allah swt dalam setiap amal perbuatannya, yang nampak nyata maupun yang tersem-bunyi. Diriwayatkan bahwa Imam Abū Sa’īd ‘Abdur Rahmān bin Mahdiy berkata:
“Seandainya saya menulis sebuah kitab, maka dalam setiap babnya akan saya cantum-kan hadits ini”, dan diriwayatkan pula bah-wa beliau berkata:
“Barangsiapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka hendaknya ia memulainya dengan hadits ini”
Imam Abū Sulaymān Hamd bin Mu-hammad bin Ibrāhīm al-Khaththābiy asy-Syāfi’iy dalam kitab al-Ma’ālim-nya berkata:
“Guru-guru kami terdahulu sangat me-nyukai untuk memulai berbagai pembahasan tentang masalah agama dengan hadits ini, ka-rena hadits ini berkaitan erat dengan berbagai persoalan”
Ibnu Rajab dalam Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam (1/61) berkata:
“Para ulama telah berkonsensus tentang keshahihan hadits ini dan menerimanya dengan bulat hati. Bahkan al-Bukhāriy memulai Sha-hīh-nya dengan hadits ini dan menjadikannya sebagai pengantar. Hal ini memberikan isya-rat bahwa semua amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencapai wajah Allah adalah amal perbuatan yang batil dan tidak akan ber-manfaat sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat”
3.    Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini merupa-kan salah satu hadits yang menjadi men-jadi pilar agama. Diriwayatkan bahwa Imam al-Syāfi’iy berkata: “Hadits ini merangkum sepertiga ilmu, dan merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih” Dan diriwayatkan pula bahwa Imam Ahmad berkata:
“Pilar agama Islam terangkum dalam 3 (tiga) hadits, yaitu:
·      Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung
pada niatnya…”,
·      Hadits ‘Āysyah Barangsiapa yang meng-ada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka amalan tersebut pasti tertolak”,
·      Hadits an-Nu’mān bin Basyīr “Sesung-guhnya hal yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas…”.
Dan ketika mengomentari pendapat Imam Ahmad, beliau (1/71) berkata:
“Bahwa seluruh pembahasan masalah aga-ma bertumpu pada prinsip melaksanakan pe-rintah, meninggalkan larangan dan tidak men-jerumuskan diri mengikuti yang samar, dan hal ini akan sempurna apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
·      Zhāhir amal (yang terlihat nyata) harus sesuai dengan as-Sunnah, dan hal ini terangkum dalam hadits ‘Āysyah “Ba-rangsiapa yang mengada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bu-kan (berasal) darinya, maka amalan terse-but pasti tertolak”
·      Bāthin amal (dalam hati) harus dimak-sudkan hanya untuk mengharap wajah Allah swt semata. Dan hal ini terang-kum dalam hadits ‘Umar “Sesungguh-nya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya”
Ibnu Rajab (1/61-63) ketika mengemu-kakan berbagai komentar para ulama ten-tang hadits-hadits yang menjadi dasar pi-jakan Islam, beliau berkata:
“Di antara para ulama ada yang berpen-dapat bahwa hadits-hadits tersebut berjumlah 2 (dua) hadits, 4 (empat) hadits, dan ada pula yang menyatakan ada 5 (lima) hadits saja. Di antara hadits-hadits yang mereka kemukakan selain 3 (tiga) hadits yang telah disebutkan di atas, adalah:
·      Hadits “Sesungguhnya setiap kalian di-kumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari…….”,
·      Hadits “Di antara tanda baiknya keislam-an seseorang adalah ketika dia meninggal-kan sesuatu yang tidak berguna baginya”,
·      Hadits “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, dan tidak akan menerima kecuali yang baik…”,
·      Hadits “Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga dia men-cintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”,
·      Hadits “Apa yang aku larang bagi kalian hendaklah kalian menghinda-rinya dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian”,
·      Hadits “Zuhudlah terhadap dunia, maka engkau akan dicintai Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada orang lain, maka engkau akan dicintai orang”, dan
·      Hadits “Agama Islam adalah nasehat…”.
4.    Sesungguhnya setiap amal perbuatan ter-gantung pada niatnya”, Innamā adalah huruf al-hashr (membatasi apa yang disebutkan setelahnya), adapun alīf lām dalam al-a’māl adalah untuk menunjuk-kan hal yang berkaitan khusus dengan masalah taqarrub (taat) kepada Allah swt.
Namun ada pula pendapat yang me-nyatakan bahwa alīf lām tersebut adalah untuk menunjukkan setiap amalan yang bersifat umum.
Oleh karena itu, apabila amal perbu-atan tersebut termasuk bentuk taqarrub ke-pada Allah swt, maka pelakunya pasti akan mendapatkan pahala kebaikan. Dan apa-bila amal perbuatan tersebut termasuk adat kebiasaan, seperti makan, minum dan ti-dur, apabila pelakunya ingin mendapatkan pahala kebaikan, maka hendaknya dia me-niatkan amal kebiasaan tersebut dalam rangka menunjang ketaatan kepada Allah. Alif lam dalam an-niyyāt adalah pengganti dari dhamīr (kata ganti) , yaitu bahwa al-a’māl bi niyyātihā. an-Niyyah atau niat se-cara morfologis berarti al-qashd (maksud, kehendak atau tujuan), yang berfungsi se-bagai pembeda antara beragam jenis iba-dah, seperti pembeda antara fardhu yang satu dengan jenis fardhu lainnya, atau an-tara yang fardhu dengan nāfilah (sunnah), dan pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti mandi ibadah apabila diniatkan untuk menghilangkan junūb de-ngan mandi kebiasaan yang hanya bertu-juan untuk menyegarkan dan membersih-kan badan.
5.    “Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya”, maka Ibnu Rajab (1/65) berkata:
“Ungkapan ini merupakan penjelasan yang menerangkan bahwa pelaku perbuatan akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Apabila niatnya baik, maka pahalanya adalah kebaikan. Dan apabila niatnya jelek, maka pa-halanya adalah kejelekan (dosa) pula. Ungkapan ini bukan merupakan pengulangan dari ung-kapan pertama (sebelumnya), karena ungkapan pertama hanya menunjukkan bahwa kebaikan atau kejelekan suatu amal perbuatan adalah sesuai dengan niat yang dikehendaki. Sedang-kan ungkapan kedua menunjukkan bahwa pa-hala pelaku amal perbuatan adalah tergantung kepada niat baiknya, demikian pula dosanya adalah dikarenakan niatnya yang jelek. Dan bisa jadi niatnya adalah niat yang mubah, ma-ka amalnyapun bernilai mubah, tidak bernilai kebaikan dan tidak juga bernilai dosa. Nilai suatu amal perbuatan, baik, buruk atau mubah tergantung kepada niat yang menjadi pendo-rong adanya amal perbuatan tersebut. Demi-kian pula halnya dengan pahala, dosa dan ke-selamatan pelaku amal perbuatan, maka ter-gantung kepada niatnya, karena hanya dengan niatlah suatu amal perbuatan da-pat dinilai sebagai amal yang baik, jelek ataupun mubah”
6.    “Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wa-nita yang ingin dinikahinya, maka hijrah-nya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, hijrah berasal dari akar kata al-hajr, yang berarti at-tark (meninggal-kan). Oleh karena itu, hijrah adalah me-ninggalkan negeri yang diliputi keta-kutan menuju negeri yang aman ten-teram, seperti hijrah dari Mekkah ke Habasyah. Atau hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam, seperti hijrah dari Mekkah ke Madinah, sehingga hijrah tersebut berakhir manakala Mekkah telah berhasil ditaklukkan. Hijrah da-pat pula berarti hijrah dari negeri syi-rik ke negeri Islam, dan hijrah ini akan tetap berlaku hingga datangnya hari kiamat.
“Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya”, dalam ungkapan ini ter-himpun antara sesuatu yang menjadi sya-rat dengan jawabannya, padahal hukum asalnya adalah harus terpisah. Maka mak-nanya adalah: “Barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka pahala hijrahnya ada di sisi Allah dan Rasul-Nya”, dari sini jelaslah bahwa an-tara syarat dan jawabannya ternyata kali-matnya terpisah.
Ibnu Rajab (1/72) berkata:
“Ketika Rasulullah menjelaskan bahwa se-tiap amal perbuatan sesuai dengan niatnya, dan bahwa hasil jerih-payah seseorang dalam me-ngerjakan amal perbuatan adalah berdarkan niatnya, baik atau buruknya, maka kedua ung-kapan berikut merupakan ungkapan umum lagi menyeluruh, bahwa amal apapun tidak akan pernah lepas darinya (yaitu niat). Oleh karena itu, maka kemudian beliau menyebut-kan salah satu contoh amal perbuatan yang memiliki bentuk yang sama, namun mempu-nyai hasil yang berbeda, sesuai dengan baik dan buruknya niat amal tersebut. Sehingga seakan-akan Rasullah bersabda bahwa “Setiap amal perbuatan mempunyai hasil yang sama persis dengan contoh yang ada dalam permi-salan””
Dan beliau (1/73) berkata:
“Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan bahwa hijrah mempunyai pahala yang berbeda-beda, sesuai perbedan niat dan maksudnya. Barangsiapa yang hijrah ke negeri Islam ka-rena cinta Allah dan Rasul-Nya, atau karena ingin mempelajari agama Islam, dan membela agama-Nya, ketika di negeri syirik dia tidak sanggup mengerjakannya, maka dia telah ber-hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya secara ha-kiki. Dan cukuplah ia untuk mendapatkan ke-banggaan dan kemuliaan manakala ia menda-patkan pahala hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya, yaitu diterima di sisi Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, jawaban dari syarat yang disebutkan akhirnya diulang de-ngan kata syarat itu sendiri. Hal ini dikarena-kan tujuan yang ingin dicapainya tiada lain adalah tujuan tertingginya, yaitu demi keba-ikan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang hijrahnya dari negeri syirik ke negeri Islam hanya untuk mencari ke-pentingan duniawi yang ingin diraihnya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuannya tersebut. Niat pertama adalah niat seorang pedagang, dan niat kedua adalah niat seorang yang hendak melamar ke-kasihnya, maka keduanya tidaklah dapat dise-but sebagai seorang muhājir. Di dalam ung-kapan “…maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, adalah ungkapan penghinaan dan pendiskreditan terhadap tu-juan duniawi yang menjadi incarannya, karena Rasulullah tidak menyebutkan kalimat yang menjadi syaratnya. Di samping itu, hal ini berarti bahwa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah satu dan tidak akan terbagi-bagi, karena ungkapan jawabnya menggunakan ung-kapan yang sama dengan ungkapan syarat. Hijrah karena kepentingan duniawi tidak ada batasnya, karena seseorang yang berhijrah ka-rena kepentingan duniawi bisa jadi karena hen-dak meraih kepentingan yang dibolehkan, atau pun kepentingan duniawi yang diharamkan. Oleh karena itu jenis kepentingan duniawi yang menjadi tujuan hijrah tidak ada batasnya, maka Rasulullah bersabda dengan ungkapan “…ma-ka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan-nya tersebut”, yaitu hal apapun yang menjadi tujuan hijrahnya”
7.    Ibnu Rajab (1/74-75) berkata:
“Sudah sangat terkenal bahwa kisah ten-tang seorang laki-laki yang berhijrah karena hendak menikah Ummu Qays adalah yang men-jadi penyebab sabda Rasulullah Dan barang-siapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya…”. Hal ini bahkan banyak disebutkan oleh para ulama khalaf da-lam buku-bukunya, namun saya berpendapat bahwa kisah ini tidak memiliki landasan yang benar. Wallahu A’lam”
8.    Tempat niat ada di dalam hati, maka melafazhkannya termasuk perbuatan bid’ah.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk melafazkan niat dalam setiap amal ketaatan, apapun bentuknya, kecuali da-lam haji dan ‘umrah. Karena ketika haji atau ‘umrah, seseorang yang mengucap-kan talbiyyah harus meniatkan tujuannya, apakah qirān, ifrād ataupun tamattu’, dengan mengucapkan “Labbayk ‘Umratan wa Haj-jan” atau “Labbayk Hajjan” atau “Labbayk ‘Umratan”, karena hal ini ada dasar hadits-nya, se-dangkan amal ibadah lainnya tidak ada penjelasannya.

Faedah Hadits:
1.    Tidak akan pernah ada amal perbuatan kecuali disertai dengan niat.
2.    Amal perbuatan tergantung niatnya.
3.    Pahala seseorang yang mengerjakan suatu amal perbuatan sesuai dengan niatnya.
4.    Seorang ‘ālim (guru, ustadz atau pendidik) diperbolehkan memberikan contoh ke-tika menerangkan dan menjelaskan.
5.    Keutamaan hijrah, karena Rasulullah saw menjadikannya sebagai contoh dalam permisalan.
Dalam Shahih Muslim (No. 192), dari ‘Amr bin al-‘Āsh rda, bahwa Rasulullah saw bersabda:
(( أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ؟ ))
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa Islam menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Dan engkau pun mengetahui bahwa Hijrah dan haji juga akan menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya?”
6.    Seseorang akan mendapatkan pahala kebaikan, atau dosa, atau terjerumus dalam perbuatan haram adalah dikarenakan niatnya.
7.    Suatu amal perbuatan tergantung wasīlahnya. Maka sesuatu yang mubāh dapat men-jadi suatu bentuk ketaatan dikarenakan niat seseorang, karena ketika mengerjakan-nya diniatkan untuk memperoleh kebaikan, seperti makan dan minum, apabila di-niatkan untuk memperkuat diri dalam ber-buat taat.
8.    Suatu amal perbuatan dapat menjadi kebaikan yang berpahala bagi seseorang, na-mun dapat pula menjadi dosa yang diharamkan bagi seseorang yang lain, adalah dikarenakan oleh niatnya.

/