Jumat, 26 Agustus 2011

Taqabalallohu Minna Wa Minkum

Kesyirikan Dalam Perspektif Madzhab Syafi'i





Ilmu tauhid itu mempunyai pengaruh yang baik dan jelas dalam kehidupan manusia dan masyarakat, dan juga memiliki buah yang matang yang dapat memberikan pengaruh yang sangat bagus dan agung. Antara lain:
  1. Membebaskan Manusia dari Pengabdian kepada Selain Allah.
  2. Menekankan Keseimbangan Antara Perilaku dan Perbuatan.
  3. Mewujudkan Jiwa yang Aman, Damai dan Tangguh
  4. Menanamkan Prinsip Persaudaraan dan Persamaan

Bahaya Kemusyrikan
Apabila tauhid memberi pengaruh dan membuahkan hal-hal yang positif, maka di sisi lain kemusyrikan justru akan mendatangkan bahaya-bahaya dan kerusakan-kerusakan sebagai berikut:
  1. Pelecehan Martabat Manusia. Apabila seseorang menyembah kepada sesama makhluk, selain Allah, sementara makhluk yang disembah itu tidak dapat memberinya manfaat maupun menimpakan bahaya, tetapi ia dijadikan sebagai sesembahan yang ditaati, padahal ia adalah sama-sama makhluk seperti juga yang menyembah, yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa, bahkan terkadang yang disembah itu lebih rendah martabatnya daripada yang menyembah, seperti sapi betina, pohon, batu dan lain-lain; maka apakah layak seorang manusia yang diberi akal dan terhormat melakukan hal seperti itu? Itulah kemusyrikan. Dan apakah ada pelecehan terhadap martabat manusia yang lebih parah dari kemusyrikan itu. 
  2. Membenarkan Khurafat Hal ini dapat terjadi manakala manusia berkeyakinan, bahwa makhluk itu dapat memberikan manfaat dan menimpakan bahaya kepada yang lain, seperti halnya Allah. Kemudian dari keyakinan itu timbul cerita-cerita khurafat, takhayul dan kisah-kisah batil yang tidak dapat diterima oleh akal manusia dan tidak dapat dibenarkan oleh hati sanubari manusia.  
  3. Syirik adalah Kezhaliman yang Terbesar Allah berfirman: Artinya : “Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim” (QS; Al-Baqarah: 254) Allah berfirman: Artinya : “Sesungguhnya kemusyrikan itu adalah kezhaliman yang agung.” (QS;Lukman: 13) Mana ada kezhaliman yang lebih besar daripada sikap seseorang yang diciptakan oleh Allah, tetapi justru ia menyembah selain Allah? Atau ada orang diberi rizki oleh Allah, tetapi justru berterima kasih kepada selain Allah. Zhalim seperti ini adalah menzhalimi diri sendiri, karena ia menjadi terhalang untuk memperoleh kesenangan, kenikmatan dan kehidupan hatinya dari buah tauhid. Sementara di sisi lain, dirinya sendiri dibebani dengan siksaan yang sebenarnya ia tidak mampu memikulnya.  
  4. Syirik Menimbulkan Rasa Takut Hal itu karena orang yang musyrik (menyekutukan Allah dengan yang lain) tidak memiliki rasa percaya kepada Allah, ia juga tidak berserah diri kepada Allah. Ia justru gelisah dengan jiwa tak berketetapan antara klenik, khurafat dan takhayul. Ia takut akan segala sesuatu. Ia khawatir akan kehidupannya dan rezekinya. Ia takut akan segala-galanya dan khawatir terhadap segala-galanya. Inilah kehidupan yang paling buruk.  
  5. Menyebarkan Hal-hal yang Negatif dalam Kehidupan Manusia. Orang yang musyrik selalu tidak percaya kepada diri sendiri, setelah tidak percaya kepada Allah. Ia selalu mengandalkan orang lain sebagai penolong dan perantara, seperti kepercayaan orang-orang Nashrani tentang al-Masih . Akibatnya, banyak potensi yang ada pada dirinya tidak digunakan sama sekali.  
  6. Masuk Neraka Kemusyrikan adalah penyebab utama untuk masuk neraka. Allah , berfiman:
    Artinya : “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72) Tauhid adalah penyebab utama masuk surga. Karena orang yang musyrik tidak mempunyai masa depan kecuali neraka, karena dosa kemusyrikan itu tidak akan diampuni selamanya. Allah berfirman: Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” (An-Nisa: 48)

Inilah bahaya-bahaya kemusyrikan dan pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkannya pada kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kami bermaksud untuk menjelaskan sebagian dari upaya yang telah dilakukan oleh para ulama dari madzhab Syafi’i yang menerangkan masalah syirik, wasilah (penyebab)nya, bentuk-bentuknya dan lain-lain, berdasarkan apa yang kami baca dari kitab-kitab yang mereka tulis.
Ulama Syafi'iyah adalah para ulama dalam masalah fiqih mengikuti seorang imam yang dalam ilmunya, luhur derajatnya, yang merupakan tokoh lapisan generasi ke sembilan dan pembaharu bidang agama pada akhir abad ke dua. Ia salah satu dari imam-imam empat yang banyak pengikutnya, yang dilahirkan pada tahun 150 H. Madzhab Syafi'i ini tersebar di Iraq, Syam, Mesir, Hijaz, Yaman dan lain-lain. Bahkan negara-negara Islam sampai hari ini tetap menjadikan madzhab Syafi'i ini sebagai madzhab resmi negara. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya dan pahala yang agung kepada imam yang mulia ini.

Pengertian Syirik Menurut Ulama Madzhab Syafi'i
  1. Imam al-Azhari asy Syafi’i Beliau mengatakan, Allah menceritakan tentang hamba-Nya yang bernama Lukman al-Hakim, beliau berkata kepada putranya: Artinya : “Janganlah kamu menyekutukan Allah dengan yang lain, karena syirik itu merupakan kezhaliman yang agung.” (QS;Lukman: 13)
    Syirik adalah kamu membuat sekutu bagi Allah dalam ketuhanan-Nya (Rububiah-Nya). Maha Luhur Allah dari sekutu-sekutu dan tandingan-tandingan. Makna (
    لا تشرك) dengan memakai huruf ba’ dalam (بالله) adalah : “kamu jangan menyepadankan Allah dengan yang lain sehingga yang lain itu kemudian kamu jadikan sekutu (kawan) bagi Allah. Begitu pula dalam firman-Nya: Artinya : “… karena mereka menyekutukan Allah (dengan yang lain) yang Alloh sendiri tidak menurunkan hujjah untuk mempersekutukan-Nya.” (QS; Ali Imran: 151) Maka isyrak (menyekutukan) dalam ayat itu adalah menyepadankan Allah dengan yang lain. Dan siapa yang menyepadankan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah musyrik, karena Allah itu satu, tidak ada sekutu, tidak ada tandingan maupun bandingan-Nya.”
     
  2. Imam al-Raghib al-Ishfahani. Beliau menyatakan, “Syirik yang agung adalah menetapkan adanya sekutu bagi Allah. Misalnya, Fulan menyekutukan Allah dengan yang lain. Syirik ini adalah kekafiran yang paling besar.”  
  3. Imam al-Minawi  Beliau mengatakan, “Syirik adalah menyandarkan perbuatan yang hanya Dzat Yang Maha Esa semata berhak melakukannya kepada makhluk yang bukan haknya melakukan perbuatan itu.”  
  4. Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’i  Ketika menjelaskan tentang syirik dan mengingatkan bahayanya, beliau berkata: “Ketahuilah -semoga Allah menjaga saya dan kamu dari kemusyrikan, kekafiran dan kesesatan. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita menuju hal-hal yang disenangi dan diridhai-Nya, baik dalam perkataan maupun perbua-tan-, bahwa syirik itu berlawanan dengan tauhid. Ke-duanya tidak akan bertemu. Seperti halnya kekafiran berlawanan dengan iman, di mana keduanya bertolak belakang. Maka apabila ada orang disebut muwahhid (bertauhid), ini artinya ia meyakini keesaan Allah dan tidak menetapkan bahwa Allah itu punya sekutu. Dan seseorang tidak mungkin dapat disebut bertauhid (mengesakan Allah) dengan tauhid yang dikehendaki Allah, sebelum dia membersihkan diri dari segala se-suatu yang mengandung unsur kemusyrikan kepada Allah (yang disembah).

    Lawan dari muwahhid (bertauhid, mengesakan Allah) adalah musyrik (orang yang menyekutukan Allah dengan lain-Nya). Yaitu yang terlahir dari kemusyrikan meskipun dengan salah satu dari macam-macam syirik, seperti dengan ucapan, sifat-sifat, perbuatan, keyakinan, mu’amalah (pergaulan), persetujuan, dan penilaiannya bahwa syirik itu baik. Begitu pula apabila ia rela mengucapkan atau mendengarkan kata-kata syirik. Orang-orang pada masa jahiliyah, karena dalam ibadah mereka telah melakukan syirik, menyekutu-kan Allah dengan hal-hal yang menurut mereka baik, karena akal mereka tidak berfungsi dan mereka selalu mengikuti kesesatan yang sudah jelas bersumber dari nenek moyang mereka, maka mereka tetap saja selalu menyembah berhala-berhala, patung-patung, pohon-pohon, kuburan, tugu, batu-batu besar, dan lain-lain. Mereka minta keberkahan dari benda-benda tersebut seraya mengharapkan syafa’at (pertolongan) benda-benda itu di sisi Penciptanya. Mereka berlindung kepada benda-benda tersebut, dan berpegang teguh dengan anggapan mereka, bahwa dengan itu, mereka mencukupi makan minum mereka. Dari perbuatan syirik ini kemudian muncul kesesatan-kesesatan yang merupakan cabang-cabang dari pohon kemusyrikan itu. Seperti takhayul (klenik), bersumpah dengan menyebutkan benda-benda yang mereka jadikan tuhan, menggantungkan mantra-mantra, benda-benda pengasih (sikep), dan jimat-jimat untuk memperoleh atau menolak apa yang mereka kehendaki. Maka dengan perbuatan itu mereka telah menyepadankan dan menyekutukan antara Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dengan sama-sama dicintai, dijadikan harapan, ditakuti, dijadikan tempat berlindung, diyakini mampu mencegah, memberi, mendekatkan dan menjauhkan.
    Perbuatan-perbuatan yang dilandasi dengan kebodohan ini kemudian berkembang dan marata, dan api kesesatan menyala di antara mereka, sampai mereka membuat upacara-upacara agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Mereka menjadikan binatang-binatang tertentu menjadi saibah, wasilah dan ham. Begitulah, orang-orang jahiliyah itu berbuat dalam kebodohan dan kesesatan, sampai kemudian Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, sekaligus mengajak mereka untuk menyembah Allah dengan izin-Nya, dan juga ibarat lampu yang memberikan penerangan. Maka Nabi Muhammad kemudian memberikan penerangan terbuka tentang hakekat tauhid dengan cara mengesakan Allah dan membersihkan diri dari penyembahan-penyembahan kepada lain-Nya. Dan itulah hakekat tauhid. Nabi n juga menegaskan kepada orang-orang jahiliyah tentang keharusan untuk mengesakan Allah dan meninggalkan syirik (menyekutukan Allah dengan yang lain). Itulah tauhid yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad .  Allah menerangkan tauhid dengan membuat perumpamaan-perumpamaan, dan mengetengahkan argumen-argumen secara jelas dan rinci. Oleh karena itu. anda dapat melihat Al-Qur’an dan Hadits lebih banyak menyebutkan syirik dan orang-orang yang musyrik daripada menyebutkan kekafiran dan orang-orang kafir. Menyebut-nyebut syirik pada masa itu, dan pada masa sesudahnya, yaitu masa Sahabat dan Tabi’in adalah suatu hal yang dikenal secara populer. Bahkan menyebutnya sampai pada tingkat yang sangat masyhur. Namun ketika pondasi-pondasi syirik itu sirna, karena orang-orang yang musyrik juga sudah tidak ada lagi, sementara ajaran-ajaran agama secara benar menjadi gejala umum, maka hampir tidak ada orang yang menyinggung-nyinggung tentang kemusyrikan. Tidak ada mulut yang mau dikotori dengan menyebut syirik itu. Karenanya para ulama kemudian banyak membahas masalah murtad, dengan menyebut-nyebut hal-hal yang menyebabkan kafir, dan mereka tidak membahas hal-hal yang dapat menjadikan musyrik pada seseorang.
Setelah penjelasan ini, kita lihat bahwa syirik dalam uluhiyyah (menyembah Allah) tidak disebut-sebut. Padahal tauhid uluhiyyah (hanya menyembah Allah saja) merupakan pokok agama Islam. Tauhid inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan antara para rasul dan umatnya; dan ajaran tauhid ini pula yang dibawa oleh para rasul di mana mereka diutus oleh Allah. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah :
Artinya : “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu (Mu-hammad) seorang rasul pun, kecuali Kami mem-berikan wahyu kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku.” (Al-An-biya’ : 25)

Macam Syirik Menurut Sebagian Ulama Madzhab Syafi'i
  1. Imam ar-Raghib al-Ishfahani Beliau berkata, “Syirik yang dilakukan manusia dalam agama itu ada dua macam. Pertama, Syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah, dan ini merupakan kekafiran yang terbesar. Kedua adalah syirik yang samar (tidak jelas) dan kemunafikan.”
     
  2. Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’I Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa syirik itu adakalanya terjadi di Rububiyah, dan adakalanya terjadi di Uluhiyah. Yang ke dua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad (keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat khusus dengan Tuhan. Syirik yang ke dua ini, dimana kemudian timbul syirik ibadah, terbagi menjadi ucapan dan perbuatan. Dan masing-masing dari dua ini, terdapat syirik besar (syirik akbar) yang tidak terampuni. Pembicaraan kita sekarang adalah tentang syirik besar, di mana Allah mewajibkan kita untuk menjaga diri dari syirik itu. Iman seseorang tidak akan sempurna kecuali setelah ia mengetahui syirik dengan macam-macam dan sebab-sebabnya. Seorang penyair menyebutkan: Kukenali kejahatan bukan karena kejahatannya, melainkan untuk menjaga diri dari kejahatan itu. Siapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan, ia pasti akan jatuh dalam kejahatan itu. Untuk menghindari bahaya kemusyrikan ini, Nabi Muhammad selalu meminta perlindungan kepada Allah dari kemusyrikan. Padahal beliau adalah orang yang paling mengetahui Allah, dan yang paling takut kepada-Nya. Dalam sebuah do’anya, beliau berkata,
    “Wahai Allah, saya meminta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan Engkau dengan sesuatu, sedangkan aku mengetahui hal itu. Dan aku minta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan Engkau dengan sesuatu sedangkan aku tidak mengetahui hal itu.” Dan masih banyak lagi do’a-do’a Nabi yang seperti itu, khususnya seruan-seruan beliau kepada Allah. Sementara Nabi Ibrahim juga meminta perlindungan kepada Allah dari kemusyrikan. Beliau berkata: Artinya:
    “……dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)
    Anak cucu Nabi Ibrahim adalah para nabi dan rasul. Apabila Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim meminta perlindungan kepada Allah dari perbua-tan syirik, dan mereka berdua khawatir melakukan perbuatan itu, padahal kedua orang itu adalah utusan-utusan Allah paling mulia. Maka bagaimana dengan orang-orang yang lain, siapa pun dia? Syirik dalam Rububiyah (ketuhanan) tidak pernah dilakukan oleh orang kafir mana saja. Tidak ada yang mengatakan, bahwa pencipta alam ini ada dua yang sama wajib adanya (mesti adanya), meskipun sebagian orang kafir mengatakan tidak adanya tuhan, seperti yang dilakukan oleh Fir’aun dan lain-lain. Adapun syirik dalam Uluhiyah (penyembahan), maka hal ini bermacam-macam berdasarkan siapa yang disembah. Namun tidak ada seorang pun yang mengatakan, bahwa alam raya ini mempunyai dua tuhan (yang wajib disembah), dimana keduanya sama sebanding, kecuali golongan berhalais (politeis). Golongan berhalais (politeis) yang menyembah selain Allah ini, mereka tidak mengatakan bahwa tuhan itu banyak, meskipun mereka menyebutkan sembahan-sembahan mereka itu dengan kata alihah (tuhan-tuhan). Dalam bagian lain, Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’i mengatakan: “Kesimpulannya, syirik itu ada dua macam. Syirik dalam Rububiyah, yaitu keya-kinan, bahwa bersama Allah ada tuhan lain yang mencipta dan mengatur alam raya ini. Dan syirik dalam Uluhiyah, yaitu berdo’a kepada selain Allah, baik do’a itu merupakan do’a ibadah maupun do’a permintaan”.  
  3. Imam Ahmad Ibn Hajar Ali Bathmi asy-Syafi’I Menggaris bawahi apa yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad bin Hajar mengatakan sebagai berikut, “Syirik itu ada dua macam; syirik besar dan syirik kecil. Siapa yang bersih (bebas) dari ke dua syirik itu, ia pasti masuk Surga. Siapa yang meninggalkan dunia dan masih melakukan syirik besar, maka ia pasti masuk Neraka. Sementara orang yang bersih dari syirik besar, tapi ia melakukan sebagian syirik-syirik kecil, sedangkan kebajikan-kebajikannya lebih banyak dari dosa-dosanya, maka ia akan masuk Surga. Tetapi orang yang bersih dari dosa-dosa syirik besar, sedangkan dosa-dosanya dari syirik kecil juga banyak, sehingga dosa-dosa keburukannya lebih banyak daripada kebajikannya, maka ia akan masuk Neraka. Orang yang melakukan syirik akan dihukum apabila syiriknya termasuk syirik besar, atau syirik kecil tetapi banyak jumlahnya. Sementara orang yang melakukan syirik kecil yang jumlahnya sedikit dibarengi dengan keikhlasan yang banyak, maka ia tidak dikenai hukum apa-apa.
Perbuatan yang termasuk syirik besar adalah sujud dan nadzar kepada selain Allah . Sedangkan yang termasuk syirik kecil adalah riya’, bersumpah dengan menyebut selain Allah apabila yang bersangkutan tidak bermaksud mengagungkan makhluk sebagaimana mengagungkan Allah.”

Sarana Syirik Yang Perlu Dihindari
Dalam rangka menjaga kemurnian tauhid, para ulama madzhad Imam Syafi’i telah mengingatkan tentang wasilah (perantara, sarana), yaitu hal-hal yang dapat menyebabkan syirik, agar hal itu dihindari. Imam Syafi’i, misalnya, begitu pula dengan iman-imam lain dalam madzhab Syafi’i, melarang hal-hal yang dapat menjadi wasilah (perantara) syirik, seperti menembok kuburan, meninggikannya , dan membuat bangunan di atasnya .Demikian pula menulis sesuatu di atas kubur, memasang lampu di atasnya, dan menjadikan kuburan sebagai masjid .
Juga dilarang melakukan shalat dengan menghadap ke kuburan (tanpa dinding pembatas) ,berdo’a menghadap ke kuburan , melakukan thawaf mengelilingi kuburan, duduk di atasnya, mencium dan mengusapnya dengan tangan, memasang tenda dan naungan-naungan apa saja di atasnya, dan mengatakan, “Demi Allah dan demi keturunan kamu”, atau mengatakan, “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu.”
Imam Syafi’i mengatakan , “Saya tidak menyukai ada masjid dibangun di atas kuburan, kuburan diratakan, atau dipakai untuk shalat di atasnya sedangkan kuburannya tidak diratakan, atau melakukan shalat dengan menghadap kuburan.”
Imam Syafi’i juga berkata, “Dimakruhkan menembok kuburan, menulis nama yang mati (di batu nisan atau yang lainnya) di atas kuburan, atau tulisan-tulisan yang lain, dan membuat bangunan di atas kuburan.” Beliau juga mengatakan, “Dan saya melihat para penguasa ada yang menghancurkan bangunan-bangunan di atas kuburan dan saya tidak melihat ada ahli fiqih yang menyalahkan hal itu. Hal itu karena membiarkan bangunan-bangunan itu di atas kuburan akan mempersempit ruang pemakaman/penguburan bagi orang-orang lain.”
Imam Syafi’i juga menegaskan, “Saya tidak menyukai ada makhluk yang diagung-agungkan sehingga kuburannya dijadikan masjid, karena khawatir terjadi fitnah (pengkultusan) pada dirinya pada saat itu, atau orang-orang yang datang sesudahnya mengkultuskan dirinya.”  Sementara itu, Imam Nawawi mengatakan, “Di-makruhkan menembok kuburan, mendirikan bangunan, dan menuliskan sesuatu di atasnya. Apabila bangunan itu didirikan di atas tanah kubur yang diwa-kafkan fi sabilillah, maka hal itu harus dirobohkan.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang kesembilan puluh tiga, sembilan puluh empat, sembilan puluh lima, sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, memasang lampu di atasnya, menjadikan ibarat berhala yang disembah, thawaf mengelilinginya, mengusap-usap dengan tangan, dan shalat menghadap kepadanya….”. Kemudian beliau berkata lagi, “Peringatan! Enam perbuatan itu dimasukkan ke dalam katagori dosa-dosa besar, seperti terdapat dalam pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, hal itu tampak diambil dari hadits-hadits yang telah saya sebutkan.
Tentang menjadikan kuburan sebagai masjid, hal itu sudah jelas, karena Nabi melaknat orang-orang yang melakukan hal itu. Nabi juga menilai, orang-orang yang melakukan hal itu terhadap kuburan-kuburan orang-orang shaleh dari umat beliau, sebagai makhluk terburuk pada Hari Kiamat nanti. Itu semua merupakan peringatan bagi kita, seperti dalam sebuah riwayat, Nabi mengingatkan akan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.”
Maksudnya, Nabi mengingatkan umatnya dengan hadits itu, agar umatnya tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, dengan demikian beliau akan dilaknat seperti dilaknatnya orang-orang Yahudi dan Nashrani. Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid, maksudnya adalah shalat di atas kuburan atau shalat dengan menghadap kuburan (tanpa dinding pembatas). Maka kata “shalat menghadap kepadanya (ke arah kuburan)” merupakan pengulangan, kecuali apabila yang dimaksud dengan “menjadikan kuburan sebagai masjid” itu adalah “shalat di atasnya” saja.
Memang kesimpulan hukum keharaman itu. Dapat diterima apabila kuburan itu dimuliakan seperti kuburan seorang nabi atau wali, seperti yang disitir dalam riwayat Imam Muslim, di mana Nabi bersabda, “Apabila terdapat orang-orang shaleh…” Oleh karena itu, para ulama madzhab Syafi’i menga-takan, “Haram hukumnya, shalat menghadap kubur para nabi dan para wali.” Serupa dengan itu, shalat di atas kuburan, mencari keberkahan, dan mengagungkan kuburan.
Adapun perbuatan itu dimasukkan ke dalam katagori dosa besar yang nyata, hal itu sudah jelas dari hadits-hadits tersebut. Dan dapat dikiaskan dengan hal itu, segala sesuatu yang intinya pengagungan terhadap kuburan, seperti menyalakan lampu di atasnya dalam rangka mengagungkan kuburan, mencari berkah dari kuburan dan thawaf mengelilingi kuburan dalam rangka mengagungkan atau mencari berkahnya. Dan pengkiasan ini tidaklah jauh, lebih-lebih Nabi telah menegaskan dalam hadits tersebut, bahwa orang-orang yang memasang lampu di atas kuburan akan dilaknat oleh Allah. Adapun menjadikan kuburan sebagai sesembahan (berhala), hal itu dilarang, berdasarkan hadits Nabi : “Jangan kamu menjadikan kuburku sebagai berhala (sesembahan) yang disembah setelah aku meninggal dunia.”  Maksud hadits ini adalah, jangan kamu mengagungkan kuburku seperti penganut agama lain, mengagungkan sesembahan-sesembahan (berhala-berhala)nya dengan sujud atau yang lain.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami selanjutnya mengatakan, “Perbuatan-perbuatan haram yang paling besar dan sebab-sebab yang menyeret kepada kemusyrikan adalah shalat di atas kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid, dan membuat bangunan di atasnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, maka kata makruh ini harus diartikan lain, yaitu haram. Sebab tidak mungkin para ulama membolehkan sesuatu perbuatan di mana Nabi melaknat pelakunya, dan berita tentang laknat itu diterima dari Nabi dari generasi ke generasi.
Bangunan-bangunan di atas kuburan itu harus segera dihancurkan, begitu pula kubah-kubah yang ada di atasnya, karena bangunan-bangunan itu lebih berbahaya daripada masjid dhirar. Membuat bangunan itu merupakan tindakan durhaka (maksiat) kepada Rasulullah, karena beliau melarangnya, dan beliau memerintahkan untuk menghancurkan kuburan-kuburan dibangun menonjol dari dataran tanah. Sedangkan lampu-lampu yang dipasang di atas kuburan haruslah dihilangkan, dan tidak boleh mewakafkan lampu-lampu, atau nadzar memasang lampu-lampu untuk kepentingan tersebut.
Sementara itu Imam Nawawi mengatakan “Tidak boleh melakukan thawaf mengelilingi makam Rasulullah. Tidak boleh pula menempelkan badan (perut dan punggung) pada dinding makam Rasulullah. Pendapat ini diucapkan oleh Imam Abu Ubaidillah al-Hulaimi dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa makruh (tidak boleh) hukumnya mengusap kubur Nabi dan menciuminya. Yang baik sesuai dengan tata krama, adalah berdiri tegak jauh dari kubur Nabi , seperti halnya orang yang berada di hadapan Nabi ketika beliau masih hidup, berada agak jauh dari beliau.
Ini adalah pendapat yang benar, yang diucapkan oleh para ulama, dan mereka semua berpendapat sama. Dan seseorang hendaknya jangan terkecoh oleh pendapat dan perbuatan sementara orang-orang awam yang berlawanan dengan pendapat para ulama tadi, karena cara untuk mengikuti jejak Nabi n dan mengamalkan suatu ajaran adalah hanya berdasar-kan hadits-hadits yang shahih dan pendapat para ulama. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka, di mana perbuatan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah , maka hal itu tidak dapat dipertimbangkan.
Sementara orang barangkali terdetik dalam hatinya, bahwa mengusap dengan tangan itu lebih mengena untuk mendapatkan berkah, maka hal itu menunjukkan kebodohan dan kedunguan yang bersangkutan. Sebab berkah itu akan dapat diperoleh hanya dengan perbuatan yang sesuai dengan syari’at. Bagai-mana mungkin kemurahan Allah dapat diperoleh melalui perbuatan yang bertentangan dengan ajaran yang benar?”
Imam al-Baghawi mengatakan, “Makruh hukumnya memasang tenda (naungan) di atas kuburan. Karena Syaidina Umar pernah melihat sebuah tenda di atas sebuah kuburan, kemudian beliau memerintahkan agar tenda itu dihilangkan. Kata beliau, “Biarlah amal mayat itu yang akan menaunginya”.
Sementara dalam kitab al-Minhaj dan Syarahnya, karya Imam Ibnu Hajar, terdapat keterangan yang intinya, “Dimakruhkan menembok kuburan dan membuat bangunan di atasnya. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan, karena ada larangan yang shahih terhadap ketiga perbuatan ini, baik tulisan itu berupa nama mayit yang dikubur maupun tulisan yang lain, dan baik tulisan itu di atas papan yang dipasang di atas kepala mayit maupun di tempat yang lain.
Memang, Imam al-Adzra’i pernah membahas tentang diharamkannya menulis ayat-ayat al-Qur’an di atas kuburan. Hal ini karena perbuatan itu dapat melecehkan al-Qur’an, di mana ayat-ayat itu akan diinjak-injak, dan terkena najis oleh nanah orang-orang mati, apabila terjadi pemakaman yang berulang ulang. Begitu pula bila turun hujan. Imam al-Adzra’i juga mengkaji tentang dianjurkannya menulis nama mayit saja untuk sekedar diketahui sepanjang tahun, terutama kubur para nabi dan orang-orang shalih.
Beliau mengatakan, ‘Sekarang hal itu tidak diamalkan lagi. Karena para imam kaum muslimin dari timur sampai barat ditulis namanya di kubur-kubur mereka. Perbuatan ini diambil oleh orang-orang belakangan dari orang-orang dahulu. Dan hal itu dilarang secara umum dengan adanya larangan membangun di atas kuburan. Membangun di atas kuburan tentunya lebih besar dari sekendar menulis sesuatu di atas kuburan. Dan hal ini banyak terjadi di kuburan-kuburan yang mewakafkan fi sabilillah (musabalah), seperti terdapat, khususnya di Makkah, Madinah, Mesir dan lain-lain. Padahal mereka sudah tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Demikian pula menulis sesuatu di atas kuburan.
Apabila anda tahu bahwa perbuatan itu sudah merupakan ijma’ fi’li (konsensus praktis para ulama) sehingga hal itu dapat menjadi hujjah (argumen, dalil) sebagaimana mereka katakan, maka kami menjawab, bahwa hal itu dilarang, meskipun banyak dilakukan orang. Sebab perbuatan itu tidak pernah dinyatakan sebagai hujjah, meskipun oleh para ulama yang berpendapat bahwa hal itu dilarang.
Sekiranya perbuatan itu dapat disebut sebagai ijma’ fi’li (konsensus praktis para ulama), maka hal itu dapat menjadi dalil dan dapat dipakai pada saat keadaan zaman itu baik, di mana amar ma’ruf dan nahi mungkar dapat dikerjakan. Dan ternyata sejak masa yang lama hal itu tidak berjalan. Apabila ada orang membangun kuburan yang sama dengan yang sudah ada, dan tidak untuk keperluan seperti yang sudah disebutkan di muka, dan itu sudah jelas. Maka seperti apa yang difatwakan oleh sejumlah ulama, bahwa semua bangunan yang ada di tempat yang akan dipakai untuk mengubur mayat di Mesir, sampai kubah Imam kita Syafi’i yang dibangun oleh seorang raja Mesir, harus dihancurkan. Semua orang seharusnya merobohkan bangunan-bangunan seperti itu, selama tidak khawatir akan terjadi mafsadah (hal-hal yang tidak diinginkan).
Apabila khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal itu harus dilaporkan kepada imam (penguasa) agar ia menangani hal tersebut.”  Seperti dituturkan dalam kitab Hasyiyah as Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasa’i, Imam Baidhawi mengatakan, “Orang-orang Yahudi dan Nashrani sujud kepada kubur para nabi mereka. Mereka menghadap ke kubur-kubur itu seraya mengagungkannya. Mereka juga menjadikan kubur-kubur sebagai kiblat di mana mereka menghadap dalam shalat, do’a, dan lain-lain. Mereka juga menjadikan kubur-kubur itu sebagai berhala (sesembahan), maka Allah melaknat mereka dan melarang orang-orang Islam melakukan perbuatan seperti itu. Sumber kemusyrikan itu terjadi karena mengagungkan kubur dan selalu menghadap kepadanya.”
Sementara itu Imam as-Suwaidi asy-Syafi’i mengatakan, “Kamu dapat melihat orang-orang meninggikan kuburan sangat tinggi, dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di atasnya. Mereka membuat peti-peti dari kayu jati dan sebagainya untuk kuburan-kuburan itu. Di atasnya mereka kasih kain kelambu yang dihiasi dengan emas dan perak murni.
Mereka tidak puas dengan membangun kuburan seperti itu, dibikinnya jendela-jendela dari perak atau yang lain mengelilingi kuburan, mereka pasang pula lampu-lampu emas. Di atasnya mereka bikin kubah-kubah dari emas atau dari kaca yang diukir. Dibikinnya pintu-pintu yang dihiasi indah. Di pintu-pintu itu dipasang kunci-kunci dari perak atau dari yang lain agar tidak dicuri maling.
Semua itu bertentangan dengan ajaran agama yang dibawa oleh para rasul, dan jelas menentang Allah dan Rasul-Nya. Sekiranya mereka itu mengikuti jejak Rasulullah, seyogianya mereka melihat apa yang dilakukan oleh Nabi kepada para sahabat, padahal mereka itu sebaik-baik sahabat Nabi. Orang-orang itu hendaknya juga melihat makam Nabi, bagaimana para sahabat memperlakukannya.”
Imam Nawawi mengatakan, “Larangan Nabi untuk menjadikan kuburan beliau dan kubur orang lain sebagai masjid, hal itu hanyalah khawatir terjadi sikap yang berlebih-lebihan dalam mengagungkan kuburan, sehingga akan terjadi hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah (fitnah). Bahkan, bisa jadi hal itu dapat menyebabkan kekafiran, seperti yang pernah terjadi pada umat-umat terdahulu.
Ketika para sahabat dan para tabi’in memerlukan perluasan pembangunan Masjid Nabawi, di mana umat Islam bertambah banyak, sementara perluasan masjid kemudian menjadikan rumah-rumah para istri Nabi berada di dalam masjid, termasuk dengan sendi-sendi rumah Aisyah di mana Nabi dimakamkan dan dua sahabat Beliau, Abu Bakar dan Umar , maka para sahabat dan tabi’in membuat tembok tinggi yang mengitari kubur Nabi . Dengan demikian, kubur Nabi itu tidak kelihatan dari masjid. Karena bila tampak, hal itu dapat menyebabkan perbuatan yang dilarang. Para shahabat dan tabi’in kemudian membuat tembok dari arah dua sudut di sebelah utara, dan dua tembok itu dibuat miring sehingga keduanya bertemu. Dengan demikian orang yang shalat tidak dapat menghadap kubur Nabi .”
Dalam kitab al-Bahits ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hal. 103, terdapat keterangan sebagai berikut, “Perhatikanlah –semoga kamu dirahmati oleh Allah-, di mana saja kamu mendapatkan sebuah pohon yang selalu dikunjungi oleh orang-orang, mereka memuliakan pohon itu, mengharapkan kebebasan dan kesembuhan dari padanya, mereka juga memasang paku-paku untuk menggantungkan kain-kain sebagai bandulnya, maka tebanglah pohon-pohon itu.”

Kesalahpahaman dan Sanggahannya
Sementara orang yang senang membuat bangunan-bangunan di atas kubur, berpendapat bahwa membangun masjid di atas kubur itu boleh. Dalilnya adalah kisah Ash-habul Kahfi, di mana orang-orang itu membangun masjid di atas kubur Ash-habul Kahfi.
Imam al-Hafizh Ibnu Katsir menjawab kesalahpahaman ini dengan dua jawaban:
  1. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir dan musyrik. Oleh karena itu, hal itu tidak dapat dijadikan hujjah (dalil).
  2. Sekiranya perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang Islam, maka mereka itu bukanlah orang-orang terpuji dalam perbuatan tersebut.

Contoh-Contoh Kemusyrikan
Para ulama madzhab Imam Syafi’i memperingatkan akan contoh-contoh kemusyrikan agar hal itu dijauhi. Imam Syafi’i dan sejumlah pengikutnya, misalnya melarang segala bentuk kemusyrikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, seperti berdo’a dan minta tolong kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, ruku’ kepada selain Allah, nadzar kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, keyakinan bahwa seseorang itu dapat mengetahui hal-hal yang ghaib, bersumpah dengan menyebut selain Allah”, menyatakan “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kamu” , dan mempunyai keyakinan bahwa sihir itu sendiri memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang” .
Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang bersumpah dengan menyebut sesuatu selain Allah, seperti seseorang bersumpah, “Demi Ka’bah, demi ayahku, demi tempat ini, tempat itu, dan lain-lain”, kemudi-an ia melanggar sumpahnya itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat (denda sumpah). Semua sumpah dengan menyebut nama-nama selain nama Allah, dilarang oleh Rasulullah . Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kamu bersumpah dengan menyebut (nama-nama) nenek moyangmu. Siapa yang mau bersumpah, hendaknya bersumpah dengan menyebut nama Allah, atau diam saja.”
Kami diberitahu Ibnu ‘Uyainah, katanya, ia diberitahu az-Zuhri, katanya, ia diberitahu Salim dari Ayah-nya, kata ayahnya, “Nabi mendengar Umar ber-sumpah dengan menyebut nama ayahnya. Kemudian Nabi bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bersumpah dengan menyebut nenek moyangmu.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, sesudah itu saya tidak pernah bersumpah dengan menyebut nama selain Allah.”
Kata Imam Syafi’i selanjutnya, “Semua orang yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, saya tidak menyukai ia melakukan itu. Dan saya khawatir sumpahnya itu menjadi maksiat.
Sementara Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki mengatakan, “Dosa besar yang ke seratus enam puluh tujuh adalah menyembelih binatang dengan menyebut nama selain Allah dengan cara yang tidak menyebabkan kafir, misalnya dengan tidak bermaksud mengagungkan sesuatu yang di tuju dalam penyembelihannya, seperti mengagungkan dengan cara beribadah dan sujud.”
Selanjutnya, Imam Ibnu Hajar mengatakan “Menurut ulama penerus madzhab Syafi’i, di antara perbuatan yang menyebabkan sembelihan binatang itu haram dimakan adalah ketika menyembelih mengatakan, “Dengan menyebut nama Allah dan nama Muhammad”, ‘atau Muhammad Rasulullah’ atau ‘Muhammad’. Demikian pula apabila seorang kafir kitabi (Yahudi dan Nashrani) menyembelih binatang untuk gereja, salib, Musa, atau Isa. Begitu pula orang muslim menyembelih hewan untuk Ka’bah, Muhammad, atau menyembelih dengan niat ketaatan ritual untuk penguasa atau yang lain, atau untuk jin, semua itu menyebabkan hewan yang disembelih haram dimakan, dan itu semua merupakan dosa besar.”
Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam al-Rafi’i mengatakan, “Adapun nadzar yang diperuntukkan kepada makam-makam “keramat”, yaitu pada kubur seorang wali, ulama atau nama wali yang menempatinya, atau tempat-tempat yang dikeramatkan karena sering dikunjungi para wali atau orang-orang shaleh, maka apabila orang yang melakukan nadzar tersebut bermaksud, dan ini yang banyak terjadi dan dilakukan orang-orang awam, untuk mengagungkan bumi, tempat, atau ruangan, orang yang dimakamkan di situ, atau orang-orang yang ada kaitannya dengan tempat-tempat itu, atau dengan niat mengagungkan suatu nama, maka nadzar tersebut batal, tidak sah.
Hal itu karena mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat itu memiliki keistimewaan. Mereka menganggap bahwa tempat-tempat itu dapat menolak bala, mendatangkan keberuntungan, dan dengan nadzar itu, tempat-tempat itu dapat menyembuhkan dari penyakit. Sampai mereka melakukan nadzar untuk batu-batu, karena konon ada orang shaleh yang pernah bersandaran pada batu-batu itu. Mereka juga bernadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak untuk sebuah kuburan. Mereka beranggapan bahwa kubur seseorang, atau tempat itu menerima nadzar; maksudnya dengan memberikan nadzar itu maksud seseorang dapat terkabul, misalnya orang sakit bisa sembuh, orang hilang bisa kembali, atau bisa diselamatkan, dan nadzar-nadzar lainnya.
Nadzar dengan cara seperti ini adalah batal, tidak diragukan lagi. Bahkan nadzar untuk memasang lampu, memberikan minyak dan lain-lain pada suatu kuburan adalah batal secara mutlak. Termasuk nadzar untuk memasang lilin yang besar dan banyak di makam Nabi Ibrahim, kubur nabi-nabi yang lain, atau kubur orang-orang shaleh. Orang yang bernadzar itu tidak punya maksud lain dengan memasang lampu di kubur-kubur itu, kecuali mencari berkah dan mengagungkan tempat-tempat itu, karena mereka mengira hal seperti itu merupakan ibadah. Hal ini tidak diragukan lagi kebatilannya. Menyalakan lampu seperti itu adalah haram, baik ada orang yang menggunakannya atau tidak.”
Imam Nawawi mengatakan, “Apabila ada yang bernadzar untuk berjalan kaki menuju ke masjid selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha), maka dia tidak wajib melakukannya, dan menurut madzhab Syafi’i, nadzar tersebut tidak sah.” 
Dalam kitab Syarh al-Minhaj, Imam Ibnu Hajar al-Makki mengatakan, “Orang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut “Bismillahi wa ismi Muhammad” (Dengan menyebut nama Allah dan na-ma Muhammad).” Kata beliau, “Menyambung dua kata itu haram, karena hal itu berarti mempersekutukan Muhammad dengan Allah. Sementara hak Allah adalah sembelihan itu disebutkan nama-Nya saja sebagaimana dengan sumpah, harus disebut nama Allah saja.
Apabila ketika menyembelih itu menyebut nama Allah, kemudian nama Muhammad disebut agar memperoleh keberkahan saja, maka hal itu dimakruhkan. Sedangkan Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i berkata, “Hal itu maksudnya mereka tidak boleh bernadzar kepada selain Allah, mereka tidak boleh thawaf kecuali di Baitullah. Oleh karena itu tidak boleh nadzar untuk para wali dan para ulama shalihin. Tidak boleh pula melakukan thawaf mengelilingi kubur-kubur mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu berthawaf mengelilingi Syaikh Abdul Qadir Jaelani, kubur Syaidina al-Husain, Syaikh al-Badawi, Syaikh ad-Dasuqi, dan lain-lain. Semua itu adalah perbuatan syirik, tidak ada perbedaan pendapat lagi dalam masalah ini.
Banyak pelaku bid’ah yang bodoh-bodoh bernadzar untuk orang-orang shaleh. Sebagian mereka mengirimkan uang untuk memasang gordyn (kelambu) dan membangun kubah, seperti banyak dilakukan orang-orang India dan Pakistan yang bernadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Perbuatan ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Sementara orang-orang Syi’ah dari India dan Pakistan, mereka bernadzar menyerahkan hartanya untuk kuburan Ahli Bait di Najaf, Karbala, Khurasan, dan Qum. Mereka sengaja datang dari berbagai penjuru dunia ke kubur-kubur itu, untuk melakukan thawaf, minta pertolongan kepada penghuni kubur, meminta agar penghuni kubur itu mengabulkan hajatnya, melepaskan dari kesusahannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh pencipta langit dan bumi.
Sebagaimana tidak boleh bernadzar untuk kubur para wali dan shalihin, tidak boleh pula mewakafkan rumah atau kebun untuk kepentingan kubur mereka. Barangsiapa bernadzar untuk selain Allah, ia tidak boleh memenuhi nadzarnya itu, bahkan dia harus minta ampun kepada Allah, bertaubat, membaca kalimat shahadat karena dia telah murtad, apabila ia telah tahu bahwa nadzar untuk selain Allah itu syirik.
Orang yang mewakafkan kebun atau binatang untuk kubur-kubur para wali, maka wakafnya itu batal (tidak sah). Apabila ada orang yang berwasiat seperti itu, maka wasiatnya juga batal (tidak sah). Kebun atau hewan tadi tetap menjadi miliknya. Kita mohon petunjuk kepada Allah untuk kita dan mereka.
Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa nadzar itu untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali, maka pendapat itu adalah batil dan kesesatan yang nyata. Untuk wali dimasukkan ke situ? Apabila ia bermaksud sedekah, silahkan bersedekah kepada orang-orang fakir atas nama sendiri, kedua orang tuanya, dan keluarganya. Dari mana pula ia tahu bahwa penghuni kubur itu adalah wali? Segala sesuatu itu akan dinilai bagaimana akhirnya. Adakalanya seseorang kelihatan baik, tetapi ternyata batinnya buruk; tampaknya muslim, ternyata batinnya kafir zindiq. Orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu sudah jelas ketidakbenarannya dan kesesatannya, yaitu mereka menggiring kambing dan menyembelihnya di kuburan. Ketika anda ingkari hal itu, mereka berkata, “Sembelihan untuk Allah, sedangkan pahalanya untuk wali”. Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengelabui dan memutarbalikkan kebenaran. Mereka tidak punya tujuan lain kecuali untuk wali penghuni kubur.
Padahal para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak boleh menyembelih hewan di suatu tempat yang dulu pernah dipakai untuk menyembelih hewan untuk selain Allah. Hal itu berdasarkan hadits riwayat Tsabit adh-Dhahhak, katanya, “Ada seorang bernadzar untuk menyembelih onta di suatu tempat bernama Bawanah. Ia bertanya kepada Nabi untuk hal itu. Jawab Nabi , “Apakah di tempat itu ada patung-patung jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak”. Akhirnya Nabi bersabda, “Penuhilah nadzarmu, dan tidak boleh memenuhi nadzar yang berunsur maksiat kepada Allah, dan tidak boleh pula memenuhi nadzar dalam hal-hal yang tidak dimiliki oleh manusia.”

Kesalahpahaman Tentang Amal Ibadah Yang Dilakukan Di Kuburan
Ada dua kesalahpahaman tentang amal ibadah yang dilakukan di kuburan, baik berupa nadzar, thawaf, dan sebagainya.
  1. Anggapan sementara orang yang kurang pengetahuannya yang menyatakan bahwa orang yang melakukan amalan-amalan di atas kuburan itu tidak dapat disebut musyrik. Mereka itu mempercayai adanya Allah sebagai Pencipa Alam, mereka juga mempercayai Syari’at Islam dan Hari Kiamat. Mereka itu hanya tawassul (berperantara) dengan orang-orang yang shaleh, mereka tidak mau disebut musyrikin, bahkan mereka menghindari kemusyrikan. Bagaimana mungkin mereka disebut orang-orang musyrik?  
  2. Kekafiran orang-orang musyrik itu adalah karena mereka mengingkari ketuhanan Allah, bukan karena membelokkan ibadah untuk selain Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah : Artinya : “Mereka bertanya, apakah ar-Rahman itu?” (Al-Furqan: 60) Dan firman Allah: Artinya : “Padahal mereka itu kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (ar-Ra’d: 30)
Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami asy-Syafi’i menjawab kedua kesalahpahaman itu sebagai berikut:
Orang-orang yang melakukan ibadah untuk selain Allah itu tetap disebut musyrik meskipun mereka menjalankan Syariat Islam. Hal itu karena kekafiran dan kemusyrikan itu bercabang-cabang dan bermacam-macam. Sebagaimana juga iman bercabang-cabang. Apabila ada orang yang menjalankan cabang-cabang iman, tetapi ia juga menjalankan sedikit cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Misalnya, ada orang yang menjalankan ibadah shalat, puasa, dan beriman kepada kerasulan Nabi Muhammad, Hari Kiamat, dan hidupnya selalu zuhud, serta berakhlaq mulia, tetapi ia punya keyakinan bintang anu mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi orang. Atau dia punya keyakinan, bahwa di tangannyalah kekuasaan mendatangkan keberuntungan atau kecelakaan. Atau dia punya keyakinan tantang malaikat atau rasul, di mana hal itu tidak boleh diimani kecuali kepada Allah saja. Maka orang tersebut disebut musyrik, meskipun ia beramal shaleh. Bila tidak demikian, maka apa artinya ada kitab ar-Riddah (murtad)? Seseorang bisa disebut kafir atau musyrik meskipun tidak menjalankan semua macam dan jenis perbuatan kekafiran.
Tentang mereka melakukan tawassul karena mereka beranggapan bahwa mereka itu banyak dosanya, sementara para wali itu lebih dekat kepada Allah, sehingga mereka menjadikan para wali itu sebagai perantara antara mereka dengan Allah, maka kemusyrikan seperti inilah yang justru dilakukan orang-orang musyrik Arab pada masa jahiliyah. Sementara bahwa mereka itu mengucapkan dua kalimat shahadat, maka dengan sendirinya ucapan shahadat itu batal atau gugur oleh perbuatan mereka yang bertentangan dengan maksud dua kalimat shahadat itu sendiri, sebagaimana halnya hadats sesudah wudhu’. Pengakuan mereka tentang adanya Tuhan Pencipta Alam tidak ada artinya apa-apa, sebab orang-orang musyrikin juga mengaku adanya Tuhan, tetapi mereka tidak disebut muslim.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik Arab mengingkari kebangkitan dari alam kubur, maka hal itu dapat dijawab, bahwa keyakinan mereka yang disebut di atas, adalah termasuk faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat menjadi kafir. Rasulullah mengkafirkan mereka, bahkan membolehkan untuk memerangi mereka, karena faktor-faktor yang banyak jumlahnya. Dan yang terbesar dari faktor-faktor ini adalah mereka menyembah berhala. Faktor lainnya adalah, mereka mengingkari kebangkitan dari kubur (al-ba’ts). Iman seseorang itu tidak akan diterima oleh Allah, apabila hanya separuh-separuh saja; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan dibawa oleh Rasulullah, serta mengamalkannya. Orang yang beriman dengan sebagian ajaran al-Qur’an dan tidak beriman kepada se-bagian yang lain, maka dia termasuk kafir. Allah berfirman tentang orang-orang seperti itu. Artinya : “Orang-orang kafir itu mengatakan:"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)” (An-Nisa :150)
Sekadar mengucapkan dua kalimat shahadat saja tidak akan ada gunanya bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan isi maksud dari dua kalimat shahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah (menyembah) kepada Allah saja. Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan, betapa para ulama dari madzhad Syafi’i itu sebenarnya telah berupaya untuk mengingatkan secara maksimal tentang bahaya kemusyrikan di dunia dan akhirat. Akhirnya, Allah-lah tempat kita mohon pertolongan, dan kepada-Nya kita menyerahkan segala urusan.

Penutup
Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan kekuatan kepada kami untuk menyelesaikan buku ini. Semua itu adalah atas anugrah dan kemurahan Allah. Hal-hal penting yang dapat disimpulkan dari buku ini adalah :
  1. Bahwa Imam Syafi’i dan para ulama Syafi’iyah pada masa klasik, sedikit sekali berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan bid’ah-bid’ah kuburan. Hal itu karena pada masa mereka, bid’ah-bid’ah kuburan itu tidak banyak terjadi. Sementara ulama madzhab Syafi’i pada masa belakangan banyak berbicara tentang masalah tersebut.  
  2. Kebanyakan ulama madzhab Syafi’i telah melakukan usaha-usaha yang sangat terpuji dalam menutup rapat-rapat segala pintu yang dapat membawa kemusyrikan. Hal ini mereka lakukan dalam rang-ka menjaga tauhid. 
  3. Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dalam masalah kuburan telah menjadi masalah yang sangat berat (parah) yang menimpa kebanyakan orang. Dan hal itu dapat menyeret mereka kepada kemusyrikan yang besar.
  4. Syari’at Islam sangat berhati-hati dalam menjaga tauhid, di mana Islam mengharamkan segala macam perbuatan yang dapat menyebabkan kemusyrikan, di antaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengagungan (pemuliaan kuburan). 
  5. Kemusyrikan benar-benar sangat melecehkan martabat manusia, di mana manusia harus ta’at dan menyembah kepada selain Allah. Kemusyrikan juga merusak akal manusia, karena ia akan mempercayai hal-hal yang bersifat klenik, takhayul, dan khurafat.

Akhirnya, inilah upaya kami yang belum berbuat banyak. Mudah-mudahan Allah menerimanya sebagai amal shaleh yang ikhlas kepada-Nya. Kami mohon maaf kepada para pembaca atas segala kekurangan dan kelemahan kami. Karena kelemahan adalah watak manusia. Allah-lah yang mengetahui di balik segala maksud kita. Dia-lah yang mencukupi kita, dan sebaik-baik Dzat yang kita serahi.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Diringkasdari buku “ Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi`i “ Dr. Abdur Rahman al-Khumayyis Oleh: Husnul Yaqin,Lc

والسلام

Kamis, 25 Agustus 2011

Amazing Stories Of The Great Man Series : Lahirnya Sang Pilihan



Oleh : Abu Aisyah


Al-Kisah, tersebutlah dua buah kerajaan besar yang berada di sekitar Laut Tengah, dua kerajaan tersebut adalah Kerajaan Persia dan Kerajaan Romawi. Dua kerajaan tersebut adalah kerajaan yang sangat besar yang memiliki istana dengan tiang-tiangnya yang kokoh. Kerajaan Persia adalah sebuah kerajaan dengan raja-raja yang bergelar kisra, mereka melakukan penyembahan kepada api. Selama masa pemerintahannya di sediakan di berbagai tempat bagi api sebagai sesembahan mereka. Tempat api yang terbesar adalah yang berada di lingkungan istana. Lebih dari 1500 tahun api tersebut terus menyala sebagai lambang kekuatan yang mereka anggap Tuhan.
Tidak dipungkiri kerajaan ini memiliki istana megah dengan prajurit yang berjaga siang dan malam. Istana tersebut terbangun dari bahan-bahan berkualitas tinggi, batu pualam kokoh dengan arsitektur luar biasa mewah. Selain itu tembok-tembok sebagai penopang dan pembatas tiap ruangan tertata kokoh. Tidak mengherankan jika istana itu begitu masyhur di penjuru dunia . Pembangunan yang dilakukan oleh para ahli bangunan waktu itu dengan perhitungan sempurna, jadilah ia istana yang tak tertandingi di jagad raya.
Pada bagian tengah komplek istana terdapat sebuah altar tempat penyembahan, tepat berada di tengah, sebuah tungku besar dengan api abadi menyala di tengahnya. Tak ada yang berani mendekat kepada api itu kecuali dengan bersujud dan tunduk di sekitarnya.
Selain Persia, kerajaan besar lainnya adalah Romawi. Ia adalah sebuah kerajaan besar dengan model keagamaan yang kuat. Hampir di seluruh pelosok negeri di bangun tempat ibadah untuk menyembah Tuhan. Tuhan yang mereka sembah adalah Putera Maryam, yaitu Nabi Isa. Penyebaran agama yang dilakukan begitu gencar hingga hampir seluruh Eropa menerima agama ini. Awalnya kepercayaan mereka meyakini adanya satu Tuhan, namun karena sebagian pendeta-pendeta mereka melakukan berbagai perubahan pada kitab suci mereka, sehingga akhirnya mereka menganggap bahwa Nabi Isa adalah Tuhan atau putera Tuhan. 
Kedua kerajaan tersebut adalah dua seteru yang sering kali melakukan peperangan antara yang satu dengan yang lainnya. Keduanya selalu terlibat peperangan, kekalahan dan kemenangan silih berganti. Terkadang Kerajaan Persia yang menang, dan sering pula kerajaan Romawi yang menang. Namun sebuah peristiwa besar telah terjadi pada kedua kerajaan tersebut, sebuah kejadian yang memaksa keduanya menyusun barisan dan bersatu. Peristiwa itu terjadi sekitar 20 April Tahun 571 M.
Hari itu udara tampak tenang, angin berhembus semilir menembus masuk ke dalam istana kerajaan Persia. Matahari menyinari kerajaan itu dengan cahaya yang tidak terlalu panas. Tiba-tiba sebuah tembok besar istana roboh, beberapa penjaga yang sedang berjaga berlarian agar tidak tertimpa reruntuhannya, namun belum lagi mereka berpikir tentang apa yang terjadi, tiba-tiba beberapa tembok lainnya runtuh tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Empat belas tembok penopang istana tersebut roboh, dan hancur berantakan. Tidak ada angin, tidak hujan dan tidak pula badai, semua terjadi secara tiba-tiba.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kaisar tampak kelimpungan menyaksikan beberapa bagian istananya runtuh. Namun ia lebih terkejut lagi ketika melihat altar penyembahan api, ternyata api itu padam, padahal tidak ada angin atau hujan dan badai. Sungguh kejadian yang tidak pernah diramalkan sebelumnya. Padahal api tersebut telah menyala selama kurang lebih 1500 tahun dan tidak pernah padam. Tidak ada yang bisa menjelaskan mengenai kejadian itu, tidak ahli bangunan, arsitek dan tidak pula ahli nujum, tukang ramal dan para dukun. Mereka di datangkan untuk melihat dan mencari tahu sebab-musabab keruntuhan tersebut. Namun tidak ada yang bisa menjawabnya. Semua terdiam dalam galau. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sementara nun jauh di bagian barat di wilayah Romawi, sebuah kejadian dahsyat juga terjadi, gempa dahsyat telah memporak-porandakan tempat ibadah di sana. Tempat-tempat ibadah yang dibangun dengan material pilihan itu roboh dan hancur binasa. Semua mata menatap ke arah hancurnya tempat ibadah itu "Pasti ada sesuatu yang terjadi" bisik mereka. Ada apa gerangan?
Benar, semua peristiwa itu bukan tanpa sebab, Ia adalah sebuah pertanda lahirnya seorang  manusia pilihan, seorang manusia yang akan membawa kedamaian bagi seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Dari kalangan manusia, jin dan juga hewan serta tumbuhan semua mendapatkan kebaikan atas kelahirannya.
Manusia pilihan telah lahir dari rahim seorang putri bangsawan yang terhormat. Berayah terhormat dari kalangan bangsa Arab. Lahir di antara semilir angin yang berhembus di antara dahan-dahan kurma, di tengah padang sahara di sekitar Ka’bah yang mulia.
Seluruh kota Mekkah diliputi cahaya putih, cahaya yang menyejukkan bagi siapa yang memandangnya. Cahaya yang membawa kedamaian bagi siapa yang merasakan kelembutannya. Seluruh alam bersuka cita....
Kelahirannya memberikan tanda pada seluruh dunia. Bahkan ia telah telah tercatat di kitab suci berbagai agama. Kehadirannya telah diketahui 500 tahun sebelum kelahirannya. Sungguh luar biasa, ia akan menjadi menusia sempurna sebagai tauladan hidup di jagad raya. Seluruh alam raya menyambutnya "Selamat datang Manusia Pilihan".