Rabu, 25 Januari 2012

Sejarah Regulasi Wakaf di Indonesia


Oleh: Anang Rohwiyono*

Abstrak:
Sebelum Islam datang, dalam menggali dana spiritual, masyarakat Indonesia membentuk suatu lembaga dana yang disebut Sima dan Dharma (dermah dalam bahasa Jawa). Setelah Islam masuk ke Indonesia semua itu diganti dengan wakaf.
Sebelumnya aturan perwakafan tanah milik tidak diatur dalam peraturan perundang-udangan, sehingga berakibat mudah terjadi penyimpangan dari tujuan wakaf. Di samping itu karena pencatatan yang kurang tertib, banyak tanah wakaf yang tidak diketahui datanya. Ada yang diakui oleh para pengelola bahkan sampai diperjualbelikan.
Atas dasar kenyataan tersebut maka disusun dan ditetapkan PP No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Hal ini untuk meletakkan dasar hukum Perwakafan yang lebih kuat. Peraturan Pemerintah tersebut  didasarkan pada pasal 49 ayat 3 UUPA yang berbunyi: “Perwakafan dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedang UUPA sendiri didasarkan pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air, angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya”.
Pendahuluan
Perwakafan tanah dan tanah wakaf di Indonesia adalah termasuk dalam bidang hukum Agraria, sebagai perangkat peraturan yang mengatur tentang bagaimana penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia. Oleh karena perwakafan di Indonesia pada umumnya di awal adalah berobyek tanah, maka masalah wakaf tanah itu diatur di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) dalam pasal 49 ayat 3 yang berbunyi: “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Perlu dijelaskan bahwa wakaf tanah ini merupakan kelembagaan yang sudah cukup lama dikenal dan pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari pemindahan hak atas tanah, akan tetapi bukan merupakan pemindahan hak atas tanah biasa karena mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu dipandang sebagai ibadah dalam ajaran agama Islam. Dengan demikian perbuatan hukum di dalam perwakafan tanah ini tidak mempunyai nilai komersial, sehingga sangat perlu untuk dilestarikan, dikembangkan terus dan lebih disempurnakan peraturan-peraturannya. Dalam ketentuan PP No.28 Tahun 1977 yang mengatur mengenai perwakafan tanah milik ini dinyatakan bahwa tanah yang diwakafkan itu dikeluarkan dari lalu lintas ekonomi. Tanah yang sudah diwakafkan tidak bisa lagi untuk dijual, diwariskan ataupun dipakai sebagai jaminan utang.
Pelaksanaan dan pengaturan pewakafan tanah hak milik di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kurun waktu:
1.            Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia
2.            Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, sebelum adanya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
3.            Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Dengan demikian perincian dan penjelasan tentang perwakafan tersebut ada dalam Peraturan Pemerintah tahun 1977, di mana dalam pasal 1 ayat 1 ditekankan bahwa materi wakaf adalah berupa tanah milik atau tanah hak pakai (pasal 4). Di dalam PP tersebut juga dimuat adanya pengawasan pemerintah terhadap pengelolaan dan pendayagunaan tanah wakaf yang dibebankan kepada para nazir di samping masih terdapat beberapa aturan lain dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan sebagainya tentang sertifikasi tanah wakaf yang merupakan jaminan kepastian hukum.
Pembahasan
A. Wakaf Menurut Hukum Adat
Menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, bahwa wakaf merupakan Lembaga Hukum Islam yang telah diterima atau di gerecipieerd sebagai Hukum Adat. Dari Hukum Adat inilah yang nantinya akan menjadi sumber Hukum Nasional.[1]
Di dalam disertasi Kusuma Atmaja yang dikutip oleh Abdurrahman dalam bukunya menunjukkan beberapa jenis wakaf yang tidak tunduk pada aturan-aturan Islam dan merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia. Jenis wakaf tersebut antara lain:
  1. Pada suku Badui di Cibeo (Banten Selatan) dikenal “Huma Serang”. Huma adalah ladang-ladang yang dikerjakan secara bersama dan hasilnya untuk kepentingan bersama.
  2. Di Bali terdapat tanah dan barang-barang perhiasan yang disimpan di dalam candi yang menjadi milik para Dewa.
  3. Di Lombok terdapat tanah “Preman”, yaitu tanah negara yang dibebaskan dari pajak (landrente) untuk diserahkan kepada desa-desa Subak.[2]
Di Jawa juga terdapat tanah seperti tanah wakaf yang dinamakan tanah perdikan yang dibagi dalam:
  1. Desa Pesantren, adalah tanah yang diberikan kepada seorang Kyai untuk mengajarkan agama Islam
  2. Desa Mijen, ialah tanah yang diberikan kepada seseorang untuk menanam benih sayuran atau buah-buahan untuk kepentingan raja.
  3. Desa Keputihan, ialah tanah yang diberikan kepada orang sakti.
  4. Desa Pakuncen, ialah tanah yang diberikan kepada juru kunci pemakaman raja.
Desa atau tanah tersebut semua adalah milik raja yang dipinjamkan kepada seseorang atau keluarganya sebagai hadiah atau gaji dan dibebaskan dari pajak, tetapi akhirnya menjadi bentuk semacam wakaf. [3]
Sebelum Islam datang, dalam menggali dana spiritual, masyarakat Indonesia membentuk suatu lembaga dana yang disebut Sima dan Dharma (dermah dalam bahasa Jawa). Setelah Islam masuk ke Indonesia semua itu diganti dengan wakaf.[4]
B. Peraturan Perwakafan di Indonesia
Aturan wakaf sudah ada sejak jaman Hindia Belanda hingga jaman kemerdekaan. Tetapi secara administrative baru dimulai pada tahun 1905 dengan adanya pendaftaran tanah wakaf berdasar surat edaran sebagai berikut:
  1. Surat Edaran Sekretaris Gubernement (SESG) tanggal 31 Januari 1905 (Bijblaad 1905, Nomor 6169) tentang perintah kepada Bupati untuk membuat daftar wakaf dan sejenisnya.
  2. SESG tanggal 4 April 1931 (Bijblaad 1931, Nomor 12573) sebagai pengganti Bijblaad sebelumnya yang berisi perintah kepada Bupati untuk meminta Ketua Pengadilan Agama untuk mendaftar tanah wakaf.
  3. SESG tanggal 24 Desember 1934 (Bijblaad 1934, Nomor 13390) tentang wewenang Bupati untuk menyelesaikan sengketa wakaf.
  4. SESG tanggal 27 Mei 1935 (Bijblaad 1935, Nomor 13480) tentang tata cara perwakafan.[5]
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 maka sejak tanggal 24 Desember 1960 dibentuklah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang mengandung ketentuan sebagai berikut:
  1. Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, Peraturan Wakaf  Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku dengan dikeluarkannya petunjuk dari Departemen Agama melalui Surat Edaran Nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah, tanggal 8 Oktober 1956.
  2. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Menteri Agama tanggal 15 Maret 1959 Nomor 19/22/37-7, SK 62/KA/1959 tentang pengesahan tanah milik dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria Karesidenan yang pelaksanaannya diatur dengan Surat  Keputusan Jawatan Agraria kepada Pusat Jawatan Agama tanggal 13 Februari 1960 Nomor 23/1/34-11.
  3. Diundangkannya UUPA Nomor 5 tahun 1960, pada bagian XI tertera bahwa untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49 ayat 3) ditentukan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
  4. Pada tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan PP Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria di atas.
  5. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1992 yang menetapkan Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya juga memuat Hukum Perwakafan.[6]
  6. Pada tanggal 21 Oktober 2004, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan pada tanggal 15 Desember 2006 pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya.[7]
1.   Latar Belakang Lahirnya PP No. 28 Tahun 1977
Sejak dulu aturan perwakafan tanah milik tidak diatur dalam peraturan perundang-udangan, sehingga berakibat mudah terjadi penyimpangan dari tujuan wakaf. Di samping itu karena pencatatan yang kurang tertib, banyak tanah wakaf yang tidak diketahui datanya. Ada yang diakui oleh para pengelola bahkan sampai diperjualbelikan.
Ekses dari semua ini adalah sering dibicarakan orang banyak, bahkan sampai terjadi sengketa tanah sampai berlarut ke Pengadilan, sehingga bisa menghilangkan simpati umat Islam terhadap Lembaga Perwakafan itu sendiri, bahkan sampai bisa mendiskreditkan Agama Islam sendiri.
Atas dasar kenyataan tersebut maka disusun dan ditetapkan PP di atas tentang perwakafan tanah milik. Hal ini untuk meletakkan dasar hukum Perwakafan yang lebih kuat. Peraturan Pemerintah tersebut  didasarkan pada pasal 49 ayat 3 UUPA yang berbunyi: “Perwakafan dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedang UUPA sendiri didasarkan pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air, angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya”.
2.   Latar Belakang Lahirnya Badan Wakaf  Indonesia (BWI)
Badan Wakaf Indonesia (BWI), merupakan badan baru yang dibentuk pemerintah Republik Indonesia berdasarkan amanat Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Badan ini secara spesifik bertugas mengembangkan pengelolaan perwakafan di Indonesia ke arah yang profesional dan modern sehingga menghasilkan manfaat wakaf yang dapat mensejahterakan umat.[8]
Wakaf yang selama ini peruntukannya hanya bersifat konsumtif dan dikelola secara tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif. Bersyukurlah kita karena saat ini pengelolaan wakaf secara produktif sudah diatur dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dalam pasal 48 dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan . Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
1.            Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
2.            Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala   nasional dan internasional.
3.            Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.
4.            Memberhentikan dan mengganti nazhir.
5.            Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
6.            Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Dalam ayat 2 pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BWI dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional dan pihak lain yang dianggap perlu.[9]
3.   Ketentuan Umum
Di sini perlu dijelaskan beberapa istilah pada PP Nomor 28 tahun 1977 dan peraturan-peraturan lain yang menyertai, di antaranya:
  1.  
    1. Wakaf, perbuatan hukum seseorang atau badan Hukum dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya demi keperluan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.
    2. Wakif, orang-orang atau badan Hukum yang mewakafkan tanah miliknya (pasal 1 ayat 2 PP, pasal 1 huruf c Peraturan Menteri Agama/PMA nomor 1 tahun 1978)
Karena wakaf adalah perbuatan hukum, maka wakif harus dalam keadaan mampu dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, kehendak sendiri dan atas kesadarannya tanpa paksaan. Badan Hukum Indonesia yang dapat menjadi wakif adalah Badan Hukum yang memiliki tanah dengan hak milik sebagai dimaksud dalam PP Nomor 38 tahun 1963 nomor 61 yaitu:
1.      Bank Negara
2.      Koperasi
3.      Badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian atau Menteri Agraria setelah mendengar dari Menteri Agama.
4.      Badan sosial yang juga ditunjuk setelah mendengar dari Menteri Sosial.
c. Ikrar, adalah pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. Ikrar ini harus diucapkan dengan lisan, jelas dan tegas kepada nazir yang telah disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), yang mewilayahi tanah wakaf, dihadiri oleh dua orang saksi. Setelah ikrar baru dituang dalam bentuk tertulis. Bila tidak mampu ikrar lisan boleh dengan isyarat. Dan bila wakif tidak bisa hadir dalam upacara ikrar, maka ditulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama yang mewilayahi tanah.
d. Nazhir, adalah kelompok orang atau Badan Hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda-benda wakaf (pasal 1 ayat 4 PP, pasal 1 huruf e PMA). Susunan kelompok orang di sini sekurang-kurangnya tiga orang, satu di antaranya sebagai nazir. Dengan batasan nazir ini maka perorangan tidak dapat ditunjuk sebagai nazir. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan benda-benda wakaf oleh perseorangan, memudahkan pengawasan  dan menghilangkan benih kecurigaan dan perselisihan, serta memudahkan koordinasi dan bimbingan. Usaha pemerintah ini semata-mata untuk mendorong dan meningkatkan produktivitas dan bukan untuk menguasai.
Susunan nazir disahkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) selaku PPAIW dengan sarat nazir harus memenuhi ketentuan pasal 6 PP yaitu:
1. Warga negara Indonesia
2. Beragama Islam
3. Dewasa
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Tidak berada dalam pengampuan
6. Bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah berada
Sedangkan nazir badan hukum harus memenuhi syarat sebgai berikut:
1. Badan Hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia
2. Mempunyai perwakilan di kecamatan letak tanah wakaf.
Seorang nazir berhenti dari jabatannya bila:
1. Meninggal dunia
2. Mengundurkan diri
3. Dibatalkan kedudukannya oleh Kepala KUA karena beberapa sebab
a. Tidak memenuhi syarat dalam pasal 6 ayat 1 PP.
b. Melakukan tindak pidana
c. Tidak melakukan kewajiban sebagai Nazir.
e.  Benda Wakaf, yaitu tanah dengan hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara (pasal 4 PP.). Hal ini didasarkan pada wakaf itu bersifat suci dan abadi, maka harus bersih pula dari tanggungan (hipotik), sengketa dan sebagainya. Oleh karena itu tanah wakaf haruslah tanah milik yang sudah ada sertifikatnya. Tanah tersebut baik berupa tanah adat yang turun temurun atau tanah hak milik. Dengan demikian tanah dengan hak lainnya yang sifatnya terbatas oleh waktu tidak dapat dijadikan benda wakaf. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 ditambahkan tentang harta benda wakaf  yang terbagi:
1. Benda tidak bergerak, meliputi:
a.       hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b.      bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atastana sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c.       tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.
d.      hak milik atas satuan rumah susun sesuai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.       benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Benda bergerak, adalah harta benda yang tidak habis karena dikonsumsi, meliputi:
a.       uang
b.      logam mulia
c.       surat berharga
d.      kendaraan
e.       hak atas kekayaan intelektual
f.       hak sewa
g.      benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10]
f.   Saksi, saksi diperlukan sebagai penguat adanya pengalihan status tanah dari hak milik menjadi wakaf dan untuk memantapkan perwakafan dari segi riwayat tanah sebelumnya maupun masa yang akan datang. Saksi disyaratkan dewasa dan sehat akal serta tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
g.  PPAIW, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yaitu pejabat yang ditunjuk oleh menteri Agama, dalam hal ini adalah kepala KUA Kecamatan setempat (pasal 5 ayat 1 PMA). Wewenang Menteri Agama ini telah dilimpahkan kepada Kantor Wilayah Departeman Agama Provinsi (Instruksi Nomor 73/1978).
h. Akta Ikrar Wakaf, akta yang dibuat oleh PPAIW setelah wakif mengikrarkan penyerahan tanah wakafnya sebagai tanda bukti sahnya perbuatan wakaf, terutama menurut agama Islam. Akta ini sebagai bahan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Sub Direktorat Agraria setempat untuk pengalihan hak tanah (pasal 19 PP nomor 10/1961 tentang pendaftaran tanah).
i.   Akta Pengganti Ikrar, yaitu akta yang dibuat PPAIW atas tanah wakaf yang pemakaiannya terjadi sebelum berlakunya PP nomor 28 tahun 1977.
j.        BWI (Badan Wakaf Indonesia) adalah lembaga independent untuk mengembangkan wakaf di Indonesia.[11]
4.   Fungsi, Unsur Wakaf, Kewajiban dan Hak Nazir
1.      Fungsi wakaf ialah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai tujuan (pasal 2 PP). Maka supaya kekal, benda wakaf itu haruslah dipelihara dan dikelola dengan manajemen yang baik dan bertanggung jawab, baik kepada wakif, masyarakat maupun ridha Allah.
2.      Unsur wakaf terdiri dari wakif, benda wakaf, ikrar wakaf dan pengurus wakaf atau nazir. Dalam ikrar juga perlu disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
3.      Kewajiban dan Hak Nazir
Kewajiban nazir :
1.   Mengurus dan mengawasi harta wakaf, yaitu:
a.       menyimpan lembar kedua salinan akta ikrar
b.      memelihara tanah wakaf
c.       memanfaatkan tanah wakaf
d.      memelihara dan berusaha meningkatkan hasil
e.       menyelenggarakan pembukuan wakaf, yaitu:
1.      buku tentang keadaan tanah wakaf
2.      buku tentang pengelolaan dan hasil
3.      buku tentang penggunaan hasil (pasal 7 ayat 1 PP, pasal 10 ayat 1     PMA).
2.   Memberikan laporan kepada KUA Kecamatan, yaitu:
a.       hasil pencatatan wakaf tanah milik oleh pejabat agraria
b.      perubahan status tanah dan perubahan penggunaannya.
c.       pelaksanaan kewajiban nazir pasal 20 ayat 1 PP setiap tahun sekali pada akhir bulan Desember.
3.   Melaporkan anggota nazir yang berhenti dari jabatan
4.  Mengusulkan anggota pengganti kepada Kepala KUA Kecamatan tempat tanah wakaf berada, untuk disahkan keanggotaannya.
Semua ini dilakukan untuk memudahan koordinasi dan pengawasan, dan oleh sebab itu nazir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang wajar atas usaha dan jerih payahnya (pasal 8 PP) untuk menghindari penyalahgunaan tujuan wakaf.
Hak nazir sesuai ketentuan pasal 11 PMA adalah:
1. Menerima hasil tanah wakaf dengan tidak melebihi dari 10% hasil bersih
2. Menggunakan fasilitas dan hasil tanah wakaf sepanjang diperlukan.
4.   Tata Cara Wakaf
a.  Wakif datang sendiri dihadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar
b.  Sebelum Ikrar, wakif menyerahkan kepada PPAIW:
1.      Sertifikat tanah hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah yang lain
2.      Surat keterangan kepala desa yang diperlukan yang diperkuat oleh camat tentang kebenaran kepemilikan dan tiadanya sengketa.
3.      Surat keterangan pendaftaran tanah
4.      Izin Bupati atau Walikota Cq. Subdit Agraria terutama dalam rangka tata kota
c.   PPAIW meneliti surat-surat, syarat, saksi dan mengesahkan susunan nazir.
d.   Ikrar diucapkan di hadapan PPAIW dan dua orang saksi kepada nazir
e.  PPAIW membuat akta ikrar wakaf rangkap tiga dan salinan akta ikrar wakaf rangkap empat:
1. akta satu disimpan PPAIW
2. akta dua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf
3. akta tiga dikirim ke Pengadilan Agama
4. salinan akta ke satu untuk wakif
5. salinan akta ke dua untuk nazir
6. salinan akta ke tiga untuk Kepala Kantor Depag
7. salinan akta ke empat untuk Kepala Desa.
f.   Langkah selanjutnya adalah mendaftarkan tanah wakaf ke Subdit Agraria.
Mengenai pendaftaran tanah wakaf ke Subdit Agraria ini telah diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri  nomor 6 tahun 1977 sesuai dengan yang dimaksud dengan pasal 10 Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977.
Pendaftaran ini dilakukan selambat-lambatnya setelah satu bulan setelah dibuatkan akta dan dilampiri sertifikat atau bukti pemilikan lain, akta ikrar wakaf, surat pengesahan nazir dan surat keterangan dari Kepala Desa serta surat izin Bupati atau  Walikota.
Sedang perwakafan yang dilakukan sebelum berlakunya PP nomor 28 tahun 1977 juga perlu didaftarkan sesuai dengan prosedur yang ada. Aturan mengenai hal ini secara rinci dijelaskan dalam lampiran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam nomor: KEP/D/75/78 pada romawi IV.
5.   Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan
Perubahan penggunaan dan status tanah bisa dilakukan dengan tertulis dari Menteri Agama atau pejabat yang telah ditunjuk dengan alasan:
a.   Karena alasan tidak sesuai lagi dengan tujuan  wakaf yang tersebut dalam   ikrar
b.   Karena kepentingan umum (pasal 11 PP/13 PMA)
Apabila memang terjadi perselisihan perwakafan tanah maka diselesaikan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai wewenang yurisdiksi pada pengadilan tersebut. Sedang bila ternyata menyangkut hukum pidana seperti penyerobotan tanah wakaf, maka diselesaikan di Pengadilan Negeri (pasal 12 PP).
Pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah milik agar sesuai dengan peraturan yang ada, maka itu dilakukan oleh instansi-instansi Departeman Agama secara hirarkis (pasal 14 PMA).
6.   Ketentuan Pidana
Untuk menjamin pelaksanaan perwakafan tanah milik agar sesuai dengan peraturan yang ada, maka terhadap pihak-pihak yang  melanggar ketentuan yang berlaku diberikan sangsi tertentu dengan diancam hukuman selama-lamanya tiga bulan penjara atau dengan denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,00 (sepulu ribu rupiah) sesuai pasal 14 PP. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 pasal 67 tentang ketentuan pidana dijelaskan:
a.       Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dmaksud dalam pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b.      Setiap orang yang dengan sengaja merubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
c.       Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).[12]
Penutup
Undang-Undang Pokok Agraria yang di dalamnya mencakup tentang peraturan perwakafan di Indonesia dan juga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah memberikan penjelasan secara lengkap tentang hal-hal yang mengatur seluk-beluk perwakafan. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan mampu merangsang niat dan semangat umat Islam untuk berlomba-lomba dalam berwakaf. Selain itu juga agar terjadi keseragaman dan keteraturan tentang wakaf. Tidak kalah pentingnya bagi pihak pemerintah untuk menjadi motivator dan pengelola serta Pembina masyarakat dalam berwakaf. Pemerintahlah yang seharusnya menjadi pengawal undang-undang perwakafan yang telah ada secara serius dan amanah, karena bila pemerintah tidak amanah dalam menangani wakaf, maka tidak akan terjadi perubahan terhadap tingkat kesejahteraan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia Seri      Hukum Agraria II. Bandung: Alumni. 1978.
……….. Masalah Pencabutan Hak-Hak atas Tanah di Indonesia Seri Hukum Agraria I.    Bandung: Alumni. 1978.
Djatnika, Rahmat. Wakaf Tanah. Surabaya: Al-Ikhlas. 1982.
……….. Pandangan Islam tentang Infak, Shadaqah, Zakat danWakaf sebagai Komponen             Makro dalam Pembangunan Ekonomi. Surabaya: Al-Ikhlas. 1983.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik. Jakarta: Proyek      Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf. 1985.
Profil Badan Wakaf Indonesia Periode 2007-2010. Jakarta: Badan Wakaf Indonesia.         2008.
Suhadi, Imam. Hukum Wakaf di Indonesia. Yogyakarta: Dua Dimensi. 1985.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah            Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya. Jakarta: Dirjen Bimas Islam           Depag RI. 2007.

* Penulis adalah dosen FAI-UHAMKA
[1] Abdurrahman. Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia, Seri Hukum Agraria II. Bandung: Alumni. 1978. hal. 13.
[2] Abdurrahman, Ibid. hal. 14
[3] Imam Suhadi. Hukum Wakaf di Indonesia. Yogyakarta: Dua Dimensi. 1985. hal. 34.
[4] Rahmat Djatnika. Wakaf Tanah. Surabaya: Al-Ikhlas. 1982. hal. 12.
[5] Imam Suhadi. Hukum Wakaf….. hal. 26.
[6] Ibid. hal. 27.
[7] Lihat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.  Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007.
[8] Profil Badan Wakaf Indonesia Periode 2007-2010. Jakarta: Badan Wakaf Indonesia. 2008. Hal. 3.
[9] Profil Badan Wakaf Indonesia Periode 2007-2010. Jakarta: Badan Wakaf Indonesia. 2008. Hal. 9-10.
[10] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.  Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007. Hal. 11-12.
[11] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.  Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007. Hal. 4.
[12] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya. Dirjen. Bimas Islam Depag RI. Tahun 2007. Hal. 33-34. Lihat juga sanksi administrative pada halaman yang sama.
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=270

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...