Rabu, 04 Januari 2012

Tujuan Hukum Islam


Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalam memberikan pedoman hidup kepada manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka muncul pertanyaan “Dari mana kita mengetahui tujuan tersebut?”. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan bekal untuk hidup yaitu fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam :
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه 
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi. HR Bukhari
Fitrah dalam hal ini adalah Islam, yaitu fitrah yang telah Allah tetapkan kepada setiap manusia. Agar fitrah ini selalu terjaga maka manusia diberikan daya dan potensi yaitu berupa : Aql, Syahwah dan Ghadlab. Daya ‘Aql berfungsi mengetahui (ma’rifat) Allah dan mengesakannya. Daya syahwat berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan member manfaat bagi manusia. Daya ghadlab berfungsi untuk mempertahankan diri dan memelihara kelanggengan hidup yang menyenangkan.
Tujuan hukum Islam dilihat dari segi Pembuat Hukum dapat diketahui melalui penalaran induktif atas sumber-sumber naqli yaitu wahyu baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Dalam hal ini ada tiga tujuan hukum Islam yaitu primer, sekunder dan tertier. Berikut penjelasannya :
1.      Tujuan Primer
Tujuan primer hukum Islam adalah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dlaruriyyat al-khams atau al-kulliyaat al-khams atau sering juga disebut maqasid al-syariah yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang disepakati bukan saja oleh ulama Islam melainkan oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama ialah : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan harta. Tujuan hukum ibadah merujuk kepada pemeliharaan agama, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan hukum muamalat merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan hata. Tjan hukum pidana (jinayah) yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar merujuk kembali kepada pemeliharaan keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.

2.      Sekunder
Tujuan hukum Islam sekunder adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan hidup sekunder itu bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun demikian kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan hidup manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder itu terdapat dalam ibadat, adat, muamalat dan jinnayat. Terpeliharanya tujuan sekunder hukum Islam dalam ibadat umpamanya dapat tercapai dengan adanya hukum rukhsah yang berbentuk dispensasi untuk menjamak dan mangqashar shalat bagi mereka yang sedang dalam perjalanan / safar atau mereka yang tengah mengalami kesulitan baik karena sakit atau karena sebab lainnya.
Contoh tujuan hukum sekunder dalam adat, seperti adanya kebolehan berburu dan menikmati segala hal yang baik-baik selama hal itu dihalalkanm baik berupa makanan, minuman, sandang, papan dan lain sebagainya.
Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalat dapat tercapai antara lain, dengan adanya hukum musaqah dan salam. Musaqah merupakan system kerja sama dalam pertanian, yakni system bagi hasil yang dikenal dengan sebutan paroan sawah. Jual beli salam yaitu system jual beli melalui pesanan dan pembayaran di muka atau di kemudian hari setelah penyerahan barang yang diperjualbelikan.
Contoh hukum sekunder dalam bidang hukum pidana atau jinayat seperti adanya system sumpah (al-yamin) dan denda (diyat) dalam proses pembuktian dan pemberian sanksi hukum atas pelaku tindak pidana.   

3.      Tertier
Tujuan tertier hukum islam ialah tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaia tujuan tertier hukum islam ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau al-akhlaq al-karimah. Budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika hukum ibadah, muamalah, adat, pidana atau jinayah dan muamalat keperdataan.
Etika hukum ibadah umpamanya dicerminkan dengan adanya ketetapan hukum bersuci atau thaharah, menutup aurat, mensucikan dan membersihkan najis dari tempat ibdah berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk shadaqah dan lain sebagainya. Etika hukum dalam hukum adat umpamanya tercermin dengan adanya hukum dan etika tentang bagaimana seharusnya makan-minum, isyraf atau berlebihan dan sebagainya. Etika hukum dalam pidana atau fiqh jinayah umpamanya tercermin dengan adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam keadaan perang. Etika hukum tersebut di atas merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainya tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder. Apabila tidak tercapai tujuan hukum tertier tersebut tidak akan mengakibatkan hilangnya esensi tujuan hukum primer dan sekunder.

Tujuan hukum diliat dari segi Pembuat Hukum yakni hukum yan ditujukan agar pembuatan hukum dapat dipahami oleh mukallaf. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab itu untuk dipahami. Oleh akrena itu untuk mendalami hukum islam diperlukan kecakapan dan kemampuan nmemahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya. Para filolog telah berhasil merumuskan kaidah-kaidah kebahasaan yang digunakan untk memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Terkenallah dalam ushul fiqh ada yang disebut al-qawaid al-lughawiyyah yaitu kaidah-kaidah hukum yang didasarkan aras produk para filolog bahasa Arab yang kemudian menjadi bagian penting dari epistemology hukum Islam. Berdasarkan atas kaidah-kaidah kebahassaan inilah hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunah dapat dipahami dan digali.
Kiadah-kaidah utama atau kaidah-kaidah pokok yang disebut kaidah al-kulliyah dalam kajian hukum Islam tidaklah sedikit. Salah satu kaidah pokok tersebut berbunyi :
الأ صل في الأمر يد ل على الوجوب
Hukum asal daripada perintah adalah wajib.
Hal ini berarti Pokok hukum jika dinyatakan dalam bentuk perintah (amr) adalah untuk menunjukan hukum wajib.
Tujuan hukum Islam ketiga jika dilihat dari sisi Pembuat Hukum ialah untuk menjadikan hukum Islam itu sebagai beban dan tanggung jawab hukum si mukallaf. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah mengarahkan mukallaf supaya tidak terjerumus ke dalam jurang hawa nafsu yang menyesatkan. Akal tidak mampu menjelaskan dan merumuskan tata cara berterima kasih kepada Allah yaitu dalam bentuk cara-cara beribadah murni (ibadah mahdlah, seperti jumlah rakaat shalat dan sebagainya). Untuk membantu akal tersebut Allah menurunkan hukum-hukumnya melalui wahyuNya. Namun demikian, sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri, yakni demi kemasalahatan dan menghindarkan kerusakan manusia, makad igariskanlah suatu kaidah. Kaidah itu menyatakan bahwa taklif atau tanggung jawab huium itu tidak dibebankan kepada si mukallaf apabila taklif itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat dilaksanalan oleh si mukallaf.
Tujuan hukum yang digariskan oleh Pembuat Hukum berikutnya adalah pelaksanaan hukum oleh si mukallaf mesti dilandasi niatnya. Tujuan dengan niat mukallaf dalam melaksanakan hukum itu mesti sesuai pula dengan tujuan pembuat hukum. Dinukil dari buku Filsafat Hukum Islam karya Prof. DR Juhaya S. Praja 

1 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...