Sabtu, 04 Februari 2012

Tafsir Fiqhi / Hukmi

Oleh : Abdurrahman MBP

Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang menggali hukum,-hukum di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum-hukum taklifi. Corak ini memusatkan perhatian pada ayat-ayat yang secara eksplisit dan implicit mengandung hukum-hukum fiqh Islam. Fiqh dalam bahasa Arab (ﻓﻘﻪ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Sebagaimana mafhum bahwa Al-Qur’an adalah kitabullah yang mengandung hukum-hukum syariat yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Di antara hukum-hukum syariat tersebut adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah, kedua ruang lingkup hidup tersebut saat ini dikenal dengan istilah fiqh. Pada masa Rasulullah masih hidup, setiap muncul permasalahan keagamaan (fiqh) akan langsung disampaikan kepada beliau, selain itu juga pemahaman para shahabat terhadap bahasa Arab menjadikan permasalahan yang muncul tidak banyak.
Namun setelah beliau wafat permasalahan yang berkenaan dengan hukum-hukum fiqh Islam bermunculan, walaupun ada ijma bahwa segala sesuatu dikemablikan kepada Al-Quran dan Al-Hadits, namun beberapa permasalahan sering kali tidak ditemukan pada keduanya. Dari sinilah muncul tantangan baru bagaimana memahami fiqh Islam dengan pendekatan yang lain, yaitu keahlian mujtahid untuk menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kepada sunnah RasulNya.[1] Pendekatan yang dilakukan ini disebut dengan ijtihad, yaitu upaya untuk menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadits dengan kekuatan akal dan hati.
Karena ijtihad menjadi jalan keluar maka bermunculanlah para ulama yang berijtihad sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat yang berbeda. Perbedaan sendiri telah terjadi sejak pada masa para sahabat Nabi. Situasi ini terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang menjadi patokan umum dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, imam Maliki. Sedangkan dalam kalangan Syi’ah terdapat juga madzhab yang dikenal dengan Zaidiyyah dan Imamiyah.[2] Dengan berkembangnya pendapat-pendapat madzhab tersebut maka berkembang pula corak penafsiran yang sesuai dengan madzhabnya masing-masing. Sehingga muncul tafsir Al-Qur’an dengan corak fiqhi madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali. Pada kalangan syiah juga muncul penafsiran yang sesuai dengan keyakinan mereka,
Karakteristik dari tafsir fiqhi adalah memfokuskan perhatian kepada aspek hukum fiqh. Karena itu para mufasir corak fiqhi akan selalu menafsirkan setiap ayat Al-Qur’an yang dihubungkan dengan persoalan hukum Islam. Para mufasir akan panjang lebar menafsirkan ayat-ayat ahkam, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum Islam dalam Al-Qur’an. Terkadang mufasir hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu saja mengenai satu tema yang sama, maka dalam hal ini tafsir fiqhi secara metodik adalah tafsir maudhu’i.[3]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tafsir fiqhi terbagi menjadi corak tafsir yang sesuai dengan madzhab penulisnya masing-masing, beberapa dari kitab tafsir tersebut adalah :
1.      Ahkamul Qur’an karya al Jashash yang diklaim sebagai bentuk kerangka istimbath Imam Hanafi
2.      Ahkamul Qur’an karya Kayya al Harasy sebagai refresentasi Imam Asy Syafi’i,
3.      Ahkamul Qur’an karya Ibn ‘Arabi yang mewakili Fiqh Imam Maliki,
4.      Jamiu Li Ahkam Qur’an karya Abi Abdillah al Qurtuby yang mewakili Fiqh Imam Maliki
5.      Kanzu al ‘Irfan fi Fiqh Quran karya Miqdad as Saiwary yang mewakili Imamiyah.
6.      Ats-Tsamarat Yaani’ah wa al Ahkam Wadhihah al Qaathi’ah karya Yusuf ats Tsalai yang mewakili Zaidiyyah.
Corak dari tafsir fiqhi ini terus mengalami perkembangan hingga saat ini, sikap fanatik madzhab yang dulu sangat kental sudah mengalami penurunan hingga beberapa penulis tafsir modern terutama yang berkonsentrasi pada tafsir ahkam tidak lagi menonjolkan madzhab dan kelompoknya. Di antara contoh ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an adalah surat al-Baqarah: 124  tentang iddah :
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًۭا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍۢ وَعَشْرًۭا   
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.
            Ayat ini menunjukan bahwa masa iddah seorang perempuan yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, namun jika ia dalam keadaan hamil maka iddahnya hanya sampai ia melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat lainnya :
وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
            Penafsiran kedua ayat ini menggunakan corak tafsir fiqhi yaitu membahas tentang hukum yang berkaitan dengan iddahnya seorang wanita yang dicerai, baik karena suaminya meninggal dunia atau karena thalaq. Demikian juga ayat-ayat tentang waris, pernikahan, zakat, shalat, puasa. Haji dan permaaslahan fiqh lainnya.


[1] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufasirun, hal. 319. 
[2] Gus Arifin & Suhendri Abu Faqih, Al-Qur’an Sang Mahkota Cahaya,  Jakarta : Elex Media Komputindo, tahun 2010, hal. 79
[3] Shalahudin Hamid, Studi Ulumul Qur’an, Jakarta “ Intimedia, tahun 2002,  hal. 332.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...