Minggu, 27 Mei 2012

Retribusi Pemakaman dalam Hukum Islam

Oleh : Abdurrahman 
  
Retribusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "Pungutan uang oleh pemerintah (kota praja dsb) sebagai balas jasa" dengan kata lain bahwa retribusi adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contohnya : retribusi parkir, retribusi jasa pelabuhan, retribusi pasar, retribusi jalan tol dan retribusi pemakaman. Retribusi tidak termasuk dalam pengertian pajak karena pihak yang membayar tersebut menggunakan langsung fasilitas yang dikenakan retribusi tersebut.
Permasalahan retribusi dan pungutan terhadap layanan pemakaman tidak ditemukan dalam literatur Islam klasik. Sejak masa Nabi Muhammad SAW pemakaman seorang muslim dilakukan pada komplek pemakaman yang telah disediakan oleh pemerintah pada waktu itu. Bahkan anjuran-anjuran Nabi untuk memfasilitasi dan memberikan bantuan kepada para ahli waris mayit sangat banyak sekali. Misalnya perintah untuk memberikan makanan kepada ahli waris, mengurus jenazah, memandikan, membawa dan memasukannya ke liang lahad adalah memiliki keutamaan dan pahala yang sangat besar. Sehingga pengurusan jenazah dilakukan secara bersama-sama dengan semangat mendapatkan pahala dari Allah ta’ala.
Kebiasaan ini terus berlanjut hingga ratusan tahun kemudian dan hingga saat ini di mana di beberapa daerah pedesaan dan pedalaman urusan pemakaman jenazah dilakukan secara bersama dan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat. Tidak ada retribusi pemakaman dan biaya sewa makam. Namun dengan perubahan system social, terutama di perkotaan maka pengurusan jenazah tidak bisa lagi dilakukan secara bersama-sama dengan berbagai sebab. Termasuk berkembangnya berbagai ideology materialisme dan kapitalisme yang menjadikan masyarakat sangat menentukan segala sesuatu dengan uang.
Dari sinilah muncul berbagai pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat, sebagai contoh, jika dahulu seseorang yang menjadi imam shalat berjama’ah atau muadzin dengan ikhlas melaksanakan ibadah tersebut dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dan gaji, maka saat ini bisa saja seorang imam dan muadzin mendapatkan gaji dari amalannya tersebut. Hal ini berlaku juga dalam prosesi pemakaman, para penggali kubur saat ini tidak akan bekerja jika tidak dibayar, demikian pula kuburan tidak akan dirawat dan diperhatikan jika tidak membayar retribusi pemakaman. Pada beberapa kasus yang terjadi di kota besar, jika suatu makam tidak membayar retribusi maka akan dilakukan penumpangan mayat pada makam tersebut.
Demikian pula pemerintah akan mengenakan berbagai bentuk pungutan sebagai salah satu sumber pendapatannya. Hal ini bisa dipahami karena pemerintah akan terus menggali berbagai bentuk pajak dan derivasinya sebagai sumber pendapatan daerahnya, walaupun terkadang tidak lagi memperhatikan kemampuan warganya. Alih-alih mengurusi makam justru seringkali menyusahkan masyarakat yang memiliki kekurangan dari segi ekonomi. Dari sini seharusnya pemerintah daerah bisa mengambil sikap bijak dalam menerapkan retribusi pemakaman.
Bila ditinjau dari segi hukum Islam maka, retribusi adalah salah satu bentuk dari pungutan yang dikenakan oleh pemerintah kepada warganya. Pada dasarnya hukumnya diperbolehkan (jaiz) selama mendatangkan kemashlahatan bagi masyarakat. Hal ini didasarkan kepada nash-nash yang bersifat umum dan khusus, misalnya firman Allah ta'ala untuk mentaati ulil amri (Pemerintah) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. QS An-Nisaa : 59.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap masyarakat wajib untuk mentaati aturan-aturan yang diputuskan oleh pemerintah selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam beberpa haditsnya Rasulullah juga memerintahkan agar senantiasa taat kepada pemerintah :
فقال العرباض : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم ، ثم أقبل علينا ، فوعظنا موعظة بليغة ، ذرفت منها العيون ، ووجلت منها القلوب . فقال قائل : يا رسول الله ! كأن هذه موعظة مودع ، فما تعهد إليها ؟ فقال : أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا
Dari Abu Najih ’Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti ini adalah nasihat perpisahan, karena itu berilah kami nasihat”. Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap menjaga ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla, tunduk taat (kepada pemimpin) meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi. HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”.
Dalam Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata: Ayat ini turun: Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada rasul dan kepada ulil amri (pemimpin) di antara kamu berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi, yang diutus Nabi saw. dalam suatu pasukan perang. HR Muslim.  Hadis lainnya diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda: Barang siapa yang mentaatiku berarti ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang mendurhakai perintahku, maka berarti ia telah mendurhakai Allah. Barang siapa yang mematuhi pemimpin berarti ia telah mematuhiku dan barang siapa yang mendurhakai pemimpin berarti ia telah mendurhakaiku. HR Muslim
Merupakan kewajiban bagi warga Negara untuk mentaati pemerintah selama tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam, walaupun hal tersebut tidak disukainya. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda: Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai atau pun tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat. HR Muslim.
Kewajiban taat hanya pada sesuatu yang baik, adapaun dalam hal-hal yang bersifat kemaksiatan maka tidak ada ketaatan di sana. Walaupun demikian ketika pemerintah menetapkan satu peraturan yang tidak kita sukai maka bukan berarti kita menentangnya. Jika kita mampu maka nasehatilah pemerintah dengan cara yang baik. Sebagaiaman Hadis riwayat Abdullah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya akan muncul sepeninggalku sifat egois (pemimpin yang mengutamakan kepentingan diri sendiri) dan beberapa perkara yang tidak kamu sukai. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada seorang dari kami yang mengalami zaman itu? Beliau menjawab: Laksanakanlah kewajiban kamu dan mohonlah kepada Allah yang menjadi hakmu. HR Muslim.
Maka setiap warga Negara wajib untuk mentaati setiap peraturan yang dibuat oleh pemrintah, termasuk dalam masalah retribusi. Beberapa kaidah fiqhiyyah juga membahas tentang hak dari pemerintah untuk memungut retribusi secara umum kepada warga negaranya karena adanya kebutuhan. Jika tidak ada kebutuhan maka dilarang, sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang menegaskan “Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”. Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
Sementara dalam makna khusus maka retribusi yang diambil dari layanan pemakaman adalah salah satu bentuk dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan untuk kemashalahatan warganya :
تصرف الإمام منوط بالمصلحة
Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya. Maka sudah selayaknya ketika retribusi pemakaman itu diterapkan harus ada kompensasi dari pemerintah untuk pengguna layanan tersebut. Sebagai contoh perawatan makam betul-betul diperhatikan, tidak adanya pungutann liar selain yang telah ditetapkan serta jaminan kenyamanan ketika melakukan ziarah.
Jika ditinjau dari perspektif fiqh Islam, maka selain bentuk ketaatan kepada pemerintah dalam kasus retribusi pemakaman juga terjadi akad ijarah yaitu sewa menyewa antara ahli waris mayit dan pemerintah daerah. Dalam hukum Islam telah ditentukan bahwa praktek sewa menyewa (baca:ijarah) mendapatkan legitimasi yang jelas. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍۢ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍۢ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. QS. Ath-Thalaq: 6.
قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang peling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” QS. Al-Qashash: 26.
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ ٱسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا۟ أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًۭا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًۭا
Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” QS. Al-Kahfi: 77.
وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌۭ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍۢ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍۢ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. QS Al-Baqarah : 233.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan.
Adapun dalil dari Al-hadits adalah sebuah riwayat dari Aisyah :
عن عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)[15
Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada   hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai” H.R. Bukhari.
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka.
Kemudian hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه وسلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )[17]
”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas  r.a dia  berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. H.R.Bukhari
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)[18]
”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” H.R Ibnu Majah.
Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.
Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah  kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
Demikian pula, Hukum Islam mengatur tentang beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya suatu akad ijarah. Syarat dan rukun ijarah adalah:
1.      Aqidain (dua orang/pihak yang melakukan akad sewa menyewa)
2.      Sighat (lafadz dari akad ijarah tersebut)
3.      Ma'qud Alaih (benda atau barang dan jasa yang dijadikan obyek akad)
Dua pihak yang berakad dalam hal ini adalah pemerintah daerah yang diwakili oleh para petugas pemungut retribusi dan ahli waris atau pihak yang bertanggungjawab terhadap mayit yang dikubur di pemakaman tersebut. Sementara sighat atau ucapan akad ijarah bisa diucapkan secara lisan, dalam bentuk tulisan atau kesepakatan yang telah diketahui oleh pihak-pihak yang berakad tersebut. Sedangkan obyek akad atau transaksi adalah luas tanah yang digunakan untuk pemakaman sesuai dengan luas dan waktu yang ditentukan ketika akad berlangsung.
Rumusan Fiqh tersebut menjadi satu bentuk penekanan dasar bahwa Ijarah berdasarkan ketentuan hukum dalam nash, hadis dan ijtihad para ulama, dapat dikatakan sebagai pemanfaatan jasa sesuatu yang dikontrak. Jika dikontekskan dalam praktek retribusi pemakaman di Sukabumi, maka sebenarnya kandungan praktik ijarah dalam pelaksanaan retribusi ini adalah diperbolehkan dengan catatan melalui jalur yang resmi atau berdasarkan kententuan yang berlaku, yakni Perda No. 5 tahun 2012.  
Sehingga retribusi pemakaman dalam hal ini diperbolehkan sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah. Adapun jika dilihat dari akadnya maka dalam bentuk ijarah (sewa-menyewa) antara pemerintah daerah dan pengguna layanan pemakaman. Walaupun demikian pemerintah tetap memiliki kewajiban untuk menyandarkan segala kebijakannya kepada kemashalahatan bagi warganya. Jangan sampai retribusi yang dibuat justru memberatkan warga masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...