Sabtu, 01 Desember 2012

Candi Cangkuang, Arca Syiwa & Arif Muhammad

 Oleh : Eko Risanto


Sosok Eyang Arif Muhammad dan kampung Pulo-nya terkuak secara luas berkat buku yang ditulis seorang Belanda bernama Vorderman tahun 1893. Berdasarkan buku itu, ilmuwan Sunda Uka Tjandrasasmita, pada 9 Desember 1966 menelusurinya dan menemukan sebuah patung dewa Syiwa, makam kuna bertuliskan Arif Muhammad dan reruntuhan candi. Sejak itu, kompleks bernilai histori inipun terkenal ke mana-mana.
Tak ada keterangan rinci soal hubungan Arif Muhammad yang dimakamkan di kaki candi Cangkuang serta arca Dewa Syiwa. Dan siapa pula bisa mengartikan makna penyatuan dua peradaban bersekat agama --Islam dan Hindu tersebut. Namun setidaknya, hal ini dapat dijelaskan dengan menilik perkembangan syiar Islam di masa silam, terutama ketika disebarkan walisanga.
Sunan Kalijaga, misalnya, konon menggunakan symbol-simbol Hindu dan animisme untuk bisa masuk ke dalam struktur masyarakat saat menyebarkan agama Islam. Dan hal itu pula yang menjelaskan mengapa hanya berjarak 3 meter sebelah barat situs candi Cangkuang, Eyang Arif Muhammad dipusarakan.

Candi Cangkuang
Keberadaan Candi Cangkuang masih dalam silang pendapat di kalangan pakar. Tak heran, tulisan maupun sejarah candi ini nyaris tidak ada. Mengapa? Karena tak ada prasasti yang menjelaskan keberadaan candi ini. Yang ada hanya cerita rakyat yang berkembang secara turun temurun. Namun, melihat adanya arca Syiwa pada candi ini, jelas bila Candi Cangkuang merupakan peninggalan jaman Hindu.
Berbeda halnya dengan kondisi di Jawa Tengah dan Timur. Di sana, tidak sedikit candi-candi peninggalan Hindu yang tersebar di berbagai tempat. Ditambah berbagai prasasti dan tulisan-tulisan kuno yang menjadi petunjuk. Tak heran, para pakar melihat itu sebagai keunikan tanah Pasundan. Menurut mereka, raja-raja Sunda pada masa itu punya falsafah hidup yang lain. Nampaknya bukan kemegahan lahiriyah yang hendak dicapai, tapi hakekat dari perilaku, termasuk urusan hubungan dengan Sang Pencipta.
Karena kondisi itulah, di tanah Pasundan hanya ditemukan sebuah candi sebagai tempat suci umat Hindu pada masa lampau, yakni Candi Cangkuang. Nama Cangkuang diambil dari nama desa dimana candi ini pertama kali ditemukan. Istilah Cangkuang sendiri berasal dari nama sebuah tanaman (pohon Cangkuang) yang banyak tumbuh di sekitar daerah ini.

Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Team Sejarah Leles dan sekitarnya pada tanggal 9 Desember 1966. Team ini disponsori oleh Bapak Idji Hatadji ( Direktur CV. Haruman ). Team Sejarah Leles diketuai oleh Prof. Harsoyo, serta sebagai ketua penelitian sejarah dan kepurbakalaan adalah drs. Uka Tjandrasasmita, seorang ahli purbakala Islam pada lembaga purbakala.
Uka Tjandrasasmita mula-mula melihat adanya batu yang merupakan fragmen dari sebuah bangunan candi. Di sampingnya terdapat pula makam kuno berikut sebuah arca (patung) Siwa yang sudah rusak. Tempat penemuan ini merupakan sebuah bukit di Kampung Pulo Desa Cangkuang. Penelitian tersebut berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno bertuliskan Arif Muhammad dan sebuah arca yang sudah rusak.
Selama penelitian selanjutnya disekitar tempat tersebut ditemukan pula peninggalan-peninggalan kehidupan pada zaman pra sejarah yaitu berupa alat-alat dari batu obsidian (batu kendan), pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neolithicum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum.

Rekonstruksi 1970
Bangunan Candi Cangkuang yang kini dapat disaksikan adalah bangunan hasil rekonstruksi tahun 1970-an. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tahun 1967/1968 jumlah batu candi yang ditemukan hanya 35%. Jumlah itu sebetulnya kurang memadai untuk membangun kembali sebuah bangunan yang telah runtuh. Bangunan ini didirikan pada puncak bukit kecil (670 meter dpl.) di tengah pulau yang oleh penduduk setempat disebut dengan nama Pulau Panjang.
Bukit kecil yang merupakan pulau itu tingginya sekitar 10 meter dari permukaan air danau. Bangunan candi berdiri pada sebuah lapik bujursangkar dengan ukuran 4,70 x 4,70 meter dan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang berprofil dengan nama-nama pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit persegi mempunyai denah berbentuk bujursangkar dengan ukuran 4,50 x 4,50 meter dan tinggi 1,37 meter. Di sisi utara kaki bangunan terdapat penampil tempat tangga naik yang berukuran panjang (menjorok ke timur) 1,50 meter dan lebar 1,26 meter.
Badan bangunan denahnya berbentuk bujursangkar dengan ukuran 4,22 x 4,22 meter dan tinggi 2,49 meter. Di sisi utara badan bangunan terdapat penampil pintu masuk dengan ukuran panjang (menjorok ke timur) 0,52 meter dan lebar 1,10 meter. Pada penampil ini terdapat pintu masuk yang berukuran tinggi 1,56 meter dan lebar 0,60 meter.
Atap bangunan terdiri dari dua tingkatan. Tingkatan pertama berdenah bujursangkar dengan ukuran 3,80 x 3,80 meter dan tinggi 1,56 meter. Di sisi-sisinya terdapat hiasan kemuncak yang jumlahnya 8 buah, dan di bagian atas atap tingkat pertama juga terdapat 8 buah hiasan kemuncak. Pada atap tingkat kedua yang denahnya berukuran 2,74 x 2,74 meter dan tinggi 1,10 meter, juga terdapat 8 buah hiasan kemuncak. Hiasan kemuncak pada atap kedua ini berukuran tinggi 0,58 meter. Hiasan kemuncak utama yang terletak di tengah dan puncak atap berukuran tinggi 1,33 meter. Keseluruhan bangunan mulai dari lapik hingga puncak atap mempunyai ukuran tinggi 8,5 meter.
Bagian dalam bangunan terdapat ruangan yang berukuran 2,18 x 2,24 meter dan tinggi 2,55 meter. Di lantai bagian tengah terdapat lubang yang berdenah bujursangkar dengan ukuran 0,40 x 0,40 meter. sedalam lebih dari 5 meter dan diisi dengan pasir yang berfungsi sebagai stabilisator. Di atas lubang ditempatkan sebuah arca hindu yang keadaannya sudah rusak.
Arca yang ditemukan pada tahun 1800-an digambarkan duduk bersila di atas bantalan teratai. Kaki kirinya ditekuk mendatar dengan telapak kakinya diarahkan ke paha kanan bagian dalam. Kaki kanannya ke arah bawah dengan telapak kakinya terletak pada lapik. Di bagian depan kaki kiri terdapat kepala seekor sapi (nandi) dengan dua telinganya mengarah ke depan. Arca dengan ciri yang demikian merupakan arca Syiwa. ***
Sumber : http://ekorisanto.blogspot.com/2009/07/candi-cangkuang-arca-syiwa-arif.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...