Kamis, 29 November 2012

Tidak Ada Domba di Kampung Naga

Oleh : Abu Aisyah


Idhul Adha adalah satu dari dua hari raya dalam Islam, pada hari itu umat Islam merayakannya dengan berbagai tradisi keagamaan. Dari mulai shalat Idhul Adha, berkurban dan bertakbir pada hari-hari tasyrik. Hari raya Idhul Adha dalam beberapa literatur adalah hari-hari untuk makan-minum dan dijadikan momen untuk bergembira. Inti dari hari raya ini adalah perintah untuk menyembelih binatang qurban sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah ta’ala. Binatang yang disembelih biasanya adalah Sapi, Onta dan Kambing atau Domba.
Tradisi menyembelih hewan kurban adalah warisan dari Nabi Ibrahim Alaihi Salam yang mendapatkan wahyu dari Allah ta’ala untuk menyembelih putranya Ismail Alaihi Salam sebagai ujian keimanan beliau kepadaNya. Maka dengan penuh keikhlasan Ibrahim menjalankan wahyu tersebut, namun setelah Allah ta’ala melihat kesungguhan Ibrahim maka Dia menggantikan semebelihan tersebut dengan Domba yang gemuk. Selanjutnya tradisi ini dilanjutkan oleh umat Islam sebagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.
Menyembelih hewan kurban pada hari raya Idhul Adha adalah sebuah kewajiban bagi mereka yang mampu melaksanakan. Mampu sendiri berarti ia memiliki uang atau hewan yang akan dijadikan kurban, sementara kebutuhan hidup sehari-hari sudah terpenuhi. Sedangkan jika seseorang tidak mempunyai harta sehingga tidak mungkin bagi dia untuk berkurban maka tidak ada kewajiban atasnya untuk berkurban. Apa jadinya jika seseorang yang sebenarnya mampu untuk berkurban namun ia enggan untuk melaksanakannya?
Berkurban adalah bentuk kesadaran dari dalam diri seseorang untuk berusaha memberikan hal terbaik bagi Allah ta’ala. Tentu saja hewan kurban tersebut tidak akan sampai kepadaNya, akan tetapi proses keikhlasan, harapan dan pengorbanannya yang akan mendapatkan balasan (pahala) dariNya. Kesadaran ini akan muncul bersamaan dengan meningkatnya keimanan seseorang, sehingga semakin tinggi iman seseorang akan semakin besar keinginannya untuk berkurban. Dalam makna yang luas kurban berarti menyerahkan seluruh apa yang kita miliki di jalan Allah ta’ala.
Berkaitan dengan Hari Raya Idhul Adha maka kit alihat saat ini kesadaran masyarakat untuk berkurban terus meningkat. Hal ini terbukti dengan banyaknya sembelihan yang dilaksanakan di berbagai tempat, tidak hanya di masjid tapi di rumah-rumah umat Islam-pun melaksanakan ibadah suci ini. Kesadaran ini tentu harus kita apresiasi sebagai salah satu indikasi bagi ketakwaan masyarakat. Begitu banyaknya masyarakat yang berkurban hingga hari raya Idhul Adha adalah ahri untuk makan daging, membuat sate dan banyaknya daging di rumah-rumah umat Islam.
Di satu sisi umat Islam “Kelebihan” daging pada hari raya ini, sementara di sisi lain masih ada beberapa masyarakat yang kekurangan atau bahkan tidak mendapatkan daging hewan kurban tersebut. Hal ini bisa jadi dikarenakan distribusinya yang tidak merata, sehingga banyak umat Islam yang tidak bisa menikmati daging hewan kurban di hari Idhul Adha ini.
Inilah yang terjadi di Kampung Naga, sebuah kampung adat yang berada di wilayah Tasikmalaya. Susana Idhul Adha di sini benar-benar berbeda dengan di wilayah lainnya. Usai melaksanakan shalat “sunnah” Idhul Adha semua warga kampung kembali ke rumah, tidak ada sembelihan, tidak ada kurban dan tidak ada Domba di Kampung Naga. Maka tidak ada pembagain daging kurban dan tidak ada yang bisa menikmati daging kurban di hari Idhul Adha ini. Sungguh sangat memprihatikan, di saat masyarakat lainnya berbahagia dan menikmati daging hewan kurban, di Kampung Naga tidak ada sembelihan dan tidak ada acara makan daging kurban. Bisa jadi mereka melihat hal ini adalah sesuatu yang biasa karena mereka juga telah terbiasa dengan hal itu, namun melihat di beberapa daerah justru kelebihan daging maka sesuatu yang sangat miris ketika ternyata masih ada saudara kita yang tidak bisa menikmati dan merayakan Idhul Adha ini. Bisa jadi warga Kampung Naga juga menginginkan menikmati lezatnya daging kurban, namun apa daya keinginan itu harus ditahan untuk masa-masa yang entah kapan.
Hari raya Idhul Adha di Kampung Naga memang tidak identik dengan penyembelihan hewan kurban, sebagai warga kampung dengan kehidupan yang serba pas-pasan mereka hanya bisa menyediakan makanan sederhana. Nasi, ikan, tempe atau tahu adalah menu istimewa bagi mereka, sementara daging adalah makanan tahunan atau hanya ditemukan pada hajatan pernikahan itupun kalau yang memiliki hajat mampu menyediakannya. Maka jangan harap mendapatkan kurban di Kampung Naga kalaupun ada itu adalah sumbangan dari orang luar atau perusahaan yang meitipkan hewan kurbannya di sana. Apakah ada hubungan dengan keyakinan keagamaan? Secara kasat mata tidak ada hubungan yang signifikan karena memang ketidakmampuan mereka untuk berkurban, namun jika kita telisik lebih mendalam bisa jadi memang menurut mereka makna berkurban bukanlah dalam bentuk penyembelihan. Berkurban berarti melakukan hal-hal yang sifatnya “pengurbanan” diri untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Sehingga untuk berkurban tidak harus menyembelih hewan. Keyakinan ini bisa disandingkan dengan ibadah haji, hingga saat ini tidak ada satu warga Kampung Naga yang menunaikan ibdah haji, bisa jadi mereka memang tidak mampu untuk melaksanakannya karena kondisi ekonominya. Karena ketidakmampuan inilah muncul satu keyakinan bahwa haji itu adalah sesuatu yang agung sehingga bagi yang tidak mampu cukup melaksanakan ziarah ke makam leluhur dalam bentuk tradisi Hajat Sasih. Berkaitan dengan Hajat Sasih ini pula tradisi berkurban dialihkan menjadi meyediakan tumpeng dan lauk-pauknya untuk didoakan oleh tetua kampung agar mendapatkan keberkahan.
Terlepas dari keyakinan masyarakat Kampung Naga yang tidak melaksanakan kurban karena “ketidakmampuan” mereka maka sudah selayaknya bagi lembaga-lembaga dakwah dan keagamaan atau orang-orang yang mampu untuk berkurban agar dalam pendistribusiannya merata hingga ke pelosok-pelosok nusantara termasuk sampai Ke Kampung Naga. Saya berharap semoga Idhul Adha di masa-masa yang akan datang warga Kampung Naga dapat menikmati lezat dan barakahnya daging hewan sembelihan... Wallahu a’alam. 

Rabu, 28 November 2012

Selayang Pandang Negara Iran

Republik Islam Iran dahulu dikenal dengan sebutan Persia, merupakan negara yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia, bahkan dianggap sebagai salah satu dari 15 negara yang menjadi tempat lahir dan pembentuk kebudayaan manusia. Wilayahnya yang terdiri atas gunung-gunung, lembah dan padang pasir tandus itu, telah dihuni oleh masyarakat manusia lebih dari 100 ribu tahun silam. Namun, sejarah Persia umumnya dimulai dari migrasinya suku bangsa Media dan Persia dari kawasan Asia Tengah, yang datang dan menetap di Persia (Iran) pada abad ke-16 SM.
Terjadi saling perebutan kekuasaan, dan suku Media lebih awal berkuasa (728-550 SM), sampai kemudian bangsa Persia berkuasa di bawah kepemimpinan Raja Cyrus Agung. Pada saat itu, Persia menjadi sebuah wilayah kerajaan besar meliputi Babilonia, Palestina, Suriah, seluruh Asia Kecil dan Mesir. Kejayaan itu berlangsung lebih dari dua abad lamanya, hingga tahun 330 SM, bersamaan dengan munculnya kekuasaan Romawi. Pada saat itu, Persia ditaklukkan Alexander the Great (Alexander Agung). Wilayah ini akhirnya menjadi rebutan kekuasaan yang silih berganti, dari Dinasti Arcasida dan Kekaisaran Parthia (248 SM-224 M), dan dilanjutkan dengan Kekaisaran Sassanid (226-651M), hingga masuk masa Islam, yaitu pada masa Khulafa al-Rasyidin di Arab, Islam masuk ke Persia.
Sejak tahun 640 M hingga sekarang, seluruh wilayah Persia telah dikuasai Pemerintahan Islam. Hanya saja, terjadi perebutan kekuasaan antar dinasti-dinasti Islam sejak masa Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Safawi, Dinasti Qajar, Dinasti Pahlavi, hingga Republik Islam Iran. Menurut kronologisnya, Iran mulai mendapat campur tangan Eropa pada 1779, saat Dinasti Qajar berkuasa.
Memasuki Abad ke-20, tepatnya tahun 1921, pasca Perang Dunia pertama, terjadi kudeta yang dilakukan oleh Reza Khan untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan Qajar. Pada tahun 1925 Reza Khan menjadi penguasa dan mengganti namanya menjadi Reza Pahlevi. Kerjasamanya dengan Nazi, menyebabkan sekutu yang selama ini mendukungnya, memaksanya turun tahta. Ia digantikan oleh putranya Mohammad Reza Shah Pahlevi. Pada 1935 Persia berganti nama menjadi Iran, dan Muhammad Reza Pahlevi, menyatakan bahwa kedua nama tersebut (yaitu Persia dan Iran) boleh digunakan. Pemerintahan Syah Iran ini bertahan hingga 1979, saat Ayatullah Khumaini meruntuhkan kekuasaanya melalui perlawanan panjang dalam sebuah revolusi yang monumental. Sejak itu Iran menjadi Negara modern non-monarki dengan nama Republik Islam Iran.
Gerakan revolusi yang dilakukan Khomeini dan para ulama Syi'ah lainnya dalam  mengungkapkan pemikirannya merupakan perjuangan yang baik dalam pembelaannya terhadap Islam serta mendirikan pemerintahan Islam, sebagai pengganti atas pemerintahan kerajaan yang sebelumnya. Untuk itu bagi Khomeini ulama merupakan pondasi dalam mempertahankan hak-hak Islam serta sarana untuk pengetahuan manusia akan moralitas bangsa. Karena jika para ulama itu rusak dan bodoh akan pengetahuan hukum-hukum agama maupun politik maka hal itu dapat merusak citra dan kepercayaan rakyat bahkan Islam itu sendiri. Strategi perjuangan Khomeini mendapatkan simpatik dari rakyat Iran, sehingga yang selalu dia serukan dengan terus-terangan adalah bagaimana negara dapat menjamin kesejahteraan dan keamanan bagi rakyatnya sehingga peran para pejabat eksekutif, legislatif serta para ulama benar-benar memberikan konstribusi yang sesuai dengan harapan rakyat.

Eksistensi Ulama di Iran dan Pakistan

Oleh : AM. Bambang Prawiro

Ulama adalah pewaris para nabi, mereka menjadi pelanjut tugas kenabian yaitu menyampaikan wahyu Tuhan kepada seluruh insan. Proses melanjutkan ajaran-ajaran Tuhan tercermin dalam bentuk mengajak umat manusia kepada yang ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran. Dalam konteks melanjutkan tugas Nabi, maka para ulama adalah pewaris dalam hal-hal yang bersifat keagamaan. Adapun dalam masalah pemerintahan maka kepemimpinan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam digantikan oleh para khalifah dan raja-raja Islam sesudahnya. Dari sini tampak adanya pemisahan kepemimpinan yang terjadi, yaitu antara kepemimpina agama dan kepemimpinan negara. Satu permasalahan besar yang hingga saat ini belum terpecahkan.
Sebagaimana tercatat dalam literatur sejarah bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam memiliki fungsi ganda (dwi fungsi), selain sebagai seorang Nabi dan rasul yang bertugas menyampaikan wahyu Tuhan, beliau juga berperan sebagai seorang kepala negara di Madinah (city-state/negara-kota). Sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau memiliki amanah untuk mengajak manusia ke jalan kebenaran Islam. Sementara dalam posisi sebagai kepala negara beliau harus mengayomi seluruh warga negara yang tidak hanya berasal dari komunitas muslim tapi juga komunitas Yahudi, Nashrani, Zoroaster dan golongan lainnya. Dwi-fungsi yang diperankan oleh beliau tidak bisa diwariskan oleh generasi sesudahnya, sehingga realitas umat Islam saat menempatkan dua posisi kepemimpinan yang berbeda, yaitu antara pemimpin keagamaan dan pemimpin kenegaraan. Dua jenis kepemimpinan yang tidak bisa dihindari setelah wafatnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam.
Para khalifah dan raja-raja Islam setelah beliau pun yang berusaha untuk sedekat mungkin menggantikan beliau dalam dwi-fungsi ini, namun tidak ada satu orangpun yang mampu memerankannya, sehingga sebagian besar khalifah dan raja-raja Islam lebih memposisikan diri sebagai seorang kepala negara, sementara kepemimpinan agama diserahkan kepada para ulama.  
Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq menyebutkan posisi beliau adalah khalifati rasul yaitu pengganti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Walaupun beliau berusaha semaksimal mungkin untuk mencontoh dwi-fungsi Rasulullah namun dalam prakteknya beliau tidak bisa menggantikan secara total peran dan posisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Demikian pula tiga khalifah setelahnya, mereka lebih memerankan diri sebagai pemimpin negara, adapun peran sebagai ulama tetap disandang dengan bantuan dari orang-orang shaleh yang berada di sekitarnya. Dalam hal ini posisi nabi sebagai seorang alim digantikan oleh majelis syura yang berusaha untuk menapaki dan melaksanakan jejak-jejak keagamaan beliau. Para pemimpin Islam pada periode berikutnya bahkan telah memosisikan ulama sebagai penasehat negara, walaupun dalam beberapa kasus seorang kepala negara Islam juga adalah seorang yang alim dalam masalah agama.
Pada masa-masa berikutnya pemisahan antara kepemimpinan agama dan negara semakin jelas dengan diposisikannya ulama sebagai penasehat raja (Qadhi), ia bertugas sebagai hakim dalam setiap penyelesaian sengketa khususnya yang berkaitan dengan agama. Keputusan-keputusan hakim tersebut menjadi fatwa yang dijadikan acuan dalam proses pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah atau raja. Hal ini berlangsung terus-menerus hingga masa kekhalifahan Islam berakhir.
Selanjutnya setelah keruntuhan kekhalifahan Islam, dunia Islam berada dalam cengkeraman kolonialis Eropa sehingga mau tidak mau umat Islam semakin dijauhkan dari para ulama. Walaupun usaha-usaha untuk memosisikan ulama sebagai patner pemimpin negara terus dilakukan namun kondisi umat Islam yang masih terjajah memaksa umat Islam semakin menyempitkan peran dan posisi ulama. Kemudian yang terjadi adalah ulama hanya sebatas pemberi fatwa dalam masalah-masalah rumah tangga, waris dan masalah perdata. Sementara permasalahan yang lebih luas yang berkaitan dengan kenegaraan hampir tidak bisa diakses-nya lagi.
Keadaan inilah yang mejadi latar belakang bagi beberapa ulama di India dan Persia untuk berusaha memperjuangkan kembali eksistensi ulama, selain juga berusaha untuk melindungi umat Islam dari berbagai tekanan musuh-musuh internal maupun eksternal. Maka pada tahun 1947 Ali Jinnah seorang ulama dari India mendirikan Negara Republik Islam Pakistan. Upaya ini didasarkan kepada prinsip awal bahwa peran dan posisi ulama seharusnya tidak bisa lepas dari pemerintahan, dalam hal ini pemerintah Islam sudah selayaknya menjadikan para ulama sebagai pedoman dalam setiap pelaksanaan kebijakannya.
Setelah itu menyusul kelompok Syiah yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini dengan perjuangan utamanya membangun pemerintah Islam yang “kaafah” yaitu menjadikan peran ulama sebagai tokoh sentral dalam setiap kebijakan kenegaraannya. Revolusi Islam yang digerakannya pada tahun 1979 menghasilkan dibentuknya Negara Republik Islam Iran. Wilayatul faqih sebagai majelis ulama menjadi posisi sentral dalam pemerintahan Iran.
Dari fenomena dua model pemerintahan Islam ini muncul beberapa pendapat di kalangan ulama modernis muslim mengenai posisi dan peran ulama, ada dua pendapat mengenai hal; ini., apakah ia hanya sebagai penasehat kepala negara? Atau juga menjadi eksekutor dalam kebijakan kenegaraan? Pendapat pertama menyatakan bahwa ulama cukup menjadi ustadz, buya atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang datang belajar atau minta fatwa. Soal kehidupannya, serahkan kepada inisiatifnya yang lain, atau profesi sampingannya atau profesi utamanya yang lain. Bagi pemahaman yang satu ini, ulama bukan profesi tetapi fungsi pengabdian non-ekonomik. Bahkan ada anggapan bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan pengajian. Pengajian hanyalah tugas sucinya.
Pendapat lain menyatakan bahwa fungsi, tugas dan peranan ulama harus dilakukan reinterpretasi ulang dan bersesuaian dengan tuntutan kehidupan modern. Ulama pada dasarnya sesuai makna generik adalah orang berilmu. Karena itu tugasnya ialah mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmu itu kepada ummat. Tetapi peranan itu dalam kenyataan dalam sejarah komunitas Islam, amatlah transformatif, komplek dan berubah-ubah. Sejak wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam masa sahabat Khulafa al-Rasyidun, masa dinasti Umayah, Abbasiyiah, Fathimiyah, dinasti Turki Usmani, dinasti Shafawiyah di Persia, Dinasti Mughal di anak benua India, ulama dituntut lebih luas dari hanya berilmu dan pengajar atau tempat bertanya ummatnya. Kalau di masa Khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, khalifah masih mendekati fungsi, tugas dan peranan kenabian. Transformasi terjadi setelah itu. Era pasca Khulafa al-Rasyidun ini, mulai dari daulat-dinasti tadi sampai bubarnya dinasti Khalifah Turki Usmani 1924. Ada persepsi bahwa ulama menjadi patner khalifah, amir dan sultan di masa dinasti-dinasti tadi. Sebaliknya ada persepsi bahwa ulama menjadi topeng khalifah atau pemerintahan untuk melegalisasikan kebijakan dalam bentuk fatwa-fatwa ulama.
Dari sinilah muncul berbagai permasalahan tentang posisi dan peran ulama di dalam masyarakat, apakah ia hanya sebagai penyampai (mubaligh) saja atau ia berfungsi ganda seperti yang diperankan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam? Dalam ruang yang lebih spesifik bagaimana sebenarnya posisi dan peran ulama dalam pemerintahan? Dengan mengambil dua contoh pemerintahan Islam yang memiliki basis theologi yang berbeda diharapkan kita akan mengetahui bagaimana posisi dan peran mereka bagi kemajuan suatu bangsa dan negara. Oleh akrena itu makalah ini akan mengkaji mengenai posisi dan peran ulama dan proses legislasi di Republik Islam Iran (RII) dan Republik Islam Pakistan (RIP).

Selasa, 27 November 2012

Wallahi...? Ciyus? Miapa?

Oleh : Ibnu Muhammad

Pernah dengar kata “Wallahi”? atau bahasa santrinya “Wallei?” dijamin deh udah sering banget denger kata ini, bahkan menurut survey ternyata kata-kata ini menjadi senjata ampuh untuk mengelabui ustadz... astaghfirullah. Emang bener, banyak banget kalau kita lihat saat ini santri yang sering banget menggunakan kata-kata sumpah ini. Trus... masalah buat loe? Ya jelas lah ini masalah besar bro.. nggak percaya? Coba deh.. baca firman Allah Subhanahu wa ta’ala berikut ini :
واحفظوا أيمانكم
“Dan jagalah sumpahmu …” QS. Al Maidah, 89.
Masih belum percaya juga? Nih ane kasih hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
الحلف منفقة للسلعة ممحقة للكسب
Sumpah itu dapat melariskan barang dagangan namun dapat menghapus keberkahan usaha. HR. Bukhari dan Muslim.
Nah loh...  walaupun hadits ini buat para pedagang yang kebanyakan bersumpah, tapi hadits ini juga buat kita semua yang masih suka bersumpah. Kalau banyak bersumpah aja tidak bagus apalagi kalau sumpahnya itu sumpah palsu, jelas banget lah pasti gede banget dosanya tuh. Coba deh baca hadits berikut ini : Dari Salman Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
ثلاثة لا يكلمهم الله ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم ؛ أشيمط زان، وعائل مستكبر، ورجل جعل الله بضاعته لا يشتري إلا بيمينه ولا يبيع إلى بيمينه ” رواه الطبراني بسند صحيح.
“Tiga orang yang mereka itu tidak diajak bicara dan tidak disucikan oleh Allah (pada hari kiamat), dan mereka menerima adzab yang pedih, yaitu : orang yang sudah beruban (tua) yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, ia tidak membeli atau menjual kecuali dengan bersumpah ” HR. Thabrani dengan sanad yang shaheh.
Hadits ini masih ngomongin tentang larangan untuk banyak bersumpah terutama bagi para pedagang yang emang suka bersumpah, contohnya nih kata-kata mereka “Demi Allah modalnya sekian, jadi belum dapat kalau dijual sekian”. Tentu saja banyak bersumpah untuk menguatkan sesuatu yang gak penting itu juga masuk dalam larangan dalam hadits ini. Kamu gak mau khan kalau di akhirat sana tidak dapat perlindungan?
Biar tambah mantap, kita tahu bersama khan kalau generasi terbaik umat ini adalah para shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in. Diriwayatkan pula dalam shoheh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم، ثم يجيء قوم تسبق شهادة أحدهم يمينه ويمينه شهادته
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi yang datang berikutnya, kemudian generasi yang datang berikutnya lagi, kemudian akan datang orang-orang dimana diantara mereka kesaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya”.
Nah bagaimana contoh tindakan mereka buat anak-anak mereka yang suka banyak bersumpah? Ibrahim An Nakhoi berkata : “Mereka memukuli kami karena kesaksian atau sumpah (yang kami lakukan) ketika kami masih kecil”. Jelas banget khan kalau ternyata banyak bersumpah itu tidak baik, apalagi keseringan bersumpah untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya, misalnya nih... “Ustadz izin mau ke hamam, Wallahi sudah kebelet”, atau ucapan “Wallei.... “ untuk hal-hal sepele. Kalau sekarang ditambah lagi... “Wallei... Ciyus? Miyapa?”. Kamu udah tau khan kata-kata “miapa” itu singakatan dari “Demi Apa” ya pasti lah sebagai muslim pasti Demi Allah, gak boleh demi dengan yang lain bisa-bisa terjatuh kepada kesyirikan.
So... dari sekarang jangan sering-sering deh kita bersumpah apalagi dengan kata-kata yang gak jelas seperti “Wallei” atau “miapa? Soalnya udah jelas banget hukumnya. Sudah paham khan? Kalau belum paham ulang lagi aja baca dari atas tulisan ini. Wallahu a’lam. 

Peran Ulama dalam Pemerintahan

Oleh : Abdurrahman Muhammad

Ulama adalah pewaris para nabi, mereka menjadi pelanjut tugas kenabian yaitu menyampaikan wahyu Tuhan kepada seluruh insan. Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik para ulama adalah penerus tugas Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam yaitu sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira bagi seluruh umat manusia. Setelah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam wafat, maka tidak ada lagi rasul dan nabi, karena Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam adalah nabi dan rasul terakhir. Dari sinilah makalah ini berawal, yaitu posisi dan peran para ulama di tengah masyarakat.  
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dalam prakteknya memiliki fungsi ganda, selain sebagai seorang Nabi dan rasul yang bertugas menyampaikan wahyu Tuhan, beliau juga berperan sebagai seorang kepala negara di Madinah (city-state/negara-kota). Dalam posisi beliau sebagai kepala negara tentu saja beliau harus mengayomi seluruh warga negaranya, tidak hanya dari komunitas muslim tapi juga komunitas Yahudi, Nashrani, Zoroaster dan golongan lainnya. Dari dwi-fungsi inilah beliau memiliki kedudukan yang tidak bisa ditandingi oleh generasi sesudahnya. Para khalifah setelah beliau pun yang berusaha untuk sedekat mungkin menggantikan beliau tidak mampu memerankan fungsi ganda ini, sehingga sebagian besar khalifah lebih memerankan diri sebagai seorang kepala negara.
Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq menyebutkan posisi beliau adalah khalifati rasul yaitu pengganti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Walaupun beliau berusaha semaksimal mungkin untuk mencontoh dwi-fungsi Rasul namun dalam prakteknya beliau tidak bisa menggantikan secara total peran dan posisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Demikian pula tiga khalifah setelahnya, mereka lebih memerankan diri sebagai pemimpin negara, adapun peran sebagai ulama tetap disandang dengan bantuan dari orang-orang shaleh yang berada di sekitarnya. Dalam hal ini posisi nabi sebagai seorang alim digantikan oleh majelis syura yang berusaha untuk menapaki dan melaksanakan jejak-jejak keagamaan beliau. Para pemimpin Islam pada periode berikutnya bahkan telah memosisikan ulama sebagai penasehat negara, walaupun dalam beberapa kasus seorang kepala negara Islam juga adalah seorang yang alim dalam masalah agama.
Pemisahan antara agama dan negara pada periode setelah kepemimpinan khulafa ar-rasyidin semakin jelas dengan diposisikannya ulama sebagai penasehat raja (Qadhi), ia bertugas sebagai hakim dalam setiap penyelesaian sengketa khususnya yang berkaitan dengan agama. Keputusan-keputusan hakim tersebut menjadi fatwa yang dijadikan acuan dalam proses pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah. Hal ini berlangsng terus-menerus hingga masa kekhalifahan Islam berakhir.
Selanjutnya setelah keruntuhan kekhalifahan Islam, dunia Islam berada dalam cengkeraman kolonialis Eropa sehingga mau tidak mau umat Islam semakin dijauhkan dari para ulama. Walaupun usaha-usaha untuk memosisikan ulama sebagai patner pemimpin negara terus dilakukan namun kondisi umat Islam yang masih terjajah memaksa umat Islam semakin menyempitkan peran dan posisi ulama. Kemudian yang terjadi adalah ulama hanya sebatas pemberi fatwa dalam masalah-masalah rumah tangga, waris dan masalah perdata. Sementara permasalahan yang lebih luas yang berkaitan dengan kenegaraan hampir tidak bisa mengakses-nya lagi.
Keadaan inilah yang mejadi latar belakang bagi beberapa ulama di India untuk berusaha memperjuangkan kembali eksistensi ulama, selain juga berusaha untuk melindungi umat Islam dari berbagai tekanan dari musuh-musuh internal maupun eksternal. Maka pada tahun 1947 Ali Jinnah seorang ulama dari India mendirikan Negara Republik Islam Pakistan. Upaya ini didasarkan kepada prinsip awal bahwa peran dan posisi ulama seharusnya tidak bisa lepas dari pemerintahan, dalam hal ini pemerintah Islam sudah selayaknya menjadikan para ulama sebagai pedoman dalam setiap pelaksanaan kebijakannya.
Setelah itu menyusul kelompok Syiah yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini dengan perjuangan utamanya membangun pemerintah Islam yang kaafah yaitu menjadikan peran ulama sebagai tokoh sentral dalam seiap kebijakan kenegaraan. Revolusi Islam yang digerakannya pada tahun 1979 menghasilkan dibentuknya Negara Republik Islam Iran. Wilayatul faqih sebagai majelis ulama menjadi posisi sentral dalam pemerintahan Iran.
Dari fenomena dua model pemerintahan Islam ini muncul beberapa pendapat di kalangan ulama modernis muslim mengenai posisi dan peran ulama, ada dua pendapat mengenai hal; ini., apakah ia hanya sebagai penasehat kepala negara? Atau juga menjadi eksekutor dalam kebijakan kenegaraan? Pendapat pertama menyatakan bahwa ulama cukup menjadi ustadz, buya atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang datang belajar atau minta fatwa. Soal kehidupannya, serahkan kepada inisiatifnya yang lain, atau profesi sampingannya atau profesi utamanya yang lain. Bagi pemahaman yang satu ini, ulama bukan profesi tetapi fungsi pengabdian non-ekonomik. Bahkan ada anggapan bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan pengajian. Pengajian hanyalah tugas sucinya.
Pendapat lain, fungsi, tugas dan peranan ulama harus dilakukan reinterpretasi ulang dan bersesuaian dengan tuntutan kehidupan modern. Ulama pada dasarnya sesuai makna generik adalah orang berilmu. Karena itu tugasnya ialah mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmu itu kepada ummat. Tetapi peranan itu dalam kenyataan dalam sejarah komunitas Islam, amatlah transformatif, komplek dan berubah-ubah.
Sejak wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam masa sahabat Khulafa al-Rasyidun, masa dinasti Umayah, Abbasiyiah, Fathimiyah, dinasti Turki Usmani, dinasti Shafawiyah di Persia, Dinasti Mughal di anak benua India, ulama dituntut lebih luas dari hanya berilmu dan pengajar atau tempat bertanya ummatnya.
Kalau di masa Khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, khalifah masih mendekati fungsi, tugas dan peranan kenabian. Transformasi terjadi setelah itu. Era pasca Khulafa al-Rasyidun ini, mulai dari daulat-dinasti tadi sampai bubarnya dinasti Khalifah Turki Usmani 1924.
Ada persepsi bahwa ulama menjadi partner khalifah, Amir dan sultan di masa dinasti-dinasti tadi. Sebaliknya ada persepsi bahwa ulama menjadi topeng khalifah atau pemerintahan untuk melegalisasikan kebijakan dalam bentuk fatwa-fatwa ulama. Pada era dan masa lain, pada pelbagai negara dunia Islam setelah kemerdekaan yang direbut dari kaum penjajah barat, sejak awal sampai pertengahan abad-20, ulama mengubah posisi dalam segala versinya.
Ada ulama yang di belakang atau bahkan di samping pemerintah, ada pula masanya ulama berhadap-hadapan dengan pemerintah alias ‘lawan’ pemerintah.
Dari sinilah muncul berbagai teori tentang posisi dan peran ulama di dalam masyarakat, apakah ia hanya sebagai penyampai saja atau ia berfungsi ganda seperti yang diperankan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam? Dalam ruang yang lebih spesifik bagaimana sebenarnya posisi dan peran ulama dalam pemerintahan? 

Senin, 26 November 2012

Muharam dan Generasi Harapan

Oleh : Abu Aisyah


Apa yang terbayang dalam pikiran kita bila disebutkan nama bulan Muharam? Apakah kita akan teringat dengan Peringatan Tahun baru Islam? Pawai Obor bersama-sama? membuat acara bersama teman-teman di madrasah? Atau mungkin kita cuek dengan datangnya bulan Muharam ini?. Bulan Muharam adalah bulan pertama dalam kalender Islam, ia menjadi titik awal perkembangan dan pembangunan masyarakat Islam. Maka tidaklah salah ketika Umar bin Khattab sebagai Khalifah kedua dalam Islam menetapkan awal bulan Hijriyah bertepatan dengan hijrah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dari Mekkah ke Madinah. Bagaimana cara menyambut bulan Muharam ini? Dari semua perayaan menyambut bulan ini tentu yang lebih utama adalah memaknai Muharam dengan mencoba untuk mengisi hari-hari yang akan datang di tahun ini dengan amal-amal Islami.
Sebagai generasi muda kita memiliki tanggung jawab mengisi bulan Muharam ini dengan berbagai hal positif yang akan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Jika orang-orang di luar sana merayakan tahun baru-nya dengan hura-hura dan pesta-pesta, maka sudah selayaknya kita sebagai generasi muda muslim untuk menyelisihi mereka. Benar..... memaknai bulan muharam sebagai awal tahun Islam tidak harus dengan berfoya-foya apalagi melakukan hal-hal ynag tidak ada tuntunannya dari rasul tercinta. Memaknai Muharam sebagai awal tahun Islam akan lebih bermakna ketika kita mengisi hari-hari ini dengan amal-amal mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Yang Mulia. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda :
السَّــنَةُ اثْــنَا عَشَرَ شَـهْرًا مِنْـهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَــاتٌ ذُو الْـقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَـيْنَ جُمَادَى وَشَعْـبَانَ رواه البخاري
Setahun terdiri dari dua belas bulan di dalamnya terdapat empat bulan haram, tiga diantaranya berurutan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan  keempat adalah Rajab yang diantarai oleh Jumadil (awal dan tsani) dan Sya’ban. HR. Bukhari.
Lalu, bagaimana cara mengisi Muharam dan menyambut awal tahun Islam ini dengan sebaik-baiknya? Hal pertama yang harus dilakukan adalah senantiasa menguatkan niat dan keinginan diri untuk terus berusaha menuntut ilmu (thalibul ilmi) khususnya ilmu-ilmu yang akan bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Sebagai siswa maka belajar dengan penuh kesungguhan dan keseriusan adalah tugas utama mengisi hari-hari yang mulia ini. Di samping itu kita harus juga mengamalkan semua hal yang telah kita dengar dari guru-guru kita. Jangan sampai, kita sudah tahu suatu amalan namun karena malas, amalan tersebut tidak dilaksanakan, misalkan saja pada bulan Muharam ini kita disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal ke-10 yang disebut dengan hari Asyura, demikian juga jika mampu melaksanakan juga puasa pada hari ke-9 bulan Muharam ini. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam :
صِيَامُ يـَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّــنَةَ الَّتِي قَــبْلَهُ رواه الترمذي
Puasa hari ‘Asyura, Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa pada satu tahun sebelumnya. HR. Tirmidzi.      
Ini adalah contoh kecil yang sering kali kita lupa atau sengaja malsa melaksanakannya, padahal dalam sebuah syair populer disebutkan :
Al-Ilmu bi la ‘amalin ka syajarah bi la tsamarin
Ilmu tanpa amalan seperti pohon tanpa buah-buahan
Sungguh sangat merugi, jika generasi mu umat ini hanya pandai berbicara tapi tidak bisa mengamalkannya. Padahal ilmu itu akan menjadi pahala ketika ia diamalkan dengan sebenar-benarnya.
Dalam bulan ini kita juga mengenal ada beberapa perayaan yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya ada perayaan Asyura untuk mengenang peristiwa Karbala, sebagian lagi merayakan sepuluh Muharam sebagai hari raya anak yatim sementara sebagian yang justru lalai dalam menyambut bulan ini. Sikap tengah kita adalah kembali mempelajari setiap sendi agama Islam ini sehingga kita akan mengetahui mana yang benar dan mansa yang tidak benar, tentu saja kita tidak boleh mudah menyalahkan orang lain tanpa adanya dalil atau alasan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Maka marilah kita bersama mengisi bulan Muahram ini dan menyambut awal tahun hijriyah ini dengan kembali memperbaiki diri dengan meningkatkan kembali semnagat kita untuk belajar dan tahlibul ilmi. Setelah itu kita berusaha untuk mengamalkan semua ilmu yang kita pelajari, selanjutnya jika kita telah menguasai ilmu tersebut maka hendaknya kita mendakwahkan ilmu tersebut. Dengan inilah mudah-mudahan Islam akan kembali berjaya sebagaimana berajayanya ia di masa Nabi dan para shahabatnya. Wallahu a’lam bishawab.

Minggu, 25 November 2012

Hitam Putih Kehidupan Dunia

Oleh : Abu Aisyah

Kehidupan ini memang sangat menakjubkan, ia tidak pernah berjalan monoton dan satu keadaan. Ada suka dan ada duka, ada sengsara dan ada bahagia, semuanya adalah warna kehidupan. Di balik rona kehidupan itu pasti ada hikmah luar biasa yang telah ditetapkan oleh Ar-Rahman, bisa jadi ia terasa membahagiakan kita, namnu tidak jarang ia memeras air mata. Serasa baru kemarin kita terbahak-bahak bersebdagurau dengan keluarga, namun hari ini banjir air mata karena orang tercinta telah tiada. Di tengah kehidupan yang penuh warna –untuk menyebut kata lain dari hitam putih dunia- ternyata kita sering lupa bahwa kebaikan dan keburukan itu terkadang sama saja. Kebahagiaan yang kita rasakan bisa jadi merupakan pengobat dari kesengsaraan yang selama ini kita rasakan. Sebaliknya kesengsaraan yang kita rasakan bisa jadi penghapus dosa dan persiapan untuk menikmati kebahagiaan di hadapan sana.
Manusia dalam menghadapi hitam putih dunia juga berbeda-beda, sebagian mereka akan mengeluh jika kesengsaraan menghampiri kehidupannya. Sementara ketika kebahagiaan bersamanya, ia akan lupa dengan penciptanya. Ada juga yang merasa bahwa kehidupan ini adalah penjara, sehingga ia merasa bahwa aturan-aturan Sang Pencipta adalah tali kekang yang mengakibatkannya sengsara di dunia. Ia lupa, bahwa ternyata aturanNya bukan untuk mengekang hambaNya. Segala hal yang datang dari Sang pencipta sejatinya adalah untuk kebaikan manusia. Tipe orang seperti ini akan merana di tengah hijaunya dunia. Sebagian manusia lainnya merasa bahwa dunia adalah kehidupan sebenarnya sehingga mereka mencoba untuk menikmati dunia sepuasnya, “Hidup itu Cuma sekali...” begitu kata mereka. Maka mereka menghabiskan hidupnya untuk kesenangan dunia. Bagaimana dengan anda?
Hitam putih dunia membawa setiap manusia menikmati setiap detak kehidupan di dunia, sehingga wajar saja ketika ia akan merasa bahagia dan merasa sengsara. Bukankah kebahagiaan itu akan terasa ketika kita telah merasa sengsara? Kesengsaraan sendiri terkadang bisa dinikmati sebagai sebuah kebahagiaan. Seseorang yang menahan lapar ketika berpuasa adalah salah satu contoh bahwa ternyata “kesengsaraan” berpuasa adalah sebuah kebahagiaan yang tiada tara. Dalam budaya semesta banyak orang-orang yang “menyiksa” dirinya dengan bersemedi, melukai diri dan mengorbankan keinginan keduniaannya. Sehingga sesungguhnya antara kebahagiaan dengan kesengsaraan itu bukan pada keadaan manusianya, ia lebih kepada perspektif diri dan norma apa yang digunakan untuk melihatnya. Maka hitam putih dunia adalah warna, ia akan terasa indah ketika kacamata iman sebagai alat untuk melihatnya, namun ia akan menjadi neraka ketika dipandang dari hawa nafsu manusia. Maka mari nikmati hitam putih dunia......   

Tujuh Haluan Menjadi Writerpreneur

Oleh : Bambang Trim

Menjadi penulis sekaligus menjadi pengusaha merupakan impian eksis di dunia industri kreatif yang makin hari makin membuka banyak peluang. “How to be a Writerpreneur” menjadi tema lokakarya yang menarik digelar Ikapi pada Indonesia Book Fair, 22 November 2012. Tercatat 25 peserta mengikuti lokakarya ini yang terdiri atas penulis serta juga para editor.
Bicara soal peluang yang terbuka tentu juga bicara soal ketetapan hati untuk menjadi pengusaha. Jalan menulis kadang tidak dianggap “seksi” sebagai jalan usaha. Karena itu, posisi menjadi pengusaha penulisan memang seperti lowong di tengah derasnya arus permintaan produk jasa penulisan-penerbitan. Begitu pula yang terjadi pada seorang Zulfikar Fuad. Penulis yang kerap menggunakan nama akun Sang Biograf ini akhirnya memutuskan berada di jalan karier menulis setelah sebelumnya sempat menjadi jurnalis. Berasal dari daerah, sempat mengurangi keyakinan beliau untuk mampu bersaing di jalur penulisan. Namun, ternyata yang namanya mengambil spesialis sebagai penulis biografi/autobiografi itu lowong di Indonesia. Ia pun kemudian belajar dari seorang maestro biografi Indonesia, Bapak Ramadhan KH (alm.).
Saya pun ikut meramaikan lokakarya yang justru memang tidak terlalu ramai diikuti peserta ini. Maklum di arena yang sama yaitu panggung utama Indonesia Book Fair 2012 sedang ada Pak CT yang memberikan kuliah umum. Secara berseloroh saya mengatakan kepada para peserta, “Biarkan Pak CT memberikan kuliah umum di sana, kami berdua memberikan kuliah bagaimana bisa membukukan seorang seperti Pak CT.”
Saya mencoba meringkas hasil lokakarya langka itu karena memang hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat peluang ini di depan mata. Writing is not a job; it’s a business! Berikut 7 haluan menjadi seorang writerpreneur profesional.
Anda tahu bahwa ada 1001 alasan untuk tidak menulis, apalagi berada pada jalur karier menulis. Karena itu, ketahuilah satu alasan saja mengapa Anda harus menulis dan mengapa Anda mengambil jalan menulis sebagai jalan karier. Syukur-syukur alasan itu Anda temukan sebelum berusia 30 tahun. Alasan yang membuat Anda akan fokus meningkatkan keterampilan diri di bidang penulisan. Alasan yang selaras dengan impian Anda menjadi seorang profesional, memiliki kebebasan finansial, dan menikmati sekaligus mencintai pekerjaan Anda. Temukan satu alasan mengapa Anda hendak berada di jalur penulisan. Sebaiknya, hindarkan alasan klise karena uang dan ketenaran. Alasan utama bagi saya adalah “tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang bisa lepas dari tulis-menulis” sehingga saya bisa menjadi pemain utama di banyak bidang.
Anda harus menyadari kemampuan Anda apakah sebagai penulis generalis atau penulis spesialis. Ada generalis jenis yaitu Anda menguasai fiksi, nonfiksi, dan faksi sama baiknya. Ada pula generalis ranah, misalnya di bidang nonfiksi Anda bisa menulis artikel, berita, proposal, laporan, makalah, atau buku teks. Bukan soal mana yang lebih baik: generalis atau spesialis. Namun, hal penting adalah mengetahui potensi kemampuan Anda untuk seterusnya fokus pada apa yang Anda miliki.
Anda harus menyadari pasar Anda begitu luas, mulai perseorangan, penerbit, institusi bisnis nonpenerbit, LSM, dan bahkan pemerintah. Anda akan tahu bahwa Anda sendiri tidak akan mampu mengerjakan seluruh permintaan. Anda harus insyaf bahwa Anda bukan penulis buku yang hanya memiliki satu pasar yaitu penerbit buku. Anda adalah penulis sejati yang bisa menulis untuk siapa pun selain menciptakan karya-karya mandiri.
Anda harus menyadari posisi Anda sebagai penulis bahwa Anda ada kalanya menjadi penulis mandiri yaitu menulis dengan menghasilkan karya dari gagasan serta pikiran sendiri. Namun, Anda juga siap menjadi penulis jasa dengan menyediakan keterampilan Anda untuk menjadi seorang co writer, ghost writer, atau bahkan posisi lain yaitu sebagai editor. Writerpreneur tidak akan membatasi dirinya pada satu  posisi menjadi penulis yang menawarkan tulisan kepada penerbit buku atau penerbit media massa, lalu menunggu. Writerpreneur adalah seorang penulis yang terus mencari peluang dan menciptakan pasar baru dengan berbagai inovasi.
Anda harus menyadari tentang bisnis atau sedang masuk pada dunia bisnis. Karena itu, terdapat dua pilihan apakah Anda hendak menjadi self employee (profesional) yang bekerja sendirian atau menjadi business owner yang memiliki sebuah tim layaknya perusahaan. Dalam konteks bisnis memang selayaknya Anda memiliki badan usaha atau badan hukum ketika nantinya masuk dalam kancah bisnis penulisan yang B to B (business to business). Model usaha writerpreneur ada bermacam, apakah itu self publisher, publishing service, dan book packager.
Anda harus menyadari pentingnya promosi dan bagaimana orang tahu akan layanan yang Anda berikan karena bisnis jasa seperti ini hampir tidak ada yang mengetahuinya. Anda harus aktif di media sosial dan tentunya mengembangkan website atau blog sendiri yang dapat dikenali orang dengan cara cepat. Siapkan pula perangkat-perangkat bisnis yang harus Anda miliki, seperti kop surat, brosur, resume, portofolio, dan tentunya nama untuk bisnis yang Anda jalankan.
Anda harus percaya bahwa bisnis penulisan-penerbitan yang dijalankan seorang writerpreneur dapat bernilai jutaan, puluhan juta, ratusan juta, hingga miliaran rupiah. Karena itu, Anda pun harus piawai menetapkan tarif jasa Anda sekaligus juga pintar melakukan negosiasi dan berhati-hati dalam membuat MOU atau kesepakatan dengan klien penulisan.
Itulah tujuh haluan menjadi writerpreneur dengan kata kunci TAHU, SADAR, dan PERCAYA. Semua haluan ini akan melempangkan jalan Anda menjadi profesional writer.
©2012 oleh Bambang Trim
Komporis Buku Indonesia
sumber : http://manistebu.wordpress.com/2012/11/24/7-haluan-menjadi-writerpreneur/

Allah ada di setiap Suku Bangsa

Oleh : Zenith Harris Merrill


Monoteisme Bangsa Primitif
Sehingga, kita menemukan keyakinan terhadap satu Tuhan yang Maha Besar diantara semua suku-suku yang disebut primitif, yang telah ditemukan. Suku Maya di Amerika Tengah meyakini satu Tuhan yang menciptakan segala sesuatu, yang mereka panggil Itzamna [1], Kaum Mende di Sierra Leone, Afrika Barat, meyakini satu Tuhan yang menciptakan alam semesta dan roh-roh, yang mereka panggil Ngewo[2], di Babilon Kuno sesembahan utama penduduk kota itu, Marduk [3], dipandang sebagai Tuhan yang Maha Besar. Di Hinduisme, Brahma adalah satu Tuhan yang absolut, abadi, dan bukan-manusia, yang tidak mempunyai permulaan dan akhir[4].
Di agama Yoruba, yang dianut oleh lebih dari 10 juta orang di Afrika Barat (utamanya Nigeria), terdapat satu Tuhan yang Maha Besar, Olorius/Olodumare (Penguasa langit). Meskipun demikian, agama Yoruba modern dicirikan oleh berbagai bentuk upacara peribadahan Orisha yang mengubah agama ini menjadi lebih dekat ke politeisme.

Dari Monoteisme Menjadi Politeisme
Satu dari ahli-ahli barat pertama yang mengakui pengaruh penting trend dari monoteisme menjadi politeisme ekstrim adalah Stephen Langdon, dari Oxford. Langdon mengambil pandangan bahwa Sumerian adalah peradaban sejarah yang paling tua dan dia mencatat “Dalam pandangan saya sejarah peradaban manusia yang paling tua adalah proses kemunduran secara tajam dari monoteisme ke politeisme ekstrim dan kepercayaan yang tersebar luas tentang roh-roh. Dalam pendirian yang sangat tepat, ini adalah sejarah kejatuhan manusia.”[5]

Edward McCrady, yang menulis tentang keagamaan orang India, mengamati bahwa bahkan Rig Veda(Book 1, p.164) menunjukkan bahwa tuhan-tuhan di masa-masa awal dipandang secara sederhana sebagai perwujudan yang bemacam-macam dari Zat Ketuhanan Yang Maha Tunggal, dia menyatakan bahwa: “Mereka menyebut-Nya dengan Indra, Mythra, Varunna, Agnee – semuanya adalah istilah (sebutan/nama) yang berbeda untuk satu Tuhan Yang Maha Bijaksana.”[6]

Sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa Bangsa Primitif
Ahli sejarah China kadang-kadang membagi periode sejarah kuno ke dalam tiga periode: periode utama, periode menengah, dan periode dekat. Periode pertama kira-kira merentang dari abad ke-21 sampai abad ke-12 sebelum Masehi. Menurut Ron Williams, yang membaca tulisan China, setiap periode memiliki ciri-ciri keagamaan tersendiri, dan periode pertama secara terang adalah monoteistik. Williams juga mencatat bahwa: “Pada periode sejarah China ini, Penguasa yang Besar adalah Tunggal dan tidak dapat dibagi, tidak dapat berubah, tidak ada yang menyamai, mengatur secara absolut dan sendirian di atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki tanpa ada kekuatan yang dapat menghalanginya, dan kehendak-Nya selalu hak.”[7]
Dalam serial jurnal The Great Ages of Man, satu volumenya diterbitkan berkaitan dengan China kuno, yang ditulis oleh Edward H. Schafer ,yang mencatat: “Satu dari yang paling tua dan pasti paling besar dari tuhan-tuhan adalah Tuhan Langit Ti'en. Pada masa-masa awal Ti'en dipandang sebagai Raja Besar di langit, lebih megah dari segala yang ada di bumi. Selanjutnya kebanyakan memandang Ti'en sebagai sumber energi non-manusia, sumber energi yang menggerakkan dunia.”[8]
Kerja lain yang sangat penting pada monoteisme awal dari orang-orang primitif adalah oleh Wilhelm Schmidt, yang asalnya pekerja produktif di Jerman, diterbitkan pada tahun 1930 dalam terjemahan bahasa Inggris sebagai sebuah volume tunggal. Dalam studinya Schmidt mendapatkan bahwa dia menemukan budaya primitif pada tingkatan budaya yang paling rendah, mempunyai konsep Tuhan yang lebih murni. Dia mencatat bahwa seperti seseorang berkembang dari pemburu saja menjadi pengumpul makanan, dan dari penyimpan makanan menjadi penanam makanan seperti pengembara pastor yang menjaga jemaahnya, menjadi penanam makanan yang menetap pada suatu tempat, dan di atas skala masyarakat semi-urban, seseorang menemukan keyakinan sederhana terhadap Tuhan yang Maha Besar, yang tidak mempunyai isteri dan keluarga. Menurut Schmidt kita menemukan bentuk keyakinan ini antara Pygmies di Afrika tengah, orang Australia-tenggara Aborigin, orang Amerika asli di California-utara-tengah, Algonquians primitif, dan Koryaks serta Ainu pada batas-batas tertentu. Untuk menyimpulkan penemuannya secara ringkas, kata-kata dia sendiri adalah: “Kembali ke masyarakat paling primitif, Pygmies di Afrika atau orang Australia-tengah Aborigin atau orang-Amerika tengah Indian – semua mempunyai satu Tuhan yang Maha Besar yang kepada-Nya-lah mereka membuat persembahan... semua masyarakat ini juga mempunyai tata-cara doa yang pendek...”[9]
Andrew Lang mencatat bahwa "Aborigin Australia mungkin memiliki salah satu kebudayaan yang paling sederhana dari semua masyarakat yang dikenal, tetapi mereka memiliki konsep-konsep keagamaan yang begitu tinggi, yang akan lumrah untuk menjelaskan bahwa konsep itu merupakan akibat dari pengaruh Eropa. "[10] Pada saat penulisan Lang merasa bahwa penjelasan ini dibenarkan karena dalam lingkungannya konsep mereka tentang Tuhan dipandang sebagai yang paling 'berevolusi' dan 'beradab.'
Lang juga menyebutkan bahwa penduduk Kepulauan Andaman, yang dia pandang berada pada tingkat kebudayaan yang sama dengan Aborigin, meyakini satu Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan itu sebagai Zat yang tidak bisa dilihat, abadi, pencipta segala sesuatu (kecuali kejahatan), mengetahui segala yang ada di hati dan pikiran, Zat yang marah terhadap dusta dan perilaku buruk, membantu orang yang dalam kesukaran dan penderitaan. Lebih lanjut, konsep Tuhan mereka adalah bahwa Dia adalah Hakim terhadap jiwa yang telah mati dan pada masa depan Dia akan memimpin pengadilan yang agung.
Informasi yang diberikan ke Lang itu datang dari anggota-anggota yang lebih tua dari masyarakat tersebut, yang tidak mengenal masyarakat lain pada saat itu. Seperti yang Lang katakan, “... pengaruh luar sepertinya telah dikesampingkan lebih dari biasanya (dalam konsep Tuhan mereka).”[11]
Sameul Zwemer berbicara tentang ciri-ciri Bushmen yang monoteistik, seperti kebanyakan orang dari kebudayaan Arctic yang dia pertahankan, yaitu “Terang ... bahkan untuk penelitian yang sambil lalu.”[12] Dalam papernya dia tidak hanya menyampaikan ulang apa yang telah diteliti oleh orang lain, sebut saja hasil penelitian bahwa orang-orang primitif mempunyai pengetahuan tentang satu Tuhan yang Maha Besar, melainkan lebih menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Besar, yang mereka kenal, secara inti adalah satu Zat yang sama dengan sifat-sifat yang sama. Canon Titcombe mencatat ketika berbicara tentang Zulus, mengutip seorang mantan bishop dari Natal yang mempunyai pengetahuan tentang Zulus dari tangan pertama ketika mereka masih utuh secara budaya, bahwa mereka tidak mempunyai sesembahan selain mengakui Zat Tunggal yang Maha Besar, yang dikenal sebagai Zat yang Agung, yang Maha Kuasa, yang Pertama, dll.[13] Titcombe juga mencatat konsep satu Tuhan di antara penduduk asli Madagaskar.[14]

Kesimpulan
Semua bukti-bukti ini mengarahkan Paul Radin untuk menyimpulkan, setelah menyebutkan kerja Lang: “wawasan intuisinya telah dikuatkan secara berlimpah”.[15] Tambahan lagi, E.O. James menyimpulkan dalam sebuah paper yang diterbitkan oleh Jurnal of the Royal Anthropological Institute: “Maka, tidak mungkin untuk mempertahankan sebuah evolusi yang unilateral (sepihak dan satu) dalam wawasan dan praktek keagamaan seperti yang disarankan oleh 'Tiga Tingkat' dari Frazer, Tylor dan Comte. Meskipun demikian, baik spekulasi bahwa ide tentang Tuhan tumbuh dalam peribadatan nenek moyang seperti yang disebarkan oleh Herbert Spencer maupun model evolusi Frazer dari politeisme dan animisme ke monoteisme tidak dapat dirujukkan dengan satu Tuhan-kesukuan yang Maha Besar, yang merupakan ciri dari konsep yang primitif tentang Tuhan, yaitu konsep satu-Tuhan yang selalu berulang.”[16]
Proses kemunduran monoteisme dapat dilihat pada Budhisme yang berawal pada abad ke-6 sebagai gerakan pembaruan dalam Hinduisme. Namun masa berikutnya, patung-patung dan gambar-gambar raksasa dalam jumlah besar dari Budha didirikan dan dikelilingi dengan bunga, dupa, dll. Lebih lanjut, pengikut Budhisme menyelenggarakan sejumlah upacara (ritual) kepada patung-patung tersebut, yang mencakup sujud, ruku (ketundukan), dll. Sebagai tambahan, Dalai Lama dari Tibet diibadahi sebagai tuhan yang berwujud manusia (man-god), dengan sujudnya para pengagum terhadapnya. Hal seperti ini juga dapat diamati dalam gerakan Sufi Naqsyabandi dengan pemimpinnya saat ini Naazim Qubrusi, dan juga 'pembuat mukjizat' seperti Sai Baba dan 'Ayatullah' Khomaini. Semua manusia ini diibidahi selain Allah dan menunjukkan proses kemunduran monoteisme menjadi politeisme.
Catatan Kaki:
[1] John Hinnels, Dictionary of Religions (Penguin Books: 1884), p. 93
[2] Ibid, p. 210
[3] Ibid, p. 204
[4] Ibid, p. 68
[5] Stephen H. Langdon, “Mythology of all Races,” in Semitic Mythology Journal (Vol. 5, Archaeological Institute of America: 1931), p. xviii/p.18
[6] Edward McCrady, “Genesis and Pagan Cosmologies,” Trans. Vict. Institute; Vol. 72 (1940), p.55
[7] Ron Williams, “Early Chinese Monotheism,” a thesis paper presented before the Kelvin Institute (Toronto, 1938)
[8] Edward H. Schafer, “Ancient China,” in The Great Ages of Man (New York: Time Life, 1967) p. 58
[9] Wilhelm Schmidt, The Origin and Growth of Religion – Facts and Theories, (London: 1931) p. 131, (translated by HJ Rose)
[10] Andrew Lang, The Making of Religion (London: Longmans Green, 1909) pp. 175-182, 196
[11] Ibid, p. 196
[12] Samuel Zwemer, “The Origin of Religion – By Evolution or by Revelation,” (Trans. Vict. Institute, Volume 67; 1937) p. 189
[13] J.H. Titcombe, “Prehistoric Monotheism,” (Trans. Vict. Institute, Vol. 8, 1937) p. 145
[14] Ibid, p. 144
[15] Paul Radin, Primitive Men as Philosophers (New York: 1956) p. 346
[16] E.O. James, “Religion and Reality,” in The Journal of the Royal Anthropological Institute (Vol. 79, 1950) p. 28

http://www.salafimanhaj.com/pdf/Monotheism%20and%20Evolution.pdf
16 Nopember 2012, pukul: 19:39 wib

Bukti Bagi Penuntut Sumpah Terdakwa

Oleh : Adeng Syarifudin

 A. TEKS DAN TERJEMAHAN HADITS
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم : لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ، لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ، لَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
[حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا، وبعضه في الصحيحين]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :“Sekiranya setiap tuntutan orang dikabulkan begitu saja, niscaya orang-orang akan menuntut darah orang lain atau hartanya. Akan tetapi, haruslah ada bukti atau saksi bagi yang menuntut dan bersumpah bagi yang mengingkari (dakwaan)”.
(HR. Baihaqi, hadits Hasan, sebagian lafazhnya ada pada riwayat Bukhari dan Muslim)
[Baihaqi (Sunan Baihaqi 10/252), dan yang lain, juga sebagian lafaznya ada di shahih Bukhari dan Muslim]
B. SANAD & PERAWI HADITS
Penulis kitab Al Arbain berkata : “Hadits ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahihnya dengan sanad bersambung dari riwayat Ibnu ‘Abbas. Begitu pula riwayat para penyusun Kitab Sunnan dan lain-lainnya”. Ushaili berkata : “Bila marfu’nya Hadits ini dengan kesaksian Imam Bukhari dan Imam Muslim, maka tidaklah ada artinya anggapan bahwa Hadits ini mauquf”. Penilaian semacam itu tidak berarti berlawanan dan tidak juga menyalahi.


C. ASBABUL WURUD
Hadits Ibnu Abbas ini juga  diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4552) dan Muslim (1711), tapi dalam riwayat keduanya tidak ada lafazh, “Tapi yang mendakwa harus mendatangkan bukti.” Namun kalimat ini telah shahih dalam hadits Al-Asy’ats bin Qais riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam kisah Al-Asy’ats dengan anak pamannya. Berkata Al-Asy’ats: Terjadi perselisihan antara aku dengan seseorang tentang sebuah sumur. Kamipun mengangkat permasalahan tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Datangkanlah dua saksi atau dia akan bersumpah.” Akupun berkata: “Kalau begitu dia akan dengan mudah bersumpah dan tidak peduli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Barang siapa yang bersumpah untuk mendapatkan harta dan ia berdosa di dalamnya, ia akan bertemu Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya. Hadits ini merupakan salah satu pokok hukum Islam dan sumber pegangan yang terpenting di kala terjadi perselisihan dan permusuhan antara orang-orang yang bersengketa. Suatu perkara tidak boleh diputuskan semata-mata berdasarkan pengakuan atau tuntutan dari seseorang.
D. PENJELASAN HADITS
1.     Hadits ini menunjukkan bahwa jika vonis diberikan untuk pendakwa hanya dengan dakwaannya, akan banyak orang yang memanfaatkannya untuk merebut harta orang lain dan mengancam jiwa dan kehormatannya. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa pendakwa harus mendatangkan bayyinah atau bukti, yaitu jika terdakwa mungkir dan tidak mengakui dakwaan. Adapun jika terdakwa mengakui dakwaan, masalahnya selesai dan pengakuan ini disebut iqrar. Pendakwa tidak perlu lagi mendatangkan bukti.
2.  Pada dasarnya seseorang bebas dari tuduhan hingga terbukti perbuatan jahatnya ,
3.    Seorang hakim harus meminta dari kedua orang yang bersengketa sesuatu yang dapat menguatkan pengakuan  mereka.
4.    Bersumpah hanya diperbolehkan atas nama Allah.
5.  Seorang hakim harus berusaha keras untuk mengetahui permasalahan sebenarnya dan menjelaskan hukumnya berdasarkan apa yang tampak baginya.
6.   Seorang hakim tidak boleh memutuskan sebuah perkara dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
E.  KESIMPULAN
Hadits ini sangat penting karena merupakan dasar dalam bab hukum dan perselisihan. Karena Bukti adalah segala sesuatu yang menunjukkan kepada yang benar. Dengan demikian bukti itu sangat banyak macamnya dan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.
Bukti dibutuhkan pada setiap pengakuan. Maka pengakuan tanpa bukti tidak dihiraukan. Namun ada kalanya meski penuduh tidak membawa bukti dibutuhkan sumpah dari yang dituduh jika dia mengingkarinya.
Hakim tidak boleh memutuskan berdasarkan yang dia ketahui, tetapi harus berdasarkan bukti-bukti. Mana yang lebih kuat buktinya itulah ysng dia menangkan meskipun dia tahu bahwa yang buktinya lebih kuat telah berbuat curang. Maka dalam perselisihan, keputusan hakim tidak mesti benar. Oleh karena itu tidak boleh bagi seorang mengambil hak orang lain dengan alasan karena hakim memenangkannya. Dia menjadikan keputusan hakim sebagai kebenaran, padahal dia tahu bahwa dirinyalah yang bersalah.
Daftar pustaka : sabanhukum.blogspot.com