Selasa, 28 Mei 2013

Islamisasi di Indonesia

Oleh: Prof. Dr.  M. Dien Madjid M.A.
  
Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama besar di dunia. Lahirnya Islam di Mekkah pada abad ke tujuh Masehi, dibidani oleh keadaan sosial yang keras di tengah masyarakat yang masih percaya dengan paganisme. Di katakan keras, adalah karena saat itu, politik golongan begitu mendominasi, sehingga semakin memperkeruh ruang ide masyarakat Arab yang secara geografis jauh pula dari pusat-pusat peradaban (Romawi dan Persia).
Pelan namun pasti, kondisi umat Islam mulai merambat ke panggung peradaban dunia. Bait demi bait mulai disulam menjadi suatu jalan bebas hambatan untuk mengangkat martabat Islam di mata dunia. Yahudi dan Kristen kakak kandung Islam, berkembang di pusat-pusat peradaban yakni di Jerussalem dan di Roma. Dilain pihak, Islam lahir di tengah padang sahara tandus Arab, di mana tanaman-tanaman menghijau amat langka dan boleh dikatakan jauh dari modernitas. Lapat-lapat, ketika tampuk kepemimpinan umat Islam berada di genggaman Umar bin Khattab, Islam mulai dikenal sebagai kekuatan baru (New Power) yang manantang kemaharajaan Romawi dan Persia. Bak jamur di musim hujan, Islam mulai memasuki marak lekuk-lekuk senarai peradaban dunia.
Berpulangnya Nabi SAW pada tanggal 13 Rabiul Awal tahun 1 H  bertepatan dengan  tahun 632 M, tak lantas membuat umat yang ditinggalkannya manja dan takut. Momen itu justru dijadikan titik balik untuk mengkampanyekan Islam di pergaulan manusia global. Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) tampil sebagai pembawa panji Islam. Sejarah mencatat, pada masa kekuasaan Umar (634-644), Persia mampu ditundukkan. Ini menjadi bukti historis, Islam adalah calon pemimpin dunia yang tidak saja mempunyai sifat-sifat profetik (kesalehan) namun juga semangat untuk menaklukan keangkuhan zaman.  Lamat-lamat, Islam tak hanya jaya di kampung halamannya dan kampung sebelahnya saja, yakni Romawi dan Persia, tetapi juga mulai meruyak  berdiaspora ke seluruh penjuru dunia, menembus batas-batas geografi, sukuisme, ras bahkan komunitas sosial yang berbeda. Dibuai dan dibelai oleh desah-desah angin laut, pada abad ke-7 M, agama Muhammad ini mulai berkenalan dengan negeri di bawah angin, salah satunya adalah gugusan pulau yang disebut Nusantara.
Salah satu tempat yang menjadi sentrum dakwah orang Arab adalah di Batavia (dahulu bernama Jayakarta- kini Jakarta). Berdasarkan catatan dalam Regeering Almenak  bahwa jumlah orang Arab di Nusantara sampai tahun 1879 berjumlah 14791 jiwa. Khusus di Jakarta berjumlah 866, lebih kecil jumlahnya jika dibanding  tahun 1871 berjumlah 1039 jiwa[3]. Belum dikaji secara mendalam, mengapa terjadi penurunan cacah penduduk (orang Arab) tersebut.  Di tempat ini, awalnya mereka berdagang[4], lantas mulai mengembangkan sayap aktivitasnya ke bidang keagamaan. Tak ayal, kesempatan politik terbuka yang diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, mereka manfaatkan untuk menganyam bentangan-bentangan kain ajaran Islam di wilayah rural Batavia. Lambat laun, penduduk lokal tertarik untuk mendalami ajaran dari para pendatang Arab itu. Banyak di antara mereka yang merupakan orang Arab hadrami, atau orang Arab yang bermukim di Hadramaut, Yaman. Sebagian lagi di antara mereka mempunyai nasab keturunan sampai ke Rasulullah SAW (Sayid), hanya saja lajur-lajur klan yang membedakannya. Di antara sekian banyak ulama hadrami kenamaan di Nusantara, Sayid Usman bin Yahya mempunyai peran sentral, yakni selain aktivitas dakwahnya, kesempatan diangkat menjadi mufti Betawi (Batavia) oleh pemerintah Hindia Belanda, dimanfaatkan betul untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan umat Islam. Tak pelak, kedudukannya sebagai Mufti, kerap diplintir sedemikian rupa sehingga timbul anggapan bahwa Sayid Usman pro-Belanda. Nah, makalah ini ditulis untuk mengadakan tinjauan lebih lanjut mengenai aktivitas orang Arab, khususnya keturunan Sayid yang pada kesempatan ini mengambil prototype dari bentangan hidup Sayid Usman bin Yahya.

A. Sinergi Dagang-Dakwah: wajah Islamisasi Indonesia
Nusantara sejak beberapa abad sebelum Masehi telah dikenal oleh bangsa-bangsa besar di dunia. Hal pertama yang terngiang di pikiran umat-umat dari berbagai puak bangsa zaman dahulu, adalah karena kekayaan alamnya yang begitu melimpah ruah. Perbendaharaan ragam hayati yang terdiri dari heterogenitas botani, berbagai macam spesies margasatwa serta bermacam-macam bahan galian dari perut bumi menjadi faktor penarik kedatangan berbagai manusia dari berbagai negeri untuk menyaksikan bahkan mengadakan kontak dagang dan menyambung kawat diplomatik dengan negeri kepulauan ini.
Vlekke mengatakan, kendati pada awal abad Masehi orang Indonesia belum mengetahui pola ragam kehidupan manusia lain di mancanegara, telah banyak para saudagar asing yang berlayar dari pantai timur India hingga menyentuh wilayah teritorial Indonesia, serta antara kepulauan Indonesia ke wilayah yang sekarang ini dikenal sebagai Vietnam. Lebih lanjut, demikian Vlekke, dalam sebuah kitab suci Budha berjudul Jataka yang ditulis sebelum abad 300 SM berisi laporan dalam tawarikh Kaisar Wang Mang di Cina yang mengisahkan sang kaisar Dinasti Han itu mengutus duta ke suatu negeri yang disebut “Huang-Tche”, yang diidentifikasi sebagai Aceh atau setidaknya sebuah daerah di Sumatera. Duta Cina itu mengemban misi untuk mendapatkan seekor badak untuk melengkapi Taman Margasatwa Kekaisaran. Benar saja, Badak merupakan hewan endemik Sumatera. Selain itu, kawat diplomatik Dinasti Han-Sumatera dapat ditelisik lebih lanjut melalui berbagai kronik tinggalan arkeologis yang berasal dari Sumatera bagian selatan, Jawa bagian barat dan Kalimantan bagian timur.
Selain itu, terdapat historiograf barat pertama yang menyebut wilayah kepulauan Indonesia (Nusantara) yakni bernama Ptolomeus (dari Alexandria, 160 M). Ia memperoleh informasi mengenai Indonesia itu melalui seorang pelaut bernama Alexander, yang telah mengembara di negeri-negeri sebelah timur Malaya. Ptolomeus membedakan antara sebutan “Negeri Emas” dan “Negeri Perak” yang keduanya disebut-sebut terletak di Asia bagian tenggara. Di dekat negeri ini ada “Semenanjung Emas” dan di dekatnya lagi, lima pulau Barousai, tiga pulau Sabadeibai, tempat para kanibal berdiam, dan pulau Iabadiu, yang bermakna “pulau Padi”. Di pulau itu terdapat kota bernama “Kota Perak” (Aceh?). Vlekke beranggapan Semenanjung Emas sebagai Semenanjung Malaya dan pulau-pulau yang menjadi bagian dari kepulauan Indonesia.[5]
Asumsi Vlekke didukung oleh pendapat Anthony Reid yang meyakini sematan “emas” berasal dari latar belakang kedudukan emas itu sendiri yang menjadi identitas kekayaan dan sebagai tanda status raja dan bagi Budha. Perak umumnya digunakan oleh bangsa Asia Tenggara Daratan yang mendiami wilayah Burma, Kamboja, Siam dan wilayah sekitarnya, sedangkan emas digunakan oleh bangsa Semenanjung Melayu dan kepulauan-kepulauan di sekitarnya, termasuk Nusantara.[6]
Sejak lama, Nusantara dikenal dengan rempah-rempah yang seakan menjadi land mark yang menjadi  primadona sekaligus buruan utama bagi para saudagar dan pemborong besar dari luar negeri. Tak ayal, terhitung sejak abad ke 15, perairan Asia Tenggara mulai disesaki oleh kapal-kapal dagang asing yang berasal dari Gujarat, Arab, Persia, Eropa dan bangsa-bangsa lain yang saling berlomba untuk mendapatkan rempah-rempah langsung dari sumbernya. Di antara bangsa-bangsa tersebut yang menorehkan tinta emas dalam proses islamisi di Nusantara adalah bangsa Arab.
Saya berpendapat bahwa posisi Indonesia dalam bentangan peta dunia, disokong pula oleh sejarawan lainnya, menempati posisi yang “molek” baik ditinjau dari aspek ekonomis maupun aspek sosiologis yang juga dihubungkan dengan iklim tropis yang teduh dan sejuk. Kepulauan Indonesia terletak pada garis khatulistiwa yang berada dalam ruang gerak angin pasat; di sebelah  selatan berhembus pasat tenggara dan di sebelah utara garis equator pasat timur laut yang bertiup sepanjang tahun. Kedua angin itu saling bersua di lokus yang disebut international front yang merupakan titik daerah angin mati.
Tak pelak, keadaan ini menerbitkan dua faktor yang menyebutkan bahwa angin Indonesia mempunyai laggam yang khas cenderung unik ketimbang hembusan angin laut di belahan dunia lainnya.
Pertama, peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” itu kerap berhijrah dari Lintang Mangkara (Trofic of Cancer) ke Lintang Jadayat (Trofic of Capricorn). Maka, pasat tenggara ketika melintasi garis khatulistiwa akan berubah menjadi angin barat laut.
Kedua,  Indonesia terletak di antara dua kontinen (benua), Asia dan Australia yang memiliki ornamen iklim yang khas sehingga dapat mempengaruhi arus angin. Akibatnya, terjadilah angin musim yang kerap berubah arah dan tujuannya. Kejadian ini telah akrab dalam kehidupan para pelaut Nusantara.[7]
Uka Tjandrasasmita menyebutkan, kedatangan orang Islam pertama dapat ditelisik dari sumber sejarah yang hingga kini masih marak dijadikan rujukan utama para sejarawan, yakni berita Cina yang berasal dari Dinasti T’ang. Kronik tersebut mengisahkan tentang orang-orang Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerbu kerajaan Ho-ling yang diperintah oleh Ratu Sima sekitar tahun 674 M. Berdasarkan penafsiran beberapa ahli, dinyatakan bahwa orang-orang Ta-shih atau Tazi itu merupakan orang-orang Arab yang lokasinya diperkirakan berada di pesisir barat Sumatera. Bersandarkan pada bukti tersebut Uka meyakini kontak pertama Islam dengan penduduk Nusantara terjadi pada abad ke-7.[8]
Terbitnya syiar Islam awal berbarengan dengan meredupnya pengaruh Sriwijaya di Sumatera pada sekitar abad tersebut.[9] Bak mendulang emas di air keruh, situasi ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang Muslim untuk membangun perkampungan pedagang yang kala itu didirikan  untuk kemudahan akses jual-beli dengan penduduk lokal. Pelan namun pasti, mereka mulai membentuk struktur pemerintahan yakni dengan mentahbiskan Merah Silu, kepala suku Gampong Samudera menjadi Sultan Malik as-Saleh,[10] Sultan pertama Kerajaan Samudera.[11] Kerajaan ini dikemudian hari menjadi Samudera Pasai.[12] Boleh dikatakan, Aceh merupakan pintu gerbang awal berseminya Islam di Nusantara yang kemudian mulai menyebar ke pulau-pulau Nusantara lainnya.
Kendati demikian, Berkenaan dengan masuknya Islam ke Nusantara, belum ada kesepakatan yang bulat di kalangan para ahli. Lebih lanjut, kenyataan ini menimbulkan “pasar persepsi” yang diramaikan dengan berbagai teori yang menjadi perdebatan panjang bahkan cenderung tak berujung. Perdebatan kusir tersebut- dan masih memungkinkan munculnya penemuan baru- terutama terfokus pada tiga masalah pokok, yaitu; a. tempat asal kedatangan Islam di Nusantara, b. para pembawanya dan c. waktu kedatangannya.
Menyangkut ketiga masalah pokok tersebut, setidaknya ada tiga teori besar yang dapat dikemukakan.[13]
1)      Islam datang langsung dari Arab, tepatnya dari Hadramaut. Teori ini pertama kali dikedepankan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Veth (1878). Sebagai identifikasi sekaligus untuk mempermudah pengelompokannya teori ini selajutnya disebut “teori Arab”.
2)      Disebutkan pula dalam buku-buku sejarah, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang India, atau  disebut “teori India”. Teori ini menyatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India. Untuk pertama kalinya, teori ini dikemukakan oleh Pijnappel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1872. Azyumardi Azra menulis: “Berdasarkan terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Suleiman, Marco Polo, dan Ibn Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara.”
Tetapi sesungguhnya ulasan panjang-lebar juga dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam Bukunya Islam Oost Nederland Indie.
1) Yang terkahir adalah “teori Benggal”. Teori terakhir ini menjelaskan bahwa Islam di Nusantara datang dari Benggal atau Bangladesh sekarang. Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Fatimi sependapat dengan Tome Pires yang menyatakan bahwa banyak dari orang-orang yang menempati posisi penting (sebagai golongan elite) di Pasai merupakan orang Benggali atau keturunan mereka. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dibawa oleh orang-orang dari pantai timur, bukan dari barat Malaka pada abad ke-11 M, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu.
Meskipun terdapat tiga teori yang diharapkan dapat menjelaskan proses Islamisasi di Nusantara seperti yang tertulis di atas, tetapi tak menutup kemungkinan munculnya “ruang debat” baru atas  keragaman teori tersebut. Berbagai kritik dan perdebatan dan silang sengkarut-jika tidak dapat disebut saling sengketa- terjadi di kalangan para ahli. “Teori Arab” umpamanya mendapat pembelaan yang gigih dari Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ia menentang keras “teori India”. Ia beralibi bahwa, aspek-aspek internal-lah (atau karakteristik internal Islam) yang harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat proses kedatangan Islam di Nusantara, jangan hanya menitikberatkan pada unsur-unsur luar atau aspek eksternalnya an sich. Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai orang India serta kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab yang berasal dari Arab atau Timur Tengah atau Persia.[14]
Dalam seminar bertema “Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia” yang diadakan di Medan pada tanggal 17-20 Maret 1969 dan Seminar di Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September 1980, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan dari India. Waktu kedatangan Islam pada abad ke-7 M, bukan pada abad ke 12-13 M.[15] Hasil seminar ini memperkuat “Teori Arab” yang dikemukakan al-Attas sekaligus sebagai bentuk persetujuan para sejarawan Indonesia terhadap pandangan al-Attas.
“Teori India” sebagaimana dikemukakan oleh Pijnappel yang mengutarakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar, yang masuk dalam kawasan India. Pijnappel memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pendapatnya ini didasarkan pada seringnya penyebutan nama dua wilayah India dalam sejarah Nusantara klasik sehingga dalam komentarnya lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai “buah tangan” yang dibawa oleh orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung dibawa serta dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, yakni Gujarat dan Malabar. Teori ini sekaligus membantah teori Fatimi yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara “diimpor” dari pesisir timur India yaitu dari Bengal dan tidak pula dari Coromandel atau tidak juga dari India bagian utara.[16]
Selanjutnya, Stutterheim berpendapat bahwa waktu penyebaran Islam di Nusantara terjadi pada abad ke-13. Ia mengemukakan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk nisan dan relief batu nisan Sultan pertama kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (w. 1297).[17] Sayangnya Stutterheim tidak memperhatikan proses pengislaman di Gujarat sendiri. Gujarat baru diislamkan satu tahun kemudian, yaitu pada tahun 1298 M, sebagaimana yang dikemukakan Marison. Seandainya Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, boleh jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Timur Tengah. Pada saat yang bersamaan, penyebaran masyarakat Islam kala itu terbentur pada ketakutan akan  tentara Mongol yang giat melebarkan ekspansinya dan tak menutup kemungkinan dapat merampas daerah mereka. Oleh karena itulah, pilihan mencari daerah baru, menjadi gagasan yang tepat guna menghindari bangsa Mongol tersebut.
Terlepas dari kerapuhan dan kekurangan yang terdapat pada teorinya, pendapat Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda. Moquette juga berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette, laiknya Stutterheim, mengacu pada hasil penelitian pada bentuk batu nisan. Ia (Moquette) beralasan bahwa bentuk batu nisan, khusunya di Pasai, mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur. Bentuk kedua batu nisan itu, Aceh dan Gresik, mirip pula dengan batu nisan yang ada di Cambay (Gujarat). Ia berkeyakinan bahwa batu nisan itu diimpor dari India, sebagaimana masuknya agama Islam. Pun demikian, Islam pastilah berasal dari tempat yang sama, yaitu India, tepatnya Gujarat. Hal ini didasarkan pada kesamaan bentuk nisan-nisan makam itu sebagai hasil penelitiannya.[18] Teori yang dikemukakan Stutterheim dan Moquette ini di kemudian hari dikenal sebagai “teori batu nisan”.
Teori “batu nisan” dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India ditentang keras oleh Fatimi. Menurutnya, penggunaan metode menghubungkan batu nisan Pasai dengan batu nisan dari Gujarat yang diasosiasikan dengan tempat asal kedatangan Islam, merupakakan sebuah kekeliruan dan perlu ditinjau ulang. Setelah melakukan penelitian, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia mengungkapkan, bentuk dan gaya batu nisan itu mesti didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Keterangan ini menjadi alasan baginya untuk mengukuhkan “teori Benggal” yang digagasnya, yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan elementer pada teori Fatimi, yaitu bahwa ia tidak memperhatikan perbedaan mazhab fikih yang dianut Muslim Nusantara (Syafi’i) dengan kebanyakan kaum muslimin yang ada di Benggal yang cenderung menggunakan mazhab Hanafi.[19] Perbedaan mazhab fikih ini cukup kuat dijadikan senjata untuk meruntuhkan teori yang dibangun Fatimi.
Jauh sebelum dikenalnya kompas sebagai penunjuk arah, orang-orang Nusantara telah mengenal “silk route” di daratan Asia, juga berani mengarungi lautan lepas hanya dengan mengandalkan petunjuk bintang di langit  berlayar sampai ke Madagaskar. Dan sejak itu pula para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, karena tertarik dengan hasil rempah-rempah yang terdapat di Nusantara. Para pedagang yang datang ke Nusantara ini selain orang India dan Cina, juga orang Arab. Umumnya orang Arab ini datang dari Hadramaut melalui dua jalur. Jalur pertama melalui Persi dan Gujarat dan kedua langsung dari Arab ke Nusantara ini. Kedatangan mereka selain bertujuan berdagang tetapi juga sekaligus menyebarkan ajaran agama Islam.

Sejauh menyangkut kehadiran orang-orang Islam Timur Tengah, yang kebanyakan adalah dari Arab dan Persia, di Nusantara, Azyumardi Azra mengemukakan demikian:

Kehadiran Muslim Timur Tengah –kebanyakan Arab dan Persia—di Nusantara pada masa-masa awal ini pertama kali dilaporkan oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing ketika pada tahun 671, ia dengan menumpag kapal Arab dan Persia dari Kanton berlabuh ke pelabuhan muara sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau Sribuza, sekarang Musi). Sribuza, sebagaimana diketahui, telah diidentifikasi banya sarjana modern sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha  Sriwijaya.[20]

Setelah melihat daerah asal kedatangan Islam di Nusantara, persoalan selanjutya adalah fenomena dialektika penerimaan Islam di Nusantara atau apa yang disebut sebagai conversion to Islam. Sebagaimana teori kedatangan Islam, tentang konversi masyarakat Nusantara terhadap Islam, pun dapat dijelaskan melalui tiga teori. Teori-teori tersebut diharapkan dapat membantu memahami persoalan ini, umumnya pada kasus relasi Islam-penduduk lokal di Asia Tenggara, di mana Nusantara termasuk dalam kawasan regional itu. Menurut Ira M. Lapidus, ketiga teori itu ialah[21]:

Pertama, teori yang menekankan peran para pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah Indonesia, menikah dengan beberapa keluarga penguasa lokal dan yang telah menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir.

Kedua, teori yang lebih menekankan pada makna Islam bagi masyarakat umum daripada kegiatan elite pemerintah. Islam telah menyumbangkan sebuah landasan ideologi bagi kebijakan individual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang, dan lagi integritas kelompok parokhial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar.

Di dalam kerangka teori ini, dapat dijelaskan pula bahwa kehadiran kaum kolonialis justru yang merangsang terjadinya proses Islamisasi yang intens dan efektif lebih lanjut di Nusantara. Masyarakat Nusantara, bukan hanya secara geografis dipisahkan oleh pulau-pulau, tetapi juga mempunyai perbedaan kultur dan pranata sosial yang distingstif. Modalitas tersebut mampu berkomunikasi dengan Islam sebagai satu-satunya wadah yang dapat diandalkan menjadi pemersatu dan memberikan warna tersendiri guna menciptakan sebuah identitas yang unik. Dalam rangka menghadapi gerakan kolonialisme yang dalam hal ini diwakili oleh para penjajah kafir, Islam memberikan suatu injeksi yang memodernisir dan merevolusi tata bangun identitas dan integritas masyarakat lintas-segmen, baik yang berasal dari kalangan petani, pedagang serta berbagai kelompok profesi lainnya semata-mata untuk membulatkan “semangat juang”, terlebih dengan ajaran “jihad” dalam konteks “hubbul wathan” dan “hizbul wathan” yang semakin memperteguh  umat muslim untuk bersatu padu menjungkalkan kolonialisme yang pelan namun pasti telah menyandra kebebasan dan kedaulatan masyarakat lokal. Dalam konteks demikian, Islam  kaitannya dengan masyarakat pribumi, menjadi semacam “mekanisme pertahanan diri” (defence mechanism) dalam menghadapi penjajahan dan penindasan kaum kolonialis yakni dapat dipersepsikan sebagai kristalisasi ide dan gerakan sebagai simbolisme perlawanan.[22]

Ketiga, teori yang menjelaskan peran para juru dakwah (da’i) atau kaum sufi, atau juga yang disebut oleh sebagian orientalis sebagai kaum misionari, baik dari Gujarat, Benggal dan Arabia. Kedatangan para sufi (darwis) bukan hanya sebagai para guru tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan golongan pedagang dan memasuki daerah-daerah rural seperti perkampungan-perkampungan di daerah pedalaman.

Di luar soal kepastian sejarah mengenai “kapan, di mana dan oleh siapa” proses Islamisasi terjadi di Nusantara, termasuk “bagaimana proses peralihan keyakinan (konversi) masyarakat Nusantara ke Islam”, masalah selanjutnya yang perlu disinggung di sini adalah tentang fase perkembangan Islam di Nusantara. Berdasarkan beberapa temuan sebagaimana dikemukakan di atas, perkembangan Islam di Nusantara telah mengalami tiga fase; Fase Pertama, periode abad 1 sampai ke-4 H (7-10 M) adalah saat mereka yang beragama Islam singgah di kepulauan Nusantara. Meskipun tidak ada bukti yang sahih, tetapi bukan tidak mungkin jika dalam periode ini telah mulai terbentuk komunitas-komunitas Muslim, khususnya di daerah pesisir. Kemungkinan ini diperkuat oleh bukti yang dikedepankan di akhir periode ini, yang segera memasuki fase kedua.

Pada fase kedua ini, walaupun pada periode abad ke-7  sampai 10 M, Jawa tidak disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang Muslim, namun di Leran (Gresik) terdapat sebuah batu nisan dari seorang yang bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M. Selain itu terdapat pula makam Troloyo yang berasal dari abad ke-13 M. Sejak ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran, perkembangan Islam di kepulauan Nusantara memasuki fase kedua, yaitu periode abad ke-11 M sampai akhir abad ke-13 M. Pada periode ini kita telah mempunyai cukup bukti tentang telah berkembangnya komunitas Muslim di Nusantara. Fase ketiga adalah perkembangan Islam di Nusantara ditandai dengan berdirinya kerajaan Pasai pada abad ke-13 M.

Berkenaan dengan hubungan Nusantara dengan Timur Tengah sejak kehadiran Islam setidaknya dimulai pada abad ke-8 M sampai dengan abad ke-15 M, telah mengalami dua fase. Fase pertama, yaitu hubungan Nusantara dengan Timur Tengah pada abad ke-8 sampai 15 M., pada umumnya, hubungan keduanya hanya berkenaan dengan perdagangan. Hadirnya banyak kaum Muslim di Nusantara, terutama dari Arab dan Persia, memperlihatkan bahwa inisiatif pada hubungan yang terajut pada periode fase pertama ini lebih diprakarsai oleh mereka (orang Arab dan Persia) tinimbang masyarakat Muslim Nusantara. Pada abad ke-13 M sampai abad ke-15 M, hubungan kedua wilayah ini memasuki fase kedua, yaitu bahwa hubungan keduanya mulai menyinggung pada aspek-aspek yang lebih luas. Jika pada fase pertama, aspek ekonomi (perdagangan) merupakan ciri umum yang mewarnai keduanya, maka pada fase kedua ini, Muslim Arab dan Persia, baik para pedagang ataupun pengembara sufi yang berperan sebagai juru dakwah (da’i) Islam mulai meningkatkan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Hubungan keagamaan dan kultural di antara kedua wilayah ini terjalin lebih erat dan intensif pada fase kedua ini.[23]
Islam mulai memasuki relung batin kehidupan masyarakat Jawa sejak abad ke-11. Sumber yang  kerap dikutip oleh para historiograf adalah ditemukannya sebuah nisan Islam tertua yang ditemukan di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur yang berangka tahun 475 H (1082 M). batu nisan ini terpahat nama Fatimah binti Maimun. Menurut penelitian Agus Sunyoto, Fatimah merupakan anggota kabilah suku Lor yang berasal dari Persia yang datang ke Jawa pada abad ke-10. Konon, nama Leran sendiri berkait erat dengan nama “Lor”. Fatimah sendiri, sejatinya bukan datang langsung dari Persia, melainkan sosok yang lahir di Leran. [24] Hanya saja, ketika membincang pengaruh penyebaran Islam jika disandarkan pada golongan ini belumlah dapat dikatakan massif.
Dari ketiga bukti arkeologis dan historis diatas dapat diambil benang merah bahwa kedatangan Islam ke pulau Jawa dibawa oleh orang-orang dalam kategori teori Arab. Kendati Persia merupakan puak yang berbeda dengan bangsa Arab, namun dalam konteks ini terlebih ketika ditinjau secara fisik tentu terdapat kemiripan dengan orang Arab. Van den Berg dengan tegas menyatakan pula yang memperkenalkan Islam di Nusantara termasuk di Jawa adalah orang Arab, bersandar hubungan dagang yang cukup erat antara Arab Selatan khususnya Maskat dan Teluk Persia dengan Nusantara.[25]
Membincang perkembangan Islam dalam rentang waktu beberapa sumber sejarah di atas, ditinjau dari segi efektifitas di ruang publikan masyarakat Jawa, belumlah dapat dikatakan sukses. Hal ini karena pengaruh dari ajaran Hindu-Budha sendiri yang masih kuat berakar mulai dari tataran elit sampai akar rumput. Sunyoto mengungkapkan, selama bentang abad ke 5 sampai ke 15 Masehi pengaruh Hinduisme dan Budhisme yang berasal dari India menguat di berbagai ruang lingkup masyarakat di Nusantara: mulai dari tatanan sosial, nilai-nilai budaya, teknik arsitektur, tata negara, aturan hukum, sistem ekonomi dan politik bahkan hingga ajaran agama.[26] Keadaan ini lambat laun mulai mencair ketika Wali Songo memulai gerakan dakwahnya. Dengan bersenjatakan kesantunan yang penuh kompromi dengan budaya lokal, Wali Songo berhasil menancapkan pengaruh agama Muhammad di tanah yang sebelumnya disesaki oleh penyembahan sang Budha dan Dewa Siwa.
anjirnya orang Arab di Tanah Air, membawa goresan warna nan rancak dalam perkembangan dakwah Nusantara. Jika ditilik lebih lanjut, Wali Songo yang dapat dikategorikan sebagai penabur benih Islam generasi awal, merupakan keturunan Sayid. Tujuh dari sembilan Wali Songo, meruapakan keturunan orang-orang Arab yang di dalam tubuhnya mengalir deras darah penghulu kaum Muslim sepanjang zaman, Nabi Muhammad Saw. Namun, gelaran habib dan sayid yang sejak medio kolonial ramai disematkan pada keturunan Nabi SAW tersebut, belumlah ada di masa itu. Para pendakwah Arab lebih senang menggunakan nama-nama lokal yang akrab di telinga masyarakat awam yang saat itu masih menganut ajaran Hindu-Budha. Sebagai contoh Raden Paku yang merupakan putra Syekh Maulana Ishak yang dikemudian hari dikenal sebagai Sunan Giri,[27] menggunakan nama Prabu Satmata, sebutan yang terasa lebih ramah ditelinga para penduduk pribumi.
Seiring perjalanan waktu, kaum Sayid ini kian hari kian membengkak memenuhi konstelasi dakwah Islam melanjutkan estafet tugas dari para pendahulunya. Di masa kolonial, terlebih sejak munculnya Belanda sebagai elite yang menguasai peta kekuatan birokrasi dan administrasi Nusantara, setelah sebelumnya membenamkan pengaruh para raja-raja lokal, peran para Sayid begitu mengemuka. Terjadi semacam titik balik alih peran, dari yang sebelumnya mereka sangat dibenci oleh bangsa Barat,[28] karena dianggap membakar gelora makar melalui ajaran Islamnya, kini mulai diperhatikan keberadannya. Dari sekian banyak kota-pelabuhan (emporium) yang terkenal di Nusantara, Jayakarta yang kemudian berganti nama menjadi Batavia, merupakan primadona Timur yang harum dibicarakan orang. Bak seorang gadis rupawan, wajahnya begitu anggun didasari atas pertimbangan ekonomi yang potensial. Tidak salah kiranya, VOC rela merogoh kocek lebih dalam untuk menyulap Jayakarta menjadi Batavia[29], ibukota Belanda di Hindia Timur.
Sunda Kalapa, merujuk pada ulasan Uka Tjandrasasmita yang menyitir laporan perjalanan Tome Pires, mengungkapkan bahwa Kalapa (Sunda Kalapa) adalah emporium penting kerajaan Sunda yang merupakan muara terkonsolidasinya barang-barang dari berbagai daerah pedalaman yang dikirim alat transportasi air  melalui sungai yang bermuara pada teluk Jakarta sekarang. Tak ayal, peranan  Ciliwung dan Cisadane dalam kelancaran arus distribusi barang dagangan amatlah vital. Ciliwung menjadi jalur air yang menghubungkan Bogor dengan pusat kerajaan Sunda yang lancar dialirkan kembali ke Kalapa. Sedangkan Cisadane, menghubungkan daerah pedalaman Bogor lalu transit ke pelabuhan Tangerang dan dilanjutkan pula ke Kalapa. Pun juga peran Citarum yang mengangkut komoditas dagang dari daerah yang dilaluinnya lalu diteruskan hingga ke Kalapa. Kondisi geografis Jakarta yang dilewati oleh sungai-sungai besar, seperti Cisadane, Ciliwung dan Kali Bekasi, serta adanya cekungan teluk di bibir pantai menjadi faktor potensial bagi perkembangan dan pemukiman masyarakatnya. Dan hal ini terjadi berkesinambungan hingga masa kini.[30]
Jejak rekam perjalanan Batavia tersebut, kiranya cukup untuk bahan pertimbangan para Sayid di negeri asalnya-termasuk dari Hadramaut- untuk ikut serta dalam arus besar dakwah Arab-Nusantara.[31] Mereka yang berasal dari Hadramaut, lazim disebut Arab hadrami. Jika mengkhususkan waktu untuk berlama-lama membuka korpus-korpus sejarah, maka akan ditemukan nama besar Nuruddin Ar-Raniri, penghulu ulama sekaligus mufti kerajaan Aceh abad-17, yang menurut Azyumardi Azra mempunyai darah Arab hadrami.[32] Kendati telah banyak di antara mereka yang melukis hidup di Nusantara, umumnya masih dalam hitungan per-individu. Komunitas orang Arab hadrami[33] sendiri, merujuk pada catatan van den Berg, mulai datang secara massal ke Nusantara pada awal abad ke-18. Pelabuhan pertama yang mereka singgahi adalah Aceh. Dari sini mereka mulai pindah ke wilayah lainnya. Palembang dan Pontianak menjadi dua kota yang disukai oleh orang Arab hadram masa itu. Seiring perjalanan waktu, mereka pun mulai berdiaspora tak hanya terpaku pada dua kota ini. mereka mulai menetap di Jawa pada tahun 1870.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...