Sabtu, 29 Juni 2013

Model Penelitian Transformasi Fiqh dalam Peraturan Perundang-undangan

Oleh: Cik Hasan Bisri


A. Fiqh dan Sistem Hukum Nasional
Suatu gejala yang bersifat umum bahwa pembentukan dan pengembangan hukum nasional dilakukan dari hukum tidak tertulis ke arah hukum tertulis, baik dalam masyarakat bangsa yang masih berkembang maupun yang telah maju. Meskipun demikian, hukum tidak tertulis merupakan bagian dalam sistem hukum nasional. Hukum tertulis dan tidak tertulis itu berlaku dalam penyelenggaraan segenap bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bersifat mengikat bagi semua penduduk. Bentuk hukum tertulis di bidang tertentu, terutama dalam bidang hukum yang relatif netral, dikodifikasikan dan diunifikasikan.

Sementara itu, terhadap hukum yang peka, apalagi yang amat erat hubungannya dengan keyakinan masyarakat, usaha unifikasi hukum di Indonesia, misalnya, mengalami masalah (Bagir Manan, 1994) karena masyarakat bangsa bersifat majemuk, terutama karena perbedaan agama yang dipeluk. Berkenaan dengan hal itu, pengembangan hukum Islam dalam bidang keluarga “diunifikasikan” secara khusus bagi orang-orang Islam, sebagaimana tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ia merupakan suatu bentuk “unifikasi” dari keanekaragaman hukum Islam sebagaimana terdapat dalam anekaragam produk pemikiran fuqaha yang tersebar dalam berbagai kitab fiqh di Indonesia (Cf. Harahap, 1999: 21-63). Unifikasi hukum keluarga itu dilakukan hampir di 40 negara, baik di beberapa negara Islam dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam maupun di beberapa negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim seperti di Thailand, Philipina, dan Srilangka.

Pengembangan hukum nasional itu didasarkan kepada politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut merupakan suatu keputusan kekuasaan negara tentang hukum yang berlaku secara nasional dan arah pengembangan sistem hukum yang dianut (Cf. T. Mohammad Radhie, 1997: 4). Politik hukum itu dirumuskan dan ditetapkan melalui badan penyelenggara negara yang memiliki kewenangan di bidang itu.[1] Dalam proses perumusan dan penetapan politik hukum tersebut terjadi interaksi para elite yang mewakili berbagai kelompok kepentingan untuk memperoleh konsensus bagi pengembangan hukum dalam suatu satuan masyarakat bangsa yang diikat oleh organisasi negara nasional.

Berkenaan dengan keterikatan satuan masyarakat bangsa, dewasa ini, umat Islam merupakan bagian dari empat tipe satuan masyarakat bangsa dalam ikatan organisasi negara modern. Pertama, dalam masyarakat bangsa yang secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam (Islamic states), seperti Brunei Darussalam, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan Maroko (Muslim Sovereign State). Brunei Darussalam, merupakan suatu kesultanan kecil namun kaya dengan sumberdaya alam (minyak bumi), sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah Syafi‘iah. Pakistan, merupakan suatu negara republik dengan sistem pemerintahan parlementer sebagaimana dianut di beberapa negara Eropa Barat, sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah Hanafiah. Arab Saudi, merupakan suatu kerajaan (al-mamlakah) yang didominasi oleh keluarga Sa‘ud, sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah Hanabilah. Iran, merupakan suatu negara republik dengan sistem pemerintahan presidensial di bawah otoritas wilāyat al-fāqih, sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah Syi‘ah Imamiah (Ja‘fariah). Sementara itu, Maroko merupakan suatu kerajaan, sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah Malikiah.

Kedua, dalam masyarakat bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam tetapi tidak menyatakan dirinya sebagai negara Islam, dengan madzhab fiqh yang beragam, misalnya, Indonesia (sunni), Irak (32% sunni dan 65% syi‘i), dan Mesir (sunni). Dalam tipe masyarakat ini, umat Islam pernah menjadi kekuatan politik yang dominan. Oleh karena itu, transformasi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilakukan melalui berbagai saluran, infrastruktur maupun suprastruktur politik. Di Indonesia, misalnya, rumusan Piagam Jakarta dan perdebatan tentang dasar negara terjadi dalam sidang Majelis Konstituante pasca pemilihan umum tahun 1955 dan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2000, merupakan bukti sejarah tentang usaha transformasi tersebut. Dewasa ini, satuan masyarakat bangsa tipe ini dapat diidentifikasi sebagai negeri Muslim.[2]

Ketiga, dalam masyarakat bangsa yang mayoritas penduduknya beragama lain, tetapi berupaya untuk menerapkan hukum Islam sebagai norma sosial dalam kehidupan internal umat Islam, seperti masyarakat Islam Patani di Muangthai (Selatan) dan Moro di Philipina (Selatan). Gerakan pemisahan diri dari satuan masyarakat bangsa, bahkan ikatan negara, merupakan upaya mengembalikan jati diri masyarakat Muslim sebagai satuan masyarakat yang kohesif, dengan corak ajaran Islam yang homogen, setelah mengalami intervensi oleh satuan masyarakat mayoritas (Budha di Muangthai dan Katholik di Philipina).

Keempat, dalam masyarakat bangsa di negara sekuler, yang mayoritas penduduknya menganut agama lain. Sementara itu, masyarakat Muslim terpilah dalam kelompok kecil (jamaah), yang didasarkan pada kesamaan etnis dan aliran pemikiran Islam (corak ajaran). Hal itu merupakan suatu gejala baru, terutama di benua Amerika dan Eropa, seperti di Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris. Satuan masyarakat tersebut, dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga proporsinya semakin meningkat.

Uraian di atas menunjukkan tentang tipe masyarakat Muslim dalam berbagai satuan masyarakat bangsa yang sangat majemuk. Ia berada dalam masyarakat bangsa yang meliputi berbagai umat pemeluk agama dan corak aliran pemikiran Islam dan madzhab fiqh. Ia berada dalam masyarakat bangsa yang meliputi berbagai ras, etnis, dan asal-usul keturunan. Di samping itu, ia berada dalam masyarakat bangsa yang memiliki variasi tingkat kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain: sumberdaya manusia, teknologi, ekonomi, dan pendidikan. Berkenaan dengan hal itu, terdapat variasi transformasi fiqh ke dalam produk badan penyelenggara negara, terutama badan legislatif dan eksekutif. Hal itu tergantung kepada politik hukum yang ditetapkan, yang kemudian ditindaklanjuti melalui program legislasi nasional.

Transformasi fiqh tersebut merupakan suatu perubahan bentuk, dari produk penalaran fuqaha yang “beragam” (mukhtalaf fih) menjadi produk badan penyelenggara negara yang bersifat “seragam” (muttafaq ‘alayh), yakni peraturan perundang-undangan (al-qānun).[3] Perubahan bentuk tersebut, dalam berbagai hal diikuti oleh perubahan substansi, sehingga dapat dikatakan sebagai perubahan struktural dalam konteks struktur dan kultur masyarakat bangsa karena adanya faktor determinan yang bersifat konstan bagi perubahan kehidupan manusia secara semesta.[4] Transformasi itu bermakna suatu proses kontekstualisasi norma fiqh (sebagai majmū‘at al-ahkām) ke dalam struktur masyarakat bangsa. Dalam proses itu terjadi reduksi, adaptasi, dan modifikasi norma fiqh yang “anti struktur” menjadi qanun yang “terstruktur”, yang memiliki daya ikat serta daya atur. Bahkan, dalam hal tertentu, qanun memiliki daya paksa. Dengan demikian, ketika fiqh ditransformasi ke dalam qanun ia telah mengalami perubahan wujud dan fungsi dalam konteks sistem hukum nasional.[5] Fiqh telah terintegrasi dengan norma lain, yang telah berubah bentuk menjadi qanun. Bahkan dalam hal tertentu mengalami perubahan makna, baik dalam arti perluasan makna maupun penyempitan makna.

Atas perihal tersebut, dalam bidang tertentu di Indonesia, misalnya, makna subyek hukum mengalami perluasan, dari orang (naturlijk persoon) menjadi orang dan atau badan hukum (rechtspersoon) sebagaimana tampak dalam hukum perwakafan (wakif dan nadzir) dan hukum pengelolaan zakat (muzakki dan mustahiq). Hal itu tampak dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakif terdiri atas perseorangan, organisasi, dan badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Sedangkan nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan penguasaan benda wakaf. Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, muzakki adalah orang atau badan hukum yang dimiliki oleh Muslim yang berkewajiban menunaikan zakat. Sedangkan mustahiq adalah orang atau badan hukum yang berhak menerima zakat.

Secara sosiologis transformasi fiqh tersebut merupakan produk interaksi antara kelompok elite Islam (“ulama bebas”, pemimpin organisasi kemasyarakatan, pejabat agama, dan cendekiawan Muslim) dengan elite penguasa, yaitu pemerintah dan unsur kekuasaan lainnya. Dalam proses penyusunan dan pembahasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya, peranan elite Islam sangat menonjol. Hal itu dilakukan melalui pertemuan dan pendekatan dengan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan pembahasan intensif di kalangan mereka. Setiap butir rancangan undang-undang itu dikaji dan diukur berdasarkan ketentuan fiqh. Pertemuan sebagian ulama Jawa Timur di Jombang, 22 Agustus 1973, yang menghasilkan rumusan berbagai usul atas perubahan Rancangan Undang-Undang itu (Lihat: Amak F. Z., 1976: 35-48), menunjukkan usaha mereka dalam proses transformasi fiqh ke dalam qanun.[6]

Usaha-usaha yang demikian, menjadikan fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun. Atau, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid (1975: 61), “Apa yang dituju adalah bagaimana menjadikan hukum Islam lebih banyak lagi menggunakan pertimbangan-pertimbangan manusiawi, termasuk pertimbangan ilmiah praktis, dalam proses pengambilan keputusan hukumnya”. Dengan perkataan lain, usaha seperti itu menjadikan (sebagian) fiqh terintegrasi ke dalam qanun. Ia menjadi hukum yang mengikat, mengatur, dan dapat dilaksanakan bagi penataan kehidupan manusia.

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa fiqh memiliki potensi dan posisi dalam sistem hukum nasional yang bersumber pada qanun. Kini, di samping civil law system, dan common law system, juga berkembang Islamic law system yang intinya adalah fiqh. Di beberapa negara Islam, fiqh menjadi sumber utama program legislasi nasional (eksplisit dan implisit). Misalnya, Bahrein (Pasal 2), Bangladesh (Pasal 8), Iran (Preamble), Maroko (Preamble), Mauritania (Preamble), Mesir (Pasal 2), Kuwait (Pasal 2), Oman (Pasal 2), Pakistan (Preamble), Saudi Arabia (Pasal 8), Syria (Pasal 2), dan Yaman (Pasal 3). Sementara itu, di negara-negara sekuler program legislasi nasional didasarkan pada keputusan parlemen yang tidak bersangkut paut dengan hukum agama (pada umumnya). Khusus di Indonesia, hukum agama (Islam) dan hukum agama pada umumnya, diakui dan dihormati sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, yang menjadi salah satu “bahan baku” dalam pengembangan hukum nasional.

Berkenaan dengan uraian di atas, ada tiga gagasan utama yang digunakan dalam penelitian transformasi fiqh. Ketiga gagasan itu, dewasa ini, merupakan bagian dari gejala kehidupan di berbagai negara dan kawasan, khususnya di dunia Islam. Ia berada dalam tataran perubahan hukum di berbagai satuan masyarakat bangsa, dari hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis, dari hukum yang bersifat khusus (internal Muslim) menjadi bersifat umum (Cf. Galanter, 1966: 168).

Gagasan pertama ialah fiqh (dalam arti majmū‘at al-ahkām), yakni produk penalaran fuqaha bagi penataan kehidupan umat manusia. Ia bersifat semesta, tanpa terikat oleh struktur sosial meskipun mempertimbangkan dan berkembang dalam sistem sosial yang berlaku, sebagaimana tampak dalam proses perumusan fiqh yang juga menggunakan dalil empiris (selain dalil normatif dan dalil metodologis), seperti al-‘urf, syar‘un man qablanā, dan al-maslahah al-mursalah. Atas perihal tersebut, dikenal fiqh yang bercorak lokal di antaranya fiqh Hijazi, fiqh Kufi, fiqh Mishri, fiqh Hindi, dan fiqh Indunisi. Demikian pula ketika fiqh itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat, ia mengalami penyesuaian dengan tradisi dan derajat kemampuan subyek hukum (mukallaf) berdasarkan prinsip istitha‘a.

Gagasan kedua ialah transformasi fiqh ke dalam qanun dalam sistem hukum nasional. Ia merupakan pengalihan substansi fiqh ke dalam substansi qanun, yang meliputi empat tataran hukum, yakni (1) tataran asas atau prinsip hukum; (2) tataran hukum material (hukum substantif); (3) tataran hukum formal (hukum acara); dan (4) tataran pelaksanaan hukum atau penegakan hukum. Transformasi itu dilaksanakan berdasarkan politik hukum dari badan penyelenggara negara yang ditindaklanjuti oleh program legislasi. Hal itu terjadi di berbagai negara Islam dan negeri Muslim. Menurut beberapa sumber sebagaimana dikemukakan oleh al-Sibā‘i (1966), Tahir Mahmood (1972 dan 1987), Muhamamad Siraj (1993), dan Sudirman Tebba (1993), terjadi transformasi fiqh, khususnya norma hukum pribadi dan keluarga (al-ahwāl al-syakhshiyah) ke dalam qanun. Bahkan hal itu terjadi di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim, misalnya di Philipina dan Thailand (Lihat: Anonimus, 1983; Surin Pitsuan, 1989).

Gagasan ketiga ialah sistem hukum nasional sebagai bagian dari sistem masyarakat dalam ikatan negara kebangsaan. Dalam sistem hukum itu mencakup beberapa hal. Pertama, nilai-nilai fundamental yang telah disepakati sebagai rujukan utama sebagaimana tersurat dalam konstitusi. Kedua, bahan baku dalam pembentukan dan pengembangan hukum. Ketiga, arah pengembangan hukum yang hendak dicapai. Keempat, berbagai bidang kehidupan yang memerlukan pengaturan. Kelima, proses politik melalui suprastruktur dan infrastruktur politik. Keenam, perangkat hukum dalam jenjang hukum tertulis yang ditetapkan oleh badan penyelenggara negara. Ketujuh, penegakan hukum melalui badan dan aparat penegakan hukum. Kedelapan, pluralitas dan perkembangan masyarakat bangsa secara internal. Kesembilan, perkembangan masyarakat dunia yang ditunjang oleh produk teknologi (eksternal). Berbagai hal itu merupakan unsur (subsistem) dalam sistem hukum nasional sebagai suatu kesatuan terintegrasi yang saling berhubungan, saling menunjang, dan saling tergantung.

Khusus di Indonesia, transformasi fiqh ke dalam qanun tersebar dalam berbagai undang-undang, baik dalam hukum keluarga maupun hukum keperdataan lain. Hal itu dapat dilihat, antara lain, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.



B. Fokus Penelitian

Secara garis besar wilayah penelitian transformasi fiqh adalah teks peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas mukadimah (preamble) atau konsideran, batang tubuh, dan penjelasan (umum dan khusus). Mukadimah dalam konstitusi berisi tentang kesepakatan pembentukan negara dan nilai-nilai dasar yang dijadikan rujukan bagi hukum dasar yang dirinci dalam batang tubuh. Sementara itu, konsideran dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya mencerminkan tentang landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis yang digunakan sebagai dasar dalam penataan kehidupan masyarakat bangsa di bidang tertentu, sejalan dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Transformasi fiqh ke dalam sistem hukum nasional dapat dipahami dan dijelaskan melalui beberapa model penelitian sebagaimana model penelitian fiqh lainnya. Namun demikian, dalam tulisan ini hanya dikemukakan sebuah model penelitian, untuk dikembangkan lebih lanjut. Penajaman model ini dapat dilakukan oleh peneliti ketika mengaplikasikan model tersebut.

Tatkala hendak merumuskan fokus penelitian, ada tiga cara yang dapat dilakukan. Pertama, fokus dirumuskan dengan cara menelaah kemiripan substansi fiqh dengan substansi qanun. Boleh jadi kemiripan itu hanya bersifat kebetulan; atau merujuk pada sumber yang sama; atau memang sesungguhnya terjadi transformasi. Kedua, fokus dirumuskan dengan cara menelaah substansi fiqh yang dialihkan ke dalam qanun. Dengan cara ini substansi fiqh dipandang sebagai sesuatu “yang telah diketahui”, sedangkan substansi qanun dipandang sebagai sesuatu “yang belum diketahui”. Ketiga, fokus dirumuskan dengan cara menelaah substansi qanun yang mengandung substansi fiqh. Dengan cara ini substansi fiqh dipandang sebagai sesuatu “yang belum diketahui”, sedangkan substansi qanun dipandang sebagai sesuatu “yang telah diketahui”.

Cara ketiga dipilih sebagai model penelitian yang disajikan dan dibahas dalam tulisan ini. Berdasarkan pilihan tersebut fokus penelitian transformasi fiqh terdiri atas empat unsur,[7] yakni substansi fiqh, proses transformasi, rujukan konstitusi, dan perubahan sosial (SPRP). Dalam model ini, dapat dilakukan penyempitan fokus, dengan cara mengurangi salah satu unsur SPRP. Atau dapat dilakukan modifikasi fokus, dengan menempatkan substansi fiqh sebagai sesuatu “yang telah diketahui”.

Unsur substansi fiqh merupakan produk penalaran fuqaha yang memiliki variasi bidang, tataran, sumber, dan perspektif. Variasi bidang berkenaan dengan pembidangan fiqh selaras dengan perkembangan  institusi sosial.[8] Variasi tataran hukum berkenaan dengan asas hukum,[9] hukum material, hukum acara, dan penegakan hukum. Variasi sumber berkenaan dengan kitab fiqh atau sumber lain yang dirujuk. Sementara itu, variasi perspektif berkenaan dengan madzhab yang melekat pada substansi fiqh tersebut.[10] Variasi madzhab ini akan memiliki makna penting bagi pengalihan substansi fiqh di negara kebangsaan yang tidak menganut salah satu madzhab fiqh yang masih berkembang.

Unsur proses transformasi merupakan tahapan pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun. Tahapan tersebut dilakukan melalui suatu prosedur yang berlaku pada negara yang bersangkutan. Prosedur itu juga berhubungan dengan sistem pemerintahan yang dianut: presidensial atau parlementer. Tahapan itu secara teknis meliputi: persiapan, perancangan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Tahapan persiapan dapat dimulai dari pengkajian dan penyusunan naskah akademis, perumusan maksud dan tujuan pengaturan, penentuan dasar hukum, materi yang akan diatur, dan keterkaitan dengan qanun lain. Tahapan perancangan berkenaan dengan penyiapan draft awal yang memuat batang tubuh dan materi qanun, yang dibagi menjadi beberapa bab, bagian, pasal, dan ayat. Draf tersebut disusun dalam ragam bahasa hukum (legal draft) yang lazim digunakan. Tahapan pembahasan dan pengesahan berkenaan dengan tingkat pembicaraan materi draft, sesuai dengan hierarki qanun, mulai dari nota pengantar, tanggapan umum, pembahasan dalam komisi, panitia khusus, dan tim kecil, sampai persetujuan dan pengesahan. Tahapan pengundangan berkenaan dengan penomoran dan penyantuman qanun dalam lembaran negara dan berita negara atau lembaran daerah dan berita daerah. Sedangkan tahapan penyebarluasan berkenaan dengan pendistribusian dan pendokumentasian produk qanun.

Unsur rujukan konstitusi merupakan rujukan yuridis dalam proses penyusunan qanun, sesuai dengan hierarki qanun yang berlaku dalam negara yang bersangkutan. Dalam konteks negara bangsa Indonesia, rujukan konstitusi tersebut adalah ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sementara itu, rujukan qanun di bawah undang-undang adalah undang-undang itu sendiri; dan seterusnya.

Unsur perubahan sosial merupakan aspek sosiologis bagi transformasi fiqh. Ia merupakan aspek eksternal dalam proses transformasi fiqh melalui interaksi antara elite Islam dengan elite lainnya, termasuk elite penguasa. Manakala elite Islam mempunyai daya tawar yang tinggi, maka peluang transformasi fiqh lebih terbuka. Demikian pula sebaliknya. Boleh jadi interaksi itu tidak hanya terbatas dalam suatu negara, tetapi juga interaksi antar elite antar bangsa. Transformasi fiqh muamalah, khususnya bidang ekonomi dan perbankan, misalnya, menunjukkan gejala yang mendunia.

Keempat unsur tersebut memiliki posisi yang berlapis. Unsur proses transformasi menempati posisi sentral. Sedangkan unsur substansi fiqh menempati posisi kedua. Sementara itu, unsur rujukan konstitusi dan perubahan sosial menempati posisi berikutnya, sebagai unsur eksternal dalam transformasi fiqh tersebut. Berkenaan dengan hal itu, inti fokus penelitian ini adalah unsur proses transformasi, terutama pada tahapan persiapan, tahapan perancangan, dan tahapan pembahasan. Pada tahapan ini terjadi proses pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun ketika terdapat titik persamaan antara substansi fiqh dengan “bahan baku” lain dalam perumusan qanun lebih besar ketimbang perbedaannya. Hal itu terjadi ketika interaksi antara elite Islam dengan elite lain dilakukan dengan frekuensi dan intensitas yang sangat tinggi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disusun beberapa pertanyaan penelitian untuk dipilih sesuai dengan keperluan:

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya transformasi fiqh? 2. Substansi fiqh mana yang dialihkan ke dalam qanun? 3. Bagaimana proses pengalihan substansi fiqh tersebut? 4. Apa yang menjadi penunjang dan penghambat dalam proses itu? 5. Apa makna pengalihan substansi fiqh bagi para pelakunya?

Kelima pertanyaan di atas merupakan bagian dari pilihan pertanyaan yang dapat diajukan, yang disusun secara garis besar. Untuk selanjutnya dapat disusun puluhan pertanyaan yang lebih rinci, merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian (SPRP).



C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian transformasi fiqh diarahkan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menjelaskan pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan tampak pola-pola transformasi fiqh sesuai dengan hierarki qanun yang berlaku dalam suatu atau di berbagai negara.

Patut dimaklumi bahwa penelitian ini pada mulanya dilakukan untuk memperdalam pengetahuan ilmiah, atau untuk menyingkap “sesuatu” di balik pengetahuan yang telah dirumuskan dan disosialisasikan. Penelitian tersebut bertitiktolak dari masalah akademis yang biasanya dilakukan dalam lingkungan perguruan tinggi. Akan tetapi penelitian transformasi fiqh dapat dilakukan dengan bertitiktolak dari masalah sosial, yang diarahkan untuk merumuskan bahan dalam proses pemecahan masalah.

Tentu saja, masalah sosial tersebut merupakan suatu akumulasi dari berbagai unsur, yang memerlukan pendekatan yang komprehensif. Berkenaan dengan hal itu, penelitian transformasi fiqh dapat diintegrasikan dalam suatu kesatuan penelitian antardisiplin. Atau penelitian multidisiplin dalam suatu kesatuan program penelitian, di samping penelitian lain yang menggunakan disiplin atau bidang kajian masing-masing.



2. Kegunaan Penelitian

Pada dasarnya penelitian transformasi fiqh memiliki dua kegunaan. Pertama, hasil penelitian berguna untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah di bidang fiqh dan ilmu perundang-undangan. Hal itu mencakup: (1) Untuk merumuskan konsep sampai kawasan baru, sehingga wacana fiqh semakin kaya, terutama dalam konteks kehidupan bernegara; (2) Untuk menata pengkajian proses transformasi fiqh dalam berbagai negara yang memiliki keunikan masing-masing sehingga kajian fiqh akan memiliki kawasan baru yang selama ini kurang mendapat perhatian; (3) Untuk dialihkan ke dalam kegiatan pembelajaran sehingga para mahasiswa akan memperoleh informasi mutakhir berkenaan dengan transformasi fiqh, yang pada ujungnya kompetensi ilmiah yang bersangkutan akan lebih bermutu; (4) Untuk dijadikan titik tolak bagi kegiatan penelitian lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun oleh peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian mengalami kesinambungan.

Kedua, hasil penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup manusia, khususnya berkenaan dengan pola dan cara pengalihan fiqh sebagai bahan baku dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Hal itu mencakup: (1) Untuk mengembangkan apresiasi terhadap fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun; (2) Untuk meningkatkan apresiasi terhadap transformasi fiqh yang beragam di berbagai negara yang memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing; (3) Untuk dijadikan salah satu bahan rujukan dalam proses penataan kehidupan manusia yang semakin pelik dan majemuk.



D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir

1. Tinjauan Pustaka

Transformasi fiqh dalam sistem hukum nasional dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, di antaranya teori negara hukum, teori trias politica, teori akulturasi kebudayaan, dan teori perubahan hukum (Pemilihan teori tersebut tergantung pada sudut pandang peneliti dan ketersediaan perangkat teori yang dapat digunakan). Secara konseptual, transformasi fiqh merupakan bagian dari konsep perubahan hukum. Sementara itu, konsep perubahan hukum merupakan bagian dari konsep perubahan sosial. Adapun perubahan sosial dapat diartikan lebih sempit terutama ketika akan dilakukan penelitian.[11] Dengan perkataan lain, perubahan sosial dapat diartikan secara spesifik dengan menggunakan tolok ukur tertentu (Lihat: McIver and Page, 1957: 523). Ia dapat diartikan sebagai perkembangan,[12] reformasi,[13] dan transformasi.

Selanjutnya, konsep perubahan sosial mengandung dimensi lain, yakni faktor determinan, arah, pelaku, dan bentuk perubahan. Berkenaan dengan hal itu, dikenal teori perubahan sosial menurut perspektif linier atau perspektif cyclical.[14] Teori perubahan sosial merupakan bagian dari teori perubahan kehidupan makhluk Allah, dan dapat diturunkan menjadi teori perubahan hukum dalam kehidupan manusia. Salah satu teori perubahan di bidang biologi adalah teori evolusi Darwin, yang menggunakan empat konsep: struggle for life, survival of the fittest, natural selection, dan progress. Teori ini didasarkan pada perspektif linier, yang dalam berbagai hal digunakan untuk menjelaskan perubahan sosial. Sementara itu, dalam wacana sosiologi dikenal unilinier theories of evolution, universal theory of evolution, dan multilined theories of evolution (Lihat: Soerjono Soekanto, 1996: 345-346). Berkenaan dengan hal itu, tipologi masyarakat primitif-tradisional-modern (masyarakat tradisional-praindustri-industri) didasarkan pada teori evolusi. Demikian pula tipologi masyarakat agraris-industri-informasi yang digagas oleh Alvin Toffler, didasarkan kepada asumsi dalam teori itu meskipun dipandang sebagai revolusi (rapid change).

Di samping itu, perubahan sosial dapat dipandang sebagai peristiwa, atau proses, atau metode. Apabila perubahan sosial itu dipandang sebagai peristiwa, maka penekanannya pada berbagai unsur yang berinteraksi dalam peristiwa tersebut. Ia merupakan perwujudan interaksi sosial yang melibatkan berbagai pihak, baik dalam bentuk kerja sama, maupun persaingan atau konflik. Perubahan yang terjadi adalah sesuatu yang baru, yakni pertumbuhan atau perkembangan dari yang telah ada. Apabila perubahan sosial dipandang sebagai proses, maka penekanannya pada tahapan perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan itu terjadi secara bertahap, baik kualitatif maupun kuantitatif, sebagaimana yang dimaksud dengan pengembangan masyarakat. Apabila perubahan sosial dipandang sebagai metode, maka penekanannya pada pencapaian tujuan berdasarkan yang telah ditetapkan, sebagaimana dikenal pada konsep pembangunan, yaitu suatu perubahan yang disengaja, direncanakan, dan diorganisasikan. Oleh karena itu, pembangunan bidang hukum dapat dipandang sebagai metode, walaupun terbuka untuk dijelaskan sebagai peristiwa atau proses.

Berkenaan dengan perubahan hukum, apa yang dirumuskan dalam kaidah fiqh yang menyatakan: “hukum berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan” (تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد) merupakan suatu teori yang bersifat umum, yang dirumuskan dengan pernyataan tunggal. Dalam pernyataan itu terdapat hubungan kausal antara hukum dengan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan. Hukum sebagai akibat, yang lainnya sebagai sebab (al-‘illah).

Apabila diperhatikan secara seksama, dalam pernyataan itu terdapat tujuh konsep yakni hukum, tempat, waktu, keadaan, niat, dan kebiasaan, di samping konsep perubahan. Ketujuh konsep tersebut bersifat umum, yang masing-masing dapat dipilah dan ditafsirkan. Relasi antara watak dan perilaku manusia dalam kehidupan kolektif pada suatu waktu dan dalam kawasan tertentu, dapat disebut sebagai interaksi sosial. Tentu saja, atas hal tersebut muncul satu pertanyaan: interaksi antar siapa yang berpengaruh terhadap perubahan hukum pada suatu periode dan kawasan tertentu? Apakah perubahan hukum itu merupakan produk interaksi setiap manusia ataukah produk interaksi sejumlah manusia tertentu yang memiliki pengaruh atau otoritas dalam masyarakat.



2. Kerangka Berpikir

Berdasarkan hasil kajian pustaka dapat disusun kerangka berpikir, yang untuk selanjutnya dijadikan kerangka analitis terhadap data yang ditemukan. Kerangka berpikir makro dalam penelitian ini terdiri atas enam komponen, yakni: (1) konstitusi yang dijadikan rujukan; (2) politik hukum nasional; (3) program legislasi nasional; (4) bahan baku, yakni substansi fiqh dan “bahan baku” dari tatanan hukum lain dalam proses penyusunan qanun; (5) tuntutan perubahan dalam skala nasional; dan (6) produk legislasi, berupa qanun.

Berkenaan dengan keenam komponen di atas,[15] dapat dirumuskan beberapa pernyataan sebagaimana berikut ini. Pertama, konstitusi merupakan hukum dasar negara yang menjadi sumber dan landasan yuridis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Ia berisi pengaturan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, untuk melaksanakan berbagai ketentuan dalam konstitusi itu, antara lain ditetapkan politik hukum nasional yakni kehendak kekuasaan negara tentang arah pengembangan hukum nasional. Politik hukum itu mengalami perubahan, sejalan dengan dinamika masyarakat secara nasional dan internasional.

Ketiga, perwujudan politik hukum itu diimplentasikan dalam suatu program legislasi nasional, yakni pembentukan hukum tertulis melalui peraturan perundang-undangan. Berkenaan dengan hal itu, materi hukum dalam tatanan hukum Islam memiliki peluang menjadi “bahan baku” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Keempat, perubahan masyarakat merupakan landasan sosiologis dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Perubahan masyarakat itu mencakup perubahan struktur dan pola kebudayaan. Hal itu tampak dalam bentuk tuntutan reformasi dan transformasi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, di antaranya tuntutan demokratisasi di bidang hukum, politik, dan ekonomi.

Kelima, produk legislasi itu berupa pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai “muara” yang mempertemukan hukum dasar dengan tuntutan perubahan serta dinamika dalam kehidupan masyarakat, yang selanjutnya dilaksanakan oleh peraturan yang lebih rendah jenjangnya.



E. Langkah-langkah Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipandang tepat bagi penelitian transformasi fiqh ialah analisis isi teks, baik fiqh maupun qanun. Berkenaan dengan hal itu, dapat dilakukan modifikasi metode penelitian analisis isi bagi penelitian kualititif atau metode penelitian hermeneutik. Metode penelitian ini diarahkan untuk memahami teks dengan menggunakan beberapa metode penafsiran teks hukum, dalam hal ini teks qanun.[16] Metode penafsiran autentik dapat digunakan untuk memahami kehendak penyusun qanun sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan qanun, yang secara rinci dapat diketahui dalam notula pada setiap tahap pembahasan draft qanun. Sementara itu, metode penafsiran sosiologis dapat digunakan untuk memahami dan mendeskripsikan aspek-aspek sosiologis berkenaan dengan pembahasan, pengesahan, dan pengundangan suatu qanun dalam konteks sistem sosial yang mengalami dinamika.



2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.    Qanun sebagai suatu dokumen hukum yang terdiri atas konsideran, batang tubuh, dan penjelasan.

2.    Dokumen pada tiap tingkat pembicaraan draft qanun, mulai dari nota pengantar, tanggapan umum, pembahasan dalam komisi, panitia khusus, tim kecil, sampai persetujuan dan pengesahan. Risalah (notula) pada setiap pembahasan merupakan sumber data yang penting.

3.    Kitab fiqh dan sumber lainnya yang dijadikan rujukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

4.    Para pihak, sebagai responden, yang terlibat langsung dalam proses pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun.



3. Pengumpulan Data

Secara rinci pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara kajian dokumen dan wawancara, melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

1.        Peneliti menentukan jenis data yang hendak dikumpulkan, yang merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian sebagaimana dirinci dalam pertanyaan penelitian.

2.        Peneliti menyusun jenis data lebih rinci. Misalnya, dalam unsur proses transformasi dapat mencakup: pemilihan dan penentuan referensi (kitab fiqh) yang digunakan, pembahasan terhadap substansi fiqh yang dialihkan, musyawarah untuk menentukan substansi fiqh dialihkan (termasuk istilah yang digunakan), dan seterusnya. Rincian unsur fokus tersebut dijadikan bahan dalam penyusunan pertanyaan penelitian, baik yang “diajukan” kepada teks qanun dan fiqh maupun kapada responden.

3.        Peneliti menginventarisasi isi teks qanun serta kelengkapan dokumen lainnya (terutama risalah pada tahapan pembahasan draf qanun) sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan. Di samping itu, menyusun beberapa butir pertanyaan yang tersusun dalam sebuah panduan wawancara sebagai pegangan peneliti untuk dikembangkan dalam pelaksanaan wawancara dengan responden yang terlibat dalam proses transformasi.

4.        Peneliti melakukan pengecekan terhadap dokumen yang akan diteliti, baik berkenaan dengan otentisitas dokumen itu maupun kelengkapannya agar penelitian dapat dilakukan dengan lancar dan datanya memadai. Di samping itu, peneliti menghubungi responden untuk meminta kesediaan wawancara berkenaan dengan isi, tempat dan waktu wawancara. Hal itu menjadi penting karena keberhasilan wawancara sangat tergantung kepada kesediaan pelaku (penyelenggara negara) untuk menyampaikan informasi dan pendapat yang akan dikumpulkan.

5.        Peneliti mengumpulkan data dengan cara memahami dan mencatat isi teks qanun dan wawancara. Dalam mencatat isi teks qanun ada yang patut mendapat perhatian peneliti. Teks itu menggunakan ragam bahasa hukum, yang memiliki karakteristik tersendiri. Sementara itu, dalam kegiatan wawancara ada hal yang patut mendapat perhatian peneliti, yakni kemampuan peneliti untuk menciptakan situasi dalam mengembangkan isi wawancara; menimbulkan kepercayaan kepada responden; dan memelihara hubungan baik antara peneliti dengan responden dengan mengembangkan kemampuan empati.

6.        Peneliti mencatat isi naskah yang dibaca dan hasil wawancara yang diperoleh. Pencatatan isi teks dan hasil wawancara cukup dibatasi pada hal-hal yang dipandang penting. Sedangkan isi wawancara secara lengkap direkam dalam alat perekam.

7.        Peneliti melakukan pengecekan terhadap hasil bacaan teks dan hasil wawancara, yang dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, dilakukan pembacaan ulang dan wawancara ulang apabila hasil bacaan dan wawancara belum memadai dan ditemukan hal-hal yang belum jelas. Kedua, khusus bagi wawancara dilakukan kepada responden berikutnya apabila kesamaan pandangan antar responden tampak dengan nyata. Di samping itu, pengecekan dapat dilakukan terhadap bahan tertulis yang dirujuk oleh responden.

8.        Peneliti menyalin hasil bacaan teks qanun dan hasil wawancara menjadi bahasa tulisan, sesuai dengan apa yang tertera dalam teks dan ungkapan responden. Salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian dialihkan ke dalam lembaran khusus yang diberi kode.

9.        Peneliti menyarikan isi catatan yang telah disalin ke dalam bahasa tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh peneliti. Dalam proses ini diperlukan kehatihatian, terutama hasil wawancara yang dapat disarikan. Pendapat disarikan sebagaimana adanya, terutama mengenai ungkapan spesifik dalam konteks kebudayaan yang dianut oleh responden, rujukan yang digunakan, dan ungkapan yang menggambarkan situasi wawancara dan situasi sosial. Selain itu, peneliti agar menghindarkan diri untuk memberi komentar atau penilaian terhadap hasil wawancara.

10.    Peneliti melakukan konfirmasi kepada responden terutama tentang sari hasil wawancara. Konfirmasi ini dilakukan untuk memperoleh persetujuan responden; dan menghidarkan kemencengan berdasarkan persepsi atau subjektivitas peneliti.

11.    Peneliti mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur fokus dan pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal itu dilakukan melalui seleksi terhadap sari hasil kajian teks dan wawancara, mana yang layak digunakan dan mana yang tidak layak digunakan. Kemudian, mana yang dipandang pokok, dan mana yang dipandang penting, dan mana pula yang dipandang sebagai penunjang.

12.    Berdasarkan hasil klasifikasi data itu, dilakukan klasifikasi yang lebih spesifik, yakni subkelas data sebagaimana hasil pengumpulan data.



4. Analisis Data

Tahapan pengumpulan data sebagaimana diuraikan di atas, terutama dengan cara kajian teks dan wawancara, sebagian telah memasuki bagian awal dari analisis data, yakni ketika dilakukan klasifikasi data. Berkenaan dengan hal itu, pada tahap analisis data dilakukan dengan melibatkan tahapan penelitian yang telah dilaksanakan. Secara umum analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan apa yang diperoleh dari suatu proses kerja sejak awal. Ia ditujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan menggunakan kerangka berpikir di atas. Atas perihal tersebut, disusun tahapan analisis data secara terus menerus.

Merujuk kepada gambar tersebut, analisis data dilakukan sejak pengumpulan data, dengan tahapan sebagaimana berikut ini. Pertama, data yang telah terkumpul (Data 1) diedit dan diseleksi sesuai dengan ragam pengumpulan data (kajian teks qanun dan wawancara), ragam sumber (qanun, kitab fiqh, dan responden), dan pendekatan yang digunakan (kerangka berpikir), untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terkandung dalam fokus penelitian. Oleh karena itu, terjadi reduksi data sehingga diperoleh data halus (Data 2). Dalam proses itu, dilakukan konfirmasi dengan sumber data (Konfirmasi 1: teks; Konfirmasi 2: responden).

Kedua, berdasarkah hasil kerja pada tahapan pertama, dilakukan klasifikasi data: kelas data dan subkelas data. Hal itu dilakukan dengan merujuk kepada pertanyaan penelitian dan unsur-unsur yang terkandung dalam fokus penelitian.

Ketiga, data yang telah diklasifikasikan diberi kode. Kemudian antar kelas data itu disusun dan dihubungkan dalam konteks SPRP. Hubungan antar kelas data tersebut divisualisasikan dalam tabel silang (matriks), atau diagram. Dengan cara demikian berbagai hubungan antar data dapat dideskripsikan secara verbal, sehingga diperoleh kesatuan data yang menggambarkan tentang transformasi fiqh.

Keempat, selanjutnya dilakukan penafsiran data berdasarkan salah satu, atau lebih, pendekatan yang digunakan, yakni: pendekatan yuridis (koherensi substansi qanun), pendekatan antropologis (pemaknaan transformasi menurut responden), atau pendekatan sosiologis (pola interaksi antar elite). Ketepatan pendekatan yang digunakan merujuk kepada kerangka berpikir yang dijadikan kerangka analitis.

Kelima, berdasarkan hasil kerja pada tahapan keempat dapat diperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Berdasarkan hal itu, dapat ditarik simpulan internal, yang di dalamnya terkandung data baru atau temuan penelitian (Data 3). Dalam proses itu dilakukan konfirmasi dengan sumber data dan sumber lainnya (Konfirmasi 3: teks qanun dan fiqh; dan Konfirmasi 4: responden).

Keenam, menghubungkan apa yang ditemukan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian tentang fokus serupa, yang pernah dilakukan dalam konteks yang sama atau berbeda sebagaimana dapat ditemukan dalam tinjauan pustaka Berdasarkan hal itu, dapat ditarik kesimpulan makro dari penelitian tersebut. Dengan cara demikian, akan tampak makna dan posisi penelitian dalam gugus penelitian yang tercakup dalam model penelitian transformasi fiqh.

Rangkaian penelitian tentang transformasi fiqh merupakan unsur penggerak dalam pengembangan ilmu. Oleh karena itu, diharapkan, setiap kegiatan penelitian, terutama yang dilakukan oleh para peneliti senior, menghasilkan gagasan baru atau teori baru, sebagai peta pemikiran yang menjadi milik peneliti. Di samping itu, penelitian yang dilakukan dapat dijadikan media untuk menguji model penelitian yang telah disusun dan dirumuskan.



Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid. 1975. “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Prisma Nomor 4 Tahun VI, hlm. 53-62. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

al-Jawziyah, Ibn Qayyim. 1955. I‘lam al-Muwāqi‘īn, Juz III. Qāhirah: al-Maktabah al-Tijāriyah.

Amak F. Z. 1976. Proses Undang-Undang Perkawinan. Bandung: Al-Ma‘arif.

Anonimus. 1983. Code of Muslim Personal Laws in Philippines. Manila: Ministry of Muslim Affairs.

________. 1999. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1999. Jakarta: Tamita Utama.

Bagir Manan. 1994. “Mengkaji Ulang Syari‘ah dan Hukum Menuju Pembangunan Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Nasional tentang Mengkaji Ulang Syari‘ah dan Hukum Menuju Pembentukan Hukum Nasional, tanggal 4 Juni 1994 di Malang. Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dengan PP Ikatan Hakim Peradilan Agama.

Burhan Bungin (Editor). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Galanter, Marc. 1966. “The Modernization of Law”, in Myron Weiner (Editor), Modernization: The Dynamic of Growth. Washington D.C.: Voice of America Forum Lectures.

http://www.soas. ac.uk./centres/islamiclaw/html.

Harahap, M. Yahya. 1999. “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Cetakan Kedua, hlm. 21-80. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

Ija Suntana. 2009. 2009. Konsep Pengelolaan Air Milik Publik menurut Hukum Islam: Analisis Hukum Pengairan Islam terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Resume Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

McIver, Robert M., and Page, Charles H. 1957. Society: An Introductory Analysis. New York: Rinehart and Company, Inc.

Muhammad Jawad Mughniyah. 1417/1996. Fiqih Lima Madzhab (al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Khamsah).

Muhammad Siraj. “1993. Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan”, dalam Heijer, Johannes den, dan Syamsul Anwar (Redaksi), Islam, Negara dan Hukum, hlm. 97-116. Jakarta: Indonesian Netherlands Coorporation in Islamic Studies.

Musthafa al-Siba‘i. 1386 H./1966 M. al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qānūn: Dirāsāt Syar‘iyah wa Qānūniyah wa Ijtimā‘iyah, al-Thaba‘ah al-Tsāniyah. Damsyiq: al-Maktabah al-‘Arabiyah.

Neuman, W. Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Fourth Edition. Boston: Allyn & Bacon.

Sudirman Tebba (Editor). 1993. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Cetakan Pertama. Bandung: Mizan.

Surin Pitsuan. 1989. Islam di Muangthai: Nasionalisme Masyarakat Melayu di Patani (Diterjemahkan oleh Hasan Basari), Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Tahir Mahmood. 1972. Family Law Reform in the Muslim World. New Delhi: The Indian Law Institute.

_____________. 1987. Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion.

Tatang Astarudin. 2007. “Rekayasa Model Pembuatan Peraturan Daerah Berbasis Syari‘at Islam”, dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kontroversi Pelaksanaan Syari‘at Islam di Indonesia, hlm. 205-270. Naskah belum diterbitkan.

Teuku Mohammad Radhie. 1997. “Pembangunan Hukum dalam Perspektif Kebijakan”, dalam Artidjo Alkotsar (Editor). Identitas Hukum Nasional, hlm. 202-234, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.



[1] Ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) memiliki wewenang untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), politik hukum dituangkan dalam GBHN tersebut. Kini dituangkan dalam undang-undang.

[2] Kedudukan agama Islam dalam konstitusi negara yang bersangkutan sangat bervariasi. Di Mesir (Pasal 2), Islam sebagai agama negara dan menjadi sumber dasar legislasi adalah hukum Islam (Islamic Jurisprudence). Di Indonesia (Pasal 29), negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa mengatur kedudukan agama. Di Turki (Pasal 2), menganut negara sekuler tanpa diskriminasi agama.

[3] Di Indonesia, berdasarkan Ketetapan MPR-RI Nomor III Tahun 2000 tata urut peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikit: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Ketetapan MPR-RI; (3) Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; dan (7) Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: (1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; (5) Peraturan Daerah. Sementara itu Peraturan Daerah terdiri atas: (1) Peraturan Daerah Provinsi; (2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; (3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat.

[4] Secara garis besar faktor determinan yang bersifat konstan terhadap perubahan sosial adalah: (1) faktor kebudayaan: lingkungan kebudayaan dan ideologi; (2) faktor pola interaksi: kepribadian, orang besar, dan kekuasaan; (3) faktor alam fisik: lingkungan alam fisik dan kependudukan. Sementara itu, faktor ekonomi merupakan relasi antara pola interaksi dengan alam fisik berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan terhadap benda (materi); dan faktor teknologi merupakan relasi antara unsur kebudayaan (penerapan ilmu) dengan unsur pola interaksi dan unsur alam fisik, berkenaan dengan kemudahan pemenuhan kebutuhan hidup (Lihat: McIver dan Page, 1957: 508-635; Remmling, 1976: 266-271; dan Selo Soemardjan, 1981: 304).

[5] Yang dimaksud dengan qanun dalam tulisan ini, khusunya di Indonesia, ialah peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sementara itu, yang dimaksud dengan qanun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah dalam lingkungan provinsi tersebut.

[6] Menurut Taufiq (2000: 16-24) dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hukum perkawinan yang berasal dari madzhab Syafi‘i mencakup: pencatatan perkawinan, poligini (seorang pria beristeri lebih dari seorang perempuan), umur perkawinan, perkawinan atas persetujuan kedua belah pihak, pencegahan perkawinan, harta bersama dalam perkawinan, dan alasan perceraian.

[7] Dalam penelitian ini, fokus penelitian didefinisikan sebagai hubungan antar unsur dalam suatu kesatuan yang terintegrasi. Hal ini lebih menekankan pada menelitian akademis dengan menggunakan paradigma penelitian kualitatif. Sedangkan dalam penelitian berparadigma kuantitatif, unsur-unsur tersebut dikenal sebagai variabel, yakni variabel bebas, variabel antara, dan variabel terikat. Di samping itu, dalam penelitian kebijakan, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai kesenjangan antara “yang seharusnya” (das söllen) dengan “yang senyatanya” (das sein).

[8] Pembidangan fiqh yang yang disusun dalam tulisan ini meliputi: a. fiqh ibadah, b. fiqh munakahah, c. fiqh waratsah, d. fiqh muamalah, e. fiqh jinayah, f. fiqh siyasah, g. fiqh aqdhiyah.

[9] Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 materi peraturan perundang-undangan mengandung asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

[10] Apabila Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dapat dipandang sebagai qanun, maka sumber dan madzhabnya akan sangat mudah diketahui.

[11] Tatang Astaruddin (2007) ketika melakukan penelitian Rekayasa Model Pembuatan Peraturan Daerah Berbasis Syari‘at Islam menggunakan teori negara berdasar atas hukum (rechtstaat), teori trias politica, dan konsep pembaharuan hukum.

[12] Perkembangan hukum dapat diartikan sebagai perubahan hukum secara struktural dan kultural yang dinyatakan secara kualitatif.

[13] Reformasi atau pembaruan hukum dapat diartikan sebagai perubahan hukum dari struktural ke arah kultural, yang didasarkan kepada nilai fundamental yang telah disepakati sebagaimana tersurat dalam pembukaan konstitusi.

[14] Perspektif linier, dianut oleh Comte, Spencer, Hobhouse, dan Mark. Sedangkan perspektif cyclical dianut oleh Pareto, Sorokin, dan Toynbee (Lihat: Soerjono Soekanto, 1983: 17-21). Sementara itu, Ibn Khaldun dapat diidentifikasi sebagai penganut perspektif cyclical.

[15] Kerangka berpikir ini pernah diadaptasi dan diaplikasikan oleh Tatang Astarudin (2007: 222) dan Ija Suntana (2009: 5). Tatang Astarudin melakukan penelitian tentang Rekayasa Model Pembuatan Peraturan Daerah Berbasis Syari‘at Islam. Sedangkan Ija Suntana melakukan penelitian untuk penyusunan disertasi tentang Konsep Pengelolaan Air Milik Publik menurut Hukum Islam: Analisis Hukum Pengairan Islam terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

[16] Beberapa metode penafsiran teks hukum yang berpeluang untuk digunakan adalah: metode penafsiran kebahasaan (letterlijk), metode penafsiran ekstensif, metode penafsiran restriktif, metode penafsiran teleologis, metode penafsiran otentik, dan metode penafsiran sistematis.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...