Selasa, 30 April 2013

Puasa Membentuk Kejujuran

Oleh: Muhammad Zamroni



Perilaku jujur adalah perilaku yang mulia. Namun di zaman sekarang ini, perilaku ini sangat sulit ditemukan. Kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Fenomena ketidakjujuran benar-benar telah menjadi realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk ke berbagai wilayah kehidupan manusia.
Era reformasi yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun, praktek kolusi, korupsi dan suap-menyuap sebagai bentuk dari ketidakjujuran masih saja menjadi kebiasaan masyarakat. Untuk mengatasi dan mengurangi penyakit ketidakjujuran tersebut, puasa merupakan ibadah yang paling ampuh dan efektif, asalkan pelaksanaan puasa tersebut dilakukan dengan dasar iman yang mantab kepada Allah, dan ihtisab (mawas diri), serta penghayatan yang mendalam tentang hikmat yang terkandung di dalam ibadah puasa.
Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya orang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran dan tega melakukan kedzaliman terhadap hak orang lain. Sedangkan ketidakjujuran selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannya mengancam stabilitas nasional. Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang, masa yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa yang ada dalam hati. Jujur secara bahasa dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan hakekat sebenarnya.[1] Kebalikan perilaku jujur adalah dusta.
Dalam beberapa ayat, Allah ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. QS. At-Taubah: 119
Dalam hadis dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibn mas’ud menuturkan bahwa nabi SAW bersabda:
عليكم بالصدق فإنّ الصدق يهدى إلى البرّ وإنّ البرّ يهدى إلى الجنّة وما يزال الرجل يصدق ويتحرّى الصّدق حتّى يكتب عند الله صدّيقا وإيّاآم والكذب فإنّ الكذب يهدى إلى الفجور وإنّ الفجور يهدى إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرّى الكذب حتّى يكتب عند الله آذّابا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Berhati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang suka berdusta dan erupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.[2]


[1] Said bin Muhammad Daib Hawwa, Al Mustakhlas fi Tazkiyah al-Anfus, terj. Aunur Rafiq Shaleh, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Jakarta: Robbani Press, 2002), 322.
[2] Hadis Sahih, lihat: Muslim, Sahih Muslim, jilid 4, hal. 2012. Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, jilid 4, hal. 347. Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, jilid 1, hal. 496. Teks hadis riwayat Muslim.

Senin, 29 April 2013

BATASAN NORMA DAN ETIKA DALAM EKONOMI ISLAM

Oleh: H. Ali Muhayatsyah, S.E.I.[1]


Seluruh kehidupan manusia tidak akan lepas dari nilai-nilai normatif yang berkembang di dalam kehidupan sosialnya. Termasuk dalam kegiatan berekonomi maka sistem ekonomi yang ada seharusnya melihat keterkaitan nilai-nilai normatif tersebut dalam kehidupan di mana nilai-nilai tersebutlah yang kemudian akan menentukan kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam adalah menuju maslahah. Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syari’ah, Mashlahah adalah tujuan syari’ah Islam dan menjadi inti utama syari’ah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syari’ah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi Islam.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam haruslah didasarkan kepada maslahah. Karena maslahah adalah saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan “di mana ada maslahah, maka  di situ ada syari’ah Allah”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di itulah  syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.
Dari sini, para pemikir ekonomi Islam mencoba mengambil inti-inti ajaran Islam di bidang ekonomi, yang meskipun beragam secara klasifikatif, tetapi praktis tidak mencerminkan pertentangan satu sama lain (di antaranya, Choudhury; Naqvi; Chapra). Dua norma utama yang dapat mewakili inti-inti ajaran Islam di bidang ekonomi tersebut adalah maslahah dan ‘adl. Maslahah terkait dengan nilai absolut keberadaan barang, jasa, atau action (termasuk kebijakan ekonomi) di mana kesemuanya harus memenuhi kriteria-kriteria yang mengarah pada perwujudan tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah), yaitu perlindungan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Sementara, adil terkait dengan interaksi relatif antara suatu hal dengan hal lain, individu yang satu dengan yang lain, atau masyarakat tertentu dengan masyarakat lain.
Untuk mewujudkan kedua norma utama tersebut, diperlukan beberapa institusi, yang mencakup antara lain: Pertama, bentuk kepemilikan yang multijenis (Islam mengakui dan melindungi kepemilikan individu, tetapi di sisi lain juga menekankan penghormatan atas kepemilikan bersama – dalam konteks masyarakat ataupun negara). Kedua, insentif dunia dan insentif akhirat sebagai motivasi untuk melakukan kegiatan ekonomi. Ketiga, kebebasan berusaha. Keempat, pasar sebagai mekanisme pertukaran ekonomi. Kelima, peran pemerintah untuk menjaga pasar sedemikan rupa sehingga kemaslahatan dan keadilan dapat terwujud.[2]
Selain norma-norma Islam harus dipenuhi demi tercapainya maslahah, nilai etika ekonomi penting diikutsertakan sebagai faktor pendukung dalam mencapai sebuah mashahah. Menurut ekonomi Islam bahwa antara dimensi etis ekonomi dan dimensi praktis (bisnis) harus dipahami dalam pengertian integratif, tidak secara parsial. Hal ini tentunya berbeda dengan aksioma kapitalis bahwa kegiatan ekonomi (bisnis) itu mempunyai tujuan ekonomis, yakni keuntungan materil, sehingga keuntungan menjadi ideologinya dalam berbisnis, meskipun harus mengorbankan nilai-nilai moral-ethich.[3] Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai etika yang dimaksud seperti kesatuan (unity), equilibrium (keseimbangan atau keadilan),[4] kebebasan yang terbatas pada hak orang lain, pertanggungjawaban,[5] kebajikan dan kejujuran.[6]
Nilai-nilai moral-ethics inilah yang kemudian akan menjadi unsur pembeda dengan sisitem ekonomi yang lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, meskipun pada dasarnya dalam kerangka operasionalnya semua sistem ekonomi itu menerapkan ilmu-ilmu bantu (dasar) ekonomi yang sama. Kemudian dalam wujud konkretnya, sistem nilai etika ini dijadikan ruh bagi semua instrumennya yang pada akhirnya akan membentuk karakter tipikal yang membedakan dengan sistem-sistem ekonomi lainnya.[7]
Etika dapat didefinisi sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dan yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang individu. Etika bisnis kadangkala merujuk pada etika manajemen atau etika organisasi, yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya pada konsepsi sebuah organisasi.[8]
Dalam khazanah pemikiran Islam, etika dipahami sebagai akhlak, al-adab dan al-falasifah al-adabiyyah.[9] Istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika di dalam Al-Qur’an adalah khuluq. Al-Qur’an juga mempergunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan: khayr (kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), ‘adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan kebaikan, ma’ruf (mengetahui dan menyetujui), dan taqwa (ketaqwaan). Tindakan yang terpuji disebut sebagai salihat dan tindakan yang buruk atau tercela disebut sebagai sayyi’at.[10]
Berdasarkan pembahasan di atas, Beukun merangkum sejumlah parameter kunci sistem yang dapat digunakan dalam sistem etika Islam, diantaranya adalah,[11] 1) Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya; 2) Niat baik yang diikuti dengan tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah; 3) Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal; 4) Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apa pun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab dan keadilan; 5) Percaya kepada Allah memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apa pun atau siapa pun kecuali Allah; 6) Keputusan yang menguntungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas tidak secara langsung berarti bersifat etis dalam dirinya; 7) Etika bukanlah permainan mengenai jumlah; 8) Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sistem yang tertutup, dan berorientasi diri-sendiri. Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam; 9) Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara al-Qur’an dan alam semesta; 10) Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berperilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum muslim harus mampu membuktikan ketaatan kepada Allah.
Sistem etika Islam merupakan bagian dari pandangan hidup Islam dan karenanya bersifat lengkap. Terhadap konsistensi internal, atau ‘adl, atau kesimbangan, dalam konsep nilai-nilai penuntun individu. Pernyataan mengenai keseimbangan ini merupakan intisari ayat al-Qur’an di bawah ini:
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© [12]
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Pandangan Islam tentang manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya, dapat direpresentasikan dengan empat aksioma etik atau Beukun menyebutnya sebagai konsep filsafat etika Islam,[13] yaitu kesatuan (tauhid), keseimbangan/kesejajaran (equilibrium), kehendak bebas (free will), serta tanggung jawab (responsibility) dan kebajikan yang bersama-sama membentuk perangkat yang tidak dapat dikurangi. Meskipun masing-masing aksioma ini dijabarkan secara beragam dalam sejarah manusia, tapi suatu konsensus yang luas telah berkembang pada masa kita sendiri tentang makna komulatifnya bagi perspektif sosial ekonomi.[14]
1.       Keesaan (Tauhid). Keesaan merupakan dimensi verikal Islam. Konsep keesaan menggabungkan ke dalam sifat homogen semua aspek yang berbeda-beda dalam kehidupan seorang muslim: ekonomi, politik, agama, dan masyarakat, serta menekankan gagasan mengenai konsistensi dan keteraturan. Dengan adanya penerapan konsep keesaan dalam etika bisnis seorang pengusaha muslim tidak akan berbuat diskriminatif terhadap pekerja, dapat dipaksa untuk berbuat tidak etis, menimbun kekayaannya dengan penuh keserakahan.
Dari konsep ini, Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar ini pula, maka antara etika dan ekonomi atau etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal, maupun horizontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam yang homogen yang tidak mengenal kekusutan dan keterputusan.[15] Dengan menggunakan pernyataan M. Quraish Shihab, prinsip tauhid ini akan menghasilkan kesatuan-kesatuan yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari.  Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain berupa kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat dan lain-lain.[16]
2.       Keseimbangan. Keseimbangan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam, dan berhubungan dengan harmoni segala sesuatu di alam semesta. Hukum dan keteraturan yang kita lihat di alam semesta merefleksikan konsep keseimbangan yang rumit. Sifat keseimbangan ini lebih dari sekedar karakteristik alam, ia merupakan karakter dinamik yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.[17]
Pada dataran ekonomi, prinsip tersebut menentukan konfigurasi aktivitas-aktivitas distribusi, konsumsi serta produksi terbaik, dengan pemahaman yang jelas bahwa kebutuhan seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung dalam masyarakat Islam didahulukan atas sumber daya riil masyarakat.[18] Sifat keseimbangan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya. Allah menekankan dengan menyebut umat Islam sebagai ummatan wasatan. Makna terdalam dari sebutan ini adalah umat yang memiliki aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian, keseimbangan, kebersamaan, kemoderatan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis.
3.       Kehendak Bebas. Pada tingkat tertentu, manusia diberikan kehendak bebas untuk mengendalikan kehidupannya sendiri manakala Allah menurunkannya ke bumi. Dengan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa manusia sepenuhnya dituntun oleh hukum yang diciptakan Allah, manusia diberi kemampuan untuk berpikir dan membuat keputusan, untuk memilih apa pun jalan hidup yang manusia inginkan dan, yang paling penting, untuk bertindak berdasarkan aturan apa pun yang manusia pilih. Seorang muslim yang telah menyerahkan hidupnya pada kehendak Allah, akan menepati semua kontrak yang telak dibuatnya.[19]
Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, maka dalam bisnis, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, termasuk untuk menepati atau mengingkarinya. Tentu saja, seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah akan memuliakan dan menghormati semua janji yang telah dibuatnya.
4.       Pertanggungjawaban. Untuk memenuhi konsep keadilan dan kesatuan seperti yang kita lihat dalam ciptaan Allah, manusia harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Penerapan konsep tanggungjawab dalam etika bisnis. Jika seorang pengusaha muslim berperilaku secara tidak etis, ia tidak dapat menyalahkan tindakannya pada persoalan tekanan bisnis ataupun pada kenyataanya bahwa setiap orang juga berperilaku tidak etis. Ia harus memikul tanggung jawab tertinggi atas tindakannya sendiri.[20]
5.       Kebajikan. Kebaikan terhadap orang lain didefinisikan sebgai tindakan yang menguntungkan orang lain lebih dibanding orang yang melakukan tindakan tersebut dan dilakukan tanpa kewajiaban apapun. Kebaikan sangat didorong di dalam Islam.[21]

Batasan norma dan etika Islam dalam ekonomi pada dasar dan prinsipnya adalah berdasarkan al-Qur’an dan hadits guna untuk mencapai maslahah. Jika ingin mencapai sebuah maslahah maka norma-norma tersebut harus dipenuhi atau dijalankan. Adapun norma Islam tersebut sangat banyak, seperti al-Ghazali yang lebih menekan pada konsep etika Islam dalam kegiatan ekonomi. Menurut al-Ghazali dalam mencapai maslahah, pelaku harus menghindari perbuatan yang dilarang oleh norma Islam, seperti berikut:[22]
a.       Eksploitasi dalam perilaku bisnis
b.      Hilangnya prinsip kerelaan
c.       Adanya unsur penipuan dan kecurangan
d.      Murah dan pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan
e.       Mengurangi margin keuntungan dengan menjual lebih
f.        Harga yang batil
g.       Keuntungan sesungguhnya adalah di akhirat kelak (filosofi religius)
h.      Keuntungan dengan perhitungan resiko (perjalanan & keamanan) sebagai kompensasi
i.         Dua perilaku dalam perekonomian yang mengandung kerugian, yaitu:
·         Penimbunan barang. Penjualan makanan itu menyimpan makanan, yang dengannya ia menanti mahalnya. Dan itu kedzaliman yang umum, pelakunya itu telah tercela menurut syara’.
·         Pemalsuan uang. Mengenai uang palsu beliau menekankan kepada para pedagang untuk mempelajari uang, buka agar mengetahui secara jauh untuk keuntungan dirinya, tetapi agar ia tidak menerahkan uang palsu kepada seorang muslim, padahal ia tidak megetahi, maka ia berdosa, karena kelalaiannya dalam mempelajari ilmu itu, karena setiap amal itu ilmu yang dapat menyempurnakan nasihat bagi orang-orang muslim, maka dihasilkannya ilmu itu.
j.         Empat perilaku bisnis yang mengandung kerugian yaitu:
·         Tidak memuji barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya (manipulasi barang).
·         Tidak menyembunyikan sama sekali cacat-cacatnya dan sifat-sifatnya yang tersembunyi sedikitpun.
·         Tidak menyembunyikan sedikitpun mengenai timbangan dan ukurannya.
·         Tidak menyembunyikan harganya, di mana seandainya orang yang bermu’amalah itu mengetahuinya niscaya ia mencegah terhadapnya/tidak mau melakukannya (manipulasi harga).

Semua aktivitas dan perilaku dalam perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika di sana ada kemudratan dan mafsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar, spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang mengandung riba.
Segala bentuk aktivitas manusia sudah diatur oleh Allah dalam Al-Qur’an. Baik itu aktivitas ekonomi, sosial, politik sampai kepada adab untuk meludahpun ada aturannya. Dalam sistem ekonomi, Islam menekankan untuk mencari rezki di atas dunia dengan tidak melupakan kewajiban-kewajiban kepada Allah dan norma-norma yang telah ditetapkan.
Dalam urusan subsistensi dan resiprositas, Al-Qur’an mewajibkan zakat bagi yang mampu, dan menganjurkan untuk menunaikan sedekah, infak dan wakaf. Sehingga kemerataan perekonomian pun terjadi. Hal itu di serukan Allah sebagai wujud antisipasi dari kemungkinan-kemungkinan negatif. Hal itu bisa saja terjadi apabila norma subsistensi dan resiprositas sudah sampai pada taraf yang tidak wajar. Di sisi lain, Al-Qur’an juga menganjurkan untuk saling tolong menolong. “tolong menolonglah kamu kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan keingkaran”
Intinya, moral ekonomi dalam Islam sangat tergantung pada kitab panduan yang diberikan Allah untuk mengatur kehidupannya manusia, tidak saja pertimbangan norma subsistensi dan resiprositas, tetapi juga mempertimbangkan norma-norma sosial yang lain. Tindakan yang akan timbulpun akan berbeda. Karena dengan keyakinan dalam setiap perbuatan ada balasannya, apakah itu kebaikan maupun keburukan, maka Umat Islam yang beriman pun akan selalu mengerjakan aktivitas ekonomi hanya untuk mengharapkan keridahaan Allah.






Referensi:
Afdawaiza, “Etika Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan Al-Ghazali,” Jurnal ESENSIA, Volume.10, No.2, Juli 2009.
Beukun, Rafik Issa, Etika Bisnis Islami, alih bahasa Muhammad, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
El-Hakim, Arman, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Pemikiran Al-Ghazali (Studi Analisis Perilaku Bisnis Syari’ah di Indonesia),” http://arman-elhakim.blogspot.com/2009/09/etika-bisnis-dalam-perspektif-pemikiran.html, akses 6 Maret 2012.
Mughits, Abdul, “Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam (Kajian atas Pemikiran M. Abdul Mannan),” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islami (EKBISI) Volume.1. No.2, Juni 2007.
Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, alih bahasa M. Saiful Anam, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Shihab,  M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999.
Susanto, Akhmad Akbar dan Malik Cahyadin, “Praktik Ekonomi Islam di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Perekonomian,” makalah.



[1] Mahasiswa Program Pascasarjana Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tulisan ini disampaikan pada perkuliahan Ekonomi Islam: Mikro dan Makro dengan dosen pembimbing Drs. Munrokhim Misanam, MA.Ec., Ph.D.
[2] Akhmad Akbar Susanto dan Malik Cahyadin, “Praktik Ekonomi Islam di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Perekonomian,” makalah, hlm. 4-5.
[3] Abdul Mughits, “Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam (Kajian atas Pemikiran M. Abdul Mannan),” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islami (EKBISI), Vol.1. No.2, (Juni 2007), hlm. 8.
[4] Prinsip tersebut ditegaskan dalam Q.S. 2: 195; 25: 67-68, 72-73; 17: 35 dan; 59: 7.
[5] Q.S. 4: 85.
[6] Q.S. 5:1; 6: 152; 16: 91; 17: 34-35; 7: 85; 11: 85 dan 26: 181-183.
[7] Abdul Mughits, “Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam ................., hlm. 7-8.
[8] Rafik Issa Beukun, Etika Bisnis Islami, alih bahasa Muhammad, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),  hlm. 3.
[9] A. Ellias dan E. Ellias, Modern Dictionary English-Arabic (Kairo: Ellias Modern Publishing House & Co, 1986), hlm. 254. Lihat dalam Afdawaiza, “Etika Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan Al-Ghazali,” Jurnal ESENSIA, Vol.10, No.2, (Juli 2009), hlm. 105.
[10] Rafik Issa Beukun, Etika Bisnis Islami…………, hlm.3.
[11] Ibid., hlm. 31-32.
[12] Al-Baqarah (2): 143.
[13] Rafik Issa Beukun, Etika Bisnis Islami…………, hlm.32.
[14] Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, alih bahasa M. Saiful Anam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 37.
[15] Afdawaiza, “Etika Bisnis dan Ekonomi……………,” hlm. 106.
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 409.
[17] Rafik Issa Beukun, Etika Bisnis Islami…………, hlm. 36.
[18] Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam……………, hlm. 40.
[19] Rafik Issa Beukun, Etika Bisnis Islami…………, hlm.38.
[20] Ibid., hlm. 42.
[21] Ibid., hlm. 43.
[22] Arman el-Hakim, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Pemikiran Al-Ghazali (Studi Analisis Perilaku Bisnis Syari’ah di Indonesia),” http://arman-elhakim.blogspot.com/2009/09/etika-bisnis-dalam-perspektif-pemikiran.html, akses 6 Maret 2012.