Jumat, 31 Mei 2013

Indah Hidayah Sunnah

Oleh: Abu Aisyah


Pukul 0.00 di Komputer, saat saya mulai mencoba merangkai kata dan menatap asa. Ada semacam kebahagiaan yang terbayang di pelupuk mata. Sebuah kebahagiaan karena masih bisa merasakan manisnya iman dan indahnya hidayah sunnah. Tidak semua orang bisa merasakan hidayah ini, sebuah hidayah yang telah membawa saya menuju sebuah kebahagiaan hidup luar biasa, tidak hanya di dunia semmoga saja di akhirat sana juga akan terus terasa. Hidayah Sunnah adalah hidayah yang telah membawa saya memahami Islam secara lebih berperikemanusiaan. Jika selama ini saya beragama hanya karena orang tua saya Islam atau karena lingkungan saya Islam, maka sejak hidayah itu datang saya semakin yakin bahwa Islam adalah agama yang membawa kepada kebahagiaan umat manusia, tidak hanya saya namun seluruh alam semesta akan bahagia dengan Islam.
Kenapa harus hidayah sunnah? Ternyata makna sunnah adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, terucap dengan lisan dan taraplikasi dalam tindakan. Sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wassalam yang dilanjutkan oleh para shahabat beliau dan orang-orang yang senantiasa berada di jalan mereka. Keyakinan akan kebenaran Islam memang telah saya rasakan, tentu saja hal ini bukan berarti saya harus berhenti untuk belajar. Sebaliknya ketika kebenaran itu mulai terasa maka intensitas belajar kita juga harus semakin dikuatkan. Karena saya sangay yakin bahwa semakin tinggi pohon menjulang ke angkasa maka hembusan angin akan semakin kuat menerpanya. Semakin iman kita bertambah maka semakin besar pula godaan untuk melanggar syariatNya.
Ucapan dengan lisan dalam mensyukuri hidayah sunnah ini selalu saya usahakan untuk dilakukan. Tidak perlu orang lain mengetahuinya, namun cara untuk senantiasa menghidupkan hati dengan senantiasa mengingatNya adalah usaha yang harus senantiasa dijaga. Bagaimana kalau lupa? Inilha hebatnya kekuatan pemahaman dan iman, jika kita lupa itu tidak mengapa namun segeralah kembali dan sadar agar kita tidak lupa apalagi jika disengaja lupa. Lupa tidak mengingatNya adalah tabiat manusia, namun segera ingat ketika lupa itulah manusia luar biasa.
Aplikasi dalam tindakan adalah melakukan segala aktiftas dalam keseharian kita agar senantiasa memiliki makna ibadah di sisiNya. Terlalu teoritis? Praktisnya adalah bahwa setiap tindakan dan aktifitas yang kita lakukan hendaknya ditujukan untuk mendapatkan keridhaaNya, bukan untuk mencari keridhaan dunia apalagi hanya ingin mendapatkan pujian manusia.
Indah hidayah sunnah memang harus senantiasa di pertahankan, ia adalah mutiara yang tidak smeua orang bisa memilikinya. Bahkan ia adalah mutiara yang tidak diperjual-belikan tidak ada harga yang pantas untuk membelinya. Maka marilah bersama kita syukuri hidayah sunnah ini, agar ia bersemi di hati, hingga aromanya semerbak mewangi, rahmat bagi insani….     

Kamis, 30 Mei 2013

Interaksi Sosial Islam Arab

Oleh: Abu Aisyah

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon)[1], ia memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya kebutuhan hidup tersebut menuntut setiap manusia untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Interaksi[2] terjadi dalam ruang lingkup yang tidak terbatas, dari mulai interaksi dalam keluarga, hingga interaksi dengan umat manusia seluruh dunia.
Interaksi dalam keluarga terjadi sejak manusia dilahirkan, ia memerlukan makanan, minuman, perlindungan, keamanan, dan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Ayah dan ibu sebagai orang tua adalah orang-orang yang pertama kali berinteraksi, kemudian saudara dekat lainnya. Pada interaksi ini terjalin hubungan yang saling menguntungkan dan memberikan manfaat bagi keduanya. Selain itu interaksi ini memiliki aturan-aturan yang menjadi norma bagi suatu keluarga. 
Sedangkan interaksi dengan manusia lainnya terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa diperoleh dalam keluarga, interaksi ini berlangsung secara terus-menerus sepanjang kehidupan manusia. Ketika ia mulai beranjak dewasa ia akan bertemu dengan teman-teman sepermainan, teman sekolah dan teman di komunitasnya. Interaksi yang lebih luas lagi dilakukan dengan manusia lain yang didasarkan pada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhinya sendiri.  
Interaksi dalam skala yang lebih luas juga terjadi antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Adanya kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh kelompok masyarakat tersebut menuntut mereka untuk berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya. Sebagai contoh masyarakat di pegunungan memerlukan garam untuk memasak, sedangkan masyarakat pesisir pantai memerlukan asam. Agar kebutuhan kedua kelompok masyarakat terpenuhi maka  mereka akan saling berinteraksi dalam bentuk pertukaran barang (barter) ataupun jual-beli yang saling menguntungkan.
Intensitas proses interaksi yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan memunculkan pola-pola tertentu yang disebut dengan “cara” atau usage yaitu “a uniform or customary way of behaving within a social group”, atau “Cara yang seragam atau kebiasaan berperilaku dalam suatu kelompok sosial”. Cara tersebut merupakan suatu bentuk tertentu di dalam perilaku manusia yang lebih menonjol di dalam hubungan interpersonal.[3] Cara ini dilaksanakan secara terus-menerus sehingga menjadi sebuah adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat. Isi dari cara tersebut berupa aturan dan norma yang telah disepakati bersama dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Proses interaksi yang terus-menerus juga menciptakan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pola-pola interaksi ini berupa terjalinnya kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Pola ini memberikan manfaat berupa pemenuhan kebutuhan baik jasmani ataupun rohani masing-masing pihak yang saling berinteraksi. Sebagai contoh interaksi antara komunitas petani yang menghasilkan padi dengan para pedagang yang membeli padi-padi mereka akan menciptakan pola hubungan yang saling menguntungkan di antara keduanya. Demikian pula apabila satu komunitas yang memiliki budaya sendiri kemudian melakukan interaksi dengan komunitas budaya lainnya maka terjadi upaya saling melengkapi di antara dua kebudayaan tersebut, baik hal itu dilakukan secara sengaja ataupun tidak.  
Namun di sisi lain, interaksi ini juga memunculkan dampak negatif karena perbedaan kepentingan masing-masing pihak, setiap pihak yang berinteraksi memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. Sehingga dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut sering terjadi konflik kepentingan. Konflik ini berupa persaingan, perselisihan dan peperangan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi.
Sebagai upaya untuk meredam dampak negatif dari interaksi ini, pihak-pihak yang saling berinteraksi membuat berbagai kesepakatan-kesepakatan dalam bentuk aturan-aturan yang dijadikan pedoman dalam berinteraksi. Aturan-aturan tersebut selain untuk mengurangi terjadinya konflik juga bertujuan menciptakan suasana yang damai dan kondusif bagi masing-masing pihak. Maka, aturan-aturan yang telah disepakati bersama berupa anjuran untuk melakukan hal-hal yang positif dan melarang setiap perbuatan negatif yang merugikan kepentingan orang lain adalah sebuah norma sosial. Apabila norma dan aturan tersebut memiliki sanksi bagi yang melanggarnya maka ia menjadi sebuah hukum.[4]
Sebagai sebuah kesepakatan bersama oleh masyarakat yang saling berinteraksi, maka hukum ada di setiap kelompok masyarakat. Sebagaimana yang disebutkan oleh L.J. van Apeldoorn yang mencatat bahwa hukum terdapat di seluruh dunia, di mana terdapat pergaulan manusia.[5] Jauh sebelum itu Cicero juga menyebutkan sebuah prinsip hukum “Ubi societas ibi ius[6] yang berarti “Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Maka hukum sebagai sebuah kesepakatan bersama ada pada setiap komunitas masyarakat, baik masyarakat di perkotaan ataupun di pedesaan demikian juga ia ada pada masyarakat yang tinggal di tengah gurun sahara hingga masyarakat yang tinggal di tengah hutan belantara.


[1] Zoon Politicon secara bahasa berarti binatang politik. Manusia sebagai zoon politicon berarti manusia memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok dengan manusia lainnya. Mereka saling membutuhkan antara satu individu dengan individu lainnya untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.
[2] Interaksi berasal kata inter yang berarti berbalas-balasan dan action yang berarti tindakan. Sedangkan secara istilah interaksi adalah suatu hubungan timbal balik antara orang satu dengan orang lainnya, dengan masyarakatnya dan hubungan sekelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
[3] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafino Persada, 2003) cet. Keenam. hlm. 67
[4] E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1989), cet. XI, hlm. 3.
[5] L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004), cet. Ketigapuluh, hlm. 7. 
[6] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang filsuf,ahli hukum, dan ahli politik kelahiran Roma. 

Karakterisstik Hukum Islam

Oleh: Abdurrahman

Kehadiran hukum Islam di tengah masyarakat Arab tidak serta-merta menghapuskan hukum-hukum yang telah ada sebelumnya. Pola-pola pengadopsian dengan memberikan ruang kepada system hukum yang telah ada menjadikan hukum Islam mudah diterima oleh masyarakat Arab. Hal ini terlihat dari proses infiltrasi hukum Islam ke dalam hukum masyarakat Arab waktu itu. Ada dua fase pola infiltrasi hukum Islam ke dalam masyarakat Arab:
1.   Fase Mekkah, pada fase ini hukum Islam masih dalam taraf penyesuaian dengan hukum Arab. Dakwah Islam sendiri masih difokuskan kepada perbaikan nilai-nilai ketauhidan dan akhlak. Sehingga hukum Islam masih membangun pondasi bagi bangunan system hukumnya.  
2.   Fase Madinah, pada fase ini hukum Islam mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Seluruh sendi hukum Islam berperan aktif, hukum-hukum masyarakat Arab yang tidak sesuai dengan Islam dihapuskan, sebagian dimodifikasi dan sebagiannya diadopsi oleh hukum Islam.  
Berdasarkan dua fase perkembangan hukum Islam tersebut tampak bahwa hukum Islam tidaklah menghapuskan hukum-hukum yang ada pada masyarakat Arab waktu itu secara langsung, ada beberapa pertimbangan dan tahapan ketika sebuah hukum bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Apabila kita analisis lebih mendalam maka terdapat beberapa kaidah yang menjadi kunci sukses diterimanya hukum Islam oleh masyarakat Arab. Beberapa kaidah tersebut adalah:
1.   ‘Adam Al-Kharaj yaitu menghilangkan kesusahan. Hukum Islam meniadakan segala bentuk pembebanan yang akan menyebabkan kesusahan bagi umat manusia. Ia memberikan keluasan untuk melakukan berbagai hal, misalnya dalam masalah ibadah dibolehkan berbuka puasa ketika dalam perjalanan, boleh bertayamum karena tidak mendapatkan air untuk bersuci, dan kebolehan mengonsumsi sesuatu yang haram dalam keadaan darurat.  
2.   Taqlil At-Taklif, yaitu menyedikitkan beban. Sifat dari hukum Islam yaitu memberikan keringanan dan mengurangi beban sedikit mungkin. Maksudnya adalah bahwa dalam hukum Islam sangat ditekankan agar manusia itu tidak dibebani oleh sesuatu yang memberatkan, hukum Islam menginginkan agar seluruh umat manusia merasa ringan dengan menjalankan system hukumnya.
3.   Tadrij fi Tasyri’ (gradual), yaitu hukum Islam diturunkan secara bertahap. Maksudnya adalah bahwa setiap hukum yang diturunkan pada awal Islam dilakukan secara bertahap agar jiwa manusia siap dengan pembebanan hukum akhirnya. Sebagai contoh dalam masalah keharaman khamr (minuman keras), demikian juga mengenai keharaman riba.[1] Pengharaman keduanya dilakukan secara bertahap dan berangsur-angsur, dari mulai mencela perbuatan tersebut, larangan mendekatinya dan terakhir pengharaman atas keduanya.    
Tiga kaidah hukum Islam tersebut telah menjadikan masyarakat Arab menerima hukum Islam secara kaffah (menyeluruh). Selain itu, penerimaan masyarakat Arab atas hukum Islam juga didasari pada sikap Islam terhadap system hukum mereka. Hukum Islam menempatkan hukum dan adat-istiadat Arab sebagai sesuatu yang apabila selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan maka akan diterima oleh Islam, adapun yang menyimpang maka dilakukan koreksi agar tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Inilah di antara karakter hukum Islam, ia memberikan ruang bagi adat kebiasaan suatu masyarakat selama tidak bertentangan nilai-nilai Islam.  


[1] Muhammad Al-Khudari Beik. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. (Jakarta: Daarul Kutub Al-Islamiyah. 2007), hlm. 17. 

Rabu, 29 Mei 2013

Islam VS Demokrasi

Oleh: M. Fahlevi

PENDAHULUAN     
Demokrasi dan Islam berkesusaian? Tema inilah yang akan kita bahas habis di dalam makalah ini. Karena kita mengetahui bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat dan juga agama islam sangat mengutamakan umat/rakyat. Tapi sekarang ini jika kita melihat dalam pandangan dunia demokrasi selalu di indentikkan oleh negara barat dan pemerintahan islam selalu indentik dengan negara timur dan negara timur selalu di indentikkan anti barat. Maka dari itu makalah ini membahas apakah demokrasi itu ada dalam konsep ajaran islam? / apakah demokrasi dan islam itu berkesusaian?

            Dalam membahas ini kita mengambil 3 tokoh agamawan sekaligus politikus yang aktif dalam gerakan pemerintahan dan pemikiran-pemikirannya juga banyak memberikan pelajaran kepada negara-negara islam mengenai demokrasi dan islam. Ketiga tokoh ini selain mempunyai wawasan tentang agama yang luas juga mempunyai ilmu pemerintahan yang bagus sehingga dapat merealisasikan islam dengan negara yaitu Mohammad Natsir,Maududi dan Tariq Ramadhan. Ketiganya adalah tokoh yang pemikirannya di pandang oleh orang-orang baik di dalam negeri maupun dunia. Karena pemahamannya yang luas tentang agama tidak hanya ajaran yang bersifat ritual saja tetapi agama juga mengatur pemerintahan. Sehingga dapat terbentuk negara yang mempunyai konsep Theokrasi yaitu kekuasaan hukum berada pada Tuhan, karena Tuhanlah yang maha mengetahui.

 DEMOKRASI DAN ISLAM
             Demokrasi banyak negara yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi karena dianggap bahwa demokrasilah bentuk pemerintahan yang paling adil karena selalu mengutamakan rakyat. Karena pemerintahan terdiri dari rakyat yang begitu banyak maka kepuasan dan kenyamanan rakyat adalah tujuan dari sebuah negara menjaga warganya agar aman dan damai. Sehingga bisa dibilang kekuasaan ada di tangan rakyat, karena kebanyakan yang kita lihat di negara-negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi rakyat menjadi tertindas karena tidak keberdayaannya, dan menjadi tidak punya harapan karena kelemahan yang dibuat oleh penguasa terjadi kesenjangan sosial yang begitu besar antara rakyat dan penguasa yang menindas tersebut. Demokrasi selalu mengutamakan rakyat, rakyatlah yang menjadi raja. Sehingga kekuatan selalu berada di tangan rakyat.

             Islam adalah negara yang dibawa oleh Muhammad saw dalam membawa agama Islam nabi Muhammad saw tidak seperti nabi Isa as yang hanya menjadi pengajar agama bagi bani israil tetapi Muhammad saw juga menjadi pemimpin dalam pemerintahan arab jadi yang dibawanya tidak hanya ajaran agama tetapi agama yang dapat direalisasikan dalam segala hal termasuk pemerintahan maka dari itu nabi Muhammad saw menjadi pemimpin agama juga menjadi pemimpin suatu pemerintahan negara. Negara yang dibuatnya adalah negara yang penuh dengan asas-asas ketuhanan karena hukum yang digunakan oleh negara itu ialah huku Tuhan / hukum Islam karena Al-Quran adalah wahyu tuhan dan hukum sumber utamanya adalah Al-Quran maka hukum yang digunakan ialah hukum Tuhan. Sehingga Islam dapat direalisasikan juga dengan sebuah bukanlah hanya sekedar ajaran agama yang sempit.

               Penjelasan demokrasi dan Islam telah kita pahami bersama karena keduanya saling berkaitan maka kita akan membahas habis pemikiran-pemikiran yang menghubungkan keduanya itu dengan menganalisis pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir,Maududi dan Tariq Ramadhan.

Mohammad Natsir

               Mohammad Natsir adalah seorang nasionalis Indonesia yang sangat terkenal sehingga dapat dengan mudah kita dapati buku-bukunya di indonesia yang membahas tentang pemikiran dari seorang tokoh Mohammad Natsir tersebut. Negara Indonesia adalah negara demokrasi dan mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim apakah demokrasi itu bisa diterapkan di indonesia yang mayoritas penduduknya ialah muslim? Inilah yang akan kita bahas dari pemikiran-pemikiran dari Mohammad Natsir tersebut.

            Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436)

                Mohammad Natsir memahami betul ajaran-ajaran dari agama Islam yang juga mencakup segala hal termasuk pemerintahan. Maka dari itu Mohammad Natsir menganggap bahwa agama islam dan negara tidak dapat dipisahkan tetapi yang menjadi maslaah ialah bahwa di dalam negara Indonesia terdiri beragam ras dan agama yang tidak hanya beragama Islam. Islam hanyalah agama mayoritas dari agama-agama yang ada di Indonesia. Sehingga pemerintahan yang dibentuk jika dengan negara Islam dinilai tidak adil dengan agama yang lain, padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat menjunjung keadilan bagi warga negaranya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

             Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam. “Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438).

              Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga Soekarno maupun Kemal.Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung Soekarno terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir lebih lanjut, “Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440).

            Mohammad Natsir tetap mengkritik pemerintahan Demokrasi yang terpisah dari agama tersebut. Mohammad Natsir disini hendak menghilangkan citra jelek dari penyatuan agama Islam dengan negara yang dilakukan oleh negara-negara Islam yang hasilnya adalah buruk. Saya sangat setuju dengan yang dilakukan oleh Mohammad Natsir karena di zaman Rasulullah saw pun juga ada agama-agama yang lain seperti Nasrani,Yahudi dan Majusi tetapi dengan berdirinya negara Islam hukum-hukum negara dan pemerintahan dapat berjalan dengan baik karena yang menjalankan adalah seorang figur yang menjalankan syariat dengan kaffah maka dari itu dapat terealisasikan dengan baik maka hasilnya baik

               Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu … yah Islam. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453).
          
            Maka dari itu Mohammad Natsir mengkritik habis demokrasi yang memisahkan agama dengan negara. Tetapi menurut saya Mohammad Natsir tidak dapat mendirikan negara seperti itu pada indonesia, memang konsep yang dibawa oleh Mohammad Natsir adalah benar tetapi karakter yang ada di indonesia tidaklah seperti di zaman nabi Muhammad saw dahulu yang telah kuat keimanannya. Konsep itu hanya dapat dijalankan jika kualitas umat islam yang ada di indonesia dapat seperti itu karena nantinya pemerintahan yang dibuat akan tidak jauh beda dengan pemerintahan yang ada di turky. Yang menjadi citra jelek atas agama islam yang menyatu dengan negara.


AL-MAUDUDI

           Al-Maududi adalah salah satu tokoh di dunia yang ingin menyatuka agama dengan Islam tetapi banyak melihat orang jika memikirkan tentang pemikiran tokoh yang satu ini adalah ke ekstremannya dalam ambisinya ingin menyatukan negara dengan islam .

          Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah adalah wajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karena daulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil.” (Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40)

          Inilah konsep yang jadi dasar oleh Maududi menurut Maududi dengan konsep khilafah maka islam akan berhasil dan dapat melindungi umatnya dan dapat dipandang oleh negara seluruh dunia dengan penyatuan antara Islam dan Negara, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

          Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).

      
        Seperti halnya dengan Mohammad Natsir Maududi mengkritik keras sistem demokrasi tetapi berbeda dengan mohammad Natsir. Jika Mohammad Natsir hanyalah mengkritik praktik dari demokrasi tersebut bahwa sistem Deokrasi adalah baik tetapi penyatuan islam dan negara juga dapat dijalankan dengan sistem demokrasi tetapi Maududi mengkritik sistem demokrasi secara keseluruhan. Karena bagi Maududi yang diajarkan oleh islam adalah sistem khilafah dan telah terbukti di zaman Rasulullah saw bahwa sistem khalifah yang dibawa oleh islam adalah berhasil menyatukan negara dan islam. Disini menurut saya pemikiran Maududi terlalu sempir memandang islam sebenarnya Islam di zaman sekarang dapat di intrepetasikan kedalam segala hal karena mengikuti perkembangan zaman.

TARIQ RAMADHAN

           Tariq Ramadhan yang namanya sangat terkenal bagi cendikiawan muslim sebagai tokoh muslim di dunia barat yang pemikirannya sangat cemerlang bagi kehidupan muslim yang tinggal di barat. Tariq Ramadhan di dalama pemikirannya selalu ingin menjadikan umat muslim yang memiliki kehidupan di barat agar diterima oleh mayoritas tanpa menghilangkan identitas kemuslimannya.

            Begitu juga yang Khalifah Ali lakukan dalam menyikapi permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan sosial-politik. Beliau sebagai pemimpin memiliki kewajiban dan hak pada rakyat sebagaimana rakyat pun memiliki kewajiban dan hak pada seorang pemimpin. Beliau berkata: Adalah hak anda untut menuntut bahwa saya tidak akan menyembunyikan sesuatu dari anda, kecuali soal perang. Dan bahwa saya tidak akan menjalankan urusan-urusan (tanpa konsultasi dan sepengetahuan anda) kecuali yang berkaitan dengan hukum-hukum ilahiyah (Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h. 242).

             Seperti yang kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan adalah pemikir yang membela Islam bahwa dengan demokrasi dapat di realisasikan. Menurutnya walaupun demokrasi tidak ada di dalam al-quran tetapi bukan berarti demokrasi tidak dapat dijalankan sebagai jawaban adanya dugaan oleh orang-orang yang berpikiran sekularisasi. Pemikiran dari Tariq Ramadhan hampir sama dengan pemikiran dari Mohammad Natsir mengenai Demokrasi bahwa Demokrasi dapat dijalankan dengan cara Islam berbeda dengan pendapat dari Maududi bahwa bahwa hanya sistem khilafah sajalah yang dapat mengembalikan kejayaan Islam di zaman Rasulullah saw dan dapat dipandang oleh dunia internasional bahwa negara dengan sistem khalifah dapat melindungi umatnya sebagaimana di zaman Rasulullah saw.

              Prinsip pertama, menghormati hukum. Islam memiliki kejelasan hukum-hukum yang ada pada syari’at. Di mana hukum-hukum ini hampir mencakup segala bidang. Tidak dapat kita katakan karena Islam adalah suatu agama sehingga hukum-hukumnya pun hanya bersifat keagamaan saja. Pada kenyataanya kita akan menemukan bahwa hukum-hukum yang ada di dalamnya juga berkenaan dengan kehidupan sosial dan negara. “Siapa pun yang pernah membaca Piagam Madinah yang pertama akan yakin bahwa dari awal, Islam telah memikirkan organisasi sosial dan politiknya untuk berada di seputar hukum.” (Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU, 2003, h. 118.)

            Dari perkataan tersebut dapat kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan benar-benar mengimani bahwa Islam dapat di intrepetasi di setiap zaman dengan segala hal. Lain halnya dengan para sekularisasi yang tidak sependapat bahwa islam dan demokrasi tidak dapat bersatu. Jadi hukum islam bukan hanya untuk orang islam saja tetapi di zaman Rasulullah saw pun terdapat berbagai macam suku dan agama dan hukum-hukum yang ditegakkan hukum islam tidak hanya mencakup orang islam saja tetapi secara keseluruhan baik dia beragama yahudi maupun nasrani.

             Maka dari itu kita dapat melihat bahwa hukum-hukum dan ajaran-ajaran di dalam alquran mempunyai fleksibelitas karena al-quran juga menjelaskan bahwa di dalam al-quran juga keberadaan agama-agama seperti yahudi dan nasrani juga ada di dalam kehidupan di zaman Rasulullah saw hidup sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin ajaran agama jadi bukan berarti karena Rasulullah saw membawa islam dalam kehidupan bani arab bukan berarti hanya orang yang beragama islam yang dilindungi tetapi semua agamapun mendapatkan haknya sama. Begitu juga dengan demokrasi ala islam jika ini diterapkan bukanlah pendiskriminasian agama-agama yang lain.

 KESIMPULAN

            Kita mengetahui bahwa semua isi dalam Al-Quran adalah bersifat universal dan tidak mencakup suku dan suatu kelompok tertentu karena al-quran dan ajaran islam diturunkan untuk seluruh manusia sehingga hukum-hukum yang terdapat dalam al-quran adalah bermanfaat buat seluruh manusia. Al-quran hanya menjelaskan mengenai Grand Theory yang bersifat universal dan sehingga yang partikularnya dengan berbagai cara asal tidak keluar dari garis konteks garis besar yang ada dalam al-quran. Karena konsep yang ada dalam al-quran dapat direalisasikan dalam banyak cara asal sesuai dengan ajaran al-quran bukan berarti jika Rasulullah saw tidak pernah melaksanakan hal tersebut, di zaman kita penerapan itu bukan berarti menyalahi yang Rasulullah sae ajarkan. Demokrasi walaupun identik dengan negara barat tetapi dapat

          “Apakah yang sebaik-baik jihad?” Rasulullah menjawab “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai)

         apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi)

            inilah garis besar yang diajarkan oleh islam bukan berarti jika suatu negara islam melaksanakan demokrasi berarti menyalahi apa yang islam ajarkan. Karena demokrasi yang ada dalam islam tidaklah sama dengan demokrasi yang diadopsi oleh barat. Kita dapat memiliki demokrasi yang menjadi ciri khas islam tanpa menghilangkan identitas dari keislaman. Maka dari itu bukan berarti jika kita mengadopsi paham demokrasi kita mengabdi pada barat dan mengikuti pemikiran dari filosof barat akan tetapi itulah yang di zaman kita diperlukan karena semua hukum dalam islam bersumber pada al-quran dan as-sunnah sehingga demokrasi pun yang di buat di dalam islam tidak akan keluar dalam hal tersebut. Yang jelas islam bermakna universal sehingga dapat mencakup dari semua aspek tidaklah sempit makna-makna yang ada dalam al-quran.

 REFERENSI
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453
Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40
Amien Rais, 1988:19-21
Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h. 242
Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU, 2003, h. 118
H.R. Nasai
H.R Abu Daud dan Turmudzi

URGENSI EPISTEMOLOGI



Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh.
Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya.
Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis.
Mengapa suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemology





EPISTEMOLOGI PLATO dan ARISTOTELES
Plato dapat dikatakan sebagai filosof pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemology ini. Filosof Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia.
Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana tertuang pada table di bawah ini.
                       Table komparasi epistemology Plato dan Aristoteles
Topik Pemikiran
Plato
Aristoteles
Pandangan tentang dunia
Ada 2 dunia:  dunia ide & dunia sekarang (semu)
Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani
Kenyataan yang sejati
Ide-ide yang berasal dari dunia ide
Segala sesuatu yang di alam yang dapat ditangkap indra
Pandangan tentang manusia
Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi).
Jiwa terpenjara badan.
Badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Asal pengetahuan
Dunia ide. Namun tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia.
Kehidupan sehari-hari dan alam dunia nyata
Cara mendapatkan pengetahuan
Mengeluarkan dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan
Observasi dan abstraksi, diolah dengan logika


 












 Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filosof modern. Idealisme Plato mempengaruhi filosof-filosof Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsu-filosof Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.

Rasio Vs Indra Persepsi
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis  kubu empiris (indriawi-persepsi). Filosof Francis, René Descartes (1596-1650), filosof Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filosof Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah  logika deduktif  (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma.  Sementara orang-orang seperti,  Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filosof Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman,  persepsi dan indriawi.
Filosof Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat,  Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia sering disebut sebagai dualistis. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia.
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filosof dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesignnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filosof empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.[bersambung]

Selasa, 28 Mei 2013

Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah


Pendahuluan
Sejarah Islam mewariskan khazanah tradisi politik yang sangat kaya, dimulai dari masa Rasulullah, khulafaurrasyidin, periode klasik, periode pertengahan hingga masa modern. Jika khazanah itu dikonsepsikan sangat mungkin melahirkan keanekaragaman teori pemikiran politik. Namun yang menarik perhatian -setidaknya di masa periode awal Islam- khazanah itu lebih dominan melahirkan teori-teori firkah dalam Islam yang sekarang sering disebut sebagai aliran teologi/kalam, bukan melahirkan teori politik, meskipun sesungguhnya akar persoalannya berawal dari pertikaian politik.
Memasuki periode klasik yang ditandai dengan kemapanan yang terjadi di dunia Islam, di masa ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umayyah (661-750 M) dan Bani Abbas (750-1258 M). Secara politis, masa itu Islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas internasional. Pada periode Bani Umayyah, kajian fiqih politik (siyasah) masih belum juga muncul. Bani Ummayah lebih mengarahkan kebijakan pada pengembang-an wilayah kekuasaan. Pada masa Bani Abbasiyah barulah kajian fiqih Siyasah ini mulai dikembangkan[1]. Namun demikian, kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama -sunni- waktu itu cenderung akomodatif dan mendukung kekuasaan.[2] Sementara itu di sisi yang lain syi’ah, khawarij dan mu’tazilah berkembang menjadi kelompok oposisi, walaupun belum memiliki pengaruh kuat.
Berdasarkan kenyataan ini, Harun Nasution menyimpulkan bahwa teori politik sunni abad klasik ini cenderung memberi legitimasi terhadap kekuasaan[3] ditengah kepentingan-kepentingan golongan. Karena sifat akomodatif itu sunni mendominasi percaturan politik saat itu dan para pemikir politiknya mampu mengembangkan doktrin-doktrin mereka di bawah patronase kekuasaan.
Memasuki periode pertengahan, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran. Berbagai doktrin yang dikembangkan pada masa sebelumnya tidak efektif lagi dihadapkan kepada situasi obyektif. Maka pada periode pertengahan itu lahirlah pemikiran politik yang berbeda dengan sunni periode klasik, yang salah satunya dipresentasikan oleh Ibnu Taimiyah.
Mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah sangat menarik, karena itulah di dalam makalah ini akan mendeskripsikan pemikiran politik Ibnu Taimiyah dan menganalisa latar belakang pemikirannya dengan pendekatan sosiopolitik. Kemudian mendeskripsikan secara analitik bagaimana pandangan Ibnu Taimiyah tentang politik, pemerintahan, kepemimpinan dan hakikat negara, di tengah suasana sejarah yang mengitari pemikirannya, serta relevansi gagasan politik Ibnu Taimiyah dalam konsep negara modern dengan cara menempatkan pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai cermin dari pemikiran yang lahir di abad modern.

Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqi al-Din Abul Abbas ibn Abd al Halim ibn Abd al-Salam ibn Taimiyah. Goldziher melukiskannya sebagai “pemilik pribadi paling terkemuka abad ke-7 H”, juga digambarkan sebagai seorang teolog muslim abad ke-13 dan 14 paling kenamaan.[4]
Ia lahir pada 22 Januari 1262/661 H di Harran, dekat Damaskus, lima tahun setelah jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Tatar, yang berarti masa kekuasaan dinasti Abbasiyah telah berakhir, dan tutup usia pada tahun 728 H/1329 M.[5] Ini berarti ia hidup pada masa dinasti Mamalik berkuasa atas Mesir dan Syria. Yaitu, pada masa pemerintahan al-Zhahir Rukhnuddin Baybars (658-676H./1260-1277 M) sampai di tengah masa pemerintahan al-Nashir Nashiruddin Muhammad (709-741 H/1309-1340 M).[6]
Dunia Islam pada masa Ibn Taimiyah hidup sedang mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut ditandai dengan puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial, dan dekadensi akhlak serta moral.[7] Pada saat itu hanya dinasti Mamalik-lah satu-satunya kekuatan di dunia Islam.[8] Di bagian Timur dinasti ini semua negeri telah ditaklukkan dan diduduki oleh orang-orang mongol. Sementara itu, pada masa Ibn Taimiyah orang-orang Mongol ini telah memeluk agama Islam, tetapi keislaman mereka hanya sekedar formalitas? karena mereka masih terus menghancurkan negeri-negeri Islam beserta penduduknya.[9] Sedang di negeri-negeri lain di luar dunia Islam ini, dimana terdapat penduduk yang beragama Islam, kaum muslimin  terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang terus-menerus saling berperang.[10] Pada masa itu Islam sedang dihadapkan kepada tiga ancaman besar, yaitu pejuang-pejuang Kristen dari Erofa, pasukan Mongol, dan perpecahan dalam tubuh Islam itu sendiri.[11]
Jatuhnya Bagdad ke tangan Tatar adalah akhir dari dinasti Abbasiyah, dan merupakan proses klimaks disentegrasi kekuasaan Islam. Hancurnya dinasti ini menyebabkan para sultan, amir, dan raja yang berkuasa di wilayah-wilayah bekas imperium Abbasiyah yang dulunya menjadi satelit Bagdad bebas menggunakan gelar khalifah.[12]
Dari para raja, sultan, dan amir yang ada pada waktu itu, hanya penguasa dari dinasti Mamalik di Mesir yang masih merasa perlu untuk mengangkat pangeran Abu  al-Qasim Ahmad bin Amir al-Mu’minin, paman Khalifah Mu’tashim yang dibunuh oleh bangsa Tatar di Bangdad yang bergelar al-Mustanshir bi-Allah untuk menjadi khalifah di Kairo pada tahun 659 H.[13] Namun kekhalifahan ini hanya bersifat formalitas, karena otoritas yang sesungguhnya berada di tangan sultan-sultan Mamalik. Walaupun demikian, dengan pengangkatan al-Mustanshir bi-Allah tersebut fiksi historis dunia Islam tetap dapat dipertahankan, yaitu bahwa secara politis dan spiritual dunia Islam masih tetap eksis, sebab eksistensi khalifah sangat diperlukan sebagai pengganti Nabi. Untuk selanjutnya khalifah memberikan otoritas yang sesungguhnya kepada sultan Mamalik sehingga secara yuridis sultan berhak menuntut kepatuhan dari pangeran-pangeran dan amir-amir di dunia Islam. Itulah sebabnya, meski akhirnya imperium ini bersifat monarkhis, namun secara de facto inilah satu-satunya kekuatan Islam yang dapat diandalkan saat itu. Yang menarik kemudian adalah membentuk pandangan Ibnu Taimiyah bahwa penguasanya adalah pembela-pembela agama dan ia pun memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.[14]

Implikasi Faktor Obyektif dalam Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
Lahirnya suatu pemikiran sangat erat kaitannya dengan konteks sosial sebagai faktor yang melatarinya[15]. Sebuah pemikiran lahir umumnya setelah mengalami proses dialektika sosial yang panjang, karena itu tidak dapat memisahkan diri dari faktor situasional yang mengitarinya. Untuk memahami pemikiran seorang pemikir secara objektif, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni perkembangan intelektualitasnya dan realitas objektif yang mengitari hidupnya Pengetahuan atas perkembangan intelektual seorang pemikir, akan dapat terhindarkan dari jebakan subjektifitas dan simplikasi. Sedang pengetahuan atas realitas objektif akan dapat menangkap faktor-faktor yang mendorongnya untuk mengartikulasi-kan ide, pandangan dan sikapnya, bahkan metode yang yang ditempuh untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang diagendakan.[16] Demikian juga dengan Ibnu Taimiyah, sebagai pemikir yang realistis, di atas realitas politiklah ia merumuskan pemikirannya sebagai jawaban terhadap tantangan keadaan yang berkembang di masanya.
Beberapa pemikiran tersebut antara lain :
1. Kosmopolitanisme[17]
Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ajaran bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) seperti disebutkan dalam Q.S. Al-Anbiya : 107.
Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim.”[18]
Jelas sekali pendapat Taimiyah ini dalam konteks kepemimpinan dan kewarganegaraan sangat kosmopolit dengan memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.
Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal. Dengan demikian syari’ah dan keadilan universal adalah suatu yang paralel dan harus berjalan seiring.
Lahirnya gagasan kosmopolit dapat ditelusuri oleh berbagai faktor. Ibnu Taimiyah hidup dalam lingkungan masyarakat yang hiterogen. Hiterogenitasnya menyangkut hal yang sangat kompleks, baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat berbagai bangsa : Arab asal Irak, Arab asal Suria, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia dan sebagainya. Mereka masing-masing berbeda dalam adat istiadat, tradisi, prilaku dan alam pikiran.[19]
Hal tersebut jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan bagi kehidupan bernegara. Dalam situasi demikian sukar diciptakan stabilitas politik, keserasian sosial, dan pemupukan moral serta akhlak. Selain itu dipertajam lagi oleh faktor banyaknya mazhab, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Jika semasa hidupnya sering keluar masuk penjara, hal itu tidak selalu disebabkan karena ia memusuhi penguasa. Dia adalah tokoh mazhab Hanbali yang tegas dan berani, karena kritiknya yang tegas dan tajam terhadap kebiasaan memuja para Nabi dan Wali, maka ia mendapat tantangan dari para ulama dan mazhab lain.
2. Doktrin Kekhalifahan di tangan orang Quraisy tidak relevan dan tidak urgen
Isu sentral yang dikumandangkan Ibn Taimiyyah adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, dengan membuang jauh-jauh perbuatan syirik, khurafat, bid’ah, pengkultusan seseorang dan lain-lain. Dalam kerangka inilah kita dapat melihat relevansi kondisi sosial masyarakat yang mendorong Ibnu Taimiyyah untuk tidak mengakui kehujjahan hadits bahwa pemimpin harus dari bangsa Quraisy, karena dalam hadits tersebut ada unsur yang menyeru kepada pengkultusan suatu bangsa atau golongan. Padahal Al-Quran menurut Ibnu Taimiyah memuliakan manusia bukan karena keturunan dan kebangsaan, namun atas dasar ketaqwaan.[20] Sehingga wajar kalau pada akhirnya ia tidak mengakui kequraisyan sebagai salah satu syarat kekhalifahan, tetapi berusaha menggali syarat-syarat kepemimpinan berdasarkan syari’at melalui pesan dan nilai-nilai Al-Qur’an.
Kepemimpinan berdasarkan syari’ah inilah yang merupakan konsep politik yang ia tawarkan sebagai usaha memberikan solusi atas kondisi politik yang dihadapinya.
3. Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Institusi Negara
Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, merupakan keniscayaan. Dari konsep ini kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan.
“Manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.”[21]
Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat menuntut  kepatuhan dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk kita”.[22]
Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.[23]
Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.”[24]
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).

Pemimpin menurut Taimiyah
Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori “amanat” dan “tugas publik (waliyat)” seperti yang dipahami dalam syariat. Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil”[25]. Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam).” Pendapatnya yang terkenal adalah “agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.”[26]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpin, sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas. Dasar pandangan ini dikatakan berasal dari Rasulullah Muhammad (?) yang bersabda bahwa 70 tahun kehidupan sosial di bawah kekuasaan refresif masih lebih baik dari hidup sosial tanpa ada kepemimpinan atau (lebih baik) dari anarkhi.[27]
Dari sumber lain pernyataan “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan.”[28] adalah berasal dari pendapat ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah.

Bentuk negara menurut Taimiyah
Cukup menarik, sekalipun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat, tetapi Taimiyah meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan As-Sunnah). Suatu pemikiran ekstrem yang menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori kekhalifahan tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi: hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, tinimbang meributkan bentuk negara.
Teori politik Ibnu Taimiyah memiliki kemiripan yang lebih dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas dari penjelasan agama. Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah “melampaui” tradisi berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.[29]
 
Pembaharuan pemikiran oleh Taimiyah
Taimiyah melakukan pembaharuan dengan membuka kembali pintu akal, daripada hanya mengikuti pola yang sudah baku. Kepercayaan terhadap kemungkinan dan nilai pengetahuan syariah yang independen mempunyai pengaruh yang kuat pada doktrin Ibnu Taimiyah dan merupakan pendukung semua langkah pembaruannya yang kontroversial.
Perubahan paling penting yang menyangkut dengan metode itu adalah adanya rehabilitasi peranan ijtihad yang sering diartikan dengan ungkapan seseorang terhadap kecakapan dan kemampuan pribadinya untuk mencapai pengetahuan. Ijtihad dimaksudkan untuk menggantikan metode taklid yang amat membeo dan kaku. Taklid sendiri berarti mengadopsi segala keputusan yang ditetapkan oleh para penguasa.
Ia tidak mendukung tafsir teks suci yang benar-benar harfiah, tetapi menggunakan analogi dan silogisme sebagai alat untuk menghubungkan contoh-contoh tertentu dengan norma-norma legal melalui argument rasional. Dia mendukung penalaran individual (ijtihad) yang dilakukan oleh seorang mujtahid yang memenuhi syarat sebagai bantuan untuk memahami konsensus (ijmak) umat Islam. Satu hal yang paling mengejutkan, ia mendukung “jalan tengah” (wasath)-atau rekonsiliasi-antara nalar (metode teologi), riwayat (metode ahli hadits), dan kehendak bebas (metode sufi).
Selain itu, prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental syariah harus mempertimbangkan keadaan-keadaan baru. Menurutnya, syariat saat ini mungkin membutuhkan banyak adaptasi. Syariat dapat memberikan bimbingan yang benar untuk setiap masalah hanya jika manusia menggunakan seluruh upayanya (berijtihad). Ibnu Taimiyah membolehkan penguasa untuk menerapkan hukuman terhadap sesuatu urusan yang belum ditetapkan oleh syariat, misalnya hukuman untuk kesalahan administrasi, malpraktik, dan penyuapan.
Cakrawala Ibnu Taimiyah semakin terbuka ketika Kekhalifahan Abbasiyah tumbang, karena peristiwa itu membuka jalan bagi solusi yang lebih radikal terhadap problem-problem yang sekian lama menghantui masyarakat.
Ibnu Taimiyah menghargai peranan akal dan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, tetapi kedudukannya harus berada di bawah wahyu. Akal yang benar adalah akal yang beroperasi di bawah bimbingan Al-Quran dan petunjuk Nabi (As-Sunnah).

Relevansi Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah di Era Modern : Sekilas  Perbandingan dengan Pemikiran Imanuel Kant
Sebagaimana dikemukakan di atas, Ibnu Taimiyah mengedepankan peranan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan menegakkan keadilan; memandang dengan kacamata kosmopolit dengan mementingkan asas keadilan di atas keimanan; dan penyegaran pemikiran dengan mengemukakan usaha filosofis dalam mencari kebenaran.
Bagi Ibnu Taimiyah keadilan adalah sunnatullah yang pasti, objektif dan tidak berubah, siapa saja yang menegakkan keadilan akan jaya, dan siapa yang melanggarnya akan binasa. Karena itu dalam risalahnya ia mengutip ungkapan yang sangat kosmopolit : “Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negeri yang zalim meskipun Islam”. [30]
Menariknya, setelah gagasan Taimiyah yang kosmopolit ini dikemukakan,  lima abad kemudian dari dunia yang berbeda lahir seorang filosof  bernama Immanuel Kant[31] dengan benang merah pemikiran yang sama, yakni sama-sama berbicara kosmopolitanisme; keadilan, distribusi sumber daya secara global, dan pencapaiannya melalui institusi negara, namun dengan warna dan latar etik yang berbeda. Dengan membandingkan kedua tokoh ini kita dapat mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah ini “melompati zamannya” dan menembus ruang dimana ia tinggal. Karena pemikiran dan pendapat-pendapatnya yang “melompati zaman” ini pula membuatnya tidak diterima banyak kalangan Islam sendiri pada masanya.
Kant dikenal dengan Imperatif Kategoris-nya. Ada dua norma yang mendasari prinsip ini: Pertama, tiap manusia harus diperlakukan sesuai martabatnya. Ia harus diperlakukan dalam segala hal sebagai subyek, bukan obyek. Kedua, orang harus bertindak dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta. Prinsip semesta yang dimaksud Kant adalah penghargaan akan manusia yang bebas dan otonom.[32]
Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Tapi sangat mungkin, pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa merugikan orang lain. Untuk menghindari kerugian itu, dibutuhkan hukum sebagai platform hidup bersama. Hukum merupakan kebutuhan dari setiap mahkluk bebas dan otonom yang mau tidak mau memang harus hidup bersama. Persis di titik ini, seolah ada seruan Kant : “hiduplah berdasarkan hukum jika ingin hidup bersama secara damai dan adil”. Seruan ini bernuansa imperatif etik, dan oleh karena itu timbul kewajiban untuk menaati hukum.
Senada dengan Kant, Ibnu Taimiyah juga percaya bahwa untuk membangun tatanan negara yang rasional, diperlukan suatu hukum dan menejerial pemerintahan yang memastikan tiap orang menghormati kebebasan orang lain. Meskipun latar etik Kant memiliki perbedaaan yang mendasar dengan Ibnu Taimiyah. Bagi Kant, sebuah negara tidak perlu mengatur rakyatnya dengan kontrol yang bersifat moral atau pun religius. Sebab jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, maka yang akan terjadi adalah kekacauan dan konflik. Kebijakan moralistik, hanya akan memecah-belah masyarakat modern yang plural dalam kategori-kategori agama, moral, maupun kebudayaan. Dari sinilah Kant mengusulkan tatanan hukum yang obyektif dan imperatif (sekuler : penulis). Makna hakiki dari hukum yang obyektif dan imperatif itu, adalah bahwa hukum menjamin kepentingan semua individu menurut dua prinsip imperatif kategoris di atas, bukan menurut ukuran-ukuran primordial (agama, moralitas, dan kultur tertentu).
Sementara Ibnu Taimiyah memandang agama (baca: Islam) dapat menjadi prinsip semesta (universal). Ia berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil ‘alamin) yang dapat menjadi platform kebersamaan karena mengajarkan nilai-nilai keadilan dan hak-hak dasar individu.
Dari uraian di atas tampak kesamaan di antara keduanya adalah keharusan adanya paltform kehidupan sosial bersama yang disebut hukum. Adapun perbedaan keduanya berangkat dari sumber etik. Hal ini dapat dipahami, karena setiap karya Kant selalu mempermasalahkan Tuhan yang dianggapnya tidak bisa dibicarakan karena tidak tergolong dalam kategori-kategori. Kant sangat mengagungkan rasionalitas. Sebagai ganti dari hukum-hukum berlatar etik termasuk agama Kant lebih mempercayai hukum Alam (dalam “a” besar) yang mengatur kehidupan manusia dan menetapkan tujuan-tujuan sejarah manusia.
Sebaliknya, Ibnu Taimiyah dengan tegas selalu berpegang teguh pada hukum agama Islam dalam setiap pemikirannya. Taimiyah menghargai akal, tetapi akal yang terbimbing oleh agama. Kekuasaan, menurut Taimiyah, adalah kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya.
Kant memperkenalkan istilah keharusan otonom dan keharusan heteronom. Ketika aturan hukum sebagai norma hukum positif, ia bukan lagi merupakan keharusan yang otonom, melainkan keharusan yang heteronom. Dalam keharusan yang heteronom, berlakunya norma tidak berasal dari rasa kewajiban yang mendorong batin batin manusia, melainkan dari sesuatu yang di luar kewajiban batin. Di sini Kant memperkenalkan istilah legalitat, yakni ‘sifat hukum’ dari suatu perbuatan. Inti sifat hukum dari suatu perbuatan adalah, penyesuaian tindakan individu dengan apa yang sudah dibentuk sebagai hukum”. Lepas dari apa pun motifnya (rasa respek atau takut), orang harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh hukum.
Konsep ini juga dapat disejajarkan dengan pemikiran Ibnu Taimiyah tentang diperlukannya ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing dalam wujud hukum yang berlaku secara obyektif. Inilah yang disebut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa dari the rule (pemerintah) terhadap the ruled (rakyat) yang diperlukan untuk menjaga masyarakat terhindar dari keegoisan alamiah manusia yang dapat menghancurkan kehidupan sosial. Oleh karena itulah Ibnu Taimiyah berpendapat hukum harus ditegakkan dengan keras oleh negara dan negara harus berjalan di atas keadilan hukum. Di sini tampak gagasan organik Ibnu Taimiyah yang memandang hukum dan keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan.
Dalam memandang progresivitas sejarah terdapat perbedaan mendasar antara Kant dan Taimiyah. Kant memandang Alam berkendak agar manusia berusaha mewujudkan sejarah universal manusia yang kosmopolit. Kant menilai inilah puncak sejarah manusia yang sempurna dan menjadi tugas terakhir yang harus direalisasikan sebelum Alam berakhir. Pemikiran Kant senada dengan pemikir Barat lainnya yang selalu merefleksikan progresivitas sejarah ke arah masa depan.
Akan tetapi, Taimiyah berpendapat puncak sejarah manusia yang sempurna adalah pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup. Setiap pemikir Islam, termasuk Taimiyah, mempercayai bahwa pencapaian sejarah manusia yang paling puncak adalah pada masa dimana Rasulullah hidup. Sehingga setiap pemikir Islam selalu merefleksikan tujuan ideal ke belakang dalam proses filosofisnya. Pendapat ini ia dasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Zaman terbaik adalah zamanku, kemudian sesudahnya, dan sesudahnya lagi.
Dengan sedikit menyambungkan benang pemikiran Ibnu Taimiyah yang hidup di abad pertengahan dengan Kant yang hidup pada periode modern setidaknya kita akan mengetahui bahwa beberapa gagasan kosmopolitanisme Ibnu Taimiyah yang ia letakkan dengan menjadikan nilai keadilan pondasi melebihi agama dan keimanan formal; membuka keran pemikiran Islam seluas-luasnya; distribusi sumber daya secara global; dan pencapaian keadilan melalui institusi negara masih relevan dengan alam pemikiran politik modern.





DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (Ed), Ensiklopedi Tematik Dunia Islam : Jilid 2, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 2002
Adams, Ian, “Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya”, Yogyakarta: Qalam , 2003
Ash-Shadr, Sayyid Muhammad Baqir, Sistem Politik Islam, (judul Asli : Introduction to Islamic Political System, penerj. Arif Mulyadi, Jakarta : Lentera, 2001
Bahansawi, Salim, Wawasan Sistem Politik Islam, Judul Asli : Asy Syari’ah al-Muftara Alaiha, penerj. : Mustolah Maufur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1995
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, , Jakarta: Serambi, 2001
Bosworth, C. E. Dinasti-Dinasti Islam, h. 88-89.
Brock, Gillian,. World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat “Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada, 2002
Djaelani, Abdul Qadir, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya : Bina Ilmu), 1995
Djazuli, A. , Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, edisi Revisi (Jakarta : Jakarta Putra Grafika), 2007
Ghazali, Adeng Muchtar, Pemikiran Islam Kontemporer : Suatu refleksi keagamaan yang dialogis, (Jakarta : Pustaka Setia), 2005
Gibb, H. A. R. The Encycloapedia of Islam (Leiden : E. J. Brill, 1960)
Goldziher, “Ibn Taimiyah”, Encyclopedia of Religion and Ethics 7 : 72
Gunawan, Asep (Ed), Artikulasi Islam Kultural : Dari tahapan Moral ke Periode Sejarah, Kata Pengantar : Dawam Rahardjo, (Jakarta : Srigunting) , 2004
Hitti, Philip K. dalam History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin et.al. (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2006)
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007)
Jindan, Khalid Ibrahim Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Kamal, Zainun, Ibnu Taimiyah versus Para Filosof: Polemik Logika, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Pengantar : Ahmad Syafi’I Ma’arif dan M. Amin Abdullah, Yogyakarta : Pustaka Books Publisher, 2007
Khairuddin, Ahmad, Beberapa Interpretasi Hadits al-Aimah min Quraisy (Studi Hadis dengan Pendekatan Fiqh Siyasah), (Banjarmasin : Antasari Press, 2005
Khan, Qamaruddin The Political Thought of Ibn Taymiyyah., terj. Anas Wahyuddin, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah (Bandung : Pustaka, 1983).
Lapidus, Ira. M, Sejarah Sosial Umat Islam : Bagian ke satu dan kedua, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999)
Lewis, Bernard, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah : Dari segi geografi sosial, budaya dan peranan Islam, Judul Asli : The Arabs in History, penerj. : Said Jamhuri, kata pengantar : Nurcholish Madjid, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1994
Madjid, Nurcholish Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.
———————-, Islam Agama Peradaban : Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : RajaGrafindo Persada dan LSIK), 1995
Rahman, Budhy Munawar (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah : (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina) , 1994
Reese, William L., Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, Atlantic Highlands : Humanities Press, 1996.
Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta : RajaGrafindo Persada), 2002
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Siyasah : Pengantar Ilmu Politik Islam (Bandung : Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba, London: , 1985
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press), 1990
Supriyadi, Dedi, Perbandingan Fiqh Siyasah : Konsep, Aliran, dan Tokoh-Tokoh Politik Islam, Pengantar : Fauzan Ali Rasyid, Jakarta: Pustaka Setia, 2007
Surwandono, “Pemikiran Politik Islam“, 2001, Yogyakarta: LPPI UMY
Strathern, Paul,.“90 Menit Bersama Kant”, Jakarta: Erlangga, 2001
Taha, Ahmadi, Ibnu Taimiyah Sejarah Hidup dan Pemikiran, Surabaya : Bina Ilmu, 2007
Taimiyah, Ibnu,.“Siyasah Syar’iyah : Etika Politik Islam”, Surabaya : Risalah Gusti, 2005
Taimiyah, Ibnu,.“Tugas Negara Menurut Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Tanya, Bernard L (et. al) Teori Hukum : StrategiTertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya : CV. Kita, 2007
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak akar-akar sejarah, sosial, politik, dan budaya umat Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada), 2002
Wijdan SZ, Aden, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, Kata Pengantar : Ahmad Syafi’i Ma’arif, (Yogyakarta : Safiria Insania Press dan PSI UII), 2007.
Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II (Jakarta : Rajawali Press, 2006), h. 117-123.
Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara : Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta : Murai Kencana, 2004
[1] Penulis dapat menyatakan seperti ini karena di masa Bani Umayyah belum ada karya yang dapat dijadikan referensi pemikiran politik Islam. Memasuki pertengahan abad ke-9 barulah lahir karya Ibnu Abi Rabi berjudul “Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” dan abad 10 M karya monumental ilmuwan legendaris muslim yang hidup di masa Dinasti Abbasiyah, yakni Al-Mawardi dengan  karyanya yang berjudul Al Ahkam al-Sulthania wa al Wilayat al-Diniyyah.
[2] Ibn Abi Rabi’ adalah dianggap ulama sunni pertama yang menulis kitab siyasah mempersembahkan karyanya berjudul “Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” kepada Khalifah Mu’tashim (833-842 M). Sebagai buku persembahan tentu tidak memberikan koreksi terhadap penguasa. Dalam buku itu Ibn Abi Rabi memuji-muji Al-Mu’tashim sebagai Khalifah yang adil, bijaksana dan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. (Munawir Sjadzali, 43). Sementara Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam Iqtishad fi al-I’tiqad menyebutkan bahwa kekuasaan kepala negara adalah kudus (suci). Karenanya umat tidak boleh memberontak pada kekuasaan. Al-Ghazali dan Al-Mawardi secara tegas menyatakan seperti pemuka sunni lainnya menetapkan syarat quraisy untuk menjadi kepala negara. Pandangan mereka dapat dianggap sebagai pembelaan terhadap kekuasaan. Ini wajar, karena ketika itu puncuk pimpinan ada di tangan orang quraisy di samping hadis yang secara teks menyebutkan ketentuan tersebut.
[3] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007) h. 22.
[4] Goldziher, “Ibn Taimiyah”, Encyclopedia of Religion and Ethics 7 : 72
[5] Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press, 1990), h. 79 dan 82; Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, keduanya menyebutkan kelahiran Ibnu Taimiyah tanggal 22 Januari 1262 M. Jika tanggal tersebut dihijriahkan menjadi 29 Shafar 660 H. Sebenarnya tanggal kelahiran ini masih diperselisihkan. Dalam buku Siyasah Syar’iyah :. Etika Politik Islam, Editor Ali Syami an-Nasysyar menyebutkan tanggal kelahiran Ibnu Taimiyah 10 Rabiul Awal 611 H yang bila disesuaikan dengan kalender Masehi berarti tanggal 20 Juli 1214 M. Sementara Ahmadi Thaha menyebut tanggal kelahirannya 10 Rabiul Awal 661 H bila dihijriahkan menjadi 12 Januari 1263 M. Jika mengacu pada tahun penyerbuan bangsa Tartar yang menaklukan kota Bagdad pada tahun 667 Hijriah, saat itu Ibnu Taimiyah (masih berusia sekitar 6 tahun) dilarikan oleh ayahnya ke Damaskus. Dari peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan yang paling mendekati kebenaran tahun kelahirannya adalah 661 H.
[6] Sultan-sultan Mamalik antara al-Zhahir dan al-Nashir adalah al-Sa’id Nashiruddin Barakah (676-678H./1277-1280 M), al-Adil Badruddin Salamisy (678-678 H./1280-1280 M), al-Manshur Saifuddin Qala’un al-Alfi (678-689 H./1280-1290 M.), al-Asyraf Shalah al Din Khalil (689-693 H.)/1290-1294 M.) Pemerintahan al-Nashir Nashiruddin Muhammad yang pertama (693-694 H./1294-1295 M.), al-Adil Zainuddin Kitbugha (694-696 H.)/1295-1297 M.), al-Manshur Hasanuddin Lajin (696-698 H./1297-1299 M.), Pemerintahan al-Nashir Nashiruddin Muhammad yang kedua (698-708 H./1299-1303 M.), dan al-Muzaffar Ruknuddin Baybars II (708-709 H./1309-1309 M.). C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, h. 88-89.
[7] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 80
[8] Dikatakan demikian karena di saat segenap wilayah Islam dikuasai oleh  pasukan Mongol, Dinasti Mamalik bahkan dapat mengalahkan mereka dalam pertempuran Ain Jalut, Syria.
[9] Timur lenk atau Timur si pincang adalah keturunan bangsa Mongol yang sudah memeluk Islam tetapi serangannya ke beberapa wilayah Islam menimbulkan malapetaka yang tidak kalah hebat dari serangan Hulagu Khan. Lihat dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II (Jakarta : Rajawali Press, 2006), h. 117-123.
[10] Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyyah., terj. Anas Wahyuddin, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah (Bandung : Pustaka, 1983), h. 34.
[11] Lihat penjelasan Philip K. Hitti dalam History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin et.al. (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2006) cet. 2. h. 616-623 dia mengemukakan faktor internal lebih banyak berperan sebagai sebab kehancuran kekhalifahan daripada faktor eksternal.
[12] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 80
[13] Lihat uraian Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004)., h.41-42
[14] Dinasti Mamalik atau Mamluk merupakan fenomena unik di dalam sejarah politik Islam. Kelahirannya berasal dari para budak yang berasal dari berbagai suku dan bangsa yang menciptakan suatu tatanan kekuatan militer di wilayah asing. Merekalah yang berhasil membebaskan Suriah dan Mesir yang sebelumnya dikuasai Tentara Salib. Selama beberapa waktu mereka pula yang berhasil menahan laju serangan bangsa mongol yang dipimpin oleh Hulagu dan Timur Lenk. Seandainya mereka gagal bertahan, tentu tatanan sejarah dan kebudayaan Asia Barat dan Mesir yang memiliki akar Islam berubah drastis. Dinasti Mamluk menguasai satu kawasan paling “panas” di dunia dan memelihara keutuhan wilayah tersebut meskipun mereka terdiri dari ras yang berbeda-beda.
[15] Lihat : H.. M.. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad – Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 105. Pendekatan seperti ini adalah dasar pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir Islam kontemporer dalam menggagas metode studi Ilmu-ilmu keislaman. Mereka menghendaki agar studi ilmu-ilmu keislaman dilakukan seharusnya tidak terasing dari konteks sosial historisnya. Muhammad Arkoun, misalnya, mempertanyakan menghilangnya dimensi historisitas (tarikhiyat dari keilmuah fiqh dan kalam. Ia dengan tegas mempertanyakan keabsahan pengekalan teori-­teori kalam, fikih (termasuk di dalamnya fikih siyasah) dan sudah barang tentu tasawuf yang disusun beberapa puluh abad yang lalu untuk diajarkan terus-menerus pada era sekarang setelah permasalahan dan tantangan zaman terus menerus berubah tidak lagi seperti sediakalan. Lihat, M. Amin Abdullah, Ta’wil al-Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, al-Jamiah, Vol. 39. No. 2, (Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga,2001), h.363-364.
Karl Mannheim lewat teori relasionalnya juga sangat menekankan pentingnya hubungan antara pemikiran dengan konteks sosialnya. Teori itu mengatakan bahwa setiap pemikiran selalu berkaitan dengan keseluruhan struktur sosial yang melingkupinya. Lihat : Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia, menyingkap kaitan pikiran dan politik, terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta : Kanisius, 1991) hlm. 222. Dengan teori ini, kebenaran pemikiran sesungguhnya hanyalah kebenaran kontekstual, bukan kebenaran universal. Untuk itu memahami butir pikiran seseorang tidak bisa lepas dari konteks dan struktur kemasuk-akalan yang dimiliki orang itu, termasuk memahami pemikiran Ibnu Taimiyah.
[16] Masyaruddin, Pemberontakan Tasawuf : Kritik Ibnu Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf, Surabaya  : JP Box dan STAIN Kudus Press, 2007. h. 27.
[17] Berasal dari kata cosmopolitan, diantara artinya : having a broad view or experience of the world and free from national prejude. Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, New York : Oxford University, 1995, h. 262. Cosmopolite adalah sebutan bagi orang yang berpandangan internasional, warga dunia. Lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996. h. 149.
[18] Surwandono, “Pemikiran Politik Islam“, 2001, Yogyakarta: LPPI UMY
[19] H. A. R. Gibb, The Encycloapedia of Islam (Leiden : E. J. Brill, 1960), h. 59
[20] Lihat Q. S.
[21] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 35.
[22] Lihat Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004)., h. 31, pandangan tersebut diambil dari karya Ibnu Taimiyah Al-Siyasah yang diterjemahkan dalam bahasa Prancis.
[23] Ibnu Taimiyah, Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba,1985, London
[24] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[25] Lihat Q. S. 4 (An-Nisa) : 61-62
[26] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi
[27] Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, terjemahan Firdaus AN, (Jakarta : Bulan Bintang, 1960) h. 229-241.
[28] Lihat Masrohin dalam “Pengantar Penerjemah” untuk buku Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. h. vii.
[29] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti
[30] Lihat Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1994. h. 43, ungkapan di atas berasal dari Ali bin Abi Thalib yang banyak dikutip oleh ulama klasik.
[31] Lihat dalam : William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought, Atlantic Highlands : Humanities Press, 1996 h. 372-376. Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filosof berkebangsaan Jerman. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Masa hidupnya dihabiskan di kota kelahirannya ini. Ketika berusia 16 tahun Kant memasuki Universitas Konigsberg, setelah tamat lalu menjadi privatdozent (dosen luar biasa). Tahun 1755 ia kembali ke Universitas menjadi dosen di Konigsberg, dan 15 tahun kemudian diangkat menjadi propesor. Karya-karyanya yang termasyur adalah : Critique of Pure Reason (1781), Prolegomena to any Future Metaphysics (1783), Foundation of Metaphysics of Ethics (1785), Critique of Practical  Reason (1788) dan Critique of Judgement (1790)
[32] Lihat dalam Tanya Bernard L. (et.al), Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya : CV. Kita, 2007. h. 90-91.