Rabu, 31 Juli 2013

Perubahan Hukum Islam

Oleh: Syawaluddin Nasution
  
Pendahuluan
Dalam persoalan perubahan hukum ini dua hal peran hukum, dimana dalam perannya hokum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat adanya perubahan social (social change) dalam hal ini hokum berperan pasif, kemudian Sejauhmana hokum berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang terencana Hukum berperan aktif. Disini fungsi hukum sebagai a tool of social engineering/alat rekayasa masyarakat.
Dalam hokum islam status hukum sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para Ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis yang dapat menyesuaikan diri dengan kedadaan.
Di sinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan ‘social engineering’. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.

Perubahan Hokum Dalam Kajian Barat
Hukum Menyesuaikan Diri Terhadap Perubahan Masyarakat
Hugo Sinzheimer menjelaskan bahwa;
“Wanneer er tusschen recht en leven tegenstellingen bestaan, dan komen ersteeds krachten in beweging om deze op te fheffen. Dan begint een tijdperk, waarin nieuw recht onstaat....”[1]
Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat, dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogianya diaturnya tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya, hal ini sesuai dengan aliran Sociological Jurisprudence sebagaimana yang sebutkan oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrilich, Benyamin Cardozo, Kartoriwics, Gurvitch dan lain-lain, mereka mengatakan bahwa hokum yang baik adalah hokum yang sesuai dengan hukujm yang hidup di dalam masyarakat.[2]
     Kesenjangan yang dimaksud sebagai sumber yang membutuhkan adanya perubahan hukum, adalah terhadap perubahan pada kaidah-kaidah masyarakat. Sedangkan perubahan pada jenis pertama dan kedua belum memaksa hukum untuk segera melakukan penyesuaian terhadapnya.
     Dalam keadaan yang telah mendesak, perundang-undangan memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat.   Apakah ciri yang menandai adanya kesenjangan antara hukum dan peristiwa yang seyogianya diaturnya, sehingga mendesak untuk diadakan perubahan hukum? Ciri atau tanda itu menurut Dror
“adalah ditandaidengan tingkah laku warga masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus dijalankan”[3]
     Jadi terdapat kesenjangan yang membedakan antara tanggapan hukum di satu pihak dan masyarakat di pihak lain mengenai perbuatan yang seyogianya dilakukan. Jadi “das sollen”  sudah berbeda jauh dari pada “das sein”.
     Hukum bertujuan untuk mengkordinir aktivitas-aktivitas warga masyarakat di mana aktivitas-aktivitas itu senantiasa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. karena itu hukum merasa berkewajiban turut campur secara lebih serius dan langsung dalam wujud kaidah-kaidah hukum.     
Dari contoh kasus konkrit di atas, ternyatalah bahwa efektif atau tidaknya hukum, tidak semata-mata ditentukan oleh peraurannya, tetapi juga dukungan dari beberapa institusi yang berada di sekililingnya, seperti faktor manusianya, faktor kultur hukumnya, faktor ekonomi, dan sebagainya.
Agaknya sulit terwujud hukum yang baik dengan pelaksanaan yang baik, jika hukum itu sekadar hasil transfer belaka, tanpa memperhitungkan faktor-faktor non hukum.

Hukum Membawa Masyarakat Berubah (a tool of social engineering)
Kalau dia atas yang kita bicarakan adalah bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat, maka kini kita akan membahas segi kedua dari persoalan perubahan yakni bagaimana hukum menjadi faktor penggerak ke arah perubahan masyarakat. Inilah yang biasa dinamakan : law is a tool of social engineering.
     Yang mula-mula memperkenalkan konsep hukum sebagai alat rekayasasosial adalah Roscoe Pound,  Bapak Ilmu Hukum Sosiologis dalam tulisannya: Scope and Purposes of  Sociological Jurisprudence, yang mengemukakan butir-butir penting yang harus diketahui dan diterapkan oleh seorang juris yang berfaham sosiologis.
     Meskipun kenyataan positif dari hasil digunaknnya hukujm sebagai “a tool of social engineering” telah banyak diakui baik dari kalangan hukum sendiri maupun dari kalangan ilmu-ilmu sosial, namun tetap masih ada segelintir pakar yang tidak mau mengakui fungsi perekayasaan hukum ini. Seperti yang dikemukakan oleh  sebagaimana diuraikan oleh satjipto Rahardjo. ” Bahwa penemuan di bidang teknologi merupakan penggerak perubahan sosial, sebab penemuan yang demikian itu menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang berantai sifatnya.[4]
Sifat yang terakhir disebut ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama terjadi suatu penemuan baru di  bidang teknologi. Di tempat kedua menyusullah kegiatan ekonomi. Di sini orang mulai memikirkan pemanfaatan ekonomis apa yang dapat dipetik dari penemuan itu. Baru kemudian hukum masuk, apabila kedua kegiatan yang disebutkan di atas telah dijalankan. Dengan demikian hukum diterima sebagai struktur atas yang mempunyai basisnya pada bidang teknologi dan ekonomi yang oleh karena itu hanyalah merupakan kelanjutan dari kejadian-kejadian pada bidang tersebut”
Tentu hal ini dapat diterima jika dikatakan bahwa hukum hanyalah alat yang menggerakkan perubahan secara tidak langsung. Contohnya, pertumbuhan penduduk yang sudah tiba pada tingkat yang membahayakan, tidak dapat ditekan secara langsung oleh hukum. Dalam hal ini, adalah mustahil jika hukum mengeluarkan peraturan untuk membunuh sebagian penduduk agar pertumbuhan penduduk teratasi. Hukum di sini hanya mungkin menekan pertambahan penduduk secara tidak langsung melalui ketentuan tentang jumlah anak yang ditanggung negara bagi pegawai negeri dan ABRI serta perturan-peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan program Keluarga Berencana.

Faktor-Faktor Pengubah Hukum
Perubahan hokum dapat disebabkan beberapa aspek yaitu : Aspek politik yang dapat dipengaruhi oleh penguasa,orsospol, ormas, LSM. Kemudian aspek budaya yang bisa disebabkan perubahan nilai dalam masyarakat, stratifikasi atau juga disebabkan adanhya kontak budaya. paktor pengubah hokum juga dapat disebabkan aspek ekonomi, seperti perdagangan bebas, perjanjian ekonomi, arbitrase, traktat dan lain-lain. Kemudian  aspek ilmu pengetauan dan teknologi dengan berobahnya gaya hidup, kejahatan tingkat tinggi. Juga dapat disebabkan aspek pendidikan
     Sementara cara pengubah hukum adalah
-         Fiction seperti pembuatan defenisi atau rekayasa
-         Equity atau kesetaraan
-         Legislation atau berdasarkan penetapan hukum

Perubahan Hokum Dalam Perspektif Hokum Islam
Dalam kajian hokum Islam pengaruh-pengaruh unsur perubahan dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.[5]
Mengingat hukum Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting, maka perlu ditegaskan aspek mana yang mengalami perubahan (wilayah ijtihadiyah). Disini dapat ditegaskan bahwa  agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan di  tengah-tengah masyarakat, mungkin berubah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perubahan dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual, tetapi secara kontekstual.
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalan-persoalan hukum.[6] Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.
Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antarkehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).[7] Menurut teori-teori di atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam.
Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Namun pada kenyataannya tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.3
Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan metode bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan.
Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa: “Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnyabisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.[8]
Semangat atau pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.9 Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi.
Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa “perubahan hukum adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”[9] Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama illatnya (alasan hukum)dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”[10]
Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Mesir.[11] Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir
Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan.
Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.[12] Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat
Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam bukanlah hal yang udah, karena masyarakat banyak yang terpuaskan dengan mazhab yang mereka anut, sehingga sulit untuk menerima pemikiran lain diluar yang diyakininya.
Oleh karena itulah diperlukan beberapa syarat; pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim; kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu; ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut; keempat, mengorientasikan istinbat hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka metodologis). Di samping itu, perlu juga memahami pemikiran hukum yang tidak dibatasi sekat-sekat madzhab. Keterbatasan alternatif yang dibingkai dengan sekat madzhab akan menghasilkan produk pemikiran yang rigid (kaku) dan akan mempersulit upaya pembaruan hukum Islam itu sendir
Dalam Islam juga dikenal istilah doktrin siasah, yaitu bagaimana seperngkat peraturan yang dibuat oleh penguasa, atau juga dikarenakan kondisi sosial yang membuat berlaku tidaknya hokum (doktrin takhayyur), kemudian perkembangan seiring dengan adanya peristiwa baru (tatbiq), kiemudian bisa juga disebabkan adanya pembaharuan dibidang hokum Islam (tajdid).
Penutup
Perubahan hokum jika dilihat dari dua persi yang berbeda yaitu persi barat dan juga hukum Islam, sama-sama disebabkan adanya perubahan social, baik dari segi politik, ekonomi, budaya, maupun ilmu pengetahuan, karena hokum tumbuh dalam masyarakat maka hokum harus sesuai dengan hokum yang yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakaT.

























DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone., 1996

Ali, Zainudin, Filsafat Hukum, Jakarta: Grafika, 2006

Arifin, Syamsul. dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipress, 1996

Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Hasan, A. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: PT al-Ma’arif, 1994

al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin. Beirut: Daar al-Fikr, TT

Muzdhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hokum, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2007

Rusyd, Ibn, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, TT

ash-Shiddiqie, Hasbi, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994

Soesanto, Astrid S. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta,1985

Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996

az-Zarqa, Musthafa Muhammad, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana. Jakarta: Rineka Cipta, 2000

[1] Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. (Jakarta: Yarsif Watampone., 1996). H.203
[2] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hokum, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2007), h. 66 lihat juga Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Grafika, 2006), h. 61
[3] Ibid. h.,204

[4] Ibid, h. 215
[5] Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 59-60
[6] Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 45
[7] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 96. Lihat pula, Astrid S. Soesanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Jakarta:Binacipta,1985), hal. 157-158

[8] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, TT),
hal. 2

[9] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut: Daar al-Fikr, TT), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444
[10] Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996), hal. 550
[11] M. Atho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hal. 107. Lihat pula, A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: PT al-Ma’arif, 1994).
[12] Syamsul Arifin, dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996), hal. 72-73

Selasa, 30 Juli 2013

Disertasi: Jalur Masuknya Islam

Oleh: Misno

Terdapat beberapa pendapat mengenai teori jalur masuknya Islam ke Nusantara. Secara umum, pendapat-pendapat tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat teori yaitu: Teori India, Teori Persia, Teori Arab dan Teori China. Berikut adalah ulasannya:    
Pertama, Teori Jalur India menyatakan bahwa Islam datang melalui jalur India. Teori inipun terbagi menjadi dua yaitu teori India Utara dan Teori India Selatan. Teori India Utara menyebutkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh Pinjapel,[1] Snouck Hurgonje,[2] dan Stutterheim.[3] Pinjapel berpendapat bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari orang-orang Arab yang menganut madzhab Imam Syafi’i yang melakukan migrasi ke Gujarat dan Malabar.[4] Lebih lanjut Pinjapel justru menawarkan logika terbalik dari pernyatannya tadi, yaitu bahwa walaupun Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh orang-orang Arab, namun hal ini tidak langsung datang dari Arab ke Nusantara melainkan dari India, terutama dari pesisir barat India yaitu Gujarat dan Malabar.[5]
Versi lain dari teori jalur India ini adalah yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa ketika Islam telah berkembang dan cukup kuat di berbagai kota dan pelabuhan di anak benua India. Sebagian kaum muslim Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang muslim Deccan inilah yang datang ke Nusantara sebagai penyebar Islam pertama.[6] Sementara W. F. Stutterheim, pendukung teori ini dengan jelas menyatakan bahwa Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara. Mengenai Aspek waktunya, W. F. Stutterheim berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Kesimpulan ini didasarkan pada penelitiannya terhadap kesamaan batu nisan yang ada di Nusantara dan India khususnya di Gujarat.[7]
Teori India selatan menyatakan bahwa asal mula Islam Nusantara adalah dari wilayah Bengali (Bangladesh), pendapat ini dikemukakan oleh Fatimi.[8] Menurutnya Islam pertama kali muncul di semenanjung Melayu dari arah Timur Pantai, bukan dari sebelah Barat semenanjung Malaka, dari Canton, Pharang, Leran, dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini terjadi pada abad ke-11. Masa ini dibuktikan dengan penemuan batu nisan seorang muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/ 1082 M di Leran, Gresik. Ricklefs berpendapat bahwa nisan tersebut adalah batu nisan tertua milik seorang muslimah yang masih dapat ditemukan di wilayah tersebut. Fatimi berpendapat bahwa batu nisan yang ditemukan di Leran, Gresik tersebut yang disinyalir oleh Stutterheim berasal dari Gujarat atau India sekarang,[9] sebenarnya berasal dari Bengali, Bangladesh bukan dari Gujarat, India.
Kedua, Teori Persia. Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan pembawanya berasal dari Persia. Argumenatasi  teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
1.      Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat dijunjung tinggi oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur pada bulan Syuro (Muharam).
2.      Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jenar dengan sufi dari Iran yaitu Al-Hallaj.
3.      Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi harakat.
4.      Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
Teori ini disebutkan oleh Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Ia berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam yang ada di Nusantara memiliki  persamaan dengan tradisi dan kebudayaan di Persia. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai pada kuburan Islam awal di Nusantara. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mazhab Syafe’i, sama seperti kebanyakan muslim di Iran. Persia yang dimaksud adalah wilayah di sekitar Iran dan Irak dan sekitarnya yang merupakan sisa-sisa wilayah kerajaan Persia pada masa lalu.[10]
Ketiga, Teori Jalur Arab yaitu Islam masuk ke Nusantara secara langsung dari Jazirah Arab (khususnya Mekkah, Yaman dan Mesir). Pendapat ini dikemukakan oleh Haji Abdul Karim Amrulah (Hamka),[11] Azyumardi Azra,[12] dan Al-Attas.[13] Argumentasi mereka adalah bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta Shih yang bermukim di Canton China dan Fo-lo-an sebagai bagian dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Selain itu adanya utusan dari Raja Ta Shih kepada Ratu Sima di Kalingga yang berkedudukan di Pulau Jawa pada tahun 654/655M. Menurut Hamka Raja Ta Shih ini adalah Muawiyah Bin Abi Sofyan yang waktu itu menjabat sebagai Khalifah Bani Umayyah.[14]
Azyumardi Azra seorang ahli Islam Asia Tenggara mengungkapkan bahwa Islam pertama kali hadir di Nusantara dibawa oleh para pedagang. Hal ini dibuktikan oleh tulisan seorang agamawan dan pengembara terkenal dari China bernama I-Tsing pada tahun 51 H/ 671 M. Ia menumpang kapal Arab dan Persia dari Canton, kemudian berlabuh di pelabuhan sungai Bhoga, disebut pula dengan nama Sribogha atau Sribuza yang sekarang lebih dikenal dengan nama sungai Musi. Para Ahli modern mengidentifikasikan Sribuza sebagai Palembang, Ibukota Kerajaan Budha Sriwijaya.[15]
Teori jalur Arab menyatakan bahwa Islam dibawa langsung oleh para musafir dari Jazirah Arab khususnya Mekkah, Yaman dan Mesir. Dorongan menyebarkan agama Islam (dakwah) sambil berdagang membawa mereka sampai ke wilayah Nusantara yang jauh dari wilayah asalnya. Teori ini membantah pendapat para orientalis barat yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui India. 
Keempat, Teori Jalur China. Teori ini adalah teori terakhir yang muncul dan menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari daratan China. Teori ini diungkapkan oleh Prof. Slamet Mulyono yang didukung oleh Nurcholis Madjid, Slamet menyebutkan bahwa ada beberapa indikasi yang mengarah pada pembenaran bahwa Islam masuk ke Nusantara dari wilayah China. Indikasi tersebut adalah:
1.      Ada kesamaan madzhab fiqh yang dianut oleh Muslim di Tiongkok dan di Indonesia, yaitu sama-sama menganut madzhab Imam Syafi’i.
2.      Segi Kebudayaan dan kebahasaan, teori ini memiliki kecocokan yaitu bangsa-bangsa Muslim Asia Tengah dan China berada dalam Kawasan pengaruh budaya dan bahasa Muslim Persia (kemudian pengaruh itu meluas ke bangsa muslim kawasan Balkan seperti Turki, Bosnia, Albania, Macedonia, dll).
3.      Banyak bukti sejarah yang menunjukan bahwa Islam di Nusantara berasal dari China, seperti situs-situs sejarah dan naskah-naskah sejarah yang menunjukan kebenaran itu, seperti situs sejarah Laksamana Cheng Ho, Kelenteng Gedung Batu, dan Masjid Mantingan.[16]
Berdasarkan keempat teori jalur masuknya Islam ke Indonesia maka dapat diambil jalan tengah bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak hanya melalui satu jalur kedatangan, melainkan melalui beberapa jalur yaitu dari India, Persia, Arab dan China. Hal ini sebagaimana pendapat Azyumardi Azra, yang menyatakan bahwa sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia dalam kompleksitas; artinya tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang bersamaan.[17]


[1] Alwi Ibnu Thahir Al Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera, 2001), hal. 83 dan 92.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad Ke-VII dan VIII, (Bandung; Mizan, 1999), hlm. 40
[3] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 40
[4] Alwi Ibnu Thahir Al Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera, 2001), hal. 83.
[5] Alwi Ibnu Thahir Al Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 92.
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 40
[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 8.
[8] M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since C. 1300, (California: Stanford University Press, 1993), hlm. 3
[9] Pendapat Stuterheim  ini didasarkan pada argumen bahwa Islam disebar melalui jalur perdagangan antara Nusantara – Cambay/ Gujarat – Timur Tengah – Eropa. Argument tersebut diperkuat dengan hasil membandingkan berbagai batu nisan yang ada di pemakaman Nusantara dengan berbagai macam batu Nisan yang ada di pemakaman Gujarat. Menurut Stuterheim, relief nisan sultan pertama dari kerajaan Samudera Pasai yaitu Al Malik Al-Shaleh yang Wafat pada 1297 Masehi bersifat Hinduistis dan mempunyai kesamaan dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Sementara dari aspek waktu, Stuterheim berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 M. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, (Bandung; Mizan, 1999), hlm. 25
[10] Jaih Mubarak, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), cet. 1 hlm. 255.
[11] Haji Abdul Karim Amrullah, Dari Perbendaharaan Lama, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), hlm. 5. Hamka menuliskannya dengan Ta-Cheh.
[12] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abd XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, ( Bandung; Mizan, 1999), hlm. 38
[13] Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1997). Cet. II, hlm. 29-54.
[14] Uka Tjandrasasmita (ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, ( Jakarta: Depdikbud, 1975), hlm. 110-112.
[15] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 38
[16] Sumanto Al-Qurtuby, Arus China-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 
[17] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 45. 

Senin, 29 Juli 2013

Kaidah-Kaidah Lughawiyyah dalam Islam

KAIDAH–KAIDAH LUGHAWIYAH
DALAM MEMAHAMI SUMBER HUKUM ISLAM
Oleh : Turmudi 
NIM : 06 EKNI 1023


  1. Pendahuluan
           Nash-nash  al Quran dan Hadis adalah berbahasa Arab, untuk memahami hukum dari kedua nash tersebut secara sempurna lagi benar tentunya haruslah memperhatikan pemakaian uslub-uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan cara penunjukan lafadz nash kepada artinya. Oleh karena itu para ulama ahli Ushul Fiqh mengarahkan perhatiannya kepada penelitian terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah syair dan menyusun prosa.
Dari kajian itu, para ulama Ushul Fiqh menyusun kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab itu sendiri, yang mana nash-nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Ulama tersebut dalam pembahasannya memulai dari makna-makna dari suatu lafadz, karena lafadz-lafadz itu dalam bahasa adalah diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu. Mereka membagi lafadz dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian.
Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuk lafadz itu dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Khash, Amm dan Musytarak. Ditinjau dari segi makna yang dipakai untuknya lafadz itu dibagi menjadi 4 bagian yaitu : Hakikat, Majaz, Sharih dan Kinayah. Ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna, maka lafadz itu dibagi menjadi 2 bagian yaitu : Dhahir dan Khafi. Sedangkan ditinjau dari cara-cara penunjukan lafadz kepada makna menurut kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi 4 bagian yaitu : Dalalah ibarat, Dalalah isyarat, Dalalah dalalah dan Dalalah iqtidha’.[1]
Namun dalam makalah ini hanya akan membahas hubungan lafadz dengan makna ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya, yaitu : Khash, Amm dan Musytarak.
  1. Khash :
a.       Arti dan Hukum Lafadz Khash
Arti lafadz Khash adalah lafadz yang diciptakan untuk memberi pengertian satu satuan yang tertentu, baik menunuk pada pribadi seseorang, menunjuk macam sesuatu, menunjuk jenis sesuatu, menunjuk benda kongkrit, menunjuk benda yang abstrak atau penunjukan arti kepada satu satuan itu secara hakiki, atau secara I’tibari ( lafadz yang diciptakan untuk memberi pengertian banyak yang terbatas) seperti : tsalatsatun, mi’atun, jam’un dan fariqun.
Adapun hukum lafadz khash dalam nash syara’ adalah menunjuk kepada dalalah qath’iyah terhadap makna khusus yang dimaksud, dan hukum yang ditunjuknya adalah qath’I bukan zhanni, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna lain.
Contoh hukum lafadz tersebut adalah :
فمن لم يجد فصيام ثلا ثة ايام فىالحج    ……tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu)Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Qs.al Baqarah 196)
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       قلنا يانار كونى بردا وسلاما على ابراهيم                                                                                                                                                       
                                                                           فى كل اربعين شاة شاة   
Dan selain itu diantara dalil-dalil yang berhubungan dan tidak terpisah dari nash al ‘Am, yang paling jelas adalah istisna’(pengecualian),syarat,sifat dan al goyah.[2],artinya bahwa mukhashish ini tidak dapat berdiri sendiri sehingga maknanya berhubungan dengan sebelumnya (muttashil). Contohnya dalam al Qur’an adalah sebagai berikut :

                        الا ان تكون تجارة حا ضرة تد يرونها بينكم فليس عليكم جناح ان لا تكتبوها       

                        …kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kami jalankan
                        Diantara kamu, maka tak ada dosa lagi bagi kamu jika kamu tidak
                        Menulisnya ( Q.s al Baqarah 282)

واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلواة ان حفتم انيتنكم الذ ين كفروا.

            Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa
            Kamu mengkosorkan shalat mu jika kamu takut diserang orang kafir
            ( Q.s an Nisa’ 101)
                                                                   من نسا ئكم اللا تى دخلتم بهن               
            …Dari isterimu yang telah kamu campuri (Q.s an Nisa’ 23 )

                                                                                    وايد يكم الى المرا فق    
… dan tanganmu sampai dengan siku (Q.s. al Maidah 6)
Lafadz Khash itu kadang datang secara mutlak, tanpa diikuti oleh suatu syarat apapun, dan kadang muqayyad yakni dibatasi dengan suatu syarat. Kadang juga datang dengan shighat (bentuk) amr yakni  tuntutan untuk dilakukan suatuy perbuatan, dan juga terkadang dengan shighat nahi yang melarang mengerjakan suatu perbuatan.[3]
Pengertian lafadz khash yang mutlak adalah lafadz khash yang tidak diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafadz yang dapat mempersempit keluasan artinya, contoh :

فتحر ير رقبة من قبل ان يتما سا
 
….Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak
Sebelum kedua isteri itu bercampur ….(Q.s al Mujadalah 3)

Sedangkan pengertian lafadz khash yang muqayyad adalah lafadz khash yang diberi qayyid yang berupa lafadz yang dapat mempersempit keluasan artinya, contoh :

ومن قتل مؤمنا خطا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله

…Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena salah hendaklah
Ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar
Diyah yang diserahkan kepada keluarganya ( Q.s an Nisa’ 92)

Adapun lafadz khash yang berbentuk Amr adalah dipergunakan oleh orang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Bentuk-bentuk lafadz amar itu adalah fi’il amr, fi’il mudhri’ yang dimasuki lam amr, sesuatu yang diperlakukan sebagai fi’il amr dan jumlah khabariyah yang diartikan selaku jumlah insyaiyah (kalimat yang mengandung tuntutan)dan ushlub yang dipakai oleh al Qur’an dalam menuntut untuk melakukan suatu perbuatan.[4]Contoh adalah sebagai berikut :
ولتكن منكم امة يد عون الى الخير وياء مرون بالمعروف وينهون عن المنكر والئك هم المفلحون        
يا ايها الذ ين امنوا عليكم انفسكم لا يضر كم من ضل اذا هتد يتم                                                 
والمطلقات يتر بصن با نفسهن ثلا ثة قروء                                                                          
ان الله ياء مركم ان تؤ دوا الاما نات الى اهلها                                                                      
 علمنا ما فر ضنا عليهم فى ازوا جهم                             

Sedangkan lafadz khash yang berbentuk nahi (larangan) adalah digunakan untuk menuntut agar meninggalkan suatu perbuatan. Bentuk-bentuknya adalah fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyyah, jumlah khabariyah yang diartikan selaku jumlah –insyaiyyah dan ushlub yang dipakai dalam menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan. Contohnya adalah sebagai berikut :
لا تفسدوا فى الا رض                                                                                               
ولا يحل لكم ان تاء خذ وا مما اتيتمو هن شياء                                                                   
ولا تقربوا ما ل اليتيم الا با لتى هى ا حسن

3.‘Am :
           
Arti al ‘am secara terminologi adalah suatu lafadz yang maknanya meliputi satuan-satuan yang berhubungan dengan makna itu tanpa batas.[5] Contoh lafadz itu :

الزا نية والزانى فا جلد وا كل وا حد منهما ما ئة جلد ة                                                              
والسا رق والسا رقة فا قطعوا ايد يهما                                                                                    
Sedangkan menurut bahasa berarti menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satuan-satuan yang ada di dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu. Maka lafadz  كل عقد  (setiap akad) di dalam pendapat ahli hukum Islam yang berbunyi “ untuk sahnya setiap akad disyaratkan sifat keahlian (kecakapan,cakap bertindak) dari pada orang-orang yang melakukan akad” sehingga lafadz ‘am yang menunjukkan atas tercakupnya segala sesuatu yang bisa dikatakan akad dengan tanpa membatasi pada kad tertentu.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa keumuman itu adalah termasuk sifat lafadz, karena keumuman itu merupakan dalalah lafadz atas mencakupnya kepada semua satuan-satuannya.

3.1.Jenis-Jenis Bentuk Lafadz ‘Am

Jenis dan ragam lafadz ‘am adalah
- Lafadz متى    اين  ما   من    contoh dalam al qur’an adalah :

و ما تنفقوا من خير يو ف اليكم و انتم لا تظلمون                                 ان يعمل سو ءا يجز به                                                                                        
- lafadz       اى     كل   contoh dalam al Qur’an adalah :
كل نفس ذائقة الموت                                                                 ايا ما تد عوا فله الا سماء الحسنى                                                                                                                                  
-    Lafadz jama’ yang dita’rifkan dengan ‘idhafah atau dengan alif lam jinsiyah,contoh:

للر جال نصيب مما ترك الوالدان والاقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والاقربون                          

-    Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyah, isim-isim maushul seperti dalam contoh :
واحل الله البيع وحرم الربا                                                                                                                                                                                     
والذين يتو ؤون منكم ويذ رون ازواجا ىتربصن با نفسهن اربعة اشهر وعشر                                

واللائ يءسن منالمحيض من نسا ئكم ان ارتبتم فعد تهن ثلا ثة اشهر                                           
-    Isim-isim istifham dan isim nakirah, seperti dalam contoh :

قا لوا من فعل هذا با لهتنا                                                                                                 
ما ذا ارادالله بهذا مثلا                                                                                                      
لا هجرة بعد الفتح                                                                                                          
3.2.Macam-Macam al ‘Am :

Ditinjau dari penggunaannya, lafadz ‘am ada 4 (empat) macam yaitu :
1.      ‘Am yuradu bihi ‘amm ( yang benar-benar dimaksudkan untuk umum) yaitu yang disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan untuk dikhususkan, contoh :

وما من دابة فى الارض الاعلى الله رز قها                                                                      وجعلنا من الماء كل شيء حى                                                                  
2.      ‘Amm Yuradu bihi Khusus ( ‘amm tapi yang dimaksudkan adalah khusus), yaitu ‘amm yang disertai qarinah yang menghilangkan arti umumnya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu adalah sebagian dari satuannya, contohnya :
و لله على الناس حج البيت                                                                      
             3.   ‘Amm Makhsush (‘Amm yang khusus untuk ‘amm),
yaitu ‘amm yang mutlak, artinya ‘amm yang tidak disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai pula qarinah yang menghilangkan keumumannya. Nash-nash yang didatangkan dengan sighat umum tidak disertai qarinah, sekalipun qarinah lafdziah, akliyah dan ‘urfiyah yang menyatakan keumumannya atau kekhususannya. Contoh pada lafadz al Muthallaqa tu ini :
           
            والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء                                    
              4.  Qashrul ‘Amm (mempersempit arti ‘amm) yaitu dipersempit perluasan   artinya     kepada sebagian satuannya dengan salah satu dari 4 hal yaitu :
a.       Kalam mustaqil munfasil (kalimat sempurna yang berdiri sendiri tetapi terpisah   dengan kalimat yang pertama) contoh :
والذين يرمون المخصنات ثم لم ياء توا باربعية شهداء فاجلدوا هم ثمانين جلدة               
b.      Kalam mustaqil muttashil (kalimat sempurna yang berdiri sendiri tetapi kalimat itu masih bersambung) contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر             
c.       kalam ghair mustaqil (kalimat yang tidak berdiri sendiri atau kalimat tidak sempurna)
d.      Maa laisa bikalam ( bukan berupa kalimat), contoh :
قل الله خا لق كل شيئ                   تد مركل شيئ بامره                 واتوا حقه يوم حصاده




4. Musytarak
4.1.Pengertian Musytarak
Musytarak menurut bahasa berarti sesuatu yang dipersekutukan adapun maknanya menurut istilah (term) adalah :
اللفض المو ضو عة لحققيقتين مختلفتين او اكثر                                              
lafadz yang diciptakan untuk dua hakikat (makna) atau lebih yang kontradiksi”
Sehingga perbedannya dengan lafadz Amm atau khash, bahwa amm adalah lafadz yang diciptakan untuk satu makna dan makna yang satu itu mencakup satuan-satuan makna yang tidak terbatas meskipun dalam kenyatannya dapat terbatas, khash adalah lafadz yang diciptakan untuk satu satuan dari satuan-satuan yang terandung dalam suatu makna.
Adapun musytarak adalah dicipta untuk beberapa makna yang penunjukannya kepada makna itu dengan cara pergantian.[6]Contohnya seperti lafadz ‘ain (عين ) yang secara bahasa mempunyai makna-makna antara lain : mata untuk melihat, mata air dan mata-mata begitupun juga dengan lafadz quru’ (قر ء) yang secara bahasa juga mempunyai makna lebih dari satu yaitu : suci dan menstruasi(haid) seperti :
و المطلقت يتر بصن با نفسهن ثلثت قرو ء                                                   
4.2.Sebab – Sebab Timbulnya Lafadz Musytarak
                        Yang menyebabkan lafadz itu menjadi musytarak antara lain adalah :
1.      Lafadz itu digunakan oleh satu suku dengan suku yang lain berbeda maknanya dan kemudian sampai kepada kita dengan kedua makna itu tanpa ada keterangan dari hal p[erbedaan yang dimaksud oleh penciptanya. Misalnya lafadz “ yad” satu kabilah memaknai dengan hasta seluruhnya tapi yang lain adalah telapak tangan sampai siku atau telapak tangan saja.
2.      lafadz itu diciptakan menurut hakikatnya untuk satu makna kemudia dipakai pula kepada makna lain tetapi secara majazi (kiasan)
3.      Lafadz itu semula diciptakan untuk satu makna kemudian dipindahkan kepada istilah syar’I untuk arti yang lain.[7]

4.3. Hukum Lafadz Musytarak
            Apabila terdapat persekutuan arti lafadz musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara makna lughawi dengan makna ishtilahi syar’i maka hendaklah diambil makna menurut istilah syar’i. Misalnya lafadz “ shalat” yang menurut bahasa diartikan dengan do’a dan menurut syara’ diartikan ibadah yang sudah tertentu itu, maka dalam hal ini hendaklah diartikan menurut arti istilah syar’i.
Dan apabila persekutuan arti lafadz musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajiblah berijtihat untuk menentukan arti yang dimaksud, sebab syari’ tidak menghendaki seluruh arti lafadz musytarak melainkan salah satu arti dari beberapa arti yang banyak itu. Dalam hal ini mujtahid harus sanggup menunjukkan qarinah atau dalil yang dapat menentukan arti yang dikehendaki.[8]
Jika tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang dimaksud, maka para ulama berlainan pendapat dalam menentukan arti yang dikehendaki :
a.       Menurut ulama hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah, lafadz musytarak itu tidak dapat digunakan untuk seluruh arti yang banyak itu dalam satu pemakaian. Andai kata dimaksud untuk arti keseluruhan, lafadz itu disebut  ‘amm, bukan musytarak lagi dan bukan pula majaz
b.      Menurut jumhur ulama aliran Syafi’iyah dan sebagian Mu’tazilah, bila tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang dikehendaki, maka lafadz musytarak itu hendaklah diartikan kepada seluruh artinya, selagi arti-arti itu dapat digabungkan. Seperti dalam Q.S al Hujjaj 18 :
ا لم ترا ان الله يسجد له من في السموات و من في لارض
Lafadz “yasjudu” dalam ayat tersebut adalah musytarak artinya antara makna “meletakkan dahi diatas tanah” dengan “ketundukan pada sunnah Allah”. Arti keduanya memang dikehendaki, sebab kalau diartikan menurut arti yang pertama saja tentu perbuatan itu tidak bisa dijalankan oleh benda-benda yang tidak berakal dan bukan pula diartikan menurut arti yang kedua saja, sebab tentu tidak layaklah dikhitabkan Tuhan.

5. Penutup.

Demikian makalah yang serba singkat ini, pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna maka masukan dan respon dari kawan-kawan adalah hal yang saya harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


            Al Qattan, Mana’ : Mubahits fi “ulumul Qur’an; Mansyuratul ‘asharil Hadist, Beirut, tt.
            Farid, Miftah dan Agus Syihabuddin : al Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung, Pustaka tahun 1989.
            Khallaf, Abdul Wahab : al Ilmu Ushul al Fiqh, terj. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), cet III, Jakarta, Raja Grafindo Persada tahun 1994.
            Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, Cet III, Bandung, al Ma’arif tahun 1993.
           


[1]Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman : Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,(Bandung, al Ma’arif) cet ke 3 Tahun 1993.h. 178-180
[2]Abdul Wahab Khallaf : Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), terj, Ilmu Ushulul Fiqh (Jakarta, Raja Grafondo Persada 1993) cet ke 3 h. 310
[3]Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar  h.183
[4]Ibid. h. 191 - 192
[5]Mana’ al Qattan : Mabahits fi ‘Ulumuil Qur’an ; Mansyuratul ‘Ashril Hadist, Beirut tt, h. 221
[6]Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin : Al Qur’an Sumber Hukum Islam Yang pertama, ( Bandung, Pustaka, 1989 ) h. 186  
[7]Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar …… h.225
[8]Ibid. 256