Kamis, 31 Oktober 2013

Gulita di Kampung Naga

Gulita di Kampung Naga
Oleh: Abdurrahman




Berjuta bintang di angkasa raya
Temaram cahayanya menghiasi cakrawala 
di atas Kampung Naga

Membawa cerita tentang kisah peradaban manusia
Mereka terlena dalam dekapan gulita
Padaha leluhur yang mulia telah memberi uswah tiada tara
di sepertiga akhir malam mereka membersihkan raga dan jiwa

Gulita di Kampung Naga bukan karena malam yang masih menyapa
Namun jiwa para penghuninya yang terlena dengan dunia 
Hingga mengikuti ajaran leluhur hanya pengakuan belaka... 


Kampung Naga, 15 Oktober 2013

Contoh Soal Etika Bisnis Islam

Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia

Subjects: Islamic Business Ethics
Lecturer: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro, MEI
Class: C-D BMI

Answer correctly and clearly five (5) of the ten (10) the following questions!
1. Mention the etymology and definition of ethical terminology!
2. What is the difference between Islamic ethics and the ethics of non-Muslims?
3. Write down the arguments of Al-Quran and Al-Hadith form the basis of Islamic Sharia in business!
4. How the correlation between Islam and Business Ethics?
5. Describe the birth of Islamic ethics scheme?
6. Mention the principles of Islamic Business Ethics!
7. Explain the ethics of Islam in the Production, Distribution and Consumption!
8. Business in Islam has clear rules. What are the businesses that are prohibited in Islam?
9. Mention the rules of Halal and haram in Islam business!
10. Islam gives freedom in business, what are the principles of business are allowed in Islam?

Good Luck, May God Bless You

Sumber Hukum Islam II

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Al-Qur'an.
Manna' Al-Qathan mengatakan dalam Mabahits Fi Ulum Al-Qur'an bahwa asal kata Al-Qur'an adalah kata  قرأ – قرائة – قرئان  (qara-a – qira-atun – qur'anan) yang bisa berarti berkumpul dan menghimpun , seperti dalam QS Al-Qiyamah ayat 17-18 :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ , فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa lafadz "al-qur'an" adalah bentuk masdar dari kata قرأ  qara-a,  seperti kata غفر ghafara bentuk mashdarnya adalah غفران   ghufraan.  Al-Qur'an adalah firman Allah ta'ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam melalui malaikat Jibril dan membacanya termasuk ibadah.
Sementara ada yang mendefinisikannya dengan "Kalam (ucapan) Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada qalbu (hati) Muhammad Shalallahu Alahi wa salam dengan lafadz bahasa Arab dan maknanya adalah benar, sebagai hujjah (bukti) baginya bahwa beliau adalah utusan Allah sebagai dustur bagi manusia untuk mencapai petunjuk membacanya adalah ibadah yang telah terkumpul dalam satu mushaf diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas telah sampai kepada kita secara mutawatir dari generasi demi generasi dan terjaga dari perubahan". Sebagaimana firmanNya : 
 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” QS Al-Hijr ayat 9.
Demikianlah, Al-Qur'an adalah sumber utama dalam setiap menetapkan suatu hukum dalam Islam, kepadanyalah semua masalah dikembalikan. 
As-Sunnah / Al-Hadits
Al-Sunnah secara bahasa  berasal dari bahasa Arab yaitu  سن – يسن – ويسن – سنا فهو مسنون و جمعه سنن و سن الأمر أى بينه    yang berarti  menerangkan.  والسنة : السيرة والطبيعة والطريقة  sunnah adalah sirah (sejarah), tabiat dan jalan. Kata ini muradif dengan kata "al-hadits" yang berasal dari kata  hadatsa  حدث yang berarti percakapan atau sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah adalah :
ما صدر عن رسول الله صلى الله عليه والسلم من قول أو فعل أو تقرير
“Setiap yang datang dari Nabi Shalallahu alaihi wasalam baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (sesuatu yang didiamkannya)”.  Sunnah sendiri terbagi menjadi dua yaitu sunnah qauliyah dan sunnah fi'liyah. Sunah qauliyah adalah hadits-hadits (ucapan) yang telah disampaikan oleh Nabi  dengan berbagai tujuan dan keperluan yang sesuai. Sedangkan sunnah fi'liyah yaitu amalan-amalan Nabi seperti cara-cara shalat, cara melakukan manasik haji dan yang lainnya. 
Yazid Abdul Qadir Jawwas mendefinisikan Al-Sunnah dengan “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam  dalam bentuk ucapan, amalan, taqrir dan sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri' bagi umat Islam.  
Dari semua pengertian tersebut menunjukan bahwa Al-Sunnah atau al-hadits adalah setiap ucapan dan amalan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, serta suatu perkara yang didiamkankannya sebagai bentuk persetujuannya. Al-Sunnah adalah sumber hukum utama dalam Islam selain Al-Qur'an, kedudukan keduanya sama, dan tidak boleh memisahkan di antara keduanya, karena keduanya sama-sama datang dari Allah ta'ala.
Ijma'
Ijma menurut bahasa adalah العزم والإتفاق  yang berarti niat, maksud dan keinginan yang kuat serta bersepakat, sedangkan menurut istilah :
اتفاق علماء العصر على حكم الحادثة
"Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan yang baru".  Sementara menurut Salam Madkur ijma' adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat. 
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi pada hukum syar'i yang mereka hadapi. .
Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti disebutkan Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma' yang dapat diakui adalah ijma fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut kalangan syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya ijma' dari kalahan mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat. 
Terlepas dari perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahidin setelah wafatnya Nabi sampai akhir zaman atas suatu masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya secara sharih.
Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang konkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan sebagainya, maupun benda yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian dan sebagainya.  Dalam Syarh Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya ilat yang sama”.
Qiyas sendiri terbagi tiga yaitu : Qiyas 'ilat, Qiyas Dalalah dan Qiyas Syibh.  Abdul Wahab Khalaf menyebutkan “Definisi qiyas menurut pendapat ulama ushul  adalah Memutuskan sesuatu yang terjadi yang tidak ada nash hukum tentang hal tersebut dengan sesuatu yang terjadi dan telah ada nash hukumnya dan pada hukum yang sudah jelas nashnya, menyamakan dua  kejadian tersebut dengan ilat hukum yang sama. 
Abdullah bin Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa qiyas adalah ushul keempat dari pokok-pokok sumber hukum Islam. Kalangan Dzahiriyah menyelisihi hal ini, namun pendapat yang paling benar adalah pendapat Jumhur, yaitu dipakainya qiyas sebagai dalil hukum syar'i, jika dikatakan bahwa qiyas sebagai dalil yang bersifat dzanny, maka hal ini tidaklah tepat karena khabar ahad juga merupakan dalil yang bersifat dzani namun tetap dapat digunakan sebagai sumber hukum. 
Sementara Ahmad Hanafi  mendefinisikan qiyas dengan “Mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan alam antara keduanya yang disebut illat”. 
Pada zaman sekarang ini urgensi dari qiyas begitu banyak, mengingat semakin berkembangnya hal-hal baru yang tidak ada nash dalilnya baik dari Al-Qur'an maupun Al-Sunnah, sehingga diperlukan adanya qiyas yang dapat mengatasi semua masalah tersebut. 
Istihsan
Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa kata istihsan menurut bahasa عد الشء واعتقاده حسنا artinya adalah memilih suatu masalah yang dianggap lebih baik dari yang lainnya.  Sedangkan Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa istihsan secara bahasa adalah “Memperkirakan sesuatu hukum yang dianggap terbaik”.
Sedangkan menurut istilah adalah “Tindakan mujtahid dalam menghadapi suatu masalah yang lebih mengutamakan dalil qiyas yang jaly daripada qiyas khafy, atau dari hukum yang bersifat kully (menyeluruh) kepada hukum yang bersifat pengecualian pada dalil yang diambil dalam pemikirannya yang lebih rajih dalam hal keadilan”. 
Dalam kesempatan yang lain Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa makna yang lebih komprehensif tentang ihtihsan yaitu “Pindah dari suatu hukum mengenai suatu masalah kepada hukum lain (dalam memutuskan persoalan tersebut) karena ada dalil syar'i yang mengharuskan demikian. 
Ahmad Hanafi mendefinisikan istihsan dengan mengecualikan (memindahkan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum-hukum peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut.  Dari semua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah memilih hukum yang lebih baik dengan ukuran dari sumber-sumber hukum Islam.
Maslahah Mursalah/Istishlah
Secara etimologi مصلحة maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin. 
Menurut ulama ushul, maslahah mursalah adalah kemaslahatan (kebaikan) yang disyariatkan Allah akan tetapi tidak ditetapkan hukumnya, dan tidak ada dalil syar'i yang menetapkannya atau membatalkannya. 
Imam Al-Ghazaly mengatakan “Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudzarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi bukan itu yang kami maksud sebab meraih manfaat dan menghindarkan mudzarat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud dengan kemaslahatan adalah memelihara tujuan syara' (hukum Islam). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhluk ada lima : yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.” 
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Imam Al-Syatibi  yang mengatakan “Setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara' serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara', maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan rujukan.
Demikian itu apabila kemaslahatan tersebut (berdasarkan kumpulan beberapa dalil) dapat dipastikan kebenarannya, sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan dalil yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu. Hal tersebut karena yang demikian itu nampaknya sulit terjadi.”  
Masjfuk Zuhdi mendefinisikan maslahah  dengan “Kebaikan yang tidak terikat pada dalil/ nash Al-Qur'an dan Sunnah. Para ulama membagi istislah  menjadi dua yaitu : Maslahah Mu'tabarah dan Maslahah Mursalah. Maslahah Mu'tabarah adalah kemaslahatan atau kebaikan yang memang diakui oleh Islam. Sedangkan  Maslahah Mursalah. adalah kemaslahatan yang diakui adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah Nabi wafat. 
Nasrun Haroen menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah “Suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz'i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma' yang mendukungnya, tetapi kemaslahatn ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara Istiqra' (induksi dari sejumlah nash). 
Adapun maslahah jika dilihat dari jenisnya ada tiga macam :
Pertama Maslahah Adz-Dzaruriyat, yaitu kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat, seperti pemeliharaan dan perlindungan terhadap, agama, jiwa, akal, nasab, keturunan dan harta.
Kedua Maslahah Al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang diperlukan oleh manusia untuk menghilangkan kesempitan dan kesukaran, maka apabila tidak ada kemaslahatan ini maka manusia akan merasa sempat dan susah, contohnya Allah mensyariatkan beberapa jenis muamalat semisal jual beli, sewa menyewa, serta berbagai keringanan bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Ketiga Maslahah Al-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bertujuan untuk menyempurnakan budaya dan keluhuran akhlak, seperti bersuci sebagai pra syarat sholat, Berpakaian yang bagus dan makanan yang baik, mengharamkan segala sesuatu yang khabaits dan sebagainya. 
Sebagai pedoman agar maslahat ini tidak disalahartikan, maka para ulama banyak memberikan berbagai persyaratan terkait dengan hal ini, seperti Abdul Wahab Khalaf dalam Mashadiru Al-Tasyri' Fima la Nasha fihi yang membahas secara panjang lebar tentang maslahat mursalah (istislah) ini. Beliau memberikan beberapa syarat ketika seorang mujtahid ingin menggunakan maslahah mursalah ini, di antara syarat tersebut adalah :
Pertama, penetapan maslahah harus dilakukan setelah diadakannya penyelidikan, analisa dan penelitian sehingga maslahat yang dimaksud benar-benar hakiki, bukan bayang-bayang.
Kedua : Maslahat yang dimaksud adalah maslahat hakiki, bersifat umum dan bukan maslahat yang bersifat individu.
Ketiga : Hendaknya maslahat umum itu tidak bertentangan dengan syariat yang ada nash dan ijma' ulama. 
Majelis Ulama Indonesia dalam salah satu fatwanya memberikan batasan maslahat dengan “Maslahat yang dibenarkan oleh syariat adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, maslahat tidak boleh bertentangan dengan nash”. 
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa metode maslahah mursalah atau istislah adalah sebuah metode untuk menetapkan sebuah hukum dengan berdasarkan kepada kemaslahatan yang dapat dirasakan oleh seluruh manusia, dan sebagai sarana untuk menolak kemudharatan yang ditimbulkan ketika maslahat ini tidak ditegakkan, selain itu ruang lingkup maslahat adalah ketika tidak ada dalil yang sharih yang menjadi sumber hukum atas suatu masalah yang sedang dihadapi.
Maslahat ini bukanlah hanya untuk kepentingan individu atau hanya segelintir orang saja, akan tetapi manfaatnya benar-benar diperlukan oleh umat manusia.       
'Urf
Istilah urfالعرف   (Al-'Urf ) secara bahasa adalah mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran sehat, sebagaimana firmanNya :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” QS Al-A'raf ayat 199.
'Urf biasa diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat, Ahmad Fahmi Abu Sunnah mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-Fuqaha bahwa adat adalah “Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. 
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa 'urf adalah setiap sesuatu yang menjadi adat kebiasaan manusia dalam bertindak sesuai dengannya seperti segi perkataan, perbuatan dan cara-cara lainnya yang disebut juga adat. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara 'urf dan al-'adah. 'Urf atau adat terbagi menjadi dua yaitu : 'urf 'amaly misalnya jual belinya manusia tanpa menggunakan lafadz yang jelas, dan 'urf qauly misalnya memutlakkan kata walad dengan anak laki-laki. 
Jika dilihat dari segi keabsahannya maka 'urf ini terbagi menjadi dua, yaitu Al-'Urf Al-Shahih dan  Al-'Urf Al-Fasid. Al-'Urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Adapun Al-'Urf Al-Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara'. 
Dari pemaparan tersebut dapat dipastikan bahwa 'urf yang dapat dijadikan dalil/sumber hukum adalah 'urf yang shahih, yaitu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat yang tidak ada nashnya secara sharih dan tidak bertentangan dengan syara'. Mengenai landasan hukum berupa 'urf (adat) para ulama sejak dulu sudah menggunakannya.  
Istishab
Secara etimologi إصتصحاب  (Istishab) berarti “Minta bersahabat” atau “Membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”, sedangkan secara terminologi yaitu hukum pada sesuatu dengan keadaan yang telah terjadi sebelumnya, sampai adanya dalil pada perubahan keadaan tersebut, atau menjadikan sebuah hukum yang tetap pada waktu yang lampau pada sebuah keadaan hingga adanya dalil yang merubahnya. 
Imam Al-Ghazali mendefinisikannya dengan “Berpegang pada dalil akal atau syara', bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada”. 
Maksud dari istishab adalah bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lalu tetap berlaku sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu. 
Syar'u man Qablana
Syariat sebelum kita yaitu syariat umat-umat terdahulu yang dibenarkan oleh Islam dengan ditetapkannya dalil-dalil baik dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah sebagai sebuah amalan.   Misalnya syariat puasa, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". QS Al-Baqarah ayat 183.
Para ahli tafsir menyatakan bahwa shaum atau puasa adalah sebuah ibadah yang telah diwajibkan sebelum Islam datang, hanya saja tata caranya yang sedikit berbeda.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syar'u man Qablana itu diakui ketika ada nash yang menguatkannya dan tidak ada ayat yang menghapuskannya. 
Manhaj Shahabat Nabi
Setelah wafatnya Rasulullah, sangat diperlukan fatwa bagi kaum muslimin dan penetapan hukum bagi mereka dari kalangan shahabat Nabi yang telah diketahui dengan pemahaman mereka tentang fiqh, ilmu dan lamanya mereka bersama Nabi serta pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an serta hukum-hukumnya, maka banyak muncul fatwa-fatwa yang bermacam-macam pada berbagai permasalahan. 
Hal inilah yang mendasari pendapat bahwa manhaj shahabat dapat dijadikan dalil hukum, karena ketika seorang shahabat Nabi berkata atau beramal, tentu ia mendengarnya langsung dari Nabi.  
Demikianlah sumber dan dalil hukum dalam Islam. Secara hirarki setiap permasalahan haruslah dicarikan hukumnya dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Jika tidak ada maka beralih ke dalil-dalil hukum Islam seperti Ijma, Qiyas, istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad al-dzara'i dan syar'u man qablana. 

Sumber Hukum Islam

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro


Menurut Kamus Bahasa Indonesia kata "sumber" berarti tempat keluar mata air, mata air, sumur, bahan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya, atau segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai hasil dan asal dari sesuatu (yang mempunyai makna banyak). Hal ini berarti sumber adalah sesuatu yang menjadi asal, atau hal yang menjadi sandaran atas sesuatu.
Dalam bahasa Arab istilah sumber hukum Islam mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya adalah  أصول الأحكام  ushul al-ahkam (dasar hukum), مصادر الأحكام  mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) dan  دليل dalil, ketiganya memiliki makna yang hampir sama (muradif). Kata “Sumber-sumber hukum Islam” merupakan terjemah dari lafadz   مصادر الأحكام  (mashadir al-ahkam). Istilah ini kurang populer di kalangan ulama fiqh klasik, mereka lebih sering menggunakan istilah dalil-dalil syariat  الأدلة الشرعية  al-adilah asy-syar'iyyah.
Kata "sumber hukum" hanya berlaku pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan "dalil-dalil hukum" adalah merupakan alat (metode) dalam menggali hukum-hukum dari kedua sumber hukum Islam. 
Secara etimologi kata  مصدر  “mashdar” adalah bentuk mufrad, dalam bentuk jama'  االمصادر   (al-mashadir) berarti wadah yang dari padanya digali norma-norma hukum tertentu,  dikatakan   المصادر الشرعية  yaitu rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan Al-Sunnah. 
Sedangkan الدليل ad-dalil merupakan petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu. Kata dalil adalah kata dalam bentuk tunggal (mufrad) الدليل   (al-dalil) bentuk jama'nya adalah الأدلة  (al-adilah). Dalil menurut bahasa adalah :
الهادي إلى أي شيء حسي أو معنوي
Petunjuk jalan kepada segala sesuatu baik yang sifatnya real/nyata atau bersifat maknawi/abstrak.  Hamd bin Hamdi Al-Sha'idy menyatakan bahwa الدليل ad-dalil secara bahasa  bermakna المرشد   al-mursyid (petunjuk).  Sedangkan secara istilah  الدليل al-dalil bermakna :
ما يستدل بالنظر الصحيح فيه على حكم الشرع عملي على سبيل القطع او الظن.
"Setiap sesuatu yang menunjukan kepada kebenaran pada hukum syar'i yang bersifat amali dengan mengambil sandaran yang qath'i ataupun yang dhanny."  Sebagian ulama ushul mendefinisikan dalil dengan "Setiap sesuatu yang disandarkan padanya hukum syar'i dengan menyandarkannya kepada dalil yang qath'i", adapun jika sandaran tersebut bersifat dzanny maka hanya sebuah isyarat saja bukan dalil.
Nasrun Haroen mencatat “Dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan sumber adalah masdar, yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat yang merujuk segala sesuatu.” 
Dari sini menunjukan bahwa sumber hukum Islam adalah setiap nash atau pedoman yang digunakan dalam menyandarkan segala bentuk amalan-amalan atau suatu hukum dalam Islam.
Telah menjadi kesepakatan (ijma') para ulama dan seluruh kaum muslimin bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Nisaa ayat 59 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'dy menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah ta'ala memerintahkan kita untuk taat kepadaNya, lalu kepada RasulNya dan ulil amri. Jika terjadi permasalahan pada suatu masalah baik dalam masalah ushul maupun furu' hendaknya dikembalikan kepada Allah dan RasulNya yaitu kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dan Al-Sunnah (Al-Hadits), Pada keduanya terdapat pemutus dari setiap masalah khilafiyah. Karena Kitabullah dan sunnah RasulNya adalah pondasi bagi bangunan dien, maka tidak akan tegak iman kecuali dengan keduanya dan mengembalikan masalah kepada keduanya adalah syarat iman.  
Sedangkan hadist Nabi yang menunjukan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah sumber hukum Islam adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud :
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Dari Miqdam bin Ma'di Kariba Al-Kindy dia berkata bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah) ketahuilah sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah). HR Ahmad no. 16546.
Dalam hadits ini Rasululah menyebutkan bahwa beliau diberikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup dan sumber hukum bagi setiap permasalahan yang ada. Selain itu beliau juga diberikan sesuatu yang serupa dengan Al-Qur'an yaitu Al-Sunnah  sebagai pelengkapnya. Dalam riwayat yang lain teksnya adalah : 
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ
Dari Miqdam bin Ma'di Karaba Dari Rasulullah bahwa beliau bersabda sungguh telah diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang semisalnya bersamanya (Al-Sunnah)...HR Abu Daud, Kitab Al-Sunnah no. 3988.
Kedua atsar tersebut menunjukan kedudukan hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam, keduanya merupakan wahyu yang turun sebagai pedoman bagi setiap permasalahan yang muncul.
Al-Baghawy membawakan sebuah riwayat yang derajatnya diperselisihkan oleh para ulama dan ada kecacatan padanya, yaitu riwayat dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululah pernah mengutusnya ke Yaman, maka beliau bersabda :
حديث معاذ لما قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم بما تقضي قال بكتاب الله  قال فإن لم تجد قال فبسنة رسول الله قال فإن لم تجد قال أجتهد رأيي قال الحمدلله الذي وفق رسول رسوله
”Bagaimana engkau memutuskan suatu masalah yang engkau hadapi ?”, maka Muadz menjawab “Aku akan berhukum dengan Kitabullah“, “Jika tidak didapati hukumnya dalam Al-Qur'an?”, Muadz menjawab “Aku akan mengambil Sunnah Rasulullah (Al-Hadits)”, “Apabila tidak juga didapati dalam sunnah rasulullah ?”, Muadz menjawab lagi “Aku akan berijtihad dengan pemikiranku dan aku tidak akan membiarkannya” Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan mengucapkan “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik utusan rasulNya dengan segala yang diridhainya” HR Abu Daud, Thirmidzi, Ahmad dan yang lainnya. 
Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyebutkan bahwa tingkatan pengambilan sumber hukum dalam hadits ini adalah benar, yaitu Al-Qur'an dan Al-Sunnah/Al-Hadits. Jika tidak ada nash sharih dalam Al-Qur'an maka dapat beralih ke Al-Hadits, hal ini karena fungsi dari hadits Nabi adalah merinci hukum-hukum yang masih mujmal, mentaqyid yang mutlak dan mengkhususkan yang umum dari Al-Qur'an. 
Dari sini menunjukan bahwa urutan dalam pengambilan sebuah dalil adalah benar yaitu setelah tidak ada nash qath'i dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah maka seorang mujtahid diperkenankan untuk berijtihad.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawy dari Maimun bin Mahran, ia berkata :
كان أبو بكر إذا ورد عليه الخصم نظر في كتاب الله فان وجد فيه ما يقضي بينهم قضى به وان لم يكن في الكتاب وعلم من رسول الله صلى الله عليه وسلم في ذلك الأمر سنة قضى بها فان أعياه خرج فسأل المسلمين وقال أتاني كذا وكذا فهل علمتم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قضى في ذلك بقضاء فربما اجتمع إليه النفر كلهم بذكر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه قضاء فيقول أبو بكر الحمد لله الذي جعل فينا من يحفظ علينا علم نبينا فإن أعياه أن يجد فيه سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم جمع رؤوس الناس وخيارهم فاستشارهم فاذا اجتمع رأيهم على أمر قضى به
Abu Bakar apabila akan memutuskan sesuatu maka dia melihat kepada Al-Qur'an, apabila terdapat padanya maka dia berhukum dengannya, apabila tidak ada dalam Al-Qur'an maka akan diambil dari Al-Sunnah dan akan berhukum dengannya, maka jika tidak terdapat juga dalam Al-Sunnah maka dia akan mengumpulkan para shahabat Nabi dan bermusyawarah dengan mereka, jika mereka sepakat maka akan diambil kesepakatan itu sebagai pemutus suatu masalah. 
Hal ini juga dilakukan oleh Umar dan para shahabat Nabi yang lainnya, demikian pula pemimpin-pemimpin kaum muslimin. Tidak ada yang menyelisihi tentang hal ini. 
Al-Qur'an dan Al-Sunnah adalah pedoman pokok dalam menyelesaikan hukum-hukum yang dihadapi oleh manusia, hal ini seperti  wasiat Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam kepada kita dalam sebuah hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda “Telah aku tinggalkan dua perkara, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya jika kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitabullah dan sunnah NabiNya. HR. Malik no. 1395. 
Kesimpulan dari hadits-hadits tersebut adalah bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam dan tidak ada perselisihan padanya. Keduanya merupakan pondasi bagi permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ada nashnya.
Sedangkan dalil hukum Islam yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah ijma, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad adz-dzara'i dan syar'u man qablana (syariat umat sebelum kita).  Di sini ada ikhtilaf di kalangan ulama tentang metode pengambilan dalil jika ada nash dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Namun perbedaan pendapat ini bukanlah merupakan terpecahnya mereka dalam dien, karena hal ini hanya mencakup masalah manhaj istidlal (metode penggunaan dalil) dan bukan pada masalah-masalah (ushul) prinsip. Karena seluruh ulama bersepakat bahwa ketika sebuah permasalahan tidak ada nashnya maka hendaknya digunakan ijtihad yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa selain Al-Quran dan As-Sunnah bukanlah sumber hukum, ia hanyalah dalil hukum. Perbedaan mendasar antara sumber dan dalil adalah bahwa dalil akan senantiasa berpedoman kepada sumber, sehingga baik ijma, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad adz-dzara'i maupun syar'u man qablana selalu didasari oleh Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Inilah pendapat yang insya Allah mendekati kebenaran. 
Dengan berkembangnya masa, perbedaan-perbedaan tersebut kini semakin menipis. Hal ini disebabkan sikap para mujtahid setelahnya yang semakin terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan umat Islam yang semakin komplek, terutama pada hal-hal yang tidak ditemukan nash qath'i/sharih.
Permasalahan seperti haruslah dapat dicari landasan hukumnya agar dapat dijabarkan secara jelas kepada umat. Upaya pencarian landasan hukum dan penjabarannya adalah merupakan lapangan kajian ushul fiqh. Setiap mujtahid yang berkompeten dalam ilmu ini haruslah mampu beristidlal dalam menghukumi berbagai permasalahan kontemporer, dari sinilah urgensi ushul fiqh.  
Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni menyatakan bahwa urgennya ilmu ushul fiqh dalam era modern ini karena akan menumbuhkan keyakinan dan kepuasan di dalam jiwa setiap mukmin, bahwa fiqh yang diikutinya semata-mata merupakan produk pemahaman, berasal dari penggalian terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah yang dibangun di atas kaidah yang konstan dan permanen secara syar'i  dan merupakan hasil pembahasan yang mendalam, bukan hanya pendapat atau kehendak seseorang.
Dari pembahasan tentang sumber hukum Islam dapat disimpulkan bahwa sumber hukum yang disepakati oleh umat Islam adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah, sedangkan yang disepakati oleh jumhur al-ulama adalah Ijma dan Qiyas, adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad al-dzara'i dan syar'u man qabalana (syariat umat sebelum kita). 

Sabtu, 26 Oktober 2013

Sejarah Empat Mazhab Fiqih

Oleh: Muhammad Iqbal

A. PENDAHULUAN
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية(
Yang maksudnya : “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.

B. POKOK PERMASALAHAN
Sebelum sampai kepada pembahasan, terlebih dahulu penulis tentukan pokok permasalahan sebagai tolak ukur agar pembahasan tidak melabar dan menyimpang. Sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya empat mazhab fiqih? Selain itu adalah apakah dasar-dasar hukum empat mazhab?, karena bagaimanapun juga setiap imam mazhab pasti memiliki pendapat masing dalam hal pengambilan dan menetapkan pijakan dasar sebuah hukum.

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam .
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci .
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395) .

2. Biografi Empat Imam Mazhab Fiqih
Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini, berikut akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana pribadi dan pemikiran mereka.
a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud .
Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.

b. Imam Maliki (Tahun 93 – 179 H.)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti ‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.

c. Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .

d. Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

3. Sejarah Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan.
Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki .
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.

1. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW .
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) .
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.

4. Dasar-Dasar Fiqih Empat Mazhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.

b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .


c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.” Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan : (4:80)

Yang maksudnya : “Barang siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah.”
Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi menjauhi yang di larang .
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis, dalam Al-Qur’an di sebutkan dalan 4:59

d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.