Rabu, 26 Agustus 2020

Membaca Hingga di Surga...

Oleh: Abdurrahman Misno BP



Membaca adalah salah satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dalam perspektif Islam membaca menjadi bernilai ibadah apabila bacaannya adalah Kalamullah, sunnah Nabawiyah serta berbagai bacaan yang memberikan kemashlahatan bagi kehidupannya di dunia dan akhirat.

Membaca Al-Qur’an adalah salah satu dari ibadah yang sangat ditekankan dalam Islam, Allah Ta’ala berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” QS. Fathir: 29-30. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran”. Maksud dari ayat ini adalah bahwa orang-orang yang suka membaca Al-Qur’an maka mereka akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.

Adapun hadits yang menunjukan anjuran untuk membaca Al-Qur’an adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه

Bacalah oleh kalian Al-Qur`an. Karena ia (Al-Qur`an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya.” HR. Muslim.

Riwayat yang lainnya adalah dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu : Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ : الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ؛ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ

Bacalah oleh kalian dua bunga, yaitu surat Al-Baqarah dan Surat Ali ‘Imran. Karena keduanya akan datang pada hari Kiamat seakan-akan keduanya dua awan besar atau dua kelompok besar dari burung yang akan membela orang-orang yang senantiasa rajin membacanya. Bacalah oleh kalian surat Al-Baqarah, karena sesungguhnya mengambilnya adalah barakah, meninggalkannya adalah kerugian, dan sihir tidak akan mampu menghadapinya.”. HR. Muslim.

Merujuk kepada dua riwayat ini maka menunjukan perintah Allah Ta’ala bagi setiap muslim untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, karena hal tersebut merupakan ibadah kepadaNya.

Membaca Al-Qur’an menjadi hal utama yang dilakukan oleh setiap muslim dalam aktifitas membaca, kemudian dilanjutkan dengan membaca hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Kemudian setelah itu membaca buku-buku para ulama yang menjelaskan keduanya, serta dilanjutkan dengan membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Membahas Al-Qur’an tentu saja bukan hanya mampu mengeja huruf demi huruf dan kata demi kata serta merangkaianya dalam sebuah kalimat. Ia adalah proses memaknai setiap kalimat yang ada sehingga dapat dipahami. Setelah dipahami berikutnya adalah diamalkan, dan langkah terakhir adalah menyampaikannya kepada orang lain (dakwah). Inilah sejatinya tujuan dari membaca Al-Qur’an, proses menghafal sendiri hakikatnya adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang secara terus-menerus sehingga mampu membaca tanpa melihat huruf-hurufnya.

Sebagaimana membaca maka menghafal Al-Qur’an sejatinya bukan hanya membaca di luar mushaf, namun lebih dari itu agar ia dapat memahami maknanya, mengamalka serta mendakwahkannya. Sehingga menghafal Al-Qur’an baru langkah awal untuk menjadi shahibul Qur’an.

Perintah membaca AL-Qur’an terjadi tidak hanya di dunia, namun ia juga berlaku di akhriat sana. Sebuah riwayat dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau bersabda:

 يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

Dikatakan kepada orang yang membaca (menghafalkan) al-Qur’an nanti, ‘Bacalah dan naiklah serta tartillah sebagaimana engkau di dunia mentartilnya! Karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibbân.

Imam al-Khathabi rahimahullah dalam Ma’âlim as-Sunan (2/136) menjelaskan: Ada dalam atsar bahwa jumlah ayat al-Qur`an menentukan ukuran tangga surganya. Disampaikan kepada para penghafal al-Qur`an, ‘Naiklah ke tangga sesuai dengan yang kamu baca dari al-Qur`ân. Barangsiapa yang menyempurnakan bacaan seluruh al-Qur`ân maka ia mendapatkan tangga surga tertinggi dan siapa yang membaca satu juz darinya maka akan naik ke tangga sesuai ukuran tersebut. Sehingga ujungnya pahala berada pada ujungnya bacaan.”

Pernyataan imam al-Khatthabi ini disampaikan syaikh al-Albani rahimahullah dan dikomentari oleh beliau dengan pernyataan: “Ketahuilah bahwa yang dimaksudkan dengan Shâhibul Qur’ân (orang yang membaca al-Qur’an) di sini adalah orang yang menghafalkannya dari hati sanubari. Sebagaimana hal ini ditafsirkan berdasarkan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, ‘Suatu kaum akan diimami oleh orang yang paling menghafal Kitabullah (al Qur’an).’

Riwayat ini menunjukan kepada kita bahwa bacaan dan hafalan Al-Qur’an seseorang akan kembali diuji di akhirat sana, semakin banyak bacaan dan hafalannya maka semakin tinggi derajatnya di surga. Namun bukan yang hanya sekadar membaca atau menghafal tetapi yang mengamalkannya serta mendakwahkannya kepada orang lain.

Merujuk pada riwayat ini maka sejatinya perintah membaca bagi umat Islam bukan hanya berlaku di dunia namun ia akan terus membaca hingga di akhirat sana. Bahkan ketika telah masuk ke dalam surga, ia akan diperintahkan untuk membaca Al-Qur’an dari hafalannya sampai habis. Dan di sanalah derajatnya di surga sana.

Lebih dari itu adalah bahwa membaca dalam Islam bukan hanya sekadar memaknai kaata dan kalimat, akan tetapi mengamalkan apa yang menjadi bacaannya dari sumber-sumber yang positif sehingga akan bermanfaat bagi dirinya, tidak hanya di dunia akan tetapi juga di akhirat sana. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi umat Islam untuk tidak membaca.

 

 

Membaca dalam Bingkai Agama

Abdurrahman Misno BP


 Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sangat menstimulus umatnya untuk membaca. Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 menjadi landasan kuat bahwa membaca merupakan jalan menuju ilmu pengetahuan. Ayat ini juga secara teknis memberikan panduan bagaimana proses membaca haruslah diawali dengan dengan nama Rabb (Tuhan) yang telah menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Ini bermakna bahwa membaca itu haruslah diawali dengan keyakinan mendalam bahwasanya Sang Pencipta seluruh alam semesta ini adalah Dzat yang Tunggal (Esa) yaitu Allah Ta’ala, yang tidak ada sekutu baginya.

Dalam konteks aqidah maka hal ini adalah merupakan keyakinan atau tauhid Rububiyah, yaitu meyakini bahwasanya Allah Ta’ala adalah satu-satunya Pencipta alam semesta, tidak ada yang dapat menciptakan alam semesta kecuali hanya Dia. Allah adalah Sang Pencipta tunggal, pemilik tunggal, pemelihara tunggal dan Pengatur seluruh alama semesta. Dia memelihara semesta; memberikan rizki kepada seluruh makhluknya, termaasuk manusia, menetapkan takdirNya dan berkuasa atas segalanya. Maka buah pertama dari membaca adalah keyakinan bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Rabb (Pencipta), tidak ada selainnya. Demikian pula alam semesta ini bukan tercipta dengan sendirinya, seperti yang diungkapkan oleh orang-orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan dari kalangan ateis.

Selanjutnya adalah perintah kembali untuk membaca yang diiringi dengan perintah untuk memuliakanNya. Makna memuliakannya adalah beribadah hanya kepadaNya, sehingga ayat ini terkait dengan tauhid uluhiyah atau ubudiyah, yaitu keyakinan bahwasanya hanya Allah Ta’ala satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, tidak ada dzat lain yang benar untuk disembah, ditaati, dicintai dan tempat untuk bersandar. Hanya Allah Ta’ala satu-satunya Ilaah (sesembahan) yang berhak untuk disembah, sehingga jika ada orang yang beribadah kepada selainNya maka sejatinya ia telah terjatuh kepada kesalahan yang paling besar karena telah menyekutukannya.

Lanjutan dari ayat berikutnya adalah bagaimana Allah Ta’ala mengajarkan kepada umat manusia umumnya dengan perantaraan Qalam (pena). Dia telah mengajarkan semua hal kepada manusia seagala hal terkait dengan sendi-sendi kehidupan mereka di dunia dan juga di akhirat sana. Manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, kemudian Allah Ta’ala mengajarkan berbagai hal tentang kehidupan. Allah Ta’ala menganugerahkan hati, akal pikiran dan jasad sebagai seperangkat alat untuk mempelajari pengetahuan yang akan menyampaikannya kepada bukti akan keberadaan dan keesaanNya.

Jasad yang terdiri dari panca indra khususnya mata adalah alat untuk dapat mentadaburi kalamNya serta mentafakuri alamNya. Inilah makna dari membaca, yaitu tadabur kalamNya yang berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits serta tafakur alamNya di semesta raya. Proses membaca ini akan melahirkan ilmu pengetahuan yang nantinya akan menguatkan keberadaanNya.

Membaca dalam konteks yang lebih sempit adalah memaknai setiap kata dan kalimat yang tersusun, baik berupa kalimat pendek, artikel, makalah, buku serta kitab suci. Sebagai umat Islam tentu saja perintah membaca haruslah diawali dengan membaca Al-Qur’an yang merupakan kalam (firman) Allah yang mulia. Stimulus membaca Al-Qur’an tercermin dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam bahwa setiap huruf yang dibaca akan mendapatkan pahala 10 kali, sehingga satu kata dalam ayat Alif Laam Miim itu akan mendapatkan 30 pahala. Demikian pula perintah membaca Al-Qur’an akan memberikan manfaat bagi para pembacanya di mana Al-Qur’an akan mendatanginya pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat (penolong)nya.

Analogi dari hal ini adalah bahwa proses membaca lainnya semisal hadits, ilmu dan pengetahuan lainnya juga akan memberikan manfaat yang besar bagi pembacanya.

Selanjutnya setelah Al-Qur’an adalah hadits Nabawi, yaitu seluruh ucapan, tindakan, dan taqrir Nabi Muhamamd Shalallahu Alaihi Wassalam yang terbukukan dalam hadits-hadits beliau adalah bahan bacaan yang harus dibaca dan ditelaah oleh umat Islam. Studi mengenai hadits yang begitu intens tentu saja dilakukan dengan membaca setiap sanad, rawi, tabaqat hingga matan dari hadits tersebut. Proses bacaan para ulama ini melahirkan berbagai maha karya yang menjadi bahan bacaan bagi umat Islam lainnya. Sehingga hadits Nabi Nabi Muhamamd Shalallahu Alaihi Wassalam adalah bacaan selanjutnya setelah Al-Qur’an.

Al-Qur’an dan hadits yang menjadi bacaan utama umat Islam kemudian dijelaskan oleh para ulama dalam buku-buku mereka, sehingga umat Islam harus membacanya. Inilah kemudian yang melahirkan ilmu pengetahuan, membaca buku-buku para ulama yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan menjadi warisan bagia umat Islam untuk dibaca. Sehingga jika ada umat yang masih enggan membaca atau tidak tahu apa yang akan dibaca maka sejatinya para ulama terdahulu telah mewariskan jutaan buku yang menjadi obyek bacaan umat Islam.

Merujuk pada fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa membaca bagi umat Islam adalah sebuah keniscyaan, bahkan ia menjadi amal sholeh yang mendatangkan pahala yang besar. Membaca juga menjadi sarana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan terkait dengan masalah keyakinan atau aqidah yang akan membuktikan keberadaan Allah Ta’ala, keesaanNya serta mengetahui nama-nama dan sifat-sifatNya yang mulai. Selanjutnya membaca dalam konteks yang lebih luas untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga manusia akan mendapatkan kesejahteraan di dunia dan juga di akhirat sana.

Membaca dalam bingkai Agama bermakna membaca yang akan menguatkan keyakinan aqidahnya, menambah keshahihan dalam ibadahnya, serta kemanfaatan dalam muamalahnya. Oleh karena itu... Ayo membaca.

Minggu, 23 Agustus 2020

Clustering Pekerjaan Haram dalam Viral Pekerjaan Haram

 Oleh: Abd Misno Mohd Djahri

 

Islam sejatinya telah memberikan pedoman dalam bekerja, ia harus harus halal dan selaras dengan nilai-nilai rahmat Islam untuk seluruh alam (QS. Al-Baqarah: 172). Sehingga ketika ada yang berpendapat bahwa suatu pekerjaan masuk ke dalam kategori pekerjaan yang haram, maka haruslah didasarkan kepada dalil (argumentasi) yang valid. Kenapa? Karena dalam masalah keduniaan dan muamalah maka berlaku kaidah “Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang mengharamkannya”. Sehingga semua jenis pekerjaan pada dasarnya halal, sampai ada dalil yang mengharamkannya dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan juga Ijtihad Ulama.

Perlu dipahami bahwa ketika Islam mengharamkan sesuatu sejatinya itu adalah merusak dan tidak baik efeknya bagi manusia itu sendiri. Ketika Islam mengharamkan zina, karena zina itu akan merusak nasab dan menghancurkan tatanan keluarga. Ketika Islam mengharamkan judi, maka sejatinya judi akan membawa kepada kemiskinan individu dan ketidakstabilan ekonomi. Demikian juga ketika Islam mengharamkan makanan (daging babi, darah, bangkai dll.) dan minuman (khamr, narkoba, dll.) maka sejatinya semua itu akan merusak tubuh manusia (QS. Al-Maidah: 90-91).

Selain dari Al-Qur’an dan As-Sunnah keharaman suatu pekerjaan juga merupakan hasil ijtihad dari ulama yang bersumber dari esensi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hasil ijtihad ini disebut dengan fiqh, yaitu penetapan hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid atas suatu hukum dalam Islam. Sifatnya yang ijtihadiyah masih membuka ruang untuk mujtahid lainnya untuk menentapkan hukum yang berbeda. Namun, jika sudah jelas nash-nya dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, maka tidak ada di sana pilihan lain kecuali harus tunduk dan patuh (QS. Al-Ahzaab: 36).

Merujuk kepada hal ini maka berbagai pekerjaan yang disebutkan dalam berita viral tersebut dapat kita kluster kepada pekerjaan yang haram secara qath’i dan haram dzanni. Haram Qath’i adalah haram yang sudah jelas keharamannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ ulama,  sedangkang haram dzanny adalah haram yang bersifat fiqhiyyah ijtihadiyyah di mana masih ada ruang untuk pendapat lainnya. Berikut adalah hasil analisisnya:

 

Haram secara Qath’i berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah

Pekerjaan-pekerjaan yang haram secara qath’i yaitu pekerjaan yang keharamannya tidak diragukan lagi karena telah disebutkan keharamannya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama, diantaranya adalah:

Pertama, Berkaitan dengan aqidah: Peramal, Debus (dengan syarat ia betul-betul bekerjasama dengan jin atau syaithan dalam atraksinya, jika hanya ketrampilan yang dipelajari maka tidak dosa),  Tukang sulap (dalam hal ini berlaku juga seperti debus, jika dia bekerja sama dengan jin atau syaithan maka haram, namun jika hanya ketrampilan dan trik mata maka tidak haram).

Kedua, Berkaitan dengan Hukum Muamalah (Ekonomi dan Bisnis Islam): Fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait dengan keharaman bunga bank membawa efek kepada hukum bekerja di sana, sehingga seluruh Pegawai Bank ribawi (Manajer, teller, security, sampai office boy) adalah haram. Demikian pula Leasing berbasis riba, Koperasi simpan pinjam dengan riba, Asuransi konvensional, Sales mobil/motor/elektronik yang tidak sesuai dengan syariah karena menerapkan adanya bunga, Debt Collector dari lembaga keuangan ribawi. Intinya adalah semua pegawai yang bekerja pada institusi yang mengandung unsur riba serta akad haram lainnya maka hukumnya juga haram.

Selain itu juga para karyawan yang bekerja di pub/diskotik, lokalisasi wanita tuna susila (WTS) atau pekerja seks komersial (PSK), tempat karaoke yang cenderung mesum, menjadi waria atau LGBT, serta tempat-tempat lain yang terindikasi kuat terdapat unsur perzinahan.

Ketiga, berkaitan dengan wanita dan pakaian, bahwa setiap muslim dan muslimah itu wajib untuk menutup auratnya sebagai dalam QS. An-Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59, maka membuka aurat adalah haram secara qath’i. Sehingga pekerjaan berupa; Penjual majalah/tabloid porno, penjual pakaian yang membuka aurat (khususnya jika terindikasi kuat bahwa pakaian tersebut akan dipakai di luar rumah), Tukang pijat (jika yang dipijat bukan mahram), Salon kecantikan (yang dikhawatirkan hanya untuk pamer kecantikan kepada bukan mahram), Tukang rias make up/pengantin (yang tabaruj dan membuka aurat), Instruktur senam aerobik (yang berpakaian membuka aurat serta campur laki-laki dan perempuan), Pelatih (yang melatih suatu aktifitas yang diharamkan), Tukang pembuat tatto baik tato alis ataupun tato di bagian tubuh lainnya, Penjual rambut palsu atau jasa menyambungnya karena riwayat dari Nabi sangat jelas sekali keharaman menyambung rambut.

Selain itu ada beberapa pekerjaan lainnya yang disebutkan secara khusus oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dalam beberapa haditsnya dengan derajat yang shahih dan hasan. Termasuk hadits yang dipahami oleh para ulama dengan penafsiran yang berbeda, maka saya memasukannya ke dalam haram yang sifatnya fiqhiyyah ijtihadiyyah.

 

Haram secara Dzanny berdasarkan Ijtihad Ulama

Haram yang bersifat dzanny adalah keharaman yang ditetapkan oleh ulama dalam ijtihad mereka, biasnaya berkaitan dengan nash yang sifatnya tidak qath’i dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, demikian juga masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya, berikut adalah clusteringnya:

Pertama, terkait dengan muamalah yang bersifat kontemporer, misalnya Jasa penukaran uang (yang dibolehkan adalah sharf atau tukar menukar uang), MLM (Multi Level Marketing) yang tidak sesuai dengan syariah dari sisi produk dan sistem pemasarannya, Penjual barang black market, Penjual barang palsu/bajakan, Online shop dengan sistem dropship yang mengandung unsur penjualan barang yang belum dimilikinya. Karyawan pabrik rokok (bagi yang menganggap rokok itu haram) termasuk yang menjualnya, Pegawai Pajak (utamanya pajak yang mendzalimi rakyat).

Kedua, pekerjaan yang berkaitan dengan dunia entertain atau hiburan, misalnya; Artis: Penyanyi, Pelawak, Penari, Modeling, Atlit binaraga, dan balet. Demikian juga dalam industri musik seperti; Pemain Musik, Pembuat alat-alat musik, Penjual alat-alat musik, Penjual CD/kaset musik, Pengamen, Fotografer (yang memotret perempuan atau laki-laki yang tidak menutup aurat), dan Pramugari Wanita yang tidak berhijab,

Ketiga, pekerjaan yang terkait dengan hal-hal umum, misalnya; Pembuat/penjual boneka atau patung atau Pelukis (dalil larangan melukis mahkul bernyawa), Penjual kue ulang tahun (karena ulang tahun termasuk budaya non muslim, bagi yang melakukannya adalah tasyabuh), Penjual petasan/kembang api (karena kembang api itu mubadzir dan tidak bermanfaat),  Guru Filsafat (karena filsafat dianggap sebagai studi yang haram dipelajari oleh umat Islam).

Keharaman dalam kluster kedua ini tentu saja berbeda dengan keharaman yang sudah jelas dalilnya dalam AL-Qur’an dan As-Sunnah, artinya ia masih bisa didiskusikan. Walaupun tentu saja kita tidak boleh pula menganggapnya remeh, karena ketika para ulama menetapkan suatu hukum haram misalnya, mereka telah menggali berbagai nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga keputusan mereka menjadi fiqh yang merupakan bagian dari hukum Islam. Kalaupun ada ulama lain yang berbeda biasanya hanya sampai derajat makruh, misalnya masalah musik maka sebagian ulama menganggap haram sebagian lagi menganggap makruh saja. Selain itu dalam masalah rokok, melukis, artis dengan berbagai variasinya, serta pekerjaan lain yang belum ada sebelumnya atau tidak disebutkan nashnya secara qath’i. Apabila kemudian ternyata dalil keharaman akan suatu pekerjaan itu qath’i dan shahih maka sebagai orang beriman kita wajib untuk tunduk patuh terhadap hal tersebut.

Permasalahan lainnya adalah terkadang seseorang sudah tahu bahwa sesuatu itu haram, namun dia belum bisa untuk meninggalkannya. Kadang ia tidak mau terima dengan hal tersebut, berbagai alasan dikemukakan bahkan menganggap bahwa hal tersebut adalah dzanny, padahal sudah jelas ayat dan haditsnya. Maka dalam hal ini hendaknya kita terus belajar, dan berusaha meyakinkan diri kita bahwa yang haram itu jelas dan yang halal juga jelas. Apabila kita belum mampu meninggalkan pekerjaan yang haram, maka teruslah berdoa dan berusaha untuk mencari pekerjaan yang halal. Kalau ternyata kebutuhan keluarga itu memaksa kita untuk bekerja di tempat yang subhat atau yang haram, maka ambiah seperlunya dari pendapatan tersebut namun tetap berusaha untuk meninggalkannya sekuat tenaga.

Akhirnya saya bisa mengatakan bahwa viral pekerjaan haram yang banyak dilakukan oleh masyarakat sejatinya sebagiannya benar, namun digunakan oleh orang-orang yang jahat atau jahil dengan Islam karena tidak memahami mabadi’ (tahapan) dakwah. Karena sejatinya dakwah yang pertama kali dan harus terus dikuatkan adalah dalam masalah aqidah, apabila aqidahnya bagus maka ia akan dengan mudah mengikuti syariat Islam termasuk akan dengan penuh kesadaran meninggalkan setiap pekerjaan yang subhat apalagi yang haram.

Semoga Allah Ta’ala sentiasa memberikan kepada kita hidayah serta inayahnya sehingga kita mampu untuk melakukan seluruh aktifitas dan pekerjaan yang halal dan terhindar dari segala bentuk haram dalam kehidupan ini. Wallahu ‘alam. Bogor, menjelang tengah malam, 23082020.

Ketika Haram dan Halal menjadi “Senjata” Musuh Islam

Oleh: Abdurrahman MMD

Dunia internet kembali dihebohkan dengan berita mengenai Islam, ya... lebih tepatnya berkaitan dengan Daftar Pekerjaan “Haram” yang diunggah oleh akun FB bernama Abu Yahya Al Bustamy. Akun twitter dengan nama @narkosum membagikan foto tangkapan layar tentang daftar 50 pekerjaan haram tersebut pada Selasa (18/8/2020). Dia menguliskan dalam unggahannya, "Klo antum bekerja dengan profesi di salah satu list ini, resign dan segera bertobatlah. Karena pekerjaan ini KARAM. Eh haram!" tulis akun@narkosum.

Penelusuran yang sudah dilakukan oleh Tribunnewswiki, facebook dengan nama Abu Yahya Al Bustamy tidak ditemukan. Ini menunjukan bahwa lagi-lagi sumber dari berita viral tersebut tidak jelas, demikian juga apabila kita menganalisis perkataan dari akun @narkosum sangat jelas sekali bagaimana dia bermain-main dengan kata-kata “HARAM”. Penelusuran saya sendiri di twitter menemukan akun @narkosun yang tweet-tweet-nya berisi politik praktis yang mengadu domba. Bahkan di depan akun-nya tertulis perkataan dari Ali bin Abu Thalib yang ditulis dengan “Imam Ali”. Sangat kuat dugannya bahwa akun ini sengaja menyebarkannya sebagai bentuk “main-main” dengan haram dan halal, mengadu domba Islam dan ujungnya menghancurkan Islam. Maka saya berkesimpulan bahwa berita viral ini adalah berasal dari musuh-musuh Islam yang main-main dengan haram dan halal dalam Islam.

Bagaimana sebagai umat Islam menyikapi hal ini? Bersikap cerdas dan bijak dalam menyikapinya. Cerdas dalam makna tidak mudah terprovokasi dengan berbagai berita yang berasal dari mereka, bersikap lebih lembut dengan sesama muslim khususnya ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah fiqh. Bijak bermakna dapat mengambil sikap dengan benar, lawan berita dengan berita, lawan tulisan dengan tulisan dan saatnya berkontribusi untuk Islam dan muslimin. Mencerdaskan umat dengan berbagai ide dan gagasan dalam tulisan atau disebarkan ke berbagai media sosial, terus mendidik umat agar mereka terus belajar agamanya. Serta kuatkan ukhuwah Islamiyah, karena di luar sana musuh-musuh Islam selalu siap menghancurkan kita. Waspadalah...

Viral Daftar Pekerjaan Haram: Antara Berbagi Ilmu, Sok Tahu dan Mengikuti Hawa Nafsu

 Oleh: Abdurrahman Misno MD

 


Daftar pekerjaan haram yang saat ini viral di media sosial menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat. Bagaimana tidak, aturan-aturan dalam Islam yang sudah baku mengenai halal dan haram kemudian direfresh dengan berita viral tersebut. Tentu saja komentar dari para netizen sangat beraneka ragam, dari mulai yang mendukung, sok tahu dan langsung menyalahkan pembuatnya hingga yang mengikuti hawa nafsu dengan berlaku sombong dan tidak menerima isi dari berita viral tersebut.

Abu Yahya Al-Bustami sebagai pengunggah berita ini menuliskan “Beberapa Daftar Pekerjaan Haram Namun banyak yang Menggeluti karena dianggap halal”. Ia dengan PD-nya memposting berita tersebut, kita tidak tahu niatnya apa? Apakah mungkin berasal dari semangat berislamnya atau jangan-jangan akun palsu, wallahua’lam.  

Memang daftar daftar pekerjaan haram tersebut berisi berbagai pekerjaan yang sudah biasa di masyarakat, daftarnya sangat detail, dari mulai artis hingga pelukis. Termasuk mereka yang berjualan alat musik, pembuat kue ulang tahun, penjual rokok, satpam bank, hingga penjual barang bajakan. Begitu detailnya  daftar tersebut hingga menjadikan orang-orang yang bergelut didalamnya menjadi gerah dan tidak nyaman.

Islam sejatinya telah menjelaskan tentang kaidah halal dan haram, baik dalam hal makanan, minuman, hiburan, dan segala sendi kehidupan manusia. Allah Ta’ala berfirman “Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." ( QS. al-An'am: 119). Ayat memberikan pemahaman kepad akita bahwa Allah Ta’ala melalui kalamNya serta sunnah nabiNya telah memberikan penjelasan tentang mana yang haram dan mana yang halal.

Sebagai contoh adalah firmanNya: “Diharamkan bagi kamu sekalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah, binatang yang tercekik, yang dipukul, yang terjatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas kecuali kamu sempat menyembelihnya, dan diharamkan juga bagimu binatang yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala”. (QS. Al-Maidah:3). Ayat ini menjelaskan tentang keharaman beberapa jenis makanan serta minuman yang secara qath’i sudah disepakati oleh umat Islam. Pemahaman dari ayat ini juga adalah bahwa seluruh pekerjaan yang terkait dengan hal-hal yang diharamkan tersebut adalah haram. Apakah halal dan haram hanya ada dalam AL-Qur’an saja? Jawabannya adalah tidak, karena kita memiliki as-Sunnah atau hadits sebagai sumber dalam halal dan haram.

Banyak sekali hadits yang membahas tentang halal dan haram dalam Islam, pedoman dasarnya adalah sabda dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. HR. Bukhari dan Muslim. Selanjutnya berbagai hadits yang jumlahnya sangat banyak berbicara tentang halal dan haram dalam berbagai sendi kehidupan manusia termasuk dalam hal; makanan, minuman, dan juga pekerjaan atau tata cara mendapatkan uang.

Pekerjaan yang halal pun sudah jelas demikian juga yang haram, sehingga umat Islam tidak akan lagi bingung dengan pekerjaannya. Pedomannya adalah bahwa halal dan haram itu ditentukan oleh Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an, kemudian oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam dalam haditsnya serta ijtihad para ulama yang telah disepakati bersama. Halal dan haram dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah biasanya terkait dengan pekerjaan yang memang sudah jelas keharamannya, misalnya menjual khamr atau minuman keras, pelacur, jual beli barang-barang haram dan lain sebagainya. Ada pula pekerjaan yang masuk ke dalam subhat, namun sebagian ulama menganggapnya haram. Misalnya jual beli alat-alat musik, sebagaimana sebuah hadits yang datang kepada kita “Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik”. HR. Bukhari. Berdasarkan ayat ini maka sebagian ulama ada yang mengahramkan alat musik, sehingga ketika alat musik itu haram maka jual belinya juga haram dan menjualnya juga haram.

Contoh tentang kedudukan hukum dari alat musik sangat jelas, sehingga kemudian kalau daftar tersebut memasukan bahwa menjual alat musik itu adalah haram dan termasuk pekerjaan yang haram maka sangat dapat dipahami. Demikian juga hal lainnya, kenapa disebutkan bahwa pekerjaan menjadi penjual kue ulang tahun adalah haram, karena mereka berpendapat bahwa perayaan ulang tahun itu haram. Sampai di sini dapat dipahami bahwa keharamannya adalah bersifat fiqhiyyah ijtihadiyyah.

Kembali ke pembahasan tentang viralnya hal ini, maka, umat menjadi bertanya-tanya dan menjadi perbincangan hangat (viral) apalagi jika mereka betul-betul awam tentang hal halal dan haram. Belum lagi jika ternyata berita ini disebarkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam, mereka hanya ingin mengundang keresahan pada diri umat Islam.

Lepas dari benar tidaknya sumber dari berita tersebut, penulis membagi menjadi tiga kelompok masyarakat dalam menaggapi berita ini, Pertama; mereka yang memiliki semangat yang tinggi untuk menyebarkan kebaikan. Penyebar awal berita viral ini bisa jadi dari kalangan ini. ada juga yang berpendapat bahwa lagi-lagi ini adalah pekerjaan dari orang-orang yang tidak suka dengan Islam yang ingin membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Kelompok pertama niatnya bagus, namun memang caranya kurang elegan sehingga perlu adanya tahapan dalam menyampaikan kepada masyarakat, sehingga mereka akan dapat menerima kebenaran dengan ilmu. Jika penyebarnya adalah orang yang tidak suka dengan Islam, maka dia paham sekali bagaimana cara mengadu domba umat Islam ini.

Kelompok kedua adalah mereka yang sok tahu, ketika mendengar berita adanya daftar pekerjaan yang haram mereka langsung tertawa dan mencibir “masa penjual kue ulang tahun haram” kata seorang teman kantor. Tentu saja ucapan ini menunjukan kekurangpahamannya terhadap syariat Islam, karena bisa jadi istinbath al ahkam atau penggalian hukum serta penetapannya sudah dilalui oleh orang yang menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut haram. Minimal ia mengambil ilmu dari gurunya dengan dasar argumentasi yang kuat. Sebagai contoh, bahwa majelis ulama sendiri berpendapat bahwa bunga bank itu haram, sehingga kemudian seluruh pekerja yang terlibat dalam bunga bank adalah pekerjaan haram. Sehingga kelompok kedua ini memang perlu banyak lagi belajar agama khususnya tentang halal dan haram dalam Islam. Jangan buru-buru mencibir, sebelum memahami ilmunya jangan sampai karena sok tahu kita padahal jahil (belum paham) kemudian mentertawakan hal ini.

Kelompok ketiga adalah mereka yang mengikuti hawa nafsunya. Kelompok ini lebih dari kelompok kedua, selain mereka mencibir juga kemudian mencela penyebarnya. Berbagai hujatan muncul dari mereka yang ditujukan kepada penyebarnya; dari mulai menganggap sok suci hingga tuduhan wahabi. Ya... stigma negatif Islam akhirnya kemudian muncul di tempat dan waktu yang kurang tepat. Kenapa, karena biasa jadi hal tersebut benar, tetapi belum waktunya untuk sampai di masyarakat karena dakwah itu perlu adanya tahapan yang diawali dengan masalah aqidah. Kuatkan aqidah umat terlebih dahulu baru berbicara tentang halal dan haram dalam masalah fiqh. Kelompok ketiga ini biasanya mereka yang taklid dengan gurunya atau golongannya sehingga kemudian dengan mudah menyalahkan bahkan menyesarkan orang lain dan kelompok di luar dirinya. Hal ini sangat berbahaya karena hanya akan memecah belah umat Isalm.

Kesimpulannya adalah bahwa kita sebagai umat Islam harus terus belajar agar lebih cerdas dalam menghadapi berbagai berita dan khabar. Pertama, periksa dulu berita tersebut apakah benar berasal dari umat Islam atau dari orang-orang yang tidak suka dengan Islam. Kedua, jika isinya benar khususnya berkaitan dengan hal-hal yang haram maka jangan terburu-buru kita mencibirnya. Belajarlah terlebih dahulu, lihat pendapat-pendapat para ulama khususnya terkait dengan masalah-masalah fiqh. Jangan sampai bahwa hal itu sebenarnya haram namun karena kebodohan kita kemudian kita menghalalkannya. Terakhir adalah jadilah umat yang cerdas, dengan terus belajar, belajar dan belajar. Wallahu a’lam. 23082020.

Kamis, 20 Agustus 2020

Selamat Tahun Baru Hijriah 1442 H

Mengubah Masalah menjadi "Mashaallah"

Oleh: Abd Misno Abu Aisyah

Kehidupan itu memiliki beraneka rasa, ada suka cita dan ada duka nestapa. Hari ini kita tertawa riang gembira, mungin kemarin lusa kita berderai air mata. Bahkan terkadang suka dan duka hadir dalam satu masa dalam kehidupan kita. Demikianlah Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita, bahwasanya kehidupan di dunia adalah fana adanya, suka cita tidak akan berjalan lama, demikian pula duka nestapa juga akan segera sirna. Ingatlah, bahwa semuanya sudah menjadi takdir dari Sang Penguasa alam semesta.

Apabila hari ini kita ditimpa berbagai masalah, duka nestapa menghampiri kita, berjuta kesedihan hadir di jiwa... Maka ingatlah bahwa masalah tersebut bisa berubah menjadi “Mashaallah” yang maknanya dengan kehendak Allah. Makna lain dari ungkapan “Mashaallah” adalah rasa kagum, heran yang positif dan ketakjuban atas kekuasaan Allah Ta’ala. Bagaimana agar masalah menjadi “Mashaallah”?

Pertama, ingatlah bahwa semua masalah yang kita hadapi itu berasal dari takdir Allah Ta’ala. Maknanya bahwa, semua yang terjadi adalah atas kehendaknya sehingga manusia harus tunduk patuh dan ridha dengannya. Semua masalah yang kita hadapi sudah tertulis bahkan sebelum kita hadir di alam fana ini. Hal ini berarti bahwa masalah yang kita hadapi adalah bagian dari takdir ini, maka meyakini semua masalah yang kita hadapi adalah solusi pertama yang harus dilalui. Jangan pernah menyesali sesuatu yang telah terjadi, mengambil pelajaran boleh darinya tapi jangan terus diungkit karena hanya akan menambah masalah baru.

Kedua, yakinlah bahwa masalah yang kita hadapi itu sudah diukur oleh Allah Ta’ala, sehingga kita akan mampu untuk menghadapinya. Bahkan Allah Ta’ala berfirman dalam kalamNya yang mulia bahwa Allah Ta’ala tidak memberikan masalah kepada seseorang melebihi kekuatannya. Artinya bahwa Allah tahu bahwa masalah yang kita hadapi itu sesuai dengan kemampuan kita untuk mengatasinya. Yakin kita bisa...

Ketiga, pasti ada hikmah di balik masalah yang kita hadapi. Yakin, bahwa setiap masalah yang ada itu ada hikmah atau pelajaran yang Allah berikan kepada kita. Tinggal aapakah kita mampu untuk menggali hikmah tersebut? Cara menggali hikmah dari masalah yang ada adalah dengan dengan berfikir yang didasari dengan keimanan bahwa semuanya adalah takdirNya, mengaitkan dengan peristiwa lainnya baik saat ini atau di masa yang akan datang, serta menemukan benang merah dari berbagai peristiwa di masa lalu yang pernah terjadi. Hikmah adalah kebaikan yang ada pada sesuatu yang semakin mendekat diri kepada Allah Ta’ala.

Keempat, pada level yang lebih tinggi ketika seseorang dapat mengambil hikmah dari berbagai masalah adalah ia bersyukur, Alhamdulillah memuji kepada Allah atas masalah yang dihadapinya. Ia meyakini bahwa justru karena ada masalah itulah kita semakin dekat kepadaNya, semakin yakin akan takdirNya dan semakin yakin pula bahwa kehidupan ini akan terus menjadi lebih baik. Bahkan sampai masalah yang paling mengerikan sekalipun kita harus bersyukur, misalnya orang tua kita meninggal. Selain mengucapkan Inna lillahi wa inna ilahi raji’un maka yakinlah bahwa meninggalnya orang tua kita adalah menjadi takdirNya. Bersyukur dengan masalah yang ada maknanya adalah dengan masalah tersebut semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, sebagai peringatan buat kita dan bukti keyakinan akan takdirNya.

Kelima, menjadikan masalah menjadi sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala. Berbagai masalah yang ada apabila kita hadapi dengan penuh ketaatan kepadaNya akan menjadi ladang pahala besar bagi kita, inilah ciri seorang muslim. Bersabar, bertawakal dan tetap berikhtiar dalam menghadapi masalah adalah sarana untuk mendapatkan pahal melimpah dari Sang Pencipta.

Masih banyak lagi cara agar menjadikan masalah menjadi mashaallah, maka tidak ada alasan lagi bagi setiap muslim untuk tenggelam dalam masalah, merasa susah dengan masalah, sedih dengan masalah dan terkurung dalam masalahnya. Saatnya masalah menjadi mashaallah, yaitu dengan meyakini bahwa masalah itu datang dari Allah Ta’ala, kita akan mampu untuk mengatasinya, meyakini adanya hikmah padanya, bersyukur dengan masalah yang ada dan menjadikannya sebagai sarana mendekat diri kepadanya dengan mendulang pahala dari setiap masalah yang ada. Wallahua’lam. Bogor, 01 Muharam 1442 H.   

Minggu, 16 Agustus 2020

HIDUP ITU SEPERTI PENSIL.... MAKA MENULISLAH

Oleh: Abd Misno Mohd Djahri

 

Pagi ini mendapatkan Quote sangat menarik, “Hidup itu seperti pensil yang pasti akan habis tetapi meninggalkan tulisan-tulisan yang indah dalam kehidupan. Seperti yang kita lakukan di hari ini, semoga kita dapat meninggalkan kebaikan yang berarti di saat kita tiada kelak...”. kata-kata ini menjadi energi pagi yang luar biasa, karena mengandung banyak hikmah bagi kehidupan.

Ya... hidup kita memang seperti pensil, setiap hari diraut, semakin pendek dan tidak lama lagi akan habis. Apa yang tersisa dari pensil tersebut adalah tulisan dalam lembaran-lembaran kertas. Inilah kehidupan dunia ini, setiap hari jatah umur kita semakin berkurang, bahkan kita tidak tahu kapan saatnya kita meninggalkan dunia ini. Maka, melakukan amalan yang dapat bermanfaat untuk dunia dan juga akhirat adalah sebuah keniscayaan. Menyiapkan perbekalan, agar ketika jatah umur kita habis di dunia, kita akan dapat melanjutkan kehidupan yang abadi di akhirat sana.

Hidup ini seperti pensil, maka tulisan itu menjadi amal kita sebagai bekal ke akhirat sana. Dalam makna tekstual, maka setiap tulisan yang kita tulis berupa ajakan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah warisan tidak ternilai dari hidup kita. Bisa jadi umur kita telah berakhir, tetapi tulisan kita di buku, jurnal ilmiah, majalah, website dan media sosial lainnya akan tetap abadi. Tulisan kita menjadi amal sholeh sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya di akhirat sana.

Menulislah... karena bisa jadi pensil itu semakin pendek dan sebentar lagi akan habis dan segera hilang binasa. Menulislah, karen abisa jadi kehidupan kita semakin dekat dengan kematian dan segera meninggalkan dunia. Menulislah... karena ia menjadi warisan sangat bernilai bagi kehidupan kita, ia menjadi amal kita selama masih ada dan bermanfaat untuk semesta.

Menulislah hal-hal yang baik, mengajak untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keikhlasan dan mengikut sunnah Nabi yang mulia. Menulislah untuk menjunjung tinggi Islam sebagai rahmat untk semesta. Menulislah untuk mencegah segala bentuk kemudharatan, karena ia dilarang oleh agama dan merusak tatanan kehidupan semesta. Menulislah... sebelum pensil ini hilang tiada bekasnya.

Ahad cerah, 16 Agustus 2020.

Kamis, 13 Agustus 2020

SPIRITUAL READING : MEMBACA BERLANDASKAN IMAN

Abdurrahman Misno BP




Membaca adalah aktifitas memaknai setiap huruf, kata dan kalimat yang ada pada sebuah tulisan. Aktifitas ini mencari makna dari setiap kata dan kalimat yang digunakan, tidak hanya terbatas pada makna bahasa, namun makna majaz yang sering digunakan penulisnya juga harus dipahami sebagaimana adanya. Sehingga aktifitas membaca pada hakikatnya adalah memaknai ide dan gagasan seorang penulis dalam karya-karyanya.

Aktifitas membaca bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi yang diperlukan, baik dalam bentuk ide dan gagasan atau petunjuk pelaksanaan atas suatu kegiatan atau aktifitas. Sehingga membaca menjadi cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, yang harus dilakukan oleh semua orang.

Proses memaknai sebuah tulisan serta upaya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dalam membaca haruslah dibekali oleh iman agar aktifitas ini memiliki banyak kemanfaatan bagi yang melakukannya. Maksudnya adalah bahwa proses membaca yang sangat bermanfaat sekali terkadang terjatuh pada aktifitas yang kurang bermanfaat, bahkan bisa jadi jatuh kepada kemaksiatan.

Membaca tulisan-tulisan yang tidak memiliki faedah untuk kehidupan atau bahkan membaca tulisan-tulisan yang mengandung unsur-unsur yang diharamkan dalam Islam akan menjadi dosa. Bacaan yang berisi tulisan-tulisan pornografi, kekerasan atau penghinaan kepada Islam adalah sangat tidak dianjurkan untuk dibaca, ia harus dihancurkan karena akan dapat merusak tatanan beragama.

Perkembangan media sosial memunculkan budaya baca secara digital, sehingga berbagai bacaan bermunculan dalam format digital yang mudah diakses kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun perkembangan ini ternyata juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menulis dan memublikasikan tulisan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Maka, aktifitas membaca haruslah dilandasi oleh keimanan, yaitu membaca sesuai dengan dasar iman dan Islam. Lebih jelaslah bahwa membaca berlandaskan iman atau spiritual writing adalah aktifitas membaca yang didasarkan kepada iman Islam. Hal ini ditandai dengan niat dalam membaca, tujuan dalam memabca, bahan bacaan serta hal-hal yang ahrus diperhatikan dalam aktifitas membaca. 

Islam sebagai agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sejak awal turunnya telah menekankan pentingnya membaca. Ayat pertama yang turun kepada  Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah perintah untuk “Iqra” atau membaca dalam makna yang luas. Al-qur’an sendiri sebagai pedoman umat Islam berisi kata dan kalimat yang harus dibaca dan dipahami maknanya. Sehingga membaca adalah bagian tidak terpisahkan dalam peradaban Islam.

Hal pertama yang harus diperhatikan dalam aktifitas membaca adalah niat dan tujuan dari membaca. Niat membaca haruslah ikhlas karena Allah Ta’ala, mengharapkan keridhaanNya serta balasan surgaNya di akhirat sana. Hal ini karena membaca yang dilakukan adalah untuk memahami keagungan Allah Ta’ala serta memahami setiap dimensi syariahNya.

Tujuan dari membaca adalah mendapatkan berbagai pengalaman dan ilmu pengetahuan sehingga akan mampu melaksanakan tugas manusia hadir di alam dunia ini, yaitu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala saja. Dengan membaca ia akan mengetahui keagungannya, mengetahui secara menyeluruh syariahNya dan memahami adanya hikmah di setiap perintah dan laranganNya.

Selanjutnya bahwa spiritual reading terkait dengan bacaan yang dibacanya. Islam secara jelas memberikan pedoman kepada umatnya agar selalu membaca, yaitu membaca yang merupakan kewajiban bagi umat Islam yaitu membaca Al-Qur’an sebagai bentuk ibadah kepadanya. Selan itu juga membaca hadits-hadits nabawi yang telah dibukuan hingga berbagai de dan gagasan ulama-ulama Islam yang telah menunagkannya ke dalam sebuah tulisan atau dalam bentuk buku. Urutan ini sangat penting karena terkait dengan bahan bacaan yang harus dibaca.

Ya... membaca Kitabullah dan kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur’an adalah seutama-utama membaca. Kenapa kita harus membaca AL-Qur’an? Maka jawabannya ada dua dimensi, pertama adalah sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala, dan yang kedua menambah pengetahuan terkait dengan aturan Allah Ta’ala yang terdapat di dalamnya.

Selanjutnya membaca al-Hadits, yaitu riwayat yang datang dari Nabi Muhammad Shalallahu Alahihi wassalam terkait dengan seluruh sendi kehidupan umat manusia. Membaca al-hadits berarti memahami kehidupan Nabi dari awal beliau diangkat sebagai nabi dan rasul hingga hari ini. hadits yang telah ditulis dan disusun oleh para ulama adalah obyek bacaan wajib bagi setiap muslim. Sehingga membacanya pun mendapatkan ibadah sebagaimana membaca Al-Qur’an.

Berikutnya adalah membaca ide dan gagasan para cendekiawan muslim dalam buku-buku mereka. Ini memerlukan adanya waktu yang panjang dan pemahaman yang menyeluruh. Membaca karya-karya mereka sejatinya menelaah setiap ide dan gagasan yang muncul dari mereka. Tradisi membaca dan menulis yang sangat maju dalam sejarah awal umat Islam menjadikan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Maka membaca adalah kunci bagi kemajuan suatu peradaban.

Membaca dengan iman, berarti aktifitas membaca yang didasarkan oleh iman Islam. Sehingga apa yang dia baca haruslah selaras dengan nilai-nilai Islam. Ia tidak boleh membaca kitab suci atau buku-buku yang berasal dari agama lain, kecuali adanya ilmu yang mumpuni dan untuk dicari kelemahannya. Demikian pula tidak membaca tulisan-tulisan yang bertentangan dengan akidah Islam, misalnya ramalan dengan zodiac serta perbuatan munkar lainnya.

Sebagai umat Islam kita juga tidak boleh membaca tulisan-tulisan yang mengandung hal-hal yang diharamkan dalam Islam. Misalnya cerita pendek dewasa yang berisi adegan-adegan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Demikian juga tulisan dan buku yang mengandung hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Hikmah dari larangan ini tentu memiliki manfaat bagi umat Islam secara keseluruhan.

Maka dapat disimpulkan bahwa spiritual reading adalah aktifitas membaca yang didasarkan kepada nilai-nilai iman Islam, aktifitas ini harus selaras dengan Islam sehingga aktifitas ini akan bermakna ibadah kepada Allah Ta’ala.  

 

Biografi Penulis

 

Penulis bernama lengkap Abdurrahman Misno BP, lahir di Cilacap 10 Mei 1979. Pendidikan terakhir adalah Program Doktoral Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2014. Saat ini menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana Institut Agama Islam Sahid Bogor.

Penulis telah menulis lebih dari 100 buku, khususnya terkait dengan Hukum dan Ekonomi Islam. Di antara buku yang sudah diterbitkan adalah; Islam Apa Adanya (IPB Press, 2009), Keajaiban Salam (Bumi Aksara, 2010), Sekuler Loe Gue End (Dapur Buku, 2012), Menjadi Muslim Mandiri (HSP, 2014), Pesona Budaya Sunda (Deepublish, 2014), Reception Through Selecetion Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia (Deepublish, 2015), Metode Penelitian Muamalah (Salemba Empat, 2017), Metode Penelitian Hukum Islam (UIKA, 2018), HRD Syariah (Gramedia, 2012-2020), Hukum Bisnis Syariah (2020).

Selain itu juga penulis aktif dalam menulis jurnal, tulisan populer yang tersebar di beberapa media cetak dan online. Selain menulis, penulis juga menjabat sebagai Direktur Pustaka Amma Alami, sebeuah penerbitan yang fokus pada karya tulis anak bangsa. Penulis dapat dihubungi di email; drmisnomei@gmail.com.

 

 

 

Selasa, 11 Agustus 2020

Rasa di Puncak Rasa

Oleh: Abd Misno Mohd Djahri

 

Kehidupan manusia penuh dengan tangis dan tawa, suka cita dan duka nestapa. Ia juga bertabur amal takwa dan juga belenggu hawa,  semua silih ganti, saling tukar tempat dan itulah hakikat dari manusia. Ketika kita berada dalam ketakwaan tentu ketenangan akan menghinggapi jiwa, hidup terarah adanya dan surga menanti di sana. Namun ketika jiwa bertabur hawa, raga terbelenggu nafsu maka yang muncul adalah kelu dan hidup selalu dirundung sayu.

Bagaimana bila kita berada di puncak rasa? Ketika hawa membelenggu sukma, tetapi raga nyaman dengannya? Apa jadinya bila ternyata jiwa bersuka cita walau hawa menjadi bagian kehidupan kita? Inilah kisahnya.

Rasa yang dibalut oleh hawa begitu membara di dalam dada, ia merasuk ke dalam raga mengalir bersama darah dan peredarannya. Menembus ke dalam tulang dan tulang sumsumnya, hingga rasa itu betul-betul penuh gelora.

Walau terkadang hati menolak adanya, iman berbisik pilu karenanya, tapi rasa itu betul-betul menjadikan raga kecanduan dengannya. Aroma surga utopia dengan cita rasa dunia yang bertabur hawa telah menjadikan raga ini terbelenggu olehnya. Hingga rasa itu benar-benar membawa pada angkara Sang Pencipta.  Tapi raga ini terpesona dengannya karena berada di puncak rasa, entah sampai bila akhirnya...

Tulisan ini adalah catatan, setelah lebih dari delapan bulan raga ini teracuni oleh candu rasa bertabur hawa hingga ianya tak bisa dikendalikan oleh jiwa. Oh rasa... puncak rasa itu betul-betul nikmat adanya, surga dunia penuh citarasa hingga masuk ke dalam alam penuh pesona.

Sebuah alam yang penuh dengan pesona di mata hawa, alam penuh kenikmatan dirasa raga yang terpenjara, alam yang memberi kenyamanan karena hasutan syaithan dalam bentuk insan. Alam ini sedang kujalani, saat ini, hingga hari ini sejak awal 2020. Rasa yang membuat jiwa mengembara, terbang jauh ke angkasa, liar dan penuh dengan keajaiban-keajaiban.

Entah sampai kapan, diriku berada di puncak rasa. Aku tidak tahu sampai bila jiwa ini kembali dalam kasihMu. Secercah harapan, dan seberkas asa semoga segera menghampiri jiwa lara, agar ianya tidak terus berada di alam penuh hawa. Karena jalan ini mukan fitrah dan manusia, ia hanya imajinasi berkedok aroma surgawi. Semoga semua berakhir dan diri ini kembali ke jalan kenikmatan hakiki... Amin. Inilah bisikan jiwa yang masih terpenjara.... Bogor, 11 Agustus 2020.

Kamis, 06 Agustus 2020

ISLAMIC PHILANTROPHY: DARI PERIBADAHAN PADA ILAHI HINGGA HUBUNGAN ANTAR INSANI

Oleh: Abdurrahman Misno


Pendahuluan

Alhamdulillah, syukur kepada Allah Ta’ala adalah sebuah keniscayaan, ia menjadi salah satu tanda dari tanda-tanda keimanan seseorang. Syukur yang diawali dengan keyakinan di dalam hati bahwa segala nikmat yang ada datang dari Allah Ta’ala, mengucapkan syukur tersebut dengan lisan dan mempergunakan seluruh nikmat tersebut di jalan Allah Ta’ala. Secara khusus, syukur kita panjatkan atas hidayah dan inayahnya sehingga hingga hari ini kita masih dapat melaksanakan kewajiban dari Allah Ta’ala yang menjadi syariahNya yang mulia.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan alam, habibana wa nabiyyana Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, kepada sleuruh ahli baitnya, para shahabatnya dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak sunnahnya hingga akhir zaman. Allahumma shalli wa sallim wa baarik ‘alaihi...

 

Peribadahan dalam Islam dan Kepedulian Sesama Insan

Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka beribadah hanya kepadaNya, sebagaimana kalamNya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. QS. Adz-Dzariayat: 56.

Ibadah dalam arti yang luas adalah seluruh aktifitas yang diridhai oleh Allah Ta’ala, sebagaimana pengertian yang disebutkan oleh Syaikhul Islam:  

 العبادة اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال  الباطنة والظاهرة

Ibadah adalah satu kata yang mencakup segala hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik itu perkataan maupun perbuatan, perkara batin maupun dzahir.  

Maka, seluruh aktifitas yang dapat mendatangkan keridhaanNya adalah ibadah, baik itu berupa ibadah dengan menyembahNya sesuai dengan yang disyariahkanNya, atau muamalah antar sesama manusia yang juga merupakan sarana untuk mencapai kepada kebajikan di sisiNya. Hal ini sebagaimana firmanNya:

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. QS. Al-Baqarah: 177.

Merujuk pada ayat ini, maka selain beribadah kepada Allah Ta’ala, melakukan aktifitas yang bermanfaat bagi manusia juga merupakan suatu kebajikan. Memberikan bantuan kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta merupakan bentuk kebajikan yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Aktifitas menyenangkan orang lain dengan melakukan berbagai aktifitas yang dapat membahagiakan mereka disebut dengan philantrophy. Istilah Filantropi (Philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, Philos yang berarti Cinta, dan Anthropos yang berarti Manusia, sehingga secara harfiah Filantropi adalah konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Secara lebih sederhana dapat dipahami bahwa filantropi adalah upaya untuk berbagi menyalurkan sumber daya dan berderma secara terorganisir untuk kepentingan strategis jangka panjang dan berkelanjutan.

 

Islamic Philantrophy: Ibadah dan Muamalah

Islam sebagai agama yang datang dari Sang Pencipta alam semesta memberikan perhatian yang besar terhadap hal-hal yang berhubungan dengan muamalah antar sesama manusia. Termasuk anjuran untuk senantiasa membantu orang-orang yang lemah dan mengalami kekurangan harta benda. Merujuk pada QS. Al-Baqarah: 177, maka membantu orang-orang yang memerlukan adalah salah satu dari kebajikan yang diperintahkanNya. Maka, Islamic Philantrophy atau Filantropi dalam Islam adalah bagian tidak terpisahkan dari syariah Islam yang mulia ini.

Karakter khas dari Islamic Philantrophy adalah dasar tauhid dan keimanan kepada Allah Ta’ala yang menjadi landasan bagi seluruh aktifitas berderma. Rasa persaudaraan dalam Islam (Ukhuwah Islamiyah) serta solidaritas sesama manusia menjadi bagian tidak terpisahkan dalam Islam, saling mencintai karena Allah adalah salah satu dari sarana untuk mendapatkan manisnya iman, sebagaimana sabda Nabi:

«ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ»

Tiga perkara yang barangsiapa itu terdapat pada dirinya, maka dia akan merasakan lezatnya iman, yaitu: [1] Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, [2] mencintai saudaranya karena Allah semata, [3] membenci kembali kepada kekufuran sebagaimana benci jika dilemparkan ke dalam api.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.

Kecintaan kita terhadap saudara kita sesama muslim dan juga seluruh umat manusia tercermin dalam amal kita sehari-hari. Ia juga terkait erat dengan keimanan, sehingga Nabi pernah bersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ إِلٰى جَنْبِهِ .

Bukanlah seorang mukmin, orang yang kenyang, sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya. HR. Bukhari dalam Adab Al-Mufrad.

Seseorang dianggap tidak sempurna imannya jika dia dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan. Hadits yang mulia ini menunjukan kepada kita bagaimana ternyata dalam Islam kepedulian kepada sesama adalah salah satu penyempurna keimanan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Islamic philantrophy adalah bukti dari keimanan seseorang, ia mengeluarkan hartanya dengan berderma sebagai bukti dari keimanann kepada Allah Ta’ala. Aktifitas ini adalah bentuk ibadah kepadaNya, namun di sisi lain juga merupakan muamalah dengan sesama manusia.

 

Sistem Filantropi Islam yang Komprehensif dan Universal

Islam memiliki sistem filantropi yang sangat komprehensif dan universal, komprehensif karena semuanya telah ada aturannya dan universal karena dapat dipraktikkan oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan bagaimanapun juga. Sistem yang dimaksud adalah adanya berbagai jenis derma dalam Islam yang memiliki karakteristik masing-masing, yaitu; shadaqah, wakaf dan zakat dalam bahasa sehari-hari disebut ZISWAF: Zakat, Infaq, Shadaqah dan Wakaf.

Pertama, Zakat merupakan ibadah kepada Allah Ta’ala yang berupa mengeluarkan sebagian harta tertentu dari orang-orang yang telah memenuhi syarat berzakat (muzzaki) yang diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Zakat adalah kewajiban bagi setiap orang muslim yang memiliki harta yang wajib dizakati yang telah mencapai nishab dan haul-nya. Harta tersebut diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq), yaitu: orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat (aamil), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk orang-orang yang berada di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (QS. At-Taubah: 60).  

Karakter dari filantropi Islam dalam bentuk zakat adalah bahwa harta yang dikeluarkan tersebut khusus diperuntukan kepada mereka yang berhak menerimanya. Walaupun para cendekiawan muslim kontemporer menginterpretasikan mustahiq zakat saat ini dengan lebih luas lagi. Demikian pula pemberian dalam bentuk zakat, saat ini tidak hanya bersifat konsumtif, namun juga bersifat produktif untuk meningkatkan ekonomi mereka khususnya zakat bagi fakir dan miskin.

Kedua, Infaq dan Shadaqah berupa mendermakan harta bendanya di jalan Allah Ta’ala untuk mendapatkan pahala dan ridhaNya. Sifatnya yang berupa anjuran serta peruntukan yang sangat luas ini menjadikan infaq dan shadaqah menjadi filantropi Islam yang sangat luwes dan fleksibel. Jika zakat diberikan hanya kepada mereka yang berhak saja, sementara infaq dan shadaqah bisa untuk siapa saja dan kebutuhan apa saja yang terkait dengan kemashlahatan umat manusia.

Karakter dari infaq dan shadaqah yang bersifat umum, menjadikan ibadah dalam bentuk derma ini sangat luas manfaatnya bagi umat Islam, sehingga ke depan ianya menjadi sistem filantropi yang memberikan lebih banyak manfaat untuk umat Islam dan juga alam semesta.

Ketiga, Wakaf adalah mengeluarkan harta di jalan Allah Ta’ala di mana pokok harta tersebut akan dimanfaatkan dan hasilnya digunakan untuk kemashlahatan umat Islam. Wakaf biasanya berupa tanah atau bangunan yang sifatnya permanen dan tidak rusak, hal ini karena karakter dari wakaf adalah shadaqah jaariyah, yaitu amalan yang pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf itu masih ada. Saat ini wakaf tidak hanya terbatas pada harta benda yang tidak bergerak atau harta benda yang bersifat permanen, bahkan kini berkembang cash waqf atau wakaf uang sehingga memudahkan semua orang untuk bisa berwakaf tanpa perlu menunggu memiliki tanah atau bangunan. Demikian juga para cendekiawan muslim mengembangkan wakaf tidak hanya yang bersifat muaabad atau abadi (awet) saja, tetapi juga telah membolehkan wakaf dalam bentuk benda bergerak seperti mobil, tempat sampah dan barang-barang lainnya. Selama barang-barang tersebut bernilai harta dan mampu bertahan cukup lama maka bisa dijadikan wakaf. Selain itu juga muncul istilah wakaf muaqath¸yaitu berwakaf dengan suatu harta benda dengan jangka waktu tertentu.

Karakter dari wakaf yang mengharuskan harta wakaf itu tetap ada, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan dan dimiliki oleh orang menjadikan aset wakaf tersebut tetap abadi. Sementara hasil dari wakaf tersebut dimanfaatkan untuk keperluan umat Islam. Tidak adanya batasan khusus atas pemanfaatan hasil wakaf menjadikan wakaf sebagai bagian dari filantropi Islam memiliki fungsi jangka panjang. Maka, wakaf menjadi satu sistem dalam Islam yang akan memberikan manfaat dan kemashlahatan secara terus-menerus bagi siapa saja, kapan saja, di mana saja dan dalam berbagai keadaannya. Selama adanya kebutuhan dan kemashlahatan yang didapatkan maka hasil dari wakaf dapat digunakan.

Tentu saja selain zakat, infaq, shadaqah dan wakaf masih ada sub sistem dari filantropi Islam, yaitu hibah dan hadiah yang membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sangat peduli dengan manusia dan alam semesta.

 

Penutup

Islamic Philantrophy adalah filantropi dalam Islam, yaitu aktifitas yang dapat membahagiakan manusia lainnya dalam bentuk memberikan ZISWAF dan derma lainnya. Aktifitas ini didasarkan atas iman kepada Allah Ta’ala, menjadi amal ibadah sekaligus kepedulian dengan sesama manusia serta memiliki tujuan untuk mendapatkan pahala dan ridha dari Allah Ta’ala. Aktifitas filantropi dalam Islam berupa ZISWAF dan derma lainnya menunjukan bahwa Islam adalah agama yang peduli dengan kemashlahatan insan. Karakter dari masing-masing ibadah-muamalah tersebut menjadikan filantropi dalam Islam sangat komprehensif dan menyeluruh bagi kebutuhan manusia dan semesta raya.  Wallahu’alam, Bogor, Gerimis Manis di Hari Kamis, 06 Agustus 2020.