Catatan Penting:
1. Diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, Mus-lim, Ashhāb as-Sunan dan lainnya.
Pada mulanya diriwayatkan secara ta-farrud (menyendiri, hadits ahad), yaitu ha-nya diriwayatkan oleh ‘Umar, kemudian oleh ‘Alqamah bin Abī Waqqāsh, kemu-dian oleh Muhammad bin Ibrāhīm at-Tay-miy, kemudian oleh Yahyā bin Sa’īd al-Anshāriy, kemudian setelah itu baru diri-wayatkan oleh banyak perawi.
Hadits ini termasuk hadits sangat me-ngagumkan yang tercantum dalam Shahīh al-Bukhāriy sekaligus sebagai hadits pe-ngantar. Demikian juga beliau menutup kitabnya dengan hadits yang sangat meng-agumkan pula, yaitu hadits yang diriwa-yatkan oleh Abū Hurayrah rda:
(( كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ... ))
“Ada 2 (dua) kalimat yang disukai oleh al-Rahmān, yaitu…”
2. Imam an-Nawawiy memulai ‘Ar-ba’īn-nya dengan hadits ini.
Banyak pula di antara para ulama yang memulai kitabnya dengan mencantumkan hadits ini, di antaranya adalah Imam al-Bukhāriy dalam Shāhih-nya, ‘Abd al-Ghaniy al-Maqdisiy dalam ‘Umdah al-Ahkam, al-Baghawiy dalam Syarh as-Sunnah dan Ma-shābīh as-Sunnah, dan as-Suyūthiy dalam al-Jāmi’ ash-Shaghīr.
Imam an-Nawawiy dalam bagian awal kitab al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab (1/35) mengemukakan sebuah pasal yang me-ngupas hadits ini, kemudian berkata:
“Pasal tentang ikhlash, jujur dan mengha-dirkan niat ketika mengerjakan setiap amal perbuatan, yang nampak nyata dan terlihat maupun yang samar tersembunyi. Kemudian beliau mengemukakan 3 (tiga) ayat al-Qur’an, lalu hadits “Sesungguhnya setiap amal perbu-atan tergantung pada niatnya”, dengan mem-berikan komentar: “Hadits ini telah disepakati keshahihan dan keagungan kedudukannya. Ha-dits ini merupakan salah satu poros dan pilar keimanan, bahkan sebagai rukun utamanya”
Imam asy-Syāfi’iy berkata:
“Hadits ini merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih”, dan di lain waktu beliau berkata:
“Hadits ini menghimpun sepertiga ilmu”, dan ungkapan senada seperti ini telah di-kemukakan pula oleh para ulama lainnya.
Hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi pilar agama, meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan bilangan hadits-hadits tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat 3 (tiga) ha-dits, 4 (empat) hadits, 2 (dua) hadits dan ada pula yang menyatakan hanya 1 (satu) hadits saja. Dan saya telah menghimpun hadits ini berjumlah 40 (empat puluh)-an hadits. Barangsiapa yang ingin mengeta-hui ajaran agamanya, maka hadits-hadits tersebut telah mencukupinya, karena se-muanya adalah hadits-hadits shahih dan sekaligus sebagai hadits-hadits yang meng-himpun kaedah-kaedah Islam, baik dalam ushūl (pokok) maupun furū’ (cabang), ten-tang zuhud, adab, akhlak dan lainnya. Dalam kitab saya, saya memulainya de-ngan hadits ini karena ingin meneladani para imam salaf terdahulu. Penghulu para imam ahli hadits, Imam Abū ‘Abdillah al-Bukhāriy, memulai Shāhih-nya dengan hadits ini. Dan diriwayatkan bahwa para imam ahli hadits sangat menyenangi un-tuk memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Tujuannya adalah untuk meng-ingatkan para pencari ilmu agar senanti-asa meluruskan dan membenarkan niatnya, yaitu hanya untuk mengharapkan wajah Allah swt dalam setiap amal perbuatannya, yang nampak nyata maupun yang tersem-bunyi. Diriwayatkan bahwa Imam Abū Sa’īd ‘Abdur Rahmān bin Mahdiy berkata:
“Seandainya saya menulis sebuah kitab, maka dalam setiap babnya akan saya cantum-kan hadits ini”, dan diriwayatkan pula bah-wa beliau berkata:
“Barangsiapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka hendaknya ia memulainya dengan hadits ini”
Imam Abū Sulaymān Hamd bin Mu-hammad bin Ibrāhīm al-Khaththābiy asy-Syāfi’iy dalam kitab al-Ma’ālim-nya berkata:
“Guru-guru kami terdahulu sangat me-nyukai untuk memulai berbagai pembahasan tentang masalah agama dengan hadits ini, ka-rena hadits ini berkaitan erat dengan berbagai persoalan”
Ibnu Rajab dalam Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam (1/61) berkata:
“Para ulama telah berkonsensus tentang keshahihan hadits ini dan menerimanya dengan bulat hati. Bahkan al-Bukhāriy memulai Sha-hīh-nya dengan hadits ini dan menjadikannya sebagai pengantar. Hal ini memberikan isya-rat bahwa semua amal perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencapai wajah Allah adalah amal perbuatan yang batil dan tidak akan ber-manfaat sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat”
3. Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini merupa-kan salah satu hadits yang menjadi men-jadi pilar agama. Diriwayatkan bahwa Imam al-Syāfi’iy berkata: “Hadits ini merangkum sepertiga ilmu, dan merangkum 70 (tujuh puluh) bab fiqih” Dan diriwayatkan pula bahwa Imam Ahmad berkata:
“Pilar agama Islam terangkum dalam 3 (tiga) hadits, yaitu:
· Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung
pada niatnya…”,
· Hadits ‘Āysyah “Barangsiapa yang meng-ada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka amalan tersebut pasti tertolak”,
· Hadits an-Nu’mān bin Basyīr “Sesung-guhnya hal yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas…”.
Dan ketika mengomentari pendapat Imam Ahmad, beliau (1/71) berkata:
“Bahwa seluruh pembahasan masalah aga-ma bertumpu pada prinsip melaksanakan pe-rintah, meninggalkan larangan dan tidak men-jerumuskan diri mengikuti yang samar, dan hal ini akan sempurna apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
· Zhāhir amal (yang terlihat nyata) harus sesuai dengan as-Sunnah, dan hal ini terangkum dalam hadits ‘Āysyah “Ba-rangsiapa yang mengada-adakan amalan dalam urusan (agama) kami ini yang bu-kan (berasal) darinya, maka amalan terse-but pasti tertolak”
· Bāthin amal (dalam hati) harus dimak-sudkan hanya untuk mengharap wajah Allah swt semata. Dan hal ini terang-kum dalam hadits ‘Umar “Sesungguh-nya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya””
Ibnu Rajab (1/61-63) ketika mengemu-kakan berbagai komentar para ulama ten-tang hadits-hadits yang menjadi dasar pi-jakan Islam, beliau berkata:
“Di antara para ulama ada yang berpen-dapat bahwa hadits-hadits tersebut berjumlah 2 (dua) hadits, 4 (empat) hadits, dan ada pula yang menyatakan ada 5 (lima) hadits saja. Di antara hadits-hadits yang mereka kemukakan selain 3 (tiga) hadits yang telah disebutkan di atas, adalah:
· Hadits “Sesungguhnya setiap kalian di-kumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari…….”,
· Hadits “Di antara tanda baiknya keislam-an seseorang adalah ketika dia meninggal-kan sesuatu yang tidak berguna baginya”,
· Hadits “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, dan tidak akan menerima kecuali yang baik…”,
· Hadits “Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga dia men-cintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”,
· Hadits “Apa yang aku larang bagi kalian hendaklah kalian menghinda-rinya dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian”,
· Hadits “Zuhudlah terhadap dunia, maka engkau akan dicintai Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada orang lain, maka engkau akan dicintai orang”, dan
· Hadits “Agama Islam adalah nasehat…”.
4. “Sesungguhnya setiap amal perbuatan ter-gantung pada niatnya”, Innamā adalah huruf al-hashr (membatasi apa yang disebutkan setelahnya), adapun alīf lām dalam al-a’māl adalah untuk menunjuk-kan hal yang berkaitan khusus dengan masalah taqarrub (taat) kepada Allah swt.
Namun ada pula pendapat yang me-nyatakan bahwa alīf lām tersebut adalah untuk menunjukkan setiap amalan yang bersifat umum.
Oleh karena itu, apabila amal perbu-atan tersebut termasuk bentuk taqarrub ke-pada Allah swt, maka pelakunya pasti akan mendapatkan pahala kebaikan. Dan apa-bila amal perbuatan tersebut termasuk adat kebiasaan, seperti makan, minum dan ti-dur, apabila pelakunya ingin mendapatkan pahala kebaikan, maka hendaknya dia me-niatkan amal kebiasaan tersebut dalam rangka menunjang ketaatan kepada Allah. Alif lam dalam an-niyyāt adalah pengganti dari dhamīr (kata ganti) hā, yaitu bahwa al-a’māl bi niyyātihā. an-Niyyah atau niat se-cara morfologis berarti al-qashd (maksud, kehendak atau tujuan), yang berfungsi se-bagai pembeda antara beragam jenis iba-dah, seperti pembeda antara fardhu yang satu dengan jenis fardhu lainnya, atau an-tara yang fardhu dengan nāfilah (sunnah), dan pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan, seperti mandi ibadah apabila diniatkan untuk menghilangkan junūb de-ngan mandi kebiasaan yang hanya bertu-juan untuk menyegarkan dan membersih-kan badan.
5. “Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya”, maka Ibnu Rajab (1/65) berkata:
“Ungkapan ini merupakan penjelasan yang menerangkan bahwa pelaku perbuatan akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Apabila niatnya baik, maka pahalanya adalah kebaikan. Dan apabila niatnya jelek, maka pa-halanya adalah kejelekan (dosa) pula. Ungkapan ini bukan merupakan pengulangan dari ung-kapan pertama (sebelumnya), karena ungkapan pertama hanya menunjukkan bahwa kebaikan atau kejelekan suatu amal perbuatan adalah sesuai dengan niat yang dikehendaki. Sedang-kan ungkapan kedua menunjukkan bahwa pa-hala pelaku amal perbuatan adalah tergantung kepada niat baiknya, demikian pula dosanya adalah dikarenakan niatnya yang jelek. Dan bisa jadi niatnya adalah niat yang mubah, ma-ka amalnyapun bernilai mubah, tidak bernilai kebaikan dan tidak juga bernilai dosa. Nilai suatu amal perbuatan, baik, buruk atau mubah tergantung kepada niat yang menjadi pendo-rong adanya amal perbuatan tersebut. Demi-kian pula halnya dengan pahala, dosa dan ke-selamatan pelaku amal perbuatan, maka ter-gantung kepada niatnya, karena hanya dengan niatlah suatu amal perbuatan da-pat dinilai sebagai amal yang baik, jelek ataupun mubah”
6. “Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wa-nita yang ingin dinikahinya, maka hijrah-nya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, hijrah berasal dari akar kata al-hajr, yang berarti at-tark (meninggal-kan). Oleh karena itu, hijrah adalah me-ninggalkan negeri yang diliputi keta-kutan menuju negeri yang aman ten-teram, seperti hijrah dari Mekkah ke Habasyah. Atau hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam, seperti hijrah dari Mekkah ke Madinah, sehingga hijrah tersebut berakhir manakala Mekkah telah berhasil ditaklukkan. Hijrah da-pat pula berarti hijrah dari negeri syi-rik ke negeri Islam, dan hijrah ini akan tetap berlaku hingga datangnya hari kiamat.
“Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya”, dalam ungkapan ini ter-himpun antara sesuatu yang menjadi sya-rat dengan jawabannya, padahal hukum asalnya adalah harus terpisah. Maka mak-nanya adalah: “Barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka pahala hijrahnya ada di sisi Allah dan Rasul-Nya”, dari sini jelaslah bahwa an-tara syarat dan jawabannya ternyata kali-matnya terpisah.
Ibnu Rajab (1/72) berkata:
“Ketika Rasulullah menjelaskan bahwa se-tiap amal perbuatan sesuai dengan niatnya, dan bahwa hasil jerih-payah seseorang dalam me-ngerjakan amal perbuatan adalah berdarkan niatnya, baik atau buruknya, maka kedua ung-kapan berikut merupakan ungkapan umum lagi menyeluruh, bahwa amal apapun tidak akan pernah lepas darinya (yaitu niat). Oleh karena itu, maka kemudian beliau menyebut-kan salah satu contoh amal perbuatan yang memiliki bentuk yang sama, namun mempu-nyai hasil yang berbeda, sesuai dengan baik dan buruknya niat amal tersebut. Sehingga seakan-akan Rasullah bersabda bahwa “Setiap amal perbuatan mempunyai hasil yang sama persis dengan contoh yang ada dalam permi-salan””
Dan beliau (1/73) berkata:
“Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan bahwa hijrah mempunyai pahala yang berbeda-beda, sesuai perbedan niat dan maksudnya. Barangsiapa yang hijrah ke negeri Islam ka-rena cinta Allah dan Rasul-Nya, atau karena ingin mempelajari agama Islam, dan membela agama-Nya, ketika di negeri syirik dia tidak sanggup mengerjakannya, maka dia telah ber-hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya secara ha-kiki. Dan cukuplah ia untuk mendapatkan ke-banggaan dan kemuliaan manakala ia menda-patkan pahala hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya, yaitu diterima di sisi Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, jawaban dari syarat yang disebutkan akhirnya diulang de-ngan kata syarat itu sendiri. Hal ini dikarena-kan tujuan yang ingin dicapainya tiada lain adalah tujuan tertingginya, yaitu demi keba-ikan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang hijrahnya dari negeri syirik ke negeri Islam hanya untuk mencari ke-pentingan duniawi yang ingin diraihnya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuannya tersebut. Niat pertama adalah niat seorang pedagang, dan niat kedua adalah niat seorang yang hendak melamar ke-kasihnya, maka keduanya tidaklah dapat dise-but sebagai seorang muhājir. Di dalam ung-kapan “…maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”, adalah ungkapan penghinaan dan pendiskreditan terhadap tu-juan duniawi yang menjadi incarannya, karena Rasulullah tidak menyebutkan kalimat yang menjadi syaratnya. Di samping itu, hal ini berarti bahwa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah satu dan tidak akan terbagi-bagi, karena ungkapan jawabnya menggunakan ung-kapan yang sama dengan ungkapan syarat. Hijrah karena kepentingan duniawi tidak ada batasnya, karena seseorang yang berhijrah ka-rena kepentingan duniawi bisa jadi karena hen-dak meraih kepentingan yang dibolehkan, atau pun kepentingan duniawi yang diharamkan. Oleh karena itu jenis kepentingan duniawi yang menjadi tujuan hijrah tidak ada batasnya, maka Rasulullah bersabda dengan ungkapan “…ma-ka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan-nya tersebut”, yaitu hal apapun yang menjadi tujuan hijrahnya”
7. Ibnu Rajab (1/74-75) berkata:
“Sudah sangat terkenal bahwa kisah ten-tang seorang laki-laki yang berhijrah karena hendak menikah Ummu Qays adalah yang men-jadi penyebab sabda Rasulullah Dan barang-siapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya…”. Hal ini bahkan banyak disebutkan oleh para ulama khalaf da-lam buku-bukunya, namun saya berpendapat bahwa kisah ini tidak memiliki landasan yang benar. Wallahu A’lam”
8. Tempat niat ada di dalam hati, maka melafazhkannya termasuk perbuatan bid’ah.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk melafazkan niat dalam setiap amal ketaatan, apapun bentuknya, kecuali da-lam haji dan ‘umrah. Karena ketika haji atau ‘umrah, seseorang yang mengucap-kan talbiyyah harus meniatkan tujuannya, apakah qirān, ifrād ataupun tamattu’, dengan mengucapkan “Labbayk ‘Umratan wa Haj-jan” atau “Labbayk Hajjan” atau “Labbayk ‘Umratan”, karena hal ini ada dasar hadits-nya, se-dangkan amal ibadah lainnya tidak ada penjelasannya.