Selasa, 06 Maret 2018

Analisis Maqashid Syariah dan Fiqih Lingkungan Terhadap Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan

Oleh: Abu Aisyah

Manusia diciptakan di Bumi Allah sebagai khalifah untuk memimpin, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 30.Allah menakdirkan manusia sebagai makhluk ekonomi yang membutuhkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat bertahan selama waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Manusia diberikan kebebasan hak untuk memanfaat sumber daya yang ada di Bumi, mengeksploitasi alam sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya. Namun, kebebasan yang dimaksud pastinya adalah kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab.
Manusia yang diberikan akal dan perasaan oleh Allah sepatutnya memiliki rasa sayang yang tinggi, tak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada makhluk lain, yaitu hewan dan tumbuhan atau lingkungan alam sekitarnya. Manusia yang hidup secara berkelompok membentuk suatu organisasi, baik organisasi yang berorientasi profit maupun yang tidak. Keduanya memang perlu pula sumber daya alam yang ada di muka bumi untuk keberlangsungan hidup organisasi tersebut. Hanya saja dewasa ini eksploitasi alam yang banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi yang ada sudah sedikit melakukan pertanggung jawaban atas eksploitasi yang telah dilakukan.
Dalam bukunya yang berjudul, An Inconvenieth Truth: The Crisis of Global Warming al-Gore mengingatkan umat manusia akan bahaya pemanasan global (global warming). Dalam bukunya yang ditulis sebelumnya, al-Gore mengemukakan: “the disharmonisasi in our relationship to the earth, wich stems in part fromour addiction to a pattern of cunsuming ever-large quantities of the resources of the earth, is now manifest in succesive crises”. (Thohari, 2013).
Inti dari pendapat al-Gore dalam buku tersebut bahwa terjadi ketidakharmonisan antara manusia dengan bumi yang diakibatkan dari banyaknya konsumsi sumber daya alam di bumi secara berlebihan dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran untuk dapat berperan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan dari semua pihak, mulai dari kalangan rumah tangga, pejabat, tokoh masyarakat sampai organisasi atau korporasi-korporasi. Pihak-pihak tersebut perlu pemahaman yang lebih lanjut mengenai fiqih lingkungan guna mengetahui teori yang dapat dipraktikkan dalam upaya menjaga lingkungan. Disitulah betapa pentingnya fiqih lingkungan.
Sebagaimana diketahui bahwa syariah pada prinsipnya mengacu pada kemaslahatan manusia. Tujuan utama syariat Islam (maqashid syariah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hal ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil alamin.
Al-Syatibi dalam karangannya, al-Muwafaqat, menegaskan bahwa telah diketahui tujuan syariat Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak. Dalam ungkapan lain, Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa terdapat kemaslahatan, maka terdapat hukum Allah. (Thohari, 2013)

1.    Kajian Literatur
1.1.  Fiqih Lingkungan
Fiqih lingkungan (fiqh al-bi’ah), secara etimologis terdiri dari dua kata yang tersusun secara idafah yang termasuk kategori bayaniyyah (kata kedua/mudaf ilaih sebagai keterangan dari kata pertama/mudaf).
Dengan demikian, kata lingkungan merupakan penjelasan fiqih dan sekaligus sebagai tujuan dari kajian fiqih tersebut. Secara istilah, fiqih lingkungan dapat diartikan sebagai seperangkat aturan tentang perilaku ekologis manusia yang ditetapkan oleh ulama yang berkompeten berdasarkan dalil yang terperinci untuk tujuan mencapai kemaslahatan kehidupan yang bernuansa ekologis. Definisi ini sebagai pengembangan dari definisi fiqih seperti yang termuat dalam kutipan-kutipan sebelumnya. (Thohari, 2013).
Dari definisi fiqih lingkungan tersebut, ada empat hal yang perlu dijabarkan, yaitu :
1)   Seperangkat aturan perilaku yang bermakna bahwa aturan-aturan yang dirumuskan mengatur hubungan prilaku manusia dalam interaksinya dengan alam. Rumusan aturan perilaku tersebut aka diwadahi dengan hukum-hukum fiqih dalam lima wadah: al-wujub, an-nadb, alibahah, al-karahah, dan al-hurmah. Dengan demikian, seperangkat interaksi tersebut mengacu pada status hukum perbuatan mukallaf dalam interaksinya dengan lingkungan hidup. Kategori-kategori aturan tersebut memiliki kekuatan spiritual bahkan kekuatan eksekusi formal manakala aturan fiqih tersebut dapat disumbangkan kedalam proses pengembangan dan pembinaan hukum positif/hukum nasional tentang lingkungan hidup.
2)   Perumusan fiqih lingkungan harus dilakukan oleh ulama yang mengerti tentang lingkungan hidup dan menguasai sumber-sumber normatif (al-Qur’an, hadits, dan ijtihad-ijtihad ulama) tentang aturan fiqih lingkungan. Dengan demikian, mujtahid lingkungan mesti memiliki pengetahuan ideal normatif dan pengetahuan tentang fakta-fakta empirik lingkungan hidup. Oleh karena itu, perumusan fiqih lingkungan mesti melibatkan pengetahuan tentang ekologi.
3)   Penetapan hukum fiqih lingkungan harus mengacu kepada dalil. Dalil dalam hal ini tidak hanya dipahami secara tekstual dalam arti nass, tetapi mencakup dalil yang diekstrak atau digeneralisir dari maksud syariat. Pada bagian yang terakhir ini, generalisasi dalil melalui qiyas atau generalisasi maksud syariat melalui mashlahah mursalah akan dilakukan.
4)   Sesuatu yang ingin dituju oleh fiqih lingkungan yaitu kehidupan semua makhluk Tuhan. Hal ini menggambarkan aksiologi fiqih lingkungan yang akan mengatur agar semua sepesies makhluk Tuhan dapat hidup dalam space alam yang wajar sehingga akan memberikan daya dukung optimum bagi kehidupan bersama yang berprikemakhlukan, rahmatan li al-‘alamin. (Abdillah, 2005 dalam Thohari, 2013).
Secara umum, penggalian hukum fiqih tersimpul dalam tiga pendekatan, yaitu deduktif, induktif dan integralistik. Deduktif atau istinbath al-ahkam adalah metode berpikir yang dimulai dari dalil (teks). Dengan melalui analisis ebahasaan, teks tersebut melahirkan hukum. Pada umumnya, metode deduksi adalah cara yang ditempuh ulama-ulama hadis (muhaddis) dan ulama tafsir (mufasir) karena salah stau tugas mereka adalah menjelaskan kandungan nass yang bermula dari pendekatan nash itu sendiri. Tugas mufasir dan muhaddis adalah memberikan interpretasi (bayan) terhadap nash. Metode induktif (istiqrai) biasanya dirumuskan oleh mujtahid yang berorientasi sosiologis antropologis. Bagi mereka, kenyataan-kenyataan sosial dapat menentukan rumusan hukum. Bagi kelompok kedua ini terkenal sebuah kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah (hukum dapat berubah dengan perubahan zaman dan tempat). Di antara mereka ada menggubungkan antara istinbaty dan istiqra’iy secara integralistik, seperti dikembangkan asy-Syatibi.
Baik model deduktif maupun induktif atau integralistik sama-sama memberikan kesimpulan hukum fiqih tentang suruhan (amr) memelihara dan memperbaiki lingkungan dan larangan (nahy) terhadap perilaku destruktif terhadap lingkungan. Penalaran deduktif lebih bersifat doktrin, sedangkan penalaran induktif lebih membumi dan rasional. Pendekatan integralistik akan menjembatani kesenjangan yang mungkin terjadi anata kedua pendekatan tersebut. (Thohari, 2013).

1.2.  Corporate Social Responsibility (CSR)
Manusia yang diberikan akal dan perasaan oleh Allah sepatutnya memiliki rasa sayang yang tinggi, tak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada makhluk lain, yaitu hewan dan tumbuhan atau lingkungan alam sekitarnya. Manusia yang hidup secara berkelompok membentuk suatu organisasi, baik organisasi yang berorientasi profit maupun yang tidak. Keduanya memang perlu pula sumber daya alam yang ada di muka bumi untuk keberlangsungan hidup organisasi tersebut. Hanya saja dewasa ini eksploitasi alam yang banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi yang ada sudah sedikit melakukan pertanggung jawaban atas eksploitasi yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban yang dimaksud tersebut dalam suatu organisasi lebih dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).
CSR yang dilakukan oleh kebanyakan organisasi adalah sekedar pertanggungjawaban organisasi terhadap masyarakat dan eksternal organisasi yang sering tidak ada kesinambungan dan dampak yang panjang terhadap internal organisasi sendiri. Kebanyakan organisasi melakukan CSR dalam bidang sosial dan lingkungan melalui program-program seminar, workshop dan kompetisi yang tanpa disadari justru semakin menambah eksploitasi lingkungan.
CSR menurut Elisabeth Garriga dan Domence Mele dalam artikelnya Corporate Social Responsibility Theory: Mapping the Theory, CSR mempunyai fokus pada empat aspek utama, yaitu: (1) mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan; (2) menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab; (3) mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial; dan (4) berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika.
Di Indonesia regulasi yang mengatur soal tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) atau lebih spesifik lagi tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan memang telah membuat CSR tidak hanya menjadi suatu kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary), tetapi dengan sendirinya menjadi suatu kewajiban (mandatory) yang bermakna liability. Memperkuat kewajiban dalam pelaksanaan CSR oleh semua perusahaan, maka pemerintah mengeluarkan regulasi diantaranya :
1)   Undang-Undang Tentang Perseroaan Terbatas No 40 Tahun 2007, serta peraturan pemerintah No. 47 tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan erbatas (PP/47/2012). Salah satu aturan UUPT menyatakan bahwa “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR dalam bidang lingkungan” (Pasal 74 ayat 1).
2)   Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU25/2007) Dalam Pasal 15 huruf (b) UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf (b) UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
3)   Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab tersebut terdapat dalam Pasal 68.
4)   Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan.
Regulasi-regulasi diatas menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial lingkungan merupakan kewajiban perusahaan yang harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat empat model atau pola CSR yang pada umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia antara lain yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, bermitra dengan pihak lain, mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. (Darmawati, 2004).
Menurut Prince of Wales Foundation ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR, yaitu menyangkut human capital (pemberdayaan manusia), environments (lingkungan), Good Corporate Governance, Social cohesion dan Economic strength. (Untung, 2008 dalam Wafda, 2016).
Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan di perusahaan itu sendiri (internal) maupun di luar lingkungan perusahaan (eksternal). Perusahaan sebagai suatu aktivitas yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar sudah selayaknya memikirkan kepentingan masyarakat di sekitarnya, karena perusahaan sebenarnya juga merupakan bagian dari masyarakat.
Dengan demikian, dibalik penerapan CSR oleh perusahaan terdapat motivasi yang menonjol, yaitu demi menjamin keberlangsungan hidup perusahaan, meningkatkan citra perusahaan, dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Di samping itu, faktor pendukung utama penerapan CSR adalah adanya kesadaran dari perusahaan itu sendiri, meskipun motifnya sebagai upaya untuk  menjaga  hubungan baiknya dengan stakeholders. (Kangihade, 2013).

2.    Analisis Maqashid Syariah
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al Qur‟an adalah menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang adil (egalitarian) dan etis atau berdasarkan  etika. Tentu saja al Qur‟an tidak melarang manusia untuk mencari kekayaan. Sebaliknya ia memberikan nilai yang tinggi kepada kekayaan dengan sebutan sebagai kelimpahan dari Allah atau fadhlullah. Sebagaimana QS al Jumu‟ah (62:10) yang artinya: “maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (Rahman, 1196 dalam Wafda, 2016).
Tetapi penyalahgunaan kekayaaan dapat menghalangi manusia didalam mencari nilai-nilai yang luhur sehingga kekayaan tersebut menjadi “sebagian kecil dari kelimpahan dunia” dan “delusi dunia”. Tanpa keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin, shalat sekalipun akan berubah menjadi semacam perbuatan munafik sebagaimana QS. Al-Maun (107:1-7).
Maka dalam konteks diatas, bisnis yang memang dianjurkan oleh syariat Islam akan menjadi hal yang dicela oleh Allah swt. Tentu bila dari perilaku bisnis tersebut menimbulkan fasad fi al Ardhi kerusakan di bumi, atau “penyelewengan di atas dunia”, yang juga bisa diartikan “keadaan yang menjurus pada pengabaian hukum-hukum yang telah di tetapkan oleh Syariat.
Maka dalam pelaksanaan bisnis baik bagi pelaku bisnis individu perseorangan atau serikat perusahaan, dalam mengambil kebijakan bisnisnya harus benar-benar berdasar pada Maqashid Syari‟ah. Terlebih pelaku bisnis yang berkaitan langsung dengan lingkungan. Sebab yang diharapkan adalah mewujudkan kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan itu dapat diwujudkan jika lima unsur pokok (usul al- khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu menurut al-Syatibi, adalah din (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta), dan aql (akal). Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu dibagi kepada tiga tingkatan kebutuhan, yaitu daruriyat (kebutuhan primer, mesti), hajiyat (kebutuhan sekunder, dibutuhkan), tahsiniyat (kebutuhan tersier). Kebutuhan daruriyat ialah tingkatan kebutuhan yang harus ada sehingga disebut kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Memang dari rumusan tersebut tidak disebut secara jelas tentang pelestarian lingkungan (al Bi’ah), namun mempertimbangkan menjaga lingkungan (hifdzu al Bi’ah) atau menjaga alam semesta (hifdzu alAlam) adalah bagian dari Maqashid syari’ah menjadi keniscayaan, setidaknya berikut penjelasannya :
Pertama, memelihara alam semesta (hifdz al ‘alam) merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah disampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup, merupakan bagian integral dari tingkat keimananan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut pemeliharaan alam semesta (hifdz al ‘alam).atau pemeliharaan lingkungan (hidz al Bi’ah) dipandang sebagai bagian dari maqashid al-syariah, sebagaimana yang ditawarkan oleh Al Qardhawi. Bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Hal ini sejalan dengan maqasid al-syariah.
Dalam pandanganya, Al-Qaradhawi merumuskan istilah: hifzal-biah min al-muhafazahala ad-din (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara agama), hifz al-bi’ah min al-muhafazah ala an-nafs (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara jiwa), hifz al-bi’ah min al-muhafazah ‘ala an-nasl (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara keturunan) , hifz al-bi’ah min al-muhafazahala al-‘aql (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara akal), hifz al-bi’ah min al-muhafazah ‘ala al-mal (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara harta). Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.
Kedua, tanpa merubah struktur (alkulliyatul al-khamsah) sebagaimana rumusan Al-Syatibi, namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan maala yatimmu al-wajib illa bihi fahua wajib (sesuatu yang menjadi mediator pelaksanaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meski pun pemeliharaan alam semesta tidak termasuk dalam kategori al-kulliyat al-khamsah, tetapi al-kulliyat al-khamsah itu tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta diabaikan. Atau dengan kata lain, meletakkan pemeliharaan lingkungan sebagai kebutuhan yang Dharuri dan pembahasannya pun menjadi pioritas (al Ashliyah). (Thohari, 2013).
Sesuai dengan prinsip bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, maka pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syari‟at. Dengan kata lain, syariat atau hukum merupakan kendali bisnis atau nilai utama yang menjadi payung strategis maupun taktis bagi organisasi bisnis. Maslahah bertujuan melahirkan manfaat, persepsi yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan.  Konsep Maslahah tidak selaras dengan kemudaratan, itulah sebabnya dia melahirkan persepsi menolak kemudaratan (daf‟u mafsadah) seperti barang- barang haram, termasuk syubhat, bentuk konsumsi yang mengabaikan orang lain dan membahayakan diri sendiri. (Bahsoan, 2011).
Dengan demikian maqasid al-syari’ah tidak terlepas dari dimensi insani. Dengan asumsi bahwa syariah Islam bertujuan menuntun manusia mencapai kebahagiaan. Tetapi bukan kemanusiaan yang berdiri sendiri, melainkan kemanusiaan yang memancar dari Ketuhanan (habl min al-nas yang memancar dari habl min Allah). Kemanusiaan itu diwujudkan justru dengan tidak membatasi tujuan hidup manusia hanya kepada nilai-nilai sementara (al-dunya) dalam hidup di   bumi   (terrestrial)   ini   saja,   tetapi   menerabas   dan   menembus   langit (ecclesiastical), mencapai nilai-nilai tertinggi (al-matsal al-a’la) yang abadi di akhirat. Karena itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai syar’ah, demikian pula nilai syari’ah mustahil berlawanan dengan nilai kemanusiaan. (Jamaa, 2011).
Dengan kendali syari’at, bisnis bertujuan untuk mencapai empat hal utama, yaitutarget hasil yakni profit (materi) maupun benefit (non materi), pertumbuhan, keberlangsungan dalam kurun waktu selama mungkin serta keberkahan dan keridhaan Allah. Tujuan perusahaan atau pelaku bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) sebanyak-banyaknya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) non materi kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), baik melalui pemberdayaan masyarakat dan lingkungan secara sistematis, terencana dan berkesinambungan. Sehingga hasilnya adalah kelangsungan keberkahan hidup.

3.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahan tersebut di atas, kesimpulan dari artikel ini adalah sebagai berikut :
1)   Perintah untuk memelihara lingkungan, dan sebaliknya, larangan merusak lingkungan terdapat jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, dan termasuk di dalamnya pemeliharan keberlangsungan pemenuhan kebutuhan manusia. Ancaman bagi perusak lingkungan (mufsidin) berulang-ulang dinyatakan dalam al-Qur’an. Bahkan, sebagaimana dijelaskan, eksistensi alam sering disandingkan dengan konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuhan dan benda tak bernyawa adalah mahluk Tuhan, sehingga perintah atau larangan menjadi bermuatan teologis.
2)   Secara teoritis bahwa perusahaan harus menjalankan bisnisnya secara etis dan bertanggung jawab moral dan sosial terhadap lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Secara normatif tanggung jawab perusahaan sosial dan lingkungan telah diatur dalam tata perturan oerundangan.
3)   Dalam konteks hukum Islam, tanggung jawab pelaku bisnis (baik perseorangan ataupun badan usaha) terhadap lingkungan tidak bisa terlepas dari fiqh al Bi’ah, baik pendayagunaan dan pelestarian lingkungan hidup. Bentuk tanggung jawab pelaku bisnsi terhadap lingkungan secara umum yakni; pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya selain dengan kendali syari’at, dalam mengambil kebijakan perusahaan harus berdasarkan pada maqashid syariah dan unsur kemaslahatan. Termasuk didalamnya mempertimbangkan hifdzu al Bi’ah, agar tercipta kelestarian dan kelangsungan keberkahan hidup.