Jumat, 28 Januari 2022

Kontrak Kerja dalam Islam (Ijarah)

Oleh: Abd Misno


Islam sangat memperhatikan permasalahan tenaga kerja serta kontrak kerja yang mereka sepakati, termasuk di dalamnya hak dan kewajiban yang timbul dan kontrak kerja tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. QS. Al-Maidah [5]: 1.

Kontrak kerja dalam Islam adalah akad antara dua pihak atau lebih yang berisi kesepakatan untuk melakukan kerja dengan upah yang telah disepakati. Pihak pekerja akan melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan, sementara pihak pemilik modal akan memberikan imbalan sesuai dengan kesepakatan. Akad yang biasa digunakan dalam kontrak ini adalah akad ijarah (jual besi jasa atau sewa-menyewa). (Suparnyo dan Abdurrahman, 2018).

 

1.    Pengertian Ijarah

Ijarah secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu al-ajru yang bermakna al-iwadh (ganti). Kata ijarah juga bermakna upah, sewa, jasa atau imbalan. Secara istilah ijarah adalah “Suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian”. Manfaat kadangkala berupa manfaat barang, misalnya manfaat rumah yang ditempati, manfaat mobil untuk dinaiki juga manfaat dari tenaga dan keahlian seseorang. Merujuk pada pengertian ini maka ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang aajir atau mu’ajjir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga). Sesuatu yang diakadkan untuk diambil manfaatnya disebut ma’jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau Ujrah (upah). (Anto, 2003).

Beberapa ulama mendefinisikan akad ini dengan perspektif masing-masing: Pertama, Ulama Mahzab Hanafi mendefinisikan: Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan. Kedua, Ulama Mahzab Syafi‟i mendefinisikan: Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu. Ketiga, Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikan “Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka akad al-ijarah adalah akad jual beli jasa antara satu pihak dengan pihak lainnya yang memunculkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Hak pekerja adalah mendapatkan upah (ujrah) dari pekerjaannya, sementara kewajibannya adalah bekerja sesuai dengan kesepakatan. Kewajiban pemberi kerja adalah memberikan upah kepada pekerja sedangkan haknya adalah memperoleh jasa kerja dari pekerja tersebut (Huda, 2009).

 

2.    Dasar Hukum Ijarah

Dasar hukum yang menjadi landasan disyariatkannya ijarah adalah firman Allah Ta’ala:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍۢ دَرَجَٰتٍۢ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًۭا سُخْرِيًّۭا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌۭ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. QS. Az-Zukhruf: 32.

Selain itu juga firman Allah Ta’ala:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; QS. Ath-Thalaq: 6.

Selanjutnya adalah hadits dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beliau bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering”. HR. Ibnu Majah.

Riwayat ini secara jelas memberikan pemahaman kepada kita mengenai akad ijarah yang merupakan akad jual beli manfaat, khususnya dalam bekerja di mana setiap pemberi kerja harus segera memberikan upah (ujrah) kepada pekerja sesuai dengan kesepakatan bersama.

Adapun ijma’ (kesepakatan) para ulama adalah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq yang berpendapat “Ijarah disyari’atkan telah menjadi kesepakatan umat dan tak seseorang pun ulama yang membantah kesepakatan itu”. Ijma’ ini membolehkan akad ijarah atau kontrak kerja, seperti pendapat mahzab Hanafi dan Maliki yang berpendapat bahwa boleh melakukan kontrak kerja dengan syarat orang yang melakukannya sudah baligh dan adanya kerelaan untuk melakukan akad ijarah. Hal ini disepakati pula oleh mahzab Syafi‟i dan Hambali serta yang lainnya.

 

3.    Rukun dan Syarat Ijarah

Akad Ijarah dianggap sah ketika terpenuh rukun dan syaratnya, rukun Ijarah adalah sebagai berikut:  Pertama, Orang yang berakad. Kedua, Sewa/ imbalan. Ketiga, Manfaat dan Kempat, Sighat (ijab dan kabul). Sedangkan menurut madhzab Hanafi bahwa rukun dari ijarah hanya satu yaitu sighat atau ijab Kabul, sedangkan selainnya adalah syarat saja.  

Adapun syarat ijarah adalah: Pertama, Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal (Mahzab Syafi‟i dan Hanbali). Kedua, Pihak-pihak yang melakukan akad menyatakan, kerelaannya untuk melakukan akad ijarah itu (QS. An Nisaa: 29). Ketiga, Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari. Keempat, Obyek ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Kelima, Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara.

Apabila rukun dan syarat dari ijarah sudah terpenuhi maka akad tersebut sah, namun bila tidak terpenuhi maka menjadi batal akad dan tidak berlaku lagi akad tersebut (Suparnyo dan Abdurrahman, 2018).

 

4.    Akhir akad Ijarah

Akad ijarah berakhir apabila: pertama, Obyek hilang atau musnah. Kedua, Habis tenggang waktu yang disepakati. Ketiga, salah seorang meninggal dunia, karena manfaat tidak dapat diwariskan (Hanafi). Jumhur berpendapat akad tidak berakhir (batal) karena manfaat dapat diwariskan. Keempat, Ada uzur seperti rumah disita (Hanafi). Sementara jumhur berpendapat uzur yang membatalkan ijarah itu apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaatnya hilang. Akad ijarah yang telah disyariatkan oleh Islam memiliki hikmah diantaranya adalah karena manusia menghajatkannya. Mereka membutuhkan rumah untuk tempat tinggal, membutuhkan binatang untuk kendaraan, membutuhkan peralatan untuk digunakan dalam kebutuhan hidup mereka membutuhkan tanah untuk bercocok tanam. 

Rabu, 26 Januari 2022

Menjaga Lisan: Kontroversi Istilah "Tempat Jin Buang Anak"

Oleh: Abd Misno

 


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini memang tidak dalam keadaan baik-baik saja, perbedaan pandangan politik, kepentingan golongan hingga perbedaan suku dan golongan saat ini sedang mengalami tantangan hebat. Sejak Pemilu 2018 yang melahirkan berbagai pandangan politik berbeda memunculkan adanya penguasa dan pihak oposisi serta pihak lainnya yang terus memunculkan berbagai kontroversi, saling adu argumentasi, adu pengaruh hingga berujung dengan permasalahan yang mau tidak mau harus ditangani oleh pihak penegak hukum. Pun pihak penegak hukum tidak lepas dari berbagai isu dan kontroversi yang menambah runyam permasalahan bangs aini.

Isu mengenai ulah para buzzer yang selalu memanas-manasi keadaan, ancaman pihak asing yang nampak di depan pandangan hingga pihak oposisi yang selalu menjadi dalih rakyat dan keadilan sebagai asas perjuangan. Perseteruan ini tidak jarang bahkan seringkali menyeret Islam dan tokoh-tokohnya ke pusaran politik ini. Isu pendirian khilafah, fundamentalis dan teroris selalu didengungkan oleh kalangan islamophobia, sementara umat Islam sendiri terpecah ke dalam berbagai pandangan; dari mulai yang apatis dengan politik, masa bodoh, terlibat langsung dan ada juga yang masuk ke sarang “lawan” dengan dalil dakwah dan “perjuangan” dari dalam. Tentu saja semua akan kembali kepada niat masing-masing dan kesungguhan mereka (umat Islam) dalam menegakan panji-panji Islam.

Kembali kepada keadaan NKRI tercinta, setelah belum lama kontroversi anggota dewan yang dianggap “menghina” suku Sunda, kini muncul kembali politis yang juga dianggap “merendahkan” lokasi pulau Kalimantan dengan menyebut sebagai “Tempat Jin Buang Anak”. Tentu saja ucapan ini terkait dengan kontroversi pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Kalimantan Timur. Berbagai reaksi muncul, tentu saja lebih bersifat kontra dan menganggap sebagai bentuk penghinaan kepada penduduk Kalimantan (Borneo). Berita ini semakin viral dan panas karena “digoreng” oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan orangnya, partainya, ide dan gagasannya hingga karena provokasi dan berita yang terus diviralkan.

Tentu saja berita ini terus berbuntut Panjang, termasuk menyeret partai di mana pelaku aktif dan pihak oposisi lainnya, plus isu tentang pemindahan ibu kota kembali mencuat. Bagi pihak yang setuju tentu menjadi alasan kuat untuk segera merealisasikannya, bagi yang kontra menjadi batu sandungan dan pelajaran sangat berharga bagi mereka. Sebenarnya ini juga menjadi cambuk kecil bagi umat Islam khususnya partai Islam di negeri ini, bagaimana memang banyak sekali pihak-pihak yang tidak suka dengan keberadaan mereka sehingga setiap hal baik besar maupun kecil akan selalu di-counter dan dicari-cari kesalahannya.

Berita viral ini juga menjadi kajian kembali mengenai istilah “Tempat Jin Buang Anak”, sebuah istilah yang juga dipopulerkan oleh tokoh film Benyamin Syuaib dengan karakter Betawi-nya yang selalu menyebut bahwa tempat-tempat yang jauh dan sepi biasanya disebut dengan istilah ini. Memang betul, bahwa ini adalah istilah kiasan yang biasa digunakan khususunya orang-orang Betawi untuk tempat yang jauh dan sepi. Pakar Bahasa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Hilmi Akmal mengatakan tempat jin buang anak bisa dimaknai sebagai tempat yang jauh dari pusat kota. Istilah itu populer pada tahun 60-a. "Istilah 'tempat jin buang anak' biasanya memang bisa dimaknai sebagai tempat yang jauh dari pusat kota, tempat yang masih sangat sepi, jarang penduduknya dan masih banyak semak belukar atau bahkan hutan. Istilah ini muncul di Jakarta sekitar tahun 60-an atau 70-an untuk menggambarkan daerah sekitar Jakarta yang masih sepi seperti Ciputat, Pamulang, Bintaro dan lain-lain," kata Hilmi.

Namun ketika istilah ini kemudian dikaitkan dengan Kalimantan yang akan menjadi ibu Kota Negara Indonesia tentu menjadi masalah lain lagi. Istilah jauh betul menurut orang yang tinggal di Jakarta atau wilayah yang jauh dari Kalimantan. Tapi bagi mereka yang dekat dengan Kalimantan Timur tentu menjadi dekat adanya. Masalah jarak memang sangat relatif dan terkait dengan posisi dari seseorang. Sehingga kesalahan bicaranya dalam hal ini adalah ketika kemudian dikaitkan dengan kebijakan penguasa saat ini. Apalagi jika ditambahkan dengan kalimat-kalimat sesudahnya yang menyatakan bahwa yang mau tinggal di sana monyet, Kuntilanak dan Genderuwo. Pernyataan ini tentu merupakan kesalahan yang cukup fatal, khususnya bagi mereka yang tinggal di Kalimantan dan khususnya Kalimantan Timur.

Merujuk pada berita viral ini maka sebagai seorang muslim apalagi tokoh, politisi, aktifis dan public figure, hendaknya lebih berhati-hati dalam berbicara dan mengucapkan statement, karena bisa jadi itu tidak tepat dan menyakiti pihak lain. Apalagi jika kita membawa nama Islam baik itu partai, komunitas dan golongan maka sikap hati-hati ini harus lebih lagi. Jaga lisan kita dari mengucapkan kata-kata yang dapat menyakiti pihak lain, baik muslim ataupun non muslim. Apalagi dalam konteks ke-Indonesiaan, jangan sampai menjadikan agama, kepercayaan dan suku bangsa lain merasa direndahkan. Karena sebagai muslim kita sadar, banyak sekali pihak-pihak yang tidak suka dengan Islam dan umatnya, mereka selalu mencari-cari kesalahan dari Islam, tokoh dan umatnya. Permintaan maaf kadang juga tidak lagi dihiraukan, karena kebencian mereka terhadap Islam dan umatnya, atau karena kepentingan politik yang berbeda, sebagian lagi karena tidak paham sehingga mudah diprovokasi oleh provokator yang tidak bertanggungjawab.

Sebagai warga negara yang baik, dalam konteks NKRI kita memang harus menjaga kesatuan negeri ini, karena banyak pihak yang tidak suka melihat Indonesia Berjaya. Maka harus terus kuatkan rasa persatuan ini, jangan mudah diprovokasi dan kedepankan kepentingan NKRI di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Sebagai muslim kita juga telah diajarkan bagaimana cara menjaga lisan kita, bahkan menjaga lisan salah satu dari cara mendapatkan jaminan surga dari Allah ta’ala. Sehingga mari terus jaga lisan kita dengan mengucapkan yang baik atau diam…  Wallahua’lam.  

Jumat, 21 Januari 2022

Bahasa sebagai Satu Tanda Kekuasaan Allah Ta'ala

Oleh: Abd Misno


 

Keragaman suku, bangsa dan ras adalah hal yang sangat dihormati dalam Islam, hal ini jelas sekali dalam kalamNya “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” QS. Al-Hujuraat: 13. Penulis Tafsir Jalalain menafsirkan makna “supaya kalian saling kenal-mengenal” dengan menyatakan bahwa lafal Ta'aarafuu asalnya adalah Tata'aarafuu, kemudian salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Ta'aarafuu; maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal sebagian yang lain bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan.

Merujuk pada ayat ini maka sejatinya perbedaan suku, bangsa dan ras telah menjadi bukti kekuasaan dari Allah Ta’ala, sehingga tidak boleh satu suku bangsa merendahkan suku bangsa lainnya. Tidak boleh juga mereka secara berlebih-lebihan mengganggap suku bangsa mereka lebih baik dari suku bangsa lainnya. Karena sejatinya manusia yang paling baik dalam Islam adalah yang paling bertakwa, sebagaimana lanjutan dari ayat ini.

Menghormati suku bangsa lain menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam Islam, di mana banyak sekali ayat dan hadits yang memberikan panduan dalam berinteraksi dengan suku bangsa, agama dan kepercayaan lainnya di luar Islam. Penghormatan ini termasuk menghormati semua kepercayaan, ibadah dan adat kebiasaan mereka. Termasuk di dalamnya bahasa yang mereka gunakan, tidak boleh menghina atau merendahkan bahasa yang mereka gunakan. Bahkan secara tersurat dalam sebuah ayat dijelaskan “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. QS. Ar-Ruum: 22.  Ayat ini menunjukan bahwa perbedaan bahasa menjadi satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala, maka ia harus dijaga dan dihormati.

Maka, ketika ada orang yang menghina bahasa suatu kaum, sejatinya ia telah menghina kaum tersebut, dan ini terjadi belum lama ini di mana satu anggota dewan yang mulia mencela seseorang yang menggunakan bahasa daerahnya. Lepas dari berbagai kontroversi yang ada, maka Islam sudah mengatur hal ini, yaitu tidak boleh menghina dan merendahkan suku bangsa dan bahasa mereka. Jika mereka umat Islam maka haruslah diberikan nasehat, bahwa perbuatan ini tercela dalam Islam. Jika mereka non muslim maka perlu juga diberikan pengertian, apalagi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhineka Tunggal Ika, maka menghormati bahasa satu suku adalah menjadi keniscayaan.

Hal lain yang nampak dari adanya berita viral ini adalah sifat dari anggota dewan tersebut yang memang dalam banyak kesempatan tidak bisa menjaga lisannya. Padahal dalam Islam sudah sangat jelas kewajiban untuk menjaga lisan. Bahkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menjamin surga bagi mereka yang dapat menjaga lisannya “Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan) dan dua kakinya (kemaluan), maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” HR. Bukhari. Jelas sekali dari riwayat ini bahwa menjaga lisan dari mencela orang lain adalah salah satu dari jaminan surga dalam Islam, termasuk di dalamnya menjaga lisan dari menghina, mencela, merendahkan, memaki dan menyakiti orang lain. Salah satu dari kebaikan seorang muslim adalah menjaga lisannya dari mengucapkan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Jika ada orang yang tidak bisa menjagal lisannya dari mencela orang lain termasuk bahasanya maka ini adalah tanda dari buruknya akhlak dan perilakunya.

Sehingga sebagai seorang muslim kita wajib untuk menghormati suku dan bahasa orang lain yang tidak sama dengan kita. Hal ini sangat dianjurkan dalam Islam sebagai agama yang sangat menghormati manusia dan seluruh kebudayaanya, selama tidak bertentangan dengan syariah Islam dan bukan dilakukan oleh umat Islam. Demikian pula kita harus menghormati bahasa orang lain, karena itu adalah salah satu symbol dari kebudayaannya. Lebih dari itu adalah kita harus mampu untuk menjaga lisan kita dari ucapan yang bertentangan dengan Islam yang mulia. Wallahua’lam. 21012022.

 

 

Rabu, 19 Januari 2022

Bukan Lilin yang terbakar ketika menerangi sekitarnya…

Oleh: Abd Misno

 


Mengajak kepada yang ma’ruf (baik) dan mencegah segala bentuk kemungkaran adalah kewajiban bagi orang beriman, sebagaimana kalamNya “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” QS. Ali Imran: 104. Sifat ini menjadi karakter dari umat terbaik, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” QS. Ali Imran: 110.

Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam juga pernah bersabda “‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia  tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.’ HR. Muslim. Riwayat lainnya menyebutkan “Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka  berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua. HR. Muslim.

Banyak sekali ayat dan hadits yang memerintahkan kita untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah segela bentuk kemungkaran. Namun hal ini sering sekali terkendala dengan berbagai hal yang datang dari dalam diri. Dari mulai pemahaman kita yang kurang mendalam dalam memahami, hingga terkadang kita pun belum bisa membebaskan diri dari kemungkaran yang kita ingkari. Maka kemudian muncul sebuah istilah “Hidup seperti Lilin, di mana ia memberikan terang sekitarnya namun dirinya meleleh dan habis tanpa sisa”.

Ya, banyak di antara kita yang pandai dalam berceramah, berdakwah dan mengajak berbuat kebaikan dan mencegah berbagai kemungkaran kepada orang lain, namun ternyata kita pun seringkali terjebak antara ucapan tidak sesuai dengan amalan yang kita lakukan. Kita juga pandai menulis berbagai artikel di buku atau media masa yang mengajak para pembaca untuk melakukan amal kebajikan serta menjauhkan segala bentuk kemungkaran, namun kita terkadang justru melakukan apa yang lisan atau tangan kita lakukan dan ketikan yang berupa larangan. Terkadang pula kita mengajak orang lain melakukan amalan kebaikan, tapi kita sendiri tidak mampu untuk melaksanakan. Apakah ini tanda kemunafikan?

Fenomena ini sejatinya telah disebutkan dalam al-Qur’an, firmanNya “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? QS. Al-Baqarah: 44. Walaupun ayat ini konteksnya adalah ahli kitab, namun juga menjadi ancaman bagi umat Islam di mana mereka yang mengajak kebajikan tapi tidak melaksanakan. Ayat lainnya yang menjelaskan hal ini yaitu kalamNya “Wahai orang-orang yang beriman mengapakah kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat . Besar kemurkaan di sisi Allah kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat.” QS. Ash-Shaff 2-3.

Sementara riwayat dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam tentang ancaman bagi mereka yang mengajak kebaikan tapi tidak melakukan, mencegah kemungkaran tapi justru melaksanakan, adalah sabda beliau:

عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ : أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ

Dari Usamah bin Zaid Radliyallahu ‘Anhuma beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda: “Digiringlah seorang lelaki pada hari kiamat lalu ia dilemparkan ke dalam Neraka, maka usus-ususnya pun keluar terurai dengan cepat di dalam Neraka, dan ia berputar seperti berputarnya seekor keledai dengan tulangnya, maka penduduk neraka berkumpul disekelilingnya dan mereka bertanya: “Hai Fulan ada apa denganmu?”, bukankah dulu kamu yang pernah memerintahkan kami kepada yang Ma’ruf, dan mencegah kami dari kemungkaran!?” ia pun menjawab : “Dulu aku yang memerintahkan kalian dengan yang Ma’ruf namun aku tidak mengerjakannya, dan aku yang mencegah kalian dari kemungkaran namun aku sendiri yang melakukannya.” HR: Bukhary dan Muslim.

Riwayat lainnya menjelaskan:

عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رِجَالًا تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ ، يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ ، وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ ، وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Dari Anas bin Malik bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda: “Pada malam aku di-Isra’kan aku melihat lelaki dipotong mulutnya dengan alat-alat untuk memotong yang berasal dari neraka, maka aku berkata: “Ya Jibril siapakah mereka?”, Jibril menjawab : “Mereka adalah para pengkhuthbah dari ummatmu, mereka memerintahkan orang-orang dengan kebaikan namun mereka melupakan diri mereka, sedangkan mereka adalah kaum yang membaca al-kitab maka tidakkah mereka berakal.” HR: Ahmad.

Membaca ayat dan hadits ini maka kita tersadar bahwa sudah seharusnya ketika kita mengajak kepada amal kebaikan maka kita pun harus sudah melakukannya, demikian pula jika kita mencegah kemungkaran maka kitapun harus mampu untuk meninggalkannya. Namun, seringkali kita tidak bisa sampia ke sana. Alasannya adalah kita manusia yang juga penuh salah dan lupa.

Tentu saja ini bukan berarti membolehkan seseorang untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sementara dirinya sendiri belum bisa melaksanakan. Manusia juga bukan lilin, karena bisa jadi ketika dia mengajak kepada kebajikan sejatinya dia sudah berusaha untuk mengamalkannya. Demikian pula ketika dia mencegah kemungkaran diapun sudah bersungguh-sungguh untuk tidak melakukannya. Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar namun belum mampu untuk melaksanakannya untuk dirinya sendiri sejatinya bukanlah lilin, karena dia juga sudah berusaha untuk melakukannya.

Namun sebagai manusia kadang dia lalai dan lupa, tentu saja bukan lupa yang disengaja. Lilin yang terbakar, hanya bisa diibaratkan pada mereka yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar namun justru mereka dengan sengaja melakukannya. Pantas siksa yang amat pedih menantinya di neraka, sedangkan mereka yang terus berusaha untuk memperbaiki dirinya, berusaha sekuat tenaga untuk melakukan apa yang dicampaikan kepada orang lain, serta berusaha untuk meninggalkan apa yang ia cegah dari orang lain. Sejatinya dia adalah insan biasa, yang kadang salah dan lupa.

Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi kita, walaupun sering kali kita terjatuh pada kesalahan namun kita terus berusaha untuk memperbaikinya. Ketika kita mengajak kepada kebaikan maka kita terus berusaha untuk melaksanakannya, dengan proses ini semoga diri kita akan semakin menjadi baik dan melaksanakan seluruh apa yang kita sampaikan kepada orang lain dan meninggalkan segala bentuk kemungkaran yang kita sampaikan kepada orang lain untuk tidak dilakukan. Aamiin Ya Rabbal ‘aalamiin. 19012022.

Ketika Hawa Nafsu Kian Membelenggu

Oleh: Abd Misno

 


Manusia sejatinya adalah makhluk yang sempurna, kesempurnaannya nampak dari fisiknya (QS. At-Tiin: 4) dan adanya akal serta pikiran (QS. Al-Isra: 70). Selain itu keistimewaan manusia lainnya adalah adanya hawa nafsu yang ada padanya, Allah Ta’ala berfirman “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” QS. Ali Imran: 14. Makna dari hubbub syahwat adalah kecintaan, kesukaan yang muncul karena adanya hawa nafsu pada manusia.

Kata nafsu berasal dari bahasa arab (النفس ) atau an-nafsu yang memiliki banyak definisi yaitu dengan makna jiwa, ruh, mata yang jahat, darah, jasad, diri orang, hasrat dan kehendak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafsu diartikan dengan empat definisi yaitu: yang pertama nafsu sebagai keinginan(kecenderungan, dorongan) hati yang kuat. Kedua, nafsu sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik. Ketiga nafsu dengan definisi selera, gairah atau  keinginan(makan) dan terakhir sebagai panas hati, marah dan meradang.  Hawa nafsu adalah sebuah perasaan atau kekuatan emosional yang besar dalam diri seorang manusia; berkaitan secara langsung dengan pemikiran atau fantasi seseorang. Hawa nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat yang menyebabkan suatu hasrat atau keinginan intens terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosi tersebut. Dapat berupa hawa nafsu untuk pengetahuan, kekuasaan, dan lainnya; namun pada umumnya dihubungkan dengan hawa nafsu seksual. Maka hawa nafsu dalam hal ini adalah dorongan yang kuat dari dalam diri manusia yang terkadang dihiasi oleh syaithan dan bala tentaranya sehingga menghalalkan segala hal yang dilarangNya.

Walaupun menjadi satu keistimewaan manusia, namun hawa nafsu pula yang menjadikan manusia itu rendah kedudukannya di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" QS. Al-Jasiyah 45: Ayat 23. Maka sebagai seorang muslim kita harus mampu untuk menahan hawa nafsu kita, karena itulah sumber dari kebahagiaan yang sebenarnya yaitu surga. Allah Ta’ala berfirman “"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya)." QS. An-Nazi'at [79]: 40- 41.

Maka, ketika hawa nafsu membelenggu hendaklah kita ingat selalu, bahwa Allah Ta’ala telah memberitahu bahwa ia haruslah selalu diarahkan kepada hal-hal yang dihalalkan dalam Islam. Ketika seorang pemuda sudah memiliki syahwat maka wajib baginya untuk menikah, ketika seorang laki-laki sudah menikah dan syahwatnya naik maka hendaknya segera datangi istrinya. Jika satu istri masih “kurang” makai a boleh beristri hingga empat orang (QS. An-Nisaa: 3). Jika masih belum puas juga maka hendaknya ia berpuasa, sebagaimana seorang pemuda yang belum menikah, sebagaimana anjuran Nabi yang mulia "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu," HR. Muttafaq 'Alaih.

Ketika hawa nafsu membelenggu, segeralah mengingatkannya bahwa ia (hawa nafsu) harus tunduk pada aturanNya, tidak boleh melanggar apa yang dilarangnya dan menempatkannya sesuai dengan fitrahnya. Mengurang hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat juga menjadi jalan keluar berikutnya, tidak memandang yang diharamkan oleh Islam, tidak melihat sesuatu yang mengundang syahwat hingga tidak berinteraksi dengan orang-orang yang mengumbar hawa nafsunya. Selain itu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam juga mengajarkan agar senantiasa berdoa agar terhindar dari hawa nafsu yang buruk. Doa beliau adalah “Allahumma inni a’udzu bika min munkarootil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ (Ya Allah, aku berlindung kepada-mu dari akhlak, amal, dan hawa nafsu yang jelek).” HR. Tirmidzi, No. 3591.

Kesimpulannya adalah bahwa, ketika hawa nafsu membelennggu hendaknya kita ingat selalu, sebagai hamba yang harus tunduk patuh kepada seluruh syariat Allah Ta’ala. Teruslah mengajarkan, menahan dan mendidik hawa nafsu agar selalu tunduk pada aturanNya, tidak melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu, dan terakhir berdoa dari keburukan nafsu yang membelenggu. Wallahu a’lam. 19012022

Pondok Pesantren, Pemerkosaan dan Hawa Nafsu Insan

Oleh: Abd Misno


 

Berbagai berita yang beredar terkait dengan kasus pencabulan hingga pemerkosaan yang terjadi di beberapa pondok pesantren sangat menyayat hati kita. Bagaimana tidak? Pondok pesantren yang merupakan tempat untuk mengkaji ilmu agama tercoreng dengan ulah dari para oknum yang melakukan kemaksiatan dan merobek kesucian dari tempat ini. Setelah kasus di Jawa Barat, muncul dugaan di Jawa Timur dan juga di Kalimantan Timur, belum lagi beberapa wilayah semisal Sumatera Selatan dan wilayah lainnya menjadi noda hitam dunia Pendidikan khususnya pesantren. Beberapa kasus memang masih dalam proses penyidikan, sementara sebagian lainnya dalam proses hukum dan sebagian lagi telah dijatuhkan vonis hukuman.

Melihat fenomena ini kita sebagai muslim tentu harus mawas diri, berfikir jernih dan tidak mudah terbawa pada berita yang belum tentu kebenarannya. Tabayun sebagaimana firman Allah Ta’ala “ Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6). Imam Ibnu Katsir menafsirkan, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan cross check terhadap berita dari orang fasik. Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau keliru.” Abdurrahman bin Nashir As Sa’di saat menerangkan ayat di atas, beliau berkata, “Termasuk adab bagi orang yang cerdas yaitu setiap berita yang datang dari orang kafir hendaknya dicek terlebih dahulu, tidak diterima mentah-mentah. Sikap asal-asalan menerima amatlah berbahaya dan dapat menjerumuskan dalam dosa. Jika diterima mentah-mentah, itu sama saja menyamakan dengan berita dari orang yang jujur dan adil. Ini dapat membuat rusaknya jiwa dan harta tanpa jalan yang benar.

Tabayun atau check atas berita yang beredar sangat penting agar kita tidak mudah termakan oleh berbagai isu yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam. Baik berita itu benar apalagi salah, berita benar namun digunakan untuk menjauhkan umat Islam dari Lembaga Pendidikan Islam semisal pesantren bisa saja terjadi, apalagi jika berita dusta yang dipolitisasi sehingga semakin banyak orang yang memandang tidak baik dengan dunia pesantren. Jika berita itu benar maka sudah selayaknya kita juga menyikapinya dengan bijak. Bagaimana caranya?

Pertama, sebagaimana disebutkan oleh banyak peneliti bahwa kasus pencabulan tidak hanya terjadi di pesantren, namun di berbagai sekolah berasrama, baik yang berbasis umum atau berbasis agama lainnya. Ini berarti bukan hanya di pesantren, tapi di berbagai sekolah asrama kasus seperti ini banyak terjadi. Tentu saja salah satu sebabnya adalah karena interaksi di antara penghuni asrama yang berlangsung secara intens dan terus-menerus.

Kedua, jika pelaku dari kasus pencabulan ini adalah seorang pengasuh, ustadz, guru atau anak tokoh pesantren tersebut. Maka mereka semua juga manusia yang memiliki hawa nafsu yang bisa jadi mereka tidak mampu untuk menahannya. Tentu saja ini bukan berarti membolehkan perbuatan tersebut, karena dalam Islam juga sudah sangat jelas hukuman bagi pelaku perzinahan, apalagi dengan pemerkosaan. Sebagai manusia mereka memang tidak terlepas dari hawa (nafsu), ketika ia berkuasa maka siapa saja dapat menjadi korbannya.

Ketiga, bahwa kemajuan tekhnologi memang memberikan informasi yang begitu mudah menyebar di seluruh penjuru dunia. Hingga seolah-olah kasus seperti ini banyak sekali terjadi saat ini, apakah dulu jarang terjadi? Ada dua jawaban; sebenarnya kasus seperti ini juga terjadi tapi tidak sampai terekspose seperti ini. Berikutnya dan ini adalah pilihan saya bahwa benar, kasus seperti ini di masa lalu sangat jarang terjadi, pondok pesantren yang sejak dahulu sebagai tempat “suci” pantang untuk dilakukan berbagai pelanggaran. Kalaupun terjadi biasanya pelaku akan diarak keluar kampung dengan dibuka seluruh bajunya, sebagai hukuman yang sangat efektif pada masa itu. Apalagi pada masa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalaam, para shahabat dan masa keemasan Islam, di mana setiap pelaku perzinahan akan dihukum rajam, dan diasingkan bagi yang belum menikah. Tentu hukuman ini adalah hukuman yang paling efektif karena semua orang akan takut ketika akan melakukan perzinahan terutama bagi yang sudah menikah karena taruhannya adalah nyawa.

Akhirnya, benarlah sabda dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalaam dalam sebuah riwayat “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Zubair bin ‘Adi mengatakan: pernah kami mendatangi Anas bin Malik, kemudian kami mengutarakan kepadanya keluh kesah kami tentang ulah para jamaah haji. Maka dia menjawab:”Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalani suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai rabb kalian. Aku mendengar hadit ini dari Nabi kalian Shallallahu’alaihi wasallam”. (HR. Imam Bukhari). Makna Riwayat ini memang bersifat global, namun melihat realita saat ini maka kita lihat bagaimana semakin berlalu zaman semakin banyak hal-hal yang sangat menyakitkan untuk dilihat dan didengar oleh orang beriman. Tapi, sekali lagi sebagai orang yang beriman kita juga harus yakin dengan sabda Nabi yang mulia, bahwa surga itu memang mahal harganya. Sehingga satu di antara ciri mereka (penghuni surga) adalah sebagaimana sabdanya “Barangsiapa yang menjamin untukku sesuatu yang berada di antara jenggotnya (mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin baginya surga.” (H.R Bukhari).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dari segala bentuk perbuatan yang menjauhkan kita dari surga, dan semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita sehingga kita mampu untuk menjaga diri dari segala bentuk perzinahan. Aamiin Ya Rabbal aalaamiin. 19012022.

 

 

Jumat, 14 Januari 2022

Mengkaji Sesaji dalam Bingkai NKRI

 Oleh: Misno Mohamad Djahri

 


Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, salah satu dari sendi kehidupan manusia yang sangat penting yaitu terkait dengan aqidah dan kepercayaan khususnya kepada yang ghaib. Tingkatan paling tinggi adalah iman (percaya) dengan Sang Maha Ghaib yaitu Allah Azza wa jalla sebagai Rabb (Pencipta dan Penguasa Semesta, Ilaah (satu-satunya sesembahan), dan keyakinan akan nama-nama dan sifat-sifatNya). Berikutnya adalah iman dengan semua yang bersifat ghaib di alam semesta ini, sebagaimana firman Allah ta’ala “Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,…” QS. Al-Baqarah: 1-3. Maka mengimani dengan segala hal yang ghaib, misalnya makluk ghaib semisal malaikat, jin da syaithan menjadi bagian penting dalam keimanan Islam.

Islam telah memberikan pedoman bagaimana berinteraksi dengan makhluk-makhluk tersebut, khususnya terkait dengan alam jin. Mereka adalah makluk seperti manusia yang memiliki kehidupan sendiri, keluarga, masyarakat dan tempat tinggal masing-masing. Permasalahan yang muncul adalah Ketika dua makluk yang berbeda alam ini kemudian saling bekerjasama dan meminta bantuan, sebagaimana kalamNya “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” QS. Jin: 6. Berdasarkan ayat ini maka jelas bahwa interaksi manusia dengan jin dan meminta tolong kepada mereka adalah hal yang menambah dosa, apalagi sampai meminta perlindungan kepada mereka. Maka hal ini diharamkan dalam Islam, termasuk meminta perlindungan kepada jin dengan cara memberikan makanan atau minuman dalam bentuk sesaji maka jelas hukumnya dalam Islam.

Masalah sesaji, menjadi viral karena adanya video yang beredar di mana ada seorang berinisal MF yang menendang sesaji di Kawasan erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur. Tindakannya ini kemudian direspon oleh Ormas Hindu yaitu DPD Prajaniti Hindu Indonesia Jawa Timur yang melaporkan pria yang menendang dan membuang sesajen itu ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jatim di Surabaya, Senin, 10 Januari 2022. Setelah pengaduan ini kemudian pelaku ditangkap dan diancam dengan pidana karena merusak toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Bagaimana kita sebagai seorang muslim menyikapinya?

Menghormati agama dan kepercayaan orang lain jelas dianjurkan dalam Islam, sebagaimana kalamNya “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku". QS. Al-Kaafirun: 6. Sebagai muslim kita juga tidak boleh menghina tuhan-tuhan dari agama lain sebagaimana kalamNya “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” QS. Al-An’am: 108. Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaaqi’in menjelaskan ayat di atas, “Allah melarang kita mencela tuhan-tuhan orang musyrik dengan pencelaan yang keras atau sampai merendah-rendahkan (secara terang-terangan) karena hal ini akan membuat mereka akan membalas dengan mencela Allah. Tentu termasuk maslahat besar bila kita tidak mencela tuhan orang kafir agar tidak berdampak celaan bagi Allah (sesembahan kita). Jadi hal ini adalah peringatan tegas agar tidak berbuat seperti itu, supaya tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih parah.” Maka merujuk pada ayat dan pendapat ini kita tidak boleh menghina, mengganggu dan menistakan tuhan, serta agama dan kepercayaan raong lain, dalam konteks ini berarti tidak boleh sembarang menendang atau membuang sesaji yang dibuat oleh agama lainnya.

Permasalahannya akan berbeda jika yang membuat sesaji itu adalah umat Islam, maka dalam hal ini harus dilakukan amar ma;ruf nahi mungkar dengan sebelumnya melakukan tarbiyah dan Pendidikan kepada mereka. Mengajarkan kepada uamt Islam tentang aqidah yang benar, meyakini bahwa hanya ada satu-satunya kekuatan yaitu Allah Ta’ala, tidak ada makhluk yang dapat memberikan manfaat atau mudharat selainNya. “Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?" Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Maidah: 76. Juga dalam QS. Yunus 106 “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim". Masih banyak ayat lainnya yang menunjukan bahwa tidak ada satu makhluk pun di semesta ini yang dapat memberi manfaat atau mudharat, tidak pula para jin yang menunggu gunung, lautan, hutan dan tempat-tempat lainnya. Sehingga memberikan sesajen kepada jin adalah perbuatan yang bertentangan dengan aqidah Islam, hal ini yang harus terus didakwahkan kepada umat Islam. Karena masih banyak yang belum paham tentang masalah ini, sehingga menganggap bahwa sesaji itu boleh saja, karena memberi makan jin atau agar terhindar dari jin, seperti terhindarny akita dari preman yang membahayakan kita. Tentu pemahaman ini harus diluruskan, dan caranya adalah dengan tarbiyah, mendidik umat Islam untuk terus mempelajari agamanya.

Setelah mereka paham tentang aqidah dan syariah Islam secara kaafah maka ditegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dengan tetap memperhatikan manfaat atau mudharat yang ditimbulkannya. Jangan sampai karena semangat untuk nahi mungkar kemudian melakukannya tanpa perhitungan sehingga memudharatkan dirinya sendiri. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan amar makruf nahi mungkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah kema’rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya. Intinya adalah dalam nahi mungkar haruslah memperhatikan ilmu yang ada di masyarakat serta resiko dalam pelaksanaannya. Dalam konteks menendang atau membuang sesaji maka harus dierpahtikan terlebih dahulu apakah hal tersebut memberikan dampak manfaat atau malah mendatangkan mudharat, jika mudharatnya lebih banyak sebaiknya ditunda terlebih dahulu dengan mengajarkan kepada umat Islam aqidah yang benar.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki banyak agama dan kepercayaan dalam konteks ini tentu saja kita tidak boleh menghina agama dan kepercayaan orang lain. Karena masing-masing dari mereka memiliki hak yang sama di negara ini, jangan sampai melakukan perbuatan yang menyakiti mereka apalagi dilakukan secara terang-terangan. Kalau dalam hal pembelajaran dan itu disampaikan secara internal bagi umat Islam, misalnya dalam satu kajian mengatakan bahwa sesaji itu haram, maka ini diperbolehkan karena berbicara khusus di majelis khusus. Namun jika di luar majelis atau di ruang publik tentu ini sangat dilarang karena memang merusak kerukunan antar umat beragama.

Maka dalam hal ini kita harus bersifat adil, bahwa sesaji dalam Islam yaitu menyediakan makanan atau minuman kepada jin, penunggu gunung dan tempat lainnya adalah haram dalam Islam. Jika ada umat Islam yang melakukannya maka kita wajib untuk menasehatinya sesuai dengan kemampuan kita dan pertimbangan kemanfaatan dan kemudharatannya. Apabila itu dilakukan oleh penganut agama lain maka kita tidak boleh mengganggu mereka, karena dampaknya tentu mereka akan menggganggu kita juga. Dalam konteks NKRI menganggu toleransi yang selama ini telah ada antar umat beragama.

Tentu saja menyikapi kasus yang viral ini kita harus bijak, peran media, islamophobia, kepentingan politik sering sekali juga bermunculan dalam mengangkat kasus ini. Maka kewajiban kita untuk menyampaikan kebenaran dengan tetap memperhatikan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Khususnya dalam bingkai NKRI di mana kita tidak boleh menggangu agama dan kepercayaan orang lain.

Solusi dari semua itu adalah terus mengajarkan umat Islam (tarbiyah ummah) agar semakin paham dengan agamanaya, serta tetap menghormati penganut agama lain untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya. Wallahu a’lam. 14012022.

 

 

Minggu, 09 Januari 2022

Keajaiban pada Last Minute...

Oleh: Misno bin Mohamad Djahri


Kehidupan memang penuh dengan keajaiban, baik itu yang tidak Kita inginkan atau yang sangat kita inginkan. Demikianlah Ar Rahman mengajarkan kita tentang makna kesabaran.

Ahad, 09 Januari 2022 adalah Hari yang juga membuktikan keajaiban itu, sederhana memang tapi menjadikan semakin kuatnya keyakinan, bahwa ada Ar Rahman Sang Pemilik keteraturan alam.

Agenda saya Hari ini adalah berangkat ke Pandeglang untuk mengisi acara besok di salah satu Pesantren di sekitar Batu Bantar Pandeglang. Lokasinya lebih kurang 1-2 KM sebelum wisata Batu Qur'an.

Keajaiban itu dimulai sejak mulai mempersiapkan diri untuk berangkat, pilihan transportasi online, membawa kendaraan sendiri hingga menelepon teman untuk mengantar ke terminal Baranang siang Bogor. Lebih dari 3 kali berusaha untuk memesan transportasi online baik bike ataupun car, hasilnya baru sekitar Jam 11.00 an mendapatkannya. Hingga mengantar saya ke terminal di Jalan Pajajaran Raya, Bogor.

Setelah sampai terminal, maka yang terfikirkan adalah mencari Bis jurusan Serang. Setelah berjalan cukup lumayan dari pintu keluar bis hingga ke dalam, melewati terminal yang becek di beberapa bagian, akhirnya sampai di tempat Bis trayek Bogor-Merak yang lewat Serang. Namun ternyata baru sekitar 15 menit bisa berangkat, saya hanya mendapatkan bis berikutnya yang masih kosong. Kata orang yang ada di situ akan berangkat Jam 12.30 WIB. Setelah berfikir sejenak, kemudian saya memutuskan untuk kembali berjalan berbalil arah menuju Bis lain jurusan Kampung Rambutan. Jalan balik ini lumayan juga membuat kaki pegal, maklum sudah lama sekali tidak berjalan kaki.

Barusan bis yang nampak tidak seramai dahulu membawa ingatan tentang Terminal Baranang siang yang dulu, tidak banyak yang berubah, warung-warung pinggir terminal yang nampak kumuh, ditambah dengan pedagang asongan yang berpeluh memberi warna terminal yang masih nampak lusuh.

Setelah berjalan beberapa menit, sampailah saya di depan terminal di mana Bis akan segera meluncur ke luar Kota Bogor. Satu bis yang cukup bagus 'Lorena" jurusan Bogor-Kampung Rambutan sudah standby di barisan paling depan. Melirik sekilas tulisan yang ada di depan bis, kemudian menaikinya dengan tenang. Bangku di barisan kedua bagian kanan menjadi pilihan, pandangan yang luas serta harapan agar dua bangku untuk seorang (egois dikit...).

Kesabaranku kembali diujicobakan, sudah lebih dari 30 menit ternyata bis belum juga berjalan. Kembali terfikirkan, "Kenapa tidak kembali ke bis Arimbi tadi?, Bukankah katanya juga akan berangkat 12.30" pikirku dalam hati. Namun Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab (baca: gak enak sama bis yang sudah dinaiki lebih dari 30 menit, walau tidak berjalan tapi sudah memberi Rasa nyaman dengan pendingin ruangan yang cukup nyaman). Kesabaran itu masih dipertahankan, walau suara Pengamen sumbang sudah dua kali bergantian, suaranya cukup bagus. Tapi lebih bagus lagi kalau gak usah nyanyi, lagian hukumnya haram lagi. Ya... Kalau para pedagang dipersilahkan, mereka mencari makan dengan berdagang yang lebih halal. Walaupun saya tidak membeli, tapi saya doakan semoga rizki mengalir tiada henti dari Ilahi.

Akhirnya, sopir bis menduduki singgasananya, sedikit tenang walaupun dalam hati selalu muncul buruk sangkaan. "Biasanya sopir cuma bikin senang penumpang, yang sekian lama menunggu bis diberangkatkan tanpa adanya kepastian". Berdasarkan pengalaman yang tidak bisa dilupakan ketika naik angkutan penumpang, walaupun sopir sudah di tempat dudukan, tapi biasanya cuma memberi sedikit easa nyaman. Ujung-ujungnya 15 menit berlalu tanpa kepastian. Ini bukan curhatan, tapi mohon lah para sopir dan knek memberi jawaban yang sesuai dengan kenyataan, berangkat jam 12.30 ya on time. Itu jeritan para penumpang, yang kalau dipikir ulang memang harus lebih berkeadilan, karena sopir juga Cari penumpang, agar setoran sesuai yang ditargetkan.

Bis perlahan bergerak... Walaupun Masih ada pikiran untuk Naik Arimbi, dan ini sudah beberapa kali terjadi. Menengok ke sebelah kiri, berharap Sang Arimbi ada di belakang bis ini.

Perlahan bis bergerak, lebih kurang 10 senti, dan tiba-tiba Bis Arimbi Bogor-Merak datang menghampiri. Ia datang di saat hati ini gamang, memilih ke Kampung Rambutan atau langsung ke Serang, ia datang memberi harapan, tentang penghematan dan keefektifan yang selalu mengganggu pikiran. Tanpa berfikir panjang, hanya hitungan detik akhirnya saya memutuskan, turun dari Bis ini menuju Sang Arimbi yang dari tadi mengganggu hati (karena telah menjadi harapan sejak awal tadi).  Hanya hitungan detik, kaki ini dengan sigap, melangkah pasti meninggalkan bisa yang telah lebih dari 30 menit dinaiki.

Ya... Bis Arimbi datang di menit terakhir ketika seolah-olah sudah tidak ada lagi harapan, pasrah untuk naik bis ke Kampung Rambutan dan nanti disambung bis ke Serang. Ia datang di waktu yang telah ditentukan Ar Rahman, ketika harapan itu hanya dipasrahkan hanya kepadaNya.

Inilah kehidupan, pertolonganNya terkadang hadir di ujung harapan, ketika diri sudah memasrahkan semuanya kepada Ar Rahman. Itu lah apa yang nampak dan dipikirkan oleh manusia, padahal sejatinya di sisiNya semua adalah yang terbaik untuk semua hambaNya. Harapan itu akan selalu ada, pertolongan Allah akan selalu ada, dan waktunya bukan pada apa yang dipikirkan oleh manusia, tapi semua adalah kuasaNya. Karena Dia Maha Segalanya...

Jangan pernah berputus asa, karena janji Allah itu pasti adanya, dan harapan itu akan selalu ada. Jika harapan datang menjelang, makan jangan disia-siakan, karena di sanalah keputusan harus dilaksanakan.

 

NB: Mohon maaf kepada sopir dan bis Lorena Trayek Bogor-Kampung Rambutan, Jazakallahu Khairan, terimakasih atas tumpangan dan AC-nya semoga Allah membalasnya dengan rizki yang melimpah. Maafkan calon penumpang mu yang kurang tahu malu, sehingga turun tanpa seizinmu, langsung naik bis di sebelahmu. Semoga jeuleus-mu tak ada untukku ... karena rizki itu mungkin bukan milikmu....

Semoga perjalanan ini mendapat ridha-Mu, Bismilllah majreeha wa mursaaha...

Bogor-Serang, 09 Januari 2022 di atas bis yang terus bergoyang...


Kamis, 06 Januari 2022

Allah-Ku Maha Kuat dan Maha Perkasa

Oleh: Abd Misno


 

Fenomena penistaan agama khususnya kepada Islam kembali terjadi, entah disengaja atau tidak yang pasti ini adalah fakta bagaimana Islam yang mulia ini banyak yang membencinya. Salah satu yang saat ini sedang viral adalah ucapan seorang politisi di Indonesia yaitu ucapannya “Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah, harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela”.  Tentu saja ucapan dalam bentu cuitan (tweet) di Twitter ini langsung mendapat respon dari warga net. Walaupun akhirnya dia kemudian memohon maaf dan mengklarifikasi dalam akunnya "Klarifikasi atas cuitan saya yang kemudian viral, semoga semua bisa paham. Bahwa sesungguhnya itu dialog antara pikiran dan hati saya yang sedang down," kata Ferdinand di akun Twitternya. Ia juga menambahkan "Bukan untuk menyasar kelompok tertentu, orang tertentu dan agama tertentu. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Terima kasih," tambahnya.

Lepas dari permohonan maaf yang telah disampaikan, namun inilah sejatinya fenomena yang tengah terjadi pada umat Islam. Sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam dalam sebuah haditsnya “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shallallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745). Merujuk pada Riwayat ini maka umat Islam harus tetap waspada, kembali mempelajari agamanya dan terus mengamalkan dan mendakwahkan sehingga tidak ada lagi orang yag berani menghina agama dan kepercayaan umat Islam.

Kembali kepada cuitan dari penista tersebut, maka jelas sekali maknanya adalah “Allah-mu (wahai umat Islam itu lemah sehingga harus dibela”. Kata Allah hanya digunakan oleh umat Islam dan kaum Nasrani dengan istilah “Allah” dengan cara baca “a”, sehingga jelas sekali penista yang beragama Nasrani ini jelas merujuk kepada umat Islam. Dia menyangka bahwa Allah-nya umat Islam itu lemah sehingga harus dibela, ini tentu bertentangan dengan firman Allah Ta’ala “Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”  (QS. al-Mujadillah [58]: 21). Demikian juga firmanNya “…Sesungguhnya Robbmu Dia-lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”  (QS. Hud [11]: 66). Serta kalamNya “Alloh Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. asy-Syura’ [42]: 19). Menurut Ibnu Jarir , al-Qowiy, berdasarkan tafsiran firman Allah subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He), “Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”, adalah Dzat yang tak terkalahkan, yang tak terbantahkan, yang dipatuhi segala perintah-Nya, yang keras siksa-Nya terhadap mereka yang mengingkari ayat-ayat-Nya, dan tidak mengakui dalil-dalil-Nya.” Menurut ayat, “sesungguhnya Robbmu, Dialah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa”, bisa ditafsirkan dengan “sesungguhnya Dialah yang Maha Kuat dalam tindakan-Nya. Kalau Dia menindak sesuatu, maka Dia akan menghancurkannya, seperti ketika menindak kaum Tsamud.” Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki nama Al-Qawwiy yang bermakna Maha Kuat.

Masalah yang kedua adalah apakah Allah perlu dibela? Maka jawabannya adalah pembelaan kita kepada Allah dan syariahNya sejatinya bukan menunjukan Allah itu lemah, justru sebaliknya, dalam kalamNya dijelaskan:

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sungguh Allah akan menolong orang yang membela-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. al-Hajj: 40). Demikian pula kalamNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ؛ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang mukmin, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kaki kalian.” (QS. Muhammad: 7)

Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan surat Muhammad ayat 7,

هذا أمر منه تعالى للمؤمنين، أن ينصروا الله بالقيام بدينه، والدعوة إليه، وجهاد أعدائه، والقصد بذلك وجه الله، فإنهم إذا فعلوا ذلك، نصرهم الله وثبت أقدامهم

Ini merupakan perintah dari Allah kepada orang yang beriman agar mereka membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya dan berjihad melawan musuhnya. Dan semua itu bertujuan untuk mengharap wajah Allah. Jika mereka melakukan semua itu, maka Allah akan menolong mereka dan mengokohkan kaki mereka. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 785).

Merujuk kepada beberapa ayat dan hadits yang telah disebutkan maka membela Allah sejatinya adalah membela syariahNya yang akan memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia. Pembelaan kita kepada Allah Ta’ala bukan menunjukan Allah Ta’ala perlu pembelaan, Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa, tidak memerlukan pembelaan dari makhlukNya. Sebaliknya, mahklukNya yang sangat membutuhkan pertolongan dan pembelaanNya.

Sehingga cuitan dari penista tersebut sejatinya bukanlah sebuah dialog imajiner, itu adalah pikiran yang ada dalam otaknya yang benci dengan Islam. Padahal Islam tidak pernah menghina tuhan-tuhan mereka, karena memang hal ini dilarang dalam Islam. Sebagaimana kalamNya:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. QS. Al-An’am ayat 108.

Merujuk kepada ayat ini sudah sangat jelas, bahwa Islam sangat menjunjung tinggi toleransi, kita tidak boleh mengnistakan tuhan dan agama orang lain, tidak boleh mengganggu mereka dalam beribadah serta selalu berbuat baik kepada mereka dalam masalah keduniaan. Jika demikian adanya inilah sejatinya tujuan dari kerukunan antar umat beragama yang diajarkan oleh Islam, namun memang masih banyak yang belum paham dengan Islam, atau memang membenci Islam sehingga selalu menjadikan Islam sebagai musuh dan bahan penistaan. Semoga Allah ta’ala Yang Maha Perkasa selalu memelihara umat Islam dari sebagal bala, bencana, dan fitnah dunia lainnya. Wallahu ‘alam. 06012022.