Jumat, 25 Maret 2022

Bukan Menghapus Ayat, Tapi Hapuslah Pikiran Sesat

 Oleh: Abd Misno


 

Dunia adalah tempat dari berbagai makhluk Allah Ta’ala, dari mulai makhluk paling mulia di sisiNya hingga makhluk paling sesat sebagai bahan bakar neraka. Para malaikat yang melakukan tugas-tugasnya di dunia adalah makhluk mulia yang selalu beribadah kepadaNya. Sementara Iblis dan balatentaranya adalah makhluk sesat yang sudah dipastikan masukan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya. Keduanya adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang sangat berbeda, satu adalah makhluk mulia, sementara satunya lagi makhluk yang hina.

Manusia sebagai makhluk sempurna berada di antara keduanya, ia bisa jadi lebih mulia dari para malaikat, namun bisa juga lebih hina dari Iblis dan balatentaranya. Mulia karena amal sholeh yang dilakukannya sehingga hawa nafsunya dapat dikelolanya. Ini tentu berbeda dengan malaikat yang memang tidak memiliki hawa nafsu, sehingga jika manusia mampu beribadah kepadaNya dengan baik maka ia akan lebih mulai dari para malaikat. Sebaliknya, jika manusia durha kepadaNya, maka ia akan lebih hina dari Iblis dan balatentaranya, manusia hina ini akan bersama dengan makluk terhina di neraka dan kekal di dalamnya.

Demikianlah manusia yang memiliki posisi berbeda dengan para makhlukNya, bisa menjadi mulia dan bisa menjadi hina. Keduanya dapat diraih melalui usahanya dalam menggapai apa yang diharapkannya, namun selalu ada penghalang khususnya untuk menjadi makhluk mulia di sisiNya. Penghalang itu ada dua, yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri manusia dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri manusia yaitu godaan Iblis dan balatentaranya. Kedua faktor inilah yang mengakibatkan manusia banyak yang lalai, lupa, hingga kufur terhadap kenikmatan dan aturan syariahNya.

Kekufuran (baca; menolak) terhadap syariahNya adalah satu bukti bagaimana manusia tergoda oleh hawa nafsunya serta godaan Iblis dan balatentaranya. Menganggap bahwa aturanNya tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan hak asasi manusia, mengajarakn kekerasan hingga menganggap ayat-ayatNya dalam bentuk al-Qur’an dan al-Sunnah sudah idak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan peradaban. Sejatinya pemikiran muncul karena banyak hal, dari mulai kebodohannya kepada ajaran Islam, hingga rasa benci dengan syariah Islam yang mulia. Tidak hanya pada orang bukan Islam, bahkan banyak orang-orang Islam sendiri yang terbawa dalam pemikiran ini, bodoh dengan syariahNya serta memiliki dendam kesumat dengan Islam yang mulia.

Dua faktor inilah yang mendasari seorang bukan Islam mengajukan penghapusan 300 ayat al-Qur’an kepada Menteri Agama. Seorang yang mengaku sebagai pendeta, namun beberapa sumber menunjukan sejatinya dia bukanlah pendeta Kristen tapi hanya orang-orang yang benci dengan Islam dan ingin viral (terkenal) di tengah masyarakat dengan cara menghina dan menistakan ayat-ayat Allah Ta’ala.

Kebodohan akan ayat-ayat al-Qur’an menjadikan pikiran sesat selalu ada di kepalanya, menganggap bahwa ayat-ayat al-Qur’an sudah tidak relevan, mengajarkan kekerasan hingga hanya menguntungkan satu negara tertentu saja semisal Saudi Arabia. Tuduhan ini tentu saja tidak berdasar dan mudah sekali untuk dibantah, karena syariah Islam berupa ayat al-Qur’an dan hadits yang mulia akan selalu relevan dengan perkembangan zaman. Kalaupun ada yang menganggap tidak relevan karena dia tidak memahami hakikat dari syariat itu sebenarnya. Jika masih ada yang menganggap bahwa Islam dalam ayat-ayat al-Qur’an mengajarkan kekerasan maka itu adalah kedustaan yang besar. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan, sebaliknya mengajarkan umatnya untuk saling berkasih sayang dan menghormati dengan agama dan kepercayaan lainnya.

Kebencian terhadap Islam inilah yang menurut analisis penulis menjadi sebab utama kepada dia mengusulkan penghapusan 300 ayat al-Qur’an. Iblis dan balatentaranya termasuk orang-orang kafir yang bersekutu akan terus berusaha menghancurkan Islam, dari mulai dengan cara halus melalui cuci otak umat Islam hingga kekerasan dan penghancuran terhadap umat Islam. Mereka yang benci Islam tidak senang ketika Islam kembali berjaya di masyarakat, ribuan orang kembali belajar Islam dengan benar, majelis taklim begitu semarak, perempuan berhijab ada di berbagai tempat hingga ekonomi syariah yang telah masuk ke berbagai lini ekonomi dan bisnis. Mereka akan berusaha untuk terus melemahkan, memusuhi, memfitnah dan menghancurkan Islam dengan berbagai cara. Ini bukan prasangka tapi fakta yang apabila kita cerna akan menemukan “benang hijau” di antara semua peristiwa yang ada.

Maka, bukan menghapus ayat al-Qur’an tapi hapuslah ide sesat di pikiran yang menganggap ayat al-Qur’an sudah tidak relevan, mengajarkan kekerasan atau bertentangan dengan kemanusiaan. Kembali belajar Islam dan anda akan mendapatkan bagaimana Islam membawa kedamaian untuk seluruh alam. Belajar dengan sungguh-sungguh dan dari sumber terpercaya, karena memahami ayat dan haditsnya sesuai sesuai pemahaman generasi pertama menjadi jalan untuk mendapatkan kebenaran dan hidayahNya. Jangan karena kebencian terhadap Islam kemudian anda membabi buta menyerang Islam dan menganggapnya sumber kekerasan, justru sebaliknya bahwa selama ini Islam dan umatnya yang selalu diadu domba dan menjadi obyek kekerasan di hamper seluruh penjuru dunia. Masih anda buta dengan fakta yang ada… ?

Bagi seluruh umat Islam, mari kita kembali kepada Islam. Pelajari kembali syariahNya dengan mentadaburi kalamNya serta hadits nabi yang mulia, karena di sana sejatinya kejayaan itu ada. Setelah mempelajarinya maka mengamalkan menjadi hal utama, kemudian mendakwahkan sesuai kemampuan kita agar seluruh dunia memahaminya, Islam yang menjadi rahmat bagi semesta. Pagi Jumat yang Mulia, Bogor 25032022.

Kamis, 24 Maret 2022

Satu Ranjang Dua Iman: Fakta Pernikahan Beda Agama

Oleh: Misno Mohamad Djahri

 


Pernikahan adalah bersatunya antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan untuk mewujudkan keluarga guna meneruskan generasi berikutnya. Pada tataran sosiologis, keluarga menjadi media pemersatu dua keluarga besar yang membentuk ikatan baru kerabat dari pihak suami dan istri. Setelah pengesahan pernikahan terjadi, maka terbentuklah keluarga besar yang terdiri dari suami, istri, keluarga suami dan kelaurga istri. Dari sini kemudian muncul satu masyarakat yang memiliki ikatan kerabat dengan pernikahan yang menyatukan mereka.

Akad pernikahan adalah hal sakral di tengah masyarakat, sehingga pengesahannya harus didasarkan kepada keyakinan dan agama, disaksikan oleh beberapa tokoh dan diumumkan ke tengah masyarakat. Pada masyarakat tradisional maka kepala suku (tetua adat) menjadi tokoh yang menikahkan kedua mempelai. Dalam hal ini pernikahan dipandang sebagai bagian dari ritual yang harus didasarkan pada keyakinan dan agama.

Berangkat dari sini, Islam sebagai agama yang turun dari Allah Ta’ala memberikan pedoman dalam pernikahan. Bukan sekadar menyatukan antara laki-laki dan perempuan atau keluarga besar dari dua belah pihak tapi menjadi satu sarana dalam mendekatkan diri kepadaNya. Bahkan satu Riwayat dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam menyebutkan bahwa menikah adalah separuh dari agama. Maka, pernikahan bagi seorang muslim tidak bisa dipisahkan dari agama, karena keabsahan pernikahan mengharuskan adanya ijab dan qabul dari wali pengantin perempuan dengan calon pengantin laki-laki dengan dua orang saksi. Begitu sakralnya pernikahan dalam Islam hingga ia adalah proses tahlil al-haram (menghalalkan yang tadinya haram), yaitu awalnya antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram haram untuk berdekatan apalagi berhubungan badan, menjadi halal dengan adanya ijab dan qabul yang dilakukan.

Kesakralan pernikahan dalam Islam adalah bahwa pernikahan adalah salah satu dari ibadah dalam Islam, ia menjadi wasilah untuk mendapatkan ganjaran (pahala). Karena sebuah ibadah maka ia memiliki tujuan yang jelas yaitu mardhatillah, mengharapkan ridha dari Allah Ta’ala dan masuk ke dalam surgaNya. Tujuan pernikahan inilah yang seharusnya menjadi dasar bagi setiap akad yang dilakukan oleh setiap muslim dan Muslimah dalam mengarungi kehidupan. Bagaimana dengan pernikahan antara iman (agama)? Apakah hal ini sesuai dengan tujuan utamanya atau alasan cinta menabraknya? Bisa jadi agenda orang-orang yang tidak suka dengan Islam untuk melemahkan Islam dan umatnya. Mari diskusi bersama…

Penelitian saya sekitar tahun 2015 mengenai harmoni keluarga beda agama dengan judul “Satu Ranjang Dua Iman”, penelitian ini dilakukan dengan observasi dan wawancara mengenai keluarga yang berbeda agama. Ada yang suaminya Nasrani istrinya Islam dan memiliki 3 orang anak, adapula yang suaminya Islam istrinya Nasrani, dan beberapa keluarga beda agama lainnya. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa agama bagi mereka memang bukan menjadi hal utama dalam berkeluarga, sehingga kehidupan keluarga berjalan seperti biasa dengan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Salah satu dari narasumber (seorang istri) menyatakan bahwa sebenarnya dia merasa tidak nyaman dengan suaminya yang non muslim, tapi apa hendak dikata dia sudah punya anak-anak yang ikut muslim dan kalau cerai dia khawatir dengan kehidupannya karena tidak punya penghasilan. Sementara narasumber lainnya (seorang suami) berpendapat bahwa pernikahannya dibolehkan agama karena dia laki-laki muslim dan menikahi perempuan yang non muslim (Nasrani) walaupun ada anaknya yang akhirnya masuk Nasrani, tapi dia masih mempertahankan keluarganya.

Pernikahan memang bukan hanya urusan agama, ia melibatkan aspek individual, sosial, budaya bahkan negara. Namun agama menjadi pedoman dan arah tujuan dalam berkeluarga, satu keluarga yang memiliki tujuan berbeda tentu akan membuatnya selalu ditimpa perselisihan dan perbedaan. Demikian pula keluarga yang tidak memiliki dasar-dasar yang sama dalam mengarungi keluarga yaitu agama, akan berada pada kebahagiaan semu, kebahagiaan fatamorgana karena masing-masing akan mengutamakan ritualnya. Memang betul bahwa setiap keluarga pasti punya masalah sendiri-sendiri, tetapi agama menjadi dasar dalam menyelesaikan dan mengarah pada tujuan yang sebenarnya.

Walaupun hasil penelitian saya keluarga beda agama nampak harmonis, tetapi sejatinya mereka selalu berada dalam gundah gulana, karena agama yang sama tidak dijadikan pedoman dan arah tujuan akhirnya. Bagi keluarga beda iman, agama hanya dijadikan ritual dan perayaan, bahkan penelitian juga menunjukan bahwa latar belakang agama dan pemahaman agama mereka memang kurang sehingga menganggap agama hanya sebatas ritual dan perayaan, silahkan masing-masing saja. Padahal faktanya bahwa iman yang berbeda menjadi pangkal dari perbedaan dalam keluarga, bahkan bisa jadi menjadi penghalang bagi mencapai tujuan pernikahan yang sebenarnya.

Satu ranjang dua iman, sekadar permisalan bahwa keluarga beda agama itu bukan ideal adanya, ia hanya hawa yang diperrututrkan oleh beberapa manusia. Karena cinta sebenarnya adalah ketika landasannya adalah cinta karena Allah Ta’ala. Bisa jadi kampanye pernikahan beda agama adalah sebuah konspirasi, untuk melemahkan Islam dan umatnya dari dalamnya. Maka sebagai umat Islam kita perlu berhati-hati dengan hal ini. Menikah beda agama jelas haram hukumnya dalam Islam, apalagi jika pihak suami bukan Islam.

Kalaupun seorang laki-laki muslim menikahi wanita non muslim itu “boleh” tapi faktanya itu adalah sebuah keringanan di masa lalu dan saat ini zaman sudah berubah. Bukan syariat Islam yang ketinggalan zaman, tapi fleksibiltas hukum Islam yang melihat adanya perubahan di masyarakat. Jika masa lalu seorang suami memiliki kendali penuh terhadap keluarga, sehingga ia akan mampu mengarahkan istrinya agar masuk Islam beserat anak-anaknya, maka saat ini bisa jadi sebaliknya seorang non muslim yang mau menikah dengan laki-laki muslim tujuannya agar anak-anaknya masuk ke dalam agamanya, bukan menjadi muslim.

Kembali ke niat, proses dan tujuan menikah dalam Islam, bahwa niat menikah adalah karena Allah Ta’ala, jika menikah dengan non muslim apakah niat kita benar adanya? Jawabannya jelas tidak karena Allah tidak ridha dengan segala agama di luar Islam. Apakah menikah dengan non muslim itu prosesnya sesuai dengan agama Islam? Jawabannya tidak karena tidak mungkin satu ranjang satu iman tanpa mengorbankan dan mereduksi masing-masing iman. Ujungnya adalah keimanan yang tidak lagi memenuhi standar, karena membiarkan kekufuran di ranjang dan rumah tangga kita. Apakah tujuan menikah akan tercapai dengan pernikahan beda agama? Jawabannya tidak, karena masing-masing punya tujuan yang berbeda, sebagai muslim tujuan pernikahan kita adalah mengharap ridha Allah Ta’ala, sementara non muslim hanya sebatas dunia atau tuhan yang berbeda. Ini tentu hal yang sangat tidak diperbolehkan dalam Islam, karena semuanya harus ditujukan kepada akhir dari kehidupan yaitu Allah Azza wa jalla.

Masihkah membolehkan pernikahan beda agama? Ketika ternyata kampanye itu hanya mementingkan kehidupan dunia, cinta dunia, hawa manusia yang di balik itu semua melemahkan Islam dan generasi berikutnya. Mari Tolak Nikah Beda Agama… Bogor, 24032022.

 

 

Senin, 21 Maret 2022

Pawang Hujan dalam Sorotan

Oleh: Misno Mohd Djahri

 


Gegap gempita MotoGP Mandalika 2022 telah berakhir Ahad 20 Maret 2022, menyisakan banyak kenangan dan pengalaman bagi mereka yang mengikutinya. Namun, ada hal unik yang kini menjadi viral yaitu adanya Pawang Hujan yang turut hadir dalam event internasional ini. Ya… kehadiran Rara Istiana Wulandari atau yang biasa dikenal dengan Mba Rara menjadi pawang hujan dengan turun langsung ke arena balap ketika hujan berlangsung menjadi berita viral dan membawa kontroversi. Pawang hujan adalah orang yang dipercaya sebagian masyarakat dapat mengendalikan hujan bahkan cuaca. Jasa pawang hujan di Indonesia biasanya dipakai untuk acara-acara besar, seperti pernikahan, konser musik, dan ajang olahraga. Kemunculan pawang hujan ini yang banyak menyita perhatian dari yang melihatnya, berbekal cawan (mangkok) berwarna emas dan dupa serta membaca mantera-mantera agar hujan berhenti. Faktanya dalam beberapa saat hujan memang berhenti dan acara bisa dimulai setelah tertunda 1 jam 15 menit.

Kontroversi muncul di tengah masyarakat mengenai pawang hujan ini, sebagian menganggapnya sebagai kearifan lokal yang harus dilestarikan sementara yang lainnya berkeyakinan sebagai bentuk kesyirikan dalam Islam. Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini?

Sejatinya Islam telah memberikan pedoman yang lengkap kepada manusia dalam segala sendi kehidupan, termasuk berkaitan dengan hujan. Pertama, setiap muslim harus meyakini bahwa hujan yang turun adalah kuasa dari Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana firmanNya:

ونزلنا من السماء ماء مباركا فأنبتنا به جنات وحب الحصيد

Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam. QS. Qaaf: 9.

Jika hujan dibarengi dengan petir maka kita juga diperintahkan berdoa:

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

Subhaanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi

 

Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya”.

Selanjutnya apabila hujan turun, kita diperintahkan untuk berdoa, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam:

اللهم صيبا نافعا

Allahumma shoyyiban naafi'a

Ya Allah curahkanlah hujan yang bermanfaat. HR. Bukhari.

Apabila hujan itu ternyata terlalu deras dan dikhawatirkan akan membahayakan maka kita diperintahkan untuk berdoa kembali:

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَ

Allahumma haawalaina wa laa 'alaina. Allahumma 'alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari

Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan yang untuk merusak kami. Ya Allah, turunkan lah hujan ke dataran tinggi, sebagian anak bukit, perut lembah, dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan, HR Bukhari Muslim.

Islam juga mengajarkan jika hujan tidak turun-turun dan kekeringan dimana-mana maka kita disyariahkan untuk shalat istisqa’ yaitu shalat untuk meminta hujan.

Lantas bagaimana menggunakan jasa pawang hujan? Jawabannya adalah apabila pawang tersebut mengaku mampu mengatur hujan, awan dan matahari maka dia telah berbuat syirik. Orang-orang yang percaya dengannya juga termasuk yang percaya dengan kesyirikannya. Ini berarti menggunakan jasanya adalah haram, karena bertentangan dengan banyak ayat al-Qur’an dan al-Hadits mengenai satu-satunya Sang Pengatur alam semesta adalah Allah Ta’ala. Namun jika dia menyatakan hanya berdo’a kepada Allah Ta’ala dengan pengetahuan ataupun teknologi sehingga mampu “mengatur” atau memindahkan awan atau hujan maka dalam hal ini tidaklah mengapa dengan syarat dia tidak bekerjasama dengan jin, syaithan dan bala tentaranya serta tetap meyakini hanya Allah Ta’ala Pengatur semesta.

Terkait dengan local wisdom (kearifan lokal) maka dalam hal ini Islam memberikan toleransi dengannya, syaratnya tidak bertentangan dengan syariah Islam. Jika pawang hujan tersebut membuat sesajen, membakar dupa dengan keyakinan adanya selain Allah yang dapat memberi manfaat atau mudharat maka itu hukumnya haram dalam Islam. Demikian pula jika dia membaca mantera-mantera atau do’a-do’a yang ditujukan kepada selain Allah maka syirik hukumnya. Apalagi jika dia meyakini bahwa semua itu atas kehendaknya atau atas pengetahuan yang dimilikinya. Kearifan lokal yang dibenarkan Islam adalah ketika ia tidak mengandung unsur kesyirikan, mengedepankan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga apa yang dilakukannya bisa dipertanggungjawabkan.

Penulis pernah membaca tentang satu pembahasan mengenai energi yang harus dikeluarkan oleh pawang hujan untuk menahan atau memindahkan hujan. Pembahasan utamanya adalah bagaimana secara ilmiah proses memindahkan awan, mengalihkan hujan dan mengatur cuaca itu bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan? Maka ini adalah tugas dari para cendekiawan untuk mempelajarinya, mungkin memang ada semacam “pawang” yang bisa bersahabat dengan alam sehingga dia bisa “megaturnya”. Seperti pawang binatang buas yang bisa menaklukan binatang buas tersebut padahal seharusnya ia memangsanya. Pekerjaan besar bagi para ilmuwan untuk membuktikan, jika benar silahkan dikembangkan jika salah maka sebaiknya kembali kepada aturan Islam.

Islam telah memberikan pedoman, bahka jika hujan itu terlalu deras dan dikhawatirkan membahayakan manusia maka kita dianjurkan untuk berdo’a:

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا

Allahumma haawalaina wa laa 'alaina. (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan yang untuk merusak kami).

Makna dari doa ini adalah permintaan kepada Allah Ta’ala agar memindahkan hujan tidak mengenai manusia dan membahayakan manusia, namun mengguyur bagian lain yang memang memerlukannya. Do’a ini sejatinya mengajarkan kepada kita tentang keyakinan kepada Allah Ta’ala, ikhtiar dengan doa kepadaNya dan tentu saja proses tekhnologi untuk memodifikasi cuaca menjadi hal yang mungkin untuk dilakukan.

Maka sebagai muslim sudah selayaknya kita kembali mempelajari Islam sehingga akan paham berbagai panduan hidup dalam Islam. Selain itu penguasaan terhadap tekhnologi juga menjadi sebuah keniscayaan bagi umat Islam, termasuk tekhnologi yang akan menguatkan keimanan. Wallahua’lam. 21032022.

Senin, 14 Maret 2022

Sepenggal Kisah pada Segenggam Tanah di Nusantara

Oleh: Misno

 


Rangkaian Peresmian Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara berlangsung mulai sejak Senin, 14 Maret 2022, diawali dengan penyatuan tanah dan air dari seluruh penjuru Indonesia yang dibawa oleh para gubernur sebagai penguasa daerah. Presiden menginstruksikan kepada mereka untuk membawa tanah dan air dari daerahnya masing-masing. Prosesi dilaksanakan di Titik Nol Kilometer IKN dan dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Acara berjalan dengan khidmah, 34 gubernur membawa tanah dan air dengan cara unik dan sumber yang sesuai dengan interpretasi masing-masing. Tanah dan air dari masing-masing wilayah Indonesia itu kemudian disatukan dalam satu tempat yang disebut Kendi Nusantara. Nantinya kendi ini akan diletakan di Titik Nol IKN Nusantara sebagai lambang persatuan dan kebersamaan. 

“Semoga membawa berkah bagi IKN Nusantara dan Bangsa Indonesia” demikian kata salah satu gubernur dari wilayah Kalimantan. Kata-kata serupa juga kemudian diucapkan oleh Presiden dalam sambutannya “Pada hari ini Senin 14 Maret 2022, kita hadir bersama-sama di sini, dalam rangka sebuah cita-cita besar dan pekerjaan besar yang akan segera kita mulai, yaitu pembangunan Ibu Kota Nusantara," kata Jokowi. "Semoga hidayah dan berkah dari Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kemudahan dan kelancaran bagi kita dalam membangun Ibu Kota Nusantara ini," sambungnya.

Prosesi ini sangat menarik bagi penulis yang memang pencinta budaya khususnya Nusantara, tapi di sisi lain juga menggelitik dan memunculkan sebuah kritik dalam perspekttif aqidah. Menarik, karena prosesi seperti ini memang telah dilakukan oleh banyak budaya bahkan lembaga pendidikan dan institusi lainnya. Ketika penulis mengikuti prosesi serupa di Tasikmalaya, Jawa Barat, setiap komunitas adat membawa air dari wilayahnya masing-masing untuk disatukan di satu tempat yang mewakili kesatuan Suku Sunda. Demikian pula wawancara dengan beberapa narasumber di satu perguruan tinggi Islam Negeri di Jawa Timur juga mereka mengumpulkan tanah dari makan Sembilan Wali (Wali Songo) yang ada di Nusantara. Ini adalah budaya menarik yang menurut presiden adalah symbol dan lambang dari persatuan Nusantara.

Namun di sisi lain, bahwa kata berkah yang merupakan istilah agama khususnya bidang aqidah tidak boleh digunakan begitu saja tanpa adanya dalil yang qath’i. Jika makna keberkahan secara umum mungkin bisa dimaklumi, namun jika berkah dalam makna khusus pada benda-benda tertentu maka sebagai muslim kita harus berhati-hati karena setiap keyakinan termasuk tentang keberkahan harus didasarkan kepada wahyu Ar-Rahman. Ucapan dari salah satu gubernur yang menyatakan adanya “berkah” dalam setiap tanah yang dikumpulkan tentu bukan hanya ucapan lisan, bahkan ia muncul dari keyakinan dan kepercayaan. Walaupun Presiden secara jelas menyatakan bahwa “keberkahan dari Allah subhanahu wa ta'ala” namun tetap saja sebagai seorang muslim kita harus berhati-hati dalam menetapkan sebuah keberkahaan atas suatu benda.

Berkah atau barokah dalam bahasa Arab bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu. Tabriik adalah mendoakan seseorang agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk meraup berkah atau “ngalap berkah”. Makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya. Sebagaimana do’a keberkahan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering kita baca saat tasyahud mengandung dua makna di atas.  Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ucapan do’a “keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena engkau telah memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini mengandung arti pemberian kebaikan karena apa yang telah diberi pada keluarga Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut adalah langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”.

Merujuk pada makna berkah ini maka sejatinya keberkahan itu adalah datang dari Allah Ta’ala, sehingga jika meyakini sesuatu itu memiliki keberkahan maka keyakinan ini perlu dibenarkan. Karena harus ada dalil yang menunjukan sesuatu itu berkah, tanpa adanya dalil maka tidak boleh kita meyakininya. Demikian pula dalam konteks prosesi peresmian ini, jika sekadar simbol persatuan dan kebersamaan tentu tidak menjadi masalah. Tapi jika ada keyakinan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan yang melakukannya adalah muslim maka kita harus memberikan nasehat yang baik kepada mereka. karena ini bisa merusak akidah dan kepercayaan kita sebagai muslim.

Kembali ke prosesi pengumpulan tanah dan air dari penjuru Nusantara, maka kita sebagai seorang muslim menjadikannya sebagai suatu budaya saja. Tidak boleh meyakini adanya keberkahan, tolak bala atau perlindungan dari segala kekuatan selainNya. Bukan pula menjadi sebuah keharusan yang jika tidak dilaksanakan akan mendatangkan kemudharatan, karena sejatinya manfaat dan mudharat itu hanya datang dari Dzat Yang Maha Perkasa, yaitu Allah Ta’ala. Maka jadikan budaya itu tetap ada selama tidak bertentangan dengan syariahNya. Karena Islam itu ramah terhadap budaya lokal dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Semoga IKN Nusantara dan Indonesia selalu diberkahi oleh Allah Ta’ala, syaratnya adalah sebagaimana firmanNya “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96. Mari bersama bangun Indonesia dengan dasar iman dan takwa, kemudian Pancasila di Sila Pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Senin, 14 Maret 2022.

 

Minggu, 13 Maret 2022

Ada Apa di Balik Label Halal Indonesia?

Oleh: Misno

 


Gaya Hidup Halal (Halal Lifestye) bukan hanya menjadi trends sesaat bagi umat Islam, ia adalah tuntutan agama dan kebutuhan setiap manusia. Tidak terbatas pada makanan, namun semua bagian hidup kita sebagai seorang muslim haruslah didasarkan pada ke-halal-an. Merujuk pada hal ini maka jaminan akan produk halal menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap muslim, tidak hanya pada level keseharian namun juga di level kebijakan dan jaminan dari pemerintah. Apalagi jika umat Islam adalah sebuah mayoritas, maka kehalalan suatu produk menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Inilah kemudian mengapa Indonesia membentuk secara khusus lembaga yang mengurusi masalah halal, Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) adalah satu lembaga yang secara resmi mengurusi masalah jaminan halal di Indonesia.

Salah satu gebrakan yang dilakukan BPJPH adalah dengan menggantikan logo label halal yang selama ini ada. Label dengan kaligrafi Arab yang dimodifikasi sehingga membentuk gunungan wayang mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Label ini menggantikan label halal yang selama ini dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, tentu saja dengan desain yang dianggap sesuai dengan budaya bangsa. Ya… label baru ini jelas sekali mencerminkan budaya Indonesia, tulisah khat Arab dengan lafadz “Halal” yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga membentuk gunung wayang dengan warna ungu menggantikan label lama dengan tulisan khat Arab secara jelas dan warna dominan hijau dan putih.

Banyak yang kontra dengan label halal baru ini, dari mulai penulisan khat Arab yag tidak sesuai dengan kaidah baku penulisan khat kufi, hingga pemaksaan bentuk kaligrafi menyerupai gunungan wayang. Ada pula yang kemudian mengkritik bahwa Indonesia bukan hanya wayang yang sangat erat dengan budaya Jawa, bahkan Indonesia adalah dari Aceh sampai Papua yang memiliki beraneka ragam budaya serta symbol-simbol kedaerahan. Penggunaan simbol gunung Jawa tentu tidak mewakili budaya bangsa Indonesia yang beraneka warna. Tentu saja kontroversi ini bukan sekadar yang nampak dan terlihat oleh mata, bahkan ada sesuatu yang besar di balik peresmian logo halal Indonesia ini. Tahukah anda Ada Apa di Balik Label Halal di Indonesia?

Apabila kita memperhatikan berbagai kejadian dan fenomena umat Islam di Indonesia maka kita akan menemukan jawabannya. Demikian pula apabila kita menelaah berbagai penelitian dan kajian mengenai Islam di Indonesia maka kita akan memahami kenapa muncul label ini. Analisis saya dapat dibagi menjadi tiga bagian;

Pertama, setelah selesainya perseteruan antara Amerika dan Uni Soviet maka tidak ada lagi dua musuh yang memiliki kekuatan yang sama hingga akhir Abad 21. Sehingga Islam yang kembali bangkit dari keterpurukannya menjadi incaran utama bagi Amerika dan sekutunya. sehingga berbagai cara dilakukan untuk menghancurkan Islam, baik melalui cara-cara kekerasan atau strategi dari dalam yaitu dengan mendidik anak-anak muslim agar mengikuti pemikiran mereka. Maka kita saksikan banyak sekali anak-anak muslim yang melanjutkan kuliah di Amerika, Eropa dan negara sekutu mereka. Hasilnya adalah muslim yang berfikiran sekuler, atau muslim yang berfikiran liberal. Mereka ahli dalam pengetahuan Islam tetapi bukan untuk dijadikan pedoman, namun sebatas bahan kajian dan sebagian menjadikannya bahan olok-olokan karena dianggap sudah ketinggalan zaman.

Kedua, banyaknya penelitian dan kajian yang mencoba untuk membangkitkan kembali budaya lokal yang bertujuan untuk menghadang Islam. Mereka membangkitkan kembali budaya mesir kuno, budaya Afrika kuno, budaya India kuno, budaya Nusantara kuno, Budaya Persia hingga budaya Arab kuno. Sekilas tidak ada masalah, karena itu adalah memang menjadi kebudayaan lokal masing-masing peradaban di masa lalu. Tapi bukan itu yang dimau, justru membangkitkan kembali budaya lama adalah upaya untuk menghadang Islam dalam penyebarannya ke seluruh penjuru dunia. Lahirnya Teori Resepsi dalam hukum Islam di Indonesia menjadi bukti nyata, bahwa mereka menghadang hukum Islam dalam berbagai cara salah satunya adalah menganggap bahwa hukum Islam hanya berlaku bila hukum adat mengakuinya.

Selanjutnya kita saksikan berbagai penelitian mencoba mengharmonikan antara Islam dan budaya lokal Nusantara, sekali lagi ini bukan masalah dalam kajian Islam karena Islam juga sangat menghormati budaya lokal. Namun jika tujuannya adalah untuk menghadang Islam yang kaafah agar diamalkan oleh masyarakat ini tentu menjadi sebuah permasalahan. Sejak dahulu Islam yang datang ke Nusantara sangat ramah kebudayaan, bahkan menjadikannya sebagai media dakwah. Namun dengan adanya kajian para orientalisme maka kemudian Islam selalu dikonfrontasikan dengan budaya lokal.

Maka dalam hal ini label halal di Indonesia tidak menjadi masalah ketika itu adalah bentuk harmoni Islam dan budaya Nusantara. Namun menjadi maalah besar jika ternyata banyak agenda besar yang selalunya mengkonfrontasikan antara Islam dan budaya lokal. Kita tahu bahwa isu ini belum lama ini terjadi, dan mungkin ke depan akan terus terjadi yaitu upaya mengadu domba sesame anak bangsa dan se-agama serta beda agama agar Indonesia tercinta lemah dan mudah menjadi kekuasaan mereka.

Ketiga, label halal ini sebagai satu kemenangan dari pihak-pihak yang memperjuangan kebudayaan lokal Nusantara. Sejatinya ini tidak ada masalah dalam konteks agama Islam yang ramah dengan budaya lokal. Namun di tengah kebinekaan Nusantara (Indonesia) yang bukan hanya suku Jawa tentu menjadi masalah dan bisa jadi menjadi akar dari disintegrasi bangsa karena merasa hanya budaya Jawa yang diunggulkan negara. Penulis sebagai orang Jawa asli memahami hal ini, karena kita sadar kita adalah Bhineka Tunggal Ika maka logo yang mewakili seluruh elemen budaya bangsa tentu menjadi yang utama. Label halal dengan gunungan wayang akan menjadi label halal nasional di seluruh Indonesia, tentu saja ketika melihatnya maka yang muncul adalah rasa bangga dengan budaya lokal kalau itu orang Jawa. Secara perlahan secara psikologi akan sangat berpengaruh terhadap image dari gambar tersebut bagi siapa saja yang melihatnya. Satu sisi bagus, tapi di sisi lain justru mengaburkan syariah halal yang sebenarnya.

Kesimpulannya adalah bahwa jika label halal ini sudah menjadi kesepakatan dan tidak bisa dirubah maka kita akan menerimanya. Namun jika masih ada untuk dirubah maka lebih baik diganti dengan simbol yang mencerminkan budaya bangsa Indonesia dari Aceh hingga Papua. Jika tidak mungkin merubahnya maka sebagai seorang muslim kita harus lebih berhati-hati dalam menyikapinya. Bukan sesuatu yang nampak di depan mata, tapi sesuatu di balik tampilan dari label halal itu yaitu upaya menusantarakan Islam dan secara perlahan ingin menyingkirkan Islam dari persada Nusantara. Ini mungkin terlalu dini, tapi berbagai penelitian menunjukan bagaimana Islam terus dicari-cari kesalahannya di negeri ini. Dari mulai tuduhan radikalisme, terorisme dan fundamentalisme, isu Wahabi yang memunculkan rasa curiga antar sesame umat Islam hingga Islam dan umatnya yang selalu menjadi korban dalam berbagai kebijakan yang ada.

Semoga Allah Ta’ala selalu menjaga umat Islam di Indonesia, memberikan hidayah kepada seluruh pemimpin dan pembesar negara serta meneguhkan iman Islam mereka. Demikian pula semoga Allah Ta’ala juga selalu memunculkan para ulama dan tokoh agama Islam yang berani berkata benar walaupun tidak disukai oleh orang-orang. Akhirnya semoga kita selalu berada dalam naungan syariahNya, caranya adalah dengan terus belajar agama, mengamalkannya dan mendakwahkan ke seluruh penjuru dunia. Aamiin Ya Rabbal ‘aalamiin. Griya Amma, 13 Maret 2021.

Senin, 07 Maret 2022

MENAKAR STANDAR PENCERAMAH RADIKAL

Oleh: Misno

 


Umat Islam di Indonesia kembali dikagetkan dengan rilis dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) baru-baru ini, yaitu mengenai ciri dari Penceramah Radikal. Langkah ini  dilakukan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyindir keberadaan pendakwah radikal pada Rapat Pimpinan TNI-Polri  Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid menyebutkan “Salah satu ciri penceramah radikal adalah antipemerintah. Mereka selalu menyebarkan kebencian terhadap pemerintahan yang sah, melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.

Selain itu para pendakwah radikal juga disebut selalu menyebarkan paham khilafah dan anti Pancasila, mengajarkan faham takfiri atau mengafirkan pihak yang berbeda paham ataupun agama serta merke amemiliki sikap sangat eksklusif terhadap lingkungannya. Penceramah radikal, ucap Nurwakhid, intoleran terhadap perbedaan. Bahkan, mereka anti terhadap budaya dan kearifan lokal keagamaan dan berusaha menghancurkannya bahkan hingga mengadu domba anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA.

Tentu saja rilis ini mendapatkan respon yang sangat luar biasa dari umat Islam khususnya di Indonesia, ada yang pro ada pula yang kontra. Bagaimana sebenarnya kita sebagai seorang muslim menyikapi hal ini? Apa standar penceramah radikal dalam syariah Islam? Silahkan baca tulisan ini dengan hati dan iman teguh kepada Ilahi.

Secara detail ciri dari Penceramah Radikal yang keluarkan oleh BNPT adalah sebagai berikut; Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah internasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain berbeda paham. Ketiga, menanamkan sikap antipemerintahan yang sah. Keempat, memiliki sikap ekslusif terhadap lingkungan dan Kelima, memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifan lokal.

Berdasarkan ciri-ciri ini maka sangat jelas bagaimana para penceramah radikal memiliki keyakinan dan keagamaan yang tidak kaafah sehingga kemudian menabrakan antara agama dan negara khususnya Indonesia. Mereka juga mengingkari adanya keberagaman  yang teah menjadi sunatullah (takdir Allah Ta’ala), khususnya dalam konteks Indonesia adalah kearifan lokal atau local wisdom. Benarkah demikian? Lagi-lagi sebuah pertanyaan harus dijawab dengan ungkapan yang jelas berdasarkan nilai-nilai Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Pembahasan kita awali dengan makna dari “penceramah” dan “radikal”, Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat bahwa kata ceramah bermakna “pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar, mengenai suatu hal, pengetahuan, dan sebagainya”. Misalnya sebuah kalimat “Kami baru saja mendengarkan -ceramah- mengenai lingkungan hidup. Ceramah juga bermakna “suka bercakap-cakap (tidak pendiam)”, ramah: hari ini bapak -ceramah- sekali kepadaku dan bermakna “cerewet; banyak cakap”, misalnya ucapan “nyinyir: nenek itu memang -ceramah- sekali. Makna ceramah dalam tulisan ini adalah yang pertama yaitu “Pidato seseorang di hadapan orang banyak tentang ilmu pengetahuan, agama dan yang lainnya”.

Sedangkan kata berceramah dalam KBBI adalah “Memberikan uraian tentang suatu hal (pengetahuan dan sebagainya)”, menyampaikan ceramah: misalnya ucapan “Dia diminta -berceramah- tentang keluarga berencana dalam pertemuan itu. Penceramah berarti “orang yang memberikan ceramah” atau “orang yang melakukan pidato di depan orang banyak tentang ilmu pengetahuan, agama dan yang lainnya. Makna “penceramah” saat ini menjadi para da’i, mubaligh, ustadz, khatib dan ahli agama lainnya yang menyampaikan ilmu agama kepada masyarakat.

Selanjutnya makna radikal, apabila kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia maka kita menemukan makna “radikal” adalah; pertama, secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Kedua, perubahan yang -radikal- (mendasar). Ketiga “amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan)” dalam bidang politik. Keempat, “maju dalam berpikir atau bertindak”. Kita akan kesulitan mencari makna radikal dalam KBBI, makna yang paling dekat adalah “amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan)”, walaupun syarat dengan nuansa politik. Makna radikal akan lebih jelas apabila ditambah dengan istilah “isme” yaitu Radikalisme yang dipahami sebagai “Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan, serta mengacu pada sikap ekstrem dalam aliran politik. Secara lebih popular bahwa makna radikal adalah “Sikap ektrim (missal; dalam beragama atau politik) yang bertentangan dengan falsafah hidup bangsa dan kebudayaannya”.

Apabila dua kata ini digabungkan bermakna “Orang yang berceramah (Penceramah) dengan mengajarkan sikap “ektrim” dalam beragama dan membenturkan dengan keberadaan negara serta berbagai kebudayaannya”. Tentu saja istilah ini sangat mudah untuk dikritik, karena standar radikal yang disebutkan BNPT sejatinya dapat juga disandingkan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sebagai falsafah bangsa Pancasila tentu menjadi kesepakatan puncak seluruh warga negara Indonesia, termasuk umat Islam di dalamnya. Sila Pertama Pancasila sangat jelas menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, ini dipahami bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang berasaskan ketuhanan dalam makna yang luas. Misalnya umat Islam memiliki Tuhan yaitu Allah Ta’ala, maka Dia adalah asas pertama dari Pancasila.

Selain itu, UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Secara lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”. Maka jelas sekali bahwa seluruh warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memeluk agama yang diyakini dan beribadah sesuai dengan keyakinannya tersebut.

Analisis Pertama, Penceramah Radikal mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah internasional. Sejatinya sudah final bagi umat Islam di Indonesia bahwa kita sebagai muslim tidak anti Pancasila, bahkan Sila Pertama secara jelas menunjukan Ketuhanan sebagai dasar bagi bangsa ini. Sehingga kalau ada yang anti Pancasila berarti dia tidak paham dengan Islam, atau sebaliknya tidak paham dengan Pancasila yang sangat berketuhanan yang dalam konteks Islam tentu saja bersifat Ilahiyah. Terkait dengan ideologi khilafah, ini memang sarat nuansa politik, saya sendiri jelas tidak setuju ketika ada orang atau sekelompok orang dalam wilayah NKRI ingin mendirikan khilafah. Namun sekali lagi bahwa isu syariah seringkali muncul dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Islam. Bahkan ekonomi dan bisnis syariah-pun dicurigai sebagai usaha untuk mendirikan khilafah. Sehingga kalau ada yang anti dengan Pancasila dan pro khilafah internasional maka jelas itu adalah radikalisme, namun sekali lagi harus dipastikan kebenarannya.

Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain berbeda paham. Isu takfiri sejatinya sudah lama dalam sejarah Islam, pemberontak khawarij menjadi golongan pertama yang dengan mudah mengkafirkan orang lain di luar kelompoknya. Saat ini, mungkin khawarij sudah tidak ada namun pemikiran yang dengan mudah mengkafirkan orang lain apalagi yang masih muslim adalah sebuah kesalahan besar. Faktanya bahwa kafir-mengkafirkan orang lain adalah kajian fiqh yang kemudian didengung-dengungkan oleh pihak lain yang merasa jamaahnya mulai berkurang atau eksistensinya terancam. Sehingga lanjutan dari takfiri adalah tabdi; (mudah membid’ahkan) dan menganggap sesat orang lain atau suatu amalan. Maka dalam hal ini kita harus kembali untuk mengkaji Islam yang hanif ini, Islam yang memang berdiri di atas manhaj yang lurus yang berani mengatakan bahwa hitam itu hitam dan putih itu putih. Mengkafirkan umat Islam lainnya adalah dosa besar dalam Islam, namun lebih berdosa lagi ketika kita menuduh orang lain sebagai takfiri (orang yang mudah mengkafirkan orang lain).  

Ketiga, menanamkan sikap antipemerintahan yang sah. Islam sudah sangat jelas mengatur tentag kewajiban untuk taat kepada ulil amri, tentu saja ketaatan dalam hal yang ma’ruf. Statement ini bisa dijelaskan dengan pemahaman Islam, bahwa memberontak kepada pemerintah yang sah adalah dosa besar, apalagi sampai mengorbankan rakyat untuk smeua kudeta berdarah yang memakan banka korban jiwa. Padahal haram hukumnya meneteskan darah umat Islam apalagi sampai mengorbankannya untuk sebuah perjuangan yang tanpa perhitungan. Intinya anti pemerintah dalam Islam jelas diharamkan, namun bukan berarti meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar. Apalagi dalam konteks negara demokrasi yang memberikan kebebasan warganya untuk berpendapat dan menyampaikan kritik atau saranan. Maka, sikap anti pemerintah yang dimaksud dalam hal ini haruslah diperjelas dengan membedakannya dengan kritik dan kebebasan berpendapat.

Keempat, memiliki sikap ekslusif terhadap lingkungan. Makna ekslusif yang dimaksud adalah mereka sangat tertutup dengan kelompok lain baik dari sisi pemikiran, lingkungan ataupun pergaulan. Dalam konteks muslim di Indonesia adalah mereka yang tidak mau menerima ide dan pendapat dari orang lain bahkan menyalahkannya. Namun lagi-lagi hal ini juga harus dijelaskan lebih detail, jika sikap ekslusif terkait dengan ide dan gagasan yang tidak mengganggu pihak lain tentu tidak masalah, karena ini merupakan keyakinanya. Demikian pula ketika ia melihat bahwa lingkungannya (menurutnya) sangat tidak Islami sehingga mereka membatasi diri dalam berbagai kegiatan yang menurutnya adalah sebuah kesalahan. Tentu saja dalam konteks ini kita kembalikan kepada makna demokrasi yang memberikan kebebasan untuk memiliki keyakinan, bersikap bahkan beribadat sesuai dengan ideologinya. Selama ia tidak mengganggu orang lain maka silahkan saja, karena hal itu juga dilindungi oleh peraturan yang ada.

Kelima, memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifan lokal. Statement ini adalah lanjutan dari sebelumnya, di mana ciri Penceramah Radikal adalah mereka yang anti dengan budaya dan kearifan lokal. Bagaimana sebenarnya sikap kita sebagai seorang muslim dengan berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia dan dunia? Sejatinya Islam telah memberikan jalan yang sangat terang dalam menyikapi budaya manusia, bahkan dalam kaidah fiqh dijelaskan “al’aadah muhakkamah” bahwa adat kebiasaan atau tradisi bisa menjadi pertimbangan atau dasar hukum. Sehingga Islam sangat ramah dengan budaya lokal, bukti nyatanya adalah bagaimana budaya bangsa tetap ada hingga saat ini kita berada. Tentu saja budaya lokal yang diterima oleh Islam adalah yang tidak bertentangan dengan syariah Islam, dan kita tahu bahwa syariat Islam itu akan selalu sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga jika ada suatu budaya yang tidak diperkenankan dalam Islam sejatinya budaya tersebut memang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Misalnya budaya seks bebas jelas bertentangan dengan Islam dan juga fitrah manusia, demikian juga perjudian dan segala bentuk budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Intinya adalah bahwa Islam ramah budaya lokal selama tidak bertentangan dengan syariah Islam dan fitrah insan.

Merujuk pada pembahasan ini maka standar penceramah radikal selayaknya untuk diperiksa ulang, jangan sampai memunculkan persepsi yang tidak tepat di tengah masyarakat. Umat Islam di Indonesia sejak dahulu sudah bersama, bertetangga dan merajuk harmoni dengan berbagai suku bangsa dan agama di dunia. Tidak ada pertentangan antara Islam dengan falsafah bangsa dan budaya lokal, sehingga jika ada isu yang mencoba mengadu domba antara Islam dengan negara dan budaya maka periksalah dari mana asalnya? Karena bisa jadi itu berasal dari pihak-pihak yang suka dengan Islam, tidak suka dengan Indonesia dan tidak menginginkan Islam di Indonesia Berjaya. Akhirnya bahwa Islam sebagai agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam tidak pernah mengajarkan segala bentuk kekerasan dan radikalisme. Islam di Indonesia menjadi contoh bagi umat Islam dari berbagai negara dalam merajut harmoni dengan berbagai keyakinan dan agama. Biarkan Islam Berjaya dalam bingkai NKRI tercinta… Bogor, 07032022.

 

 

Minggu, 06 Maret 2022

AKU MERASA ORANG TER-SENGSARA DI DUNIA

Oleh: Misno Mohd Djahri

 


Allah Ta’ala menciptakan semua makhlukNya bersamaan dengan takdir yang ada pada mereka, sehingga setiap makhluk termasuk manusia sudah memiliki takdirnya masing-masing. Namun bukan berarti manusia hanya mengikuti takdir tanpa adanya usaha, ia memiliki kehendak dan usaha agar kehidupannya menjadi terus lebih baik, tentunya usahanya itu tidak lepas dari takdir Allah Ta’ala. Jika dalam hidupnya manusia mendapatkan segala yang diinginkannya, kebahagiaan selalu ada hidup hidup terasa paling Bahagia di dunia. Namun bagaimana jika sebaliknya, hidup terasa termiskin sedunia, tersengsara di dunia, hingga merasa kehidupannya penuh dengan duka nestapa sejak awal lahirnya hingga akhir usia?

Inilah kisah seorang teman yang hidupnya penuh dengan penderitaan, sejak awal kelahiran hingga saat sekarang. Awal kisah hidupnya adalah ketika hadir ke alam dunia, di mana Sang Ayah yang seharusnya menimang-nimangnya ternyata sudah lebih dulu meninggal dunia. Bahkan tidak lama kemudian ibunda ternyata menyusul ke alam baka, hingga yatim piatu harus dirasakannya. Hidup diasuh oleh saudara dari orang tua yang tidak memiliki rasa sayang yang sebenarnya menyebabkannya harus selalu diexploitasi tenaganya. Membantu bekerja dari pagi hingga senja dengan jatah makanan seadanya menjadi kisah kehidupan kesehariannya. Hal ini semakin diperparah oleh musibah yang menimpanya ketika berusia 8 tahun, beberapa orang yang tidak dikenalnya menggagahinya hingga ia pingsan beberapa saat lamanya.

Usia anak yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan bersama kedua orang tua tidak pernah dirasakannya, bahkan ia harus bekerja sebagai ganti rugi makanan dan tempat tinggal yang sejatinya tidak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkannya. Usia sekolah yang juga semestinya diisi dengan kegiatan belajar dan mengulang pelajaran tidak pernah dirasakannya, bahkan terlambat masuk sekolah dan mengantuk di kelas menjadi kebiasaannya karena kerja hingga larut malam. Masih di lingkungan sekolah, dia berkali-kali mendapatkan cemoohan, bullying dan pelecehan dari teman-temannya. Hal yang lebih parah adalah harus mengalami derita dan trauma karena kembali digagahi oleh seorang guru yang tidak bisa digugu dan ditiru.

Penderitaan berkepanjangan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas berakhir dengan berangkatnya ia ke Ibukota, mengharap kebahagiaan dapat dirasakannya. Kembali sebuah musibah terjadi, baru saja dia mau turun kapal setelah menyeberang Selat Sunda dan akan menginjakkan kakinya di tanah Jawa sebuah pukulan keras menghantam kepalanya hingga ia tidak sadar diri dalam waktu yang cukup lama. Sekitar lima tahun, di agila dan dirawat oleh seseorang yang menemukannya dalam keadaan tanpa pakaian di pinggir jalan antara Merak dan Jakarta.

Kesadarannya muncul ketika dia bertemu dengan kawan sekampungnya yang masih mengenalnya, namun apa hendak dikata? Semua keluarganya telah tiada dan tidak ada lagi yang dapat memberinya sekadar tumpangan hidup. Ia teringat dengan seorang saudara di Jakarta yang pernah memberikan alamat kepadanya lima tahun silam. Akhirnya ia dapat bertemu dan tinggal bersamanya, kembali penderitaan diterimanya. Saudara laki-lakinya yang memiliki istri ternyata tidak suka dengan kehadirannya hingga ia dianggap seperti pembantu yang setiap hari mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk mencuci pakaiannya. Semua itu masih disembunyikan dari saudara laki-lakinya hingga air matanya sering menetes di antara cucian pakaian dalam saudaranya atau di bantal tidur kamar belakang yang telah menjadi lukisan peta karena air mata yang selalu mengenainya.

Mengharap penderitaan berakhir, ia pergi dari rumah itu dan mengembara ke selatan Jakarta, bertemu dengan seorang kenalannya yang kemudian membawanya ke sebuah diskotik dan menjadi pelayan di sana. Awalnya dia sangat rishi dengan tempat kerjanya, namun seiring berjalannya waktu dia mulai terbiasa dengan beberapa tamu yang memberikan uang dengan kompensasi pelayanan terhadapnya. Air matanya sudah mulai kering, bukan karena taka da lagi derita, tapi karena setiap hari mengalir hingga tak ada lagi yang dapat mengalir. Berbagai kejadian yang menyayat nuraninya dari para pelanggan dan beberapa teman dekat menjadikannya mulai berfikir untuk meninggalkan dunia penuh warna.

Akhirnya ia hijrah ke daerah Cileungsi, melamar di sebuah pabrik di sana dan mengontrak tidak jaug dari tempat kerjanya. Awal masuk kerja sudah ada tiga orang yang tidak suka dengan dia, pertama keluarga dari bossnya dan yang kedua adalah rekan kerja yang diam-diam memiliki rasa suka dengannya. Satu lagi, seorang manager yang beberapa kali mengajaknya makan siang dan mengajaknya jalan-jalan. Penderitaan di tempat kerja tidak begitu dirasakannya, mungkin karena sudah sering menghadapi orang-orang yang memfitnah, mengadu domba atau bahkan kekerasan fisik dengan memukulnya. Penderitaan terbesar adalah dari seorang atasannya yaitu seorang manajer yang ternyata meminta “sesuatu” dari dirinya. Walaupun mau tidak mau dia harus menurutinya namun menjadi penderitaan baru dalam hidupnya. Ya… akhirnya dia mulai sadar bahwa dia bukan manusia normal seperti biasa. Penderitaan fisik berpuncak ketika dua orang mendatangi tempat kost-nya dan mengancamnya jika dia tidak mau menuruti kemauannya, dia dikeroyok dan dipukul hingga pingsan lebih kurang 8 jam lamanya. Ia sadar dalam keadaannya bajunya robek dan darah mengalir segar dari tubuhnya.

Fase kehidupannya beralih ke wilayah Jagakarsa di Selatan Jakarta, bekerja di sebuah tempat yang cukup jauh memaksanya untuk naik kendaraan umum dan ojek yang menjadi langganannya. Ojek langgannya sangat baik sehingga selalu menjemput dan mengantarnya ke stasiun dalam beberapa waktu lamanya. Namun, kebaikan itu ada sesuatu di sebaliknya. Tukang ojek itu menyukainya dan diapun tidak bisa menolaknya, hingga beberapa kali kejadian serupa terjadi dalam hidupnya. Gundah-gulana kembali bergelayut dalam hidupnya, ia merasa menjadi manusia paling sengsara di dunia, namun ia coba terus bertahan.

Setelah tukang ojek itu hilang tanpa kabar ia pindah ke wilayah Bogor untuk melanjutkan kehidupannya. Lagi-lagi kesengsaraan hidup terus membuntutinya. Menumpang di rumah seorang kawan yang ternyata memiliki beberapa langganan memaksanya menyaksikan berbagai kemungkaran di depan mata. Bersyukur ia dapat kerja di sebuah kantor desa yang memberinya sedikit tempat di masyarakat. Masa lalunya hampir terlupakan ketika media sosial mulai dimasukinya. Media sosial yang memberikan ruang bagi siapa saja untuk mengupload photonya justru menjadi boomerang bagi dirinya. Kawan-kawan sesama yang dulu ada di dunia maya kini bertebaran di dunia maya, bahkan dengan mudah mengadakan pertemuan dengan janji bertemu di suatu tempat.

Media sosial inilah yang mempertemukannya dengan berbagai jenis manusia, sebagian besar memang adalah mereka yang terpesona dengan penampilan fisiknya. Photo-photo yang diunggah di media sosial inilah menjadi awal bencana bagi dirinya. Dari mulai mereka yang sekadar suka kemudian dapat bersua hingga yang suka dengan penuh hawa yang berusaha keras untuk memilikinya. Sayangnya hati tak dapat dipaksa, beberapa orang yang tergila-gila terhadapnya justru tidak disambut dengan semestinya hingga dendam penuh angkara menjadi bencana yang tidak ada habisnya. Photo-photonya disebarkan di beberapa media sosial dengan tulisan yang sangat menyakitkan. Menuduhnya sebagai manusia bayaran, hingga ancaman menaklukannya di atas dipan. Bukan hanya sekali namun sudah berkali-kali hal ini terjadi, hingga kemudian dia datang dan mencurahkan segala perasaan.

“Aku memang pencinta sesama, tapi aku bukan manusia bayaran”, ungkapnya dengan deraian air mata yang begitu deras mengalir. “Aku memang miskin, tapi aku tidak pernah morotin (meminta uang kepada orang)” lanjutan dari curhatannya. “Aku merasa menjadi orang yang paling sengsara di dunia, sejak lahir di dunia hingga sekarang adanya”. Itulah ucapan terakhirnya dengan deraian air mata yang terus mengalir di pipinya.

Merasa menjadi manusia paling sengsara, itulah yang sering juga menimpa manusia ketika ia berada di titik nadzir kehidupannya. Bagaimana menyikapinya? Islam sebagai pedoman hidup umat manusia telah memberikan bekalan bagaimana menyikapi setiap keadaan manusia. Merasa menjadi manusia paling sengsara adalah rasa di mana pengalaman hidup telah mengajarkannya tentang bagaimana pahit getir kehidupan. Tentu saja perasaan ini harus diselaraskan dengan syariah Islam yang mulia. Berikut adalah penjelasannya;

Pertama, sebagai seorang muslim kita harus meyakini bahwa semua hal yang menimpa manusia dan semesta sudah menjadi takdirNya. Sehingga semua kejadian yang ada dalam kehidupan kita sudah menjadi takdirNya, apalagi jika perkara tersebut sudah terjadi di masa yang sudah lama. Takdir ini bukan berarti buruk, tetapi menjadi pembelajaran bahkan penghapus kesalahan jika kita ridha dengan takdirNya. “Semua takdirNya adalah baik bagi manusia”, ini adalah kunci yang harus diyakini oleh semua muslim di dunia. Tidak boleh burung sangka dan menganggap Allah Ta’ala tidak adil atau menginginkannya hidup sengsara. Allah Maha Adil dan Maha Tahu tentang apa yang ada pada setiap hambaNya. Dia juga menginginkan agar semua manusia Bahagia, dengan berbagai keadaannya. Maka jika hidup kita sejak lama selalu dirundung duka, maka yakinlah bahwa itu semua adalah kuasaNya dan akan banyak hikmah di dalamnya.

Kedua, semua musibah yang menimpa kita sejatinya adalah satu sebab bagi terhapusnya dosa serta meninggikan derajat kita di sisiNya. Setiap musibah dengan berbagai keadaannya itu akan menghalus dosa dan kesalahan yang kita lakukan, tentu saja jika kita ikhlas dengannya. Misalnya seseorang yang tertusuk duri, jika dia yakin bahwa itu adalah takdirNya dan ridha dengannya maka itu adalah sebab pahala darinya. Demikian pula musibah yang melanda adalah sebab ditinggikannya derajat manusia di sisiNya. Misalnya seseorang yang tertimpa sakit yang parah, maka sakitnya itu akan menghapus dosa dan meninggikan derajatnya karena kesabaran atas sakit yang dideritanya. Semakin dia sakit maka semakin tinggi derajat di sisi Allah Ta’ala, inilah yang terjadi pada nabi dan hambaNya yang mulia.

Ketiga, yakin bahwa “kesengsaraan” yang kita rasa memiliki hikmah (pelajaran) luar biasa yang kita bisa rasakan di suatu masa. Misalnya seseorang yang kedua orang tuanya meninggal maka sejatinya dia terangkat dari berbuat baik kepada orang tua. Ia dapat lebih fokus kepada amal ibadah lainnya, ini terjadi pada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang mulia. Jika itu berupa kejadian yang sangat menyakitkan dan membuat kita trauma, maka sejatinya hikmah itu akan kita dapatkan selagi yakin bahwa itu adalah kuasaNya. Bahkan sering kali musibah yang menimpa kita dibarengi dengan anugerah yang tidak dimiliki oleh orang lainnya. Seorang yang masa kecilnya pernah mengalami kekerasan, maka ketika dewasa ia akan lebih lemah lembut dan menghindari segala bentuk kekerasan kepada anak-anaknya.

Selain itu masih banyak lagi bimbingan Islam dalam menghadapi setiap sendi kehidupan, maka teruslah belajar Islam agar kita semakin mampu untuk menyikapi segala hal dalam kehidupan insan. Jangan pernah merasa paling sengsara di dunia, karena dunia ini juga fana dan kesengsaraan itu akan berakhir juga. Takutlah pada kesengsaraan di akhirat sana, di mana tiada akhirnya, yang disebabkan karena kufur dengan segala nikmatNya. Biarlah sengsara di dunia tapi Bahagia di akhirat sana… Wallahu a’lam, 06 Maret 2022.

Jumat, 04 Maret 2022

Akhir Layangan Putus

Oleh: Misno Mohd Djahri

 



Judul ini tidak ada kaitannya dengan sinteron dan film dengan judul “Layangan Putus”, sekadar memberikan tamsil tentang layangan putus. Ya… bagaimana sebenarnya nasib dari layang-layang yang telah putus?

Layang-layang adalah salah satu dari mainan yang sangat popular di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia namun di berbagai dunia benda ini ada dan dimainkan dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan beberapa negara menjadikannya sebagai festival tahunan yang memiliki banyak peminat, tentunya dengan segala perkembangan yang ada dari layang-layang ini.

Tulisan ini juga terinspirasi dari beberapa layang-layang yang ditemukan di atap rumah, kebun samping rumah hingga yang menyangkut di pepohonan sekitar tempat tinggal saya. Layang-layang itu putus dan terbawa oleh angin hingga sampai di berbagai tempat yang jauh dari asalnya. Mungkin ketika baru saja putus atau melayang karena putus, akan menjadi benda yang dikejar-kejar oleh anak-anak. mereka kan berlarian untuk mengejarnya. Namun jika tidak ada yang melihatnya maka ia akan terombang-ambing angin dan akhirnya teronggok di atas tanah, menyangkut di kabel listrik atau di atas pohon.

Setelah beberapa saat maka layang-layang putus itu akan terkena panas dan hujan hingga secara perlahan hancur oleh alam. Apalagi jika layang-layang itu terbuat dari kertas, akan lebih cepat hancur oleh tetesan dan guyuran air hujan. Beruntung bagi layang-layang yang terbuat dari plastik atau bahan anti air lainnya, umurnya akan lebih panjang dan mampu bertahan dari panasnya matahari dan hujan yang menimpanya. Walaupun tidak lama seteleh itu ia juga akan binasa… semua yang di dunia memang fana adanya.

Akhir dari layang-layang putus adalah menjadi sampah yang tidak berguna, ia akan dihancurkan oleh alam, disingkirkan oleh manusia dan dihilangkan dari dunia. Demikianlah tamsil dari sebuah layang-layang, ketika dalam proses pembuatannya ia akan ditimang-timang kemudian di pajang di toko mainan atau penjual pinggir jalan. Ia menarik mata bagi yang menyukainya, dengan beberapa rupiah ia akan dibawa pulang ke rumah. Menjadi mainan dan memberi kebahagiaan bagi pemiliknya, ia akan terbang bersama dengan keceriaan dari mereka yang menerbangkannya. Melayang di awang-awang dan memberi kesan menawan bagi yang melihatnya, itulah masa puncak bagi layang-layang. Jika tiba-tiba karena tali atau benang yang mengikatnya terlepas atau terputus maka dia akan melayang tanpa aturan, terbawa angin yang membawanya ke suatu tempat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Manusia di dunia pun demikian adanya, ia hadir ke dunia karena kehendak dari Allah Ta’ala, berawal dari alam arwah, lalu ke alam rahim dan akhirnya sampai di dunia. Takdir Allah tidak akan pernah lepas darinya, namun dia diberikan kebebasan untuk berusaha, berikhtiar dan berkehendak selama di dunia. Ia bisa terbang tinggai ke angkasa, memesona bagi yang melihatnya, membuat bahagia siapa saja yang bersamanya. Namun ketika ia lepas dari syariahNya, baik itu disengaja atau tidak sengaja karena hawanya maka ia akan seperti layang-layang yang terombang-ambing oleh angin. Bahkan ia tidak mampu menguasai dirinya sendiri, melayang dan terseret angin ke tempat yang membawa kepada kebinasaannya.

Akhir dari layangan putus adalah menjadi benda yang tiada guna, seperti manusia yang terlepas dari segala aturan syariahNya ia menjadi hina bahkan lebih hina dari binatang melata. Ia tidak berguna karena tidak bisa lagi disebut sebagai manusia, namun raga yang terbalut hawa. Jiwanya telah mati, dan menolak dari segala kebenaran yang datang dari Sang Ilahi. Maka, jangan kita seperti layangan putus yang tidak ada guna, jadilah layangan yang terus berada dalam tali Allah Ta’ala, ikhtiar kita menjadi ukuran dan timbangan agar tali itu tidak diputus oleh pemiliknya. Tidak pula putus karena angin hawa yang menerpa, atau kualitas benang yang rapuh di dalamnya.

Semoga kita menjadi hamba yang selalu dapat menjalankan seluruh syariatNya, layangan putus hanya tamsil betapa sejatinya kita hina jika tidak lagi memiliki makna bagi pemilikNya. Pemilik, Pencipta dan Ilaah (Sesembahan) kita adalah Allah Ta’ala, maka selalu kita mendekatkan diri kepadaNya. 04032022.