Minggu, 06 Maret 2022

AKU MERASA ORANG TER-SENGSARA DI DUNIA

Oleh: Misno Mohd Djahri

 


Allah Ta’ala menciptakan semua makhlukNya bersamaan dengan takdir yang ada pada mereka, sehingga setiap makhluk termasuk manusia sudah memiliki takdirnya masing-masing. Namun bukan berarti manusia hanya mengikuti takdir tanpa adanya usaha, ia memiliki kehendak dan usaha agar kehidupannya menjadi terus lebih baik, tentunya usahanya itu tidak lepas dari takdir Allah Ta’ala. Jika dalam hidupnya manusia mendapatkan segala yang diinginkannya, kebahagiaan selalu ada hidup hidup terasa paling Bahagia di dunia. Namun bagaimana jika sebaliknya, hidup terasa termiskin sedunia, tersengsara di dunia, hingga merasa kehidupannya penuh dengan duka nestapa sejak awal lahirnya hingga akhir usia?

Inilah kisah seorang teman yang hidupnya penuh dengan penderitaan, sejak awal kelahiran hingga saat sekarang. Awal kisah hidupnya adalah ketika hadir ke alam dunia, di mana Sang Ayah yang seharusnya menimang-nimangnya ternyata sudah lebih dulu meninggal dunia. Bahkan tidak lama kemudian ibunda ternyata menyusul ke alam baka, hingga yatim piatu harus dirasakannya. Hidup diasuh oleh saudara dari orang tua yang tidak memiliki rasa sayang yang sebenarnya menyebabkannya harus selalu diexploitasi tenaganya. Membantu bekerja dari pagi hingga senja dengan jatah makanan seadanya menjadi kisah kehidupan kesehariannya. Hal ini semakin diperparah oleh musibah yang menimpanya ketika berusia 8 tahun, beberapa orang yang tidak dikenalnya menggagahinya hingga ia pingsan beberapa saat lamanya.

Usia anak yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan bersama kedua orang tua tidak pernah dirasakannya, bahkan ia harus bekerja sebagai ganti rugi makanan dan tempat tinggal yang sejatinya tidak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkannya. Usia sekolah yang juga semestinya diisi dengan kegiatan belajar dan mengulang pelajaran tidak pernah dirasakannya, bahkan terlambat masuk sekolah dan mengantuk di kelas menjadi kebiasaannya karena kerja hingga larut malam. Masih di lingkungan sekolah, dia berkali-kali mendapatkan cemoohan, bullying dan pelecehan dari teman-temannya. Hal yang lebih parah adalah harus mengalami derita dan trauma karena kembali digagahi oleh seorang guru yang tidak bisa digugu dan ditiru.

Penderitaan berkepanjangan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas berakhir dengan berangkatnya ia ke Ibukota, mengharap kebahagiaan dapat dirasakannya. Kembali sebuah musibah terjadi, baru saja dia mau turun kapal setelah menyeberang Selat Sunda dan akan menginjakkan kakinya di tanah Jawa sebuah pukulan keras menghantam kepalanya hingga ia tidak sadar diri dalam waktu yang cukup lama. Sekitar lima tahun, di agila dan dirawat oleh seseorang yang menemukannya dalam keadaan tanpa pakaian di pinggir jalan antara Merak dan Jakarta.

Kesadarannya muncul ketika dia bertemu dengan kawan sekampungnya yang masih mengenalnya, namun apa hendak dikata? Semua keluarganya telah tiada dan tidak ada lagi yang dapat memberinya sekadar tumpangan hidup. Ia teringat dengan seorang saudara di Jakarta yang pernah memberikan alamat kepadanya lima tahun silam. Akhirnya ia dapat bertemu dan tinggal bersamanya, kembali penderitaan diterimanya. Saudara laki-lakinya yang memiliki istri ternyata tidak suka dengan kehadirannya hingga ia dianggap seperti pembantu yang setiap hari mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk mencuci pakaiannya. Semua itu masih disembunyikan dari saudara laki-lakinya hingga air matanya sering menetes di antara cucian pakaian dalam saudaranya atau di bantal tidur kamar belakang yang telah menjadi lukisan peta karena air mata yang selalu mengenainya.

Mengharap penderitaan berakhir, ia pergi dari rumah itu dan mengembara ke selatan Jakarta, bertemu dengan seorang kenalannya yang kemudian membawanya ke sebuah diskotik dan menjadi pelayan di sana. Awalnya dia sangat rishi dengan tempat kerjanya, namun seiring berjalannya waktu dia mulai terbiasa dengan beberapa tamu yang memberikan uang dengan kompensasi pelayanan terhadapnya. Air matanya sudah mulai kering, bukan karena taka da lagi derita, tapi karena setiap hari mengalir hingga tak ada lagi yang dapat mengalir. Berbagai kejadian yang menyayat nuraninya dari para pelanggan dan beberapa teman dekat menjadikannya mulai berfikir untuk meninggalkan dunia penuh warna.

Akhirnya ia hijrah ke daerah Cileungsi, melamar di sebuah pabrik di sana dan mengontrak tidak jaug dari tempat kerjanya. Awal masuk kerja sudah ada tiga orang yang tidak suka dengan dia, pertama keluarga dari bossnya dan yang kedua adalah rekan kerja yang diam-diam memiliki rasa suka dengannya. Satu lagi, seorang manager yang beberapa kali mengajaknya makan siang dan mengajaknya jalan-jalan. Penderitaan di tempat kerja tidak begitu dirasakannya, mungkin karena sudah sering menghadapi orang-orang yang memfitnah, mengadu domba atau bahkan kekerasan fisik dengan memukulnya. Penderitaan terbesar adalah dari seorang atasannya yaitu seorang manajer yang ternyata meminta “sesuatu” dari dirinya. Walaupun mau tidak mau dia harus menurutinya namun menjadi penderitaan baru dalam hidupnya. Ya… akhirnya dia mulai sadar bahwa dia bukan manusia normal seperti biasa. Penderitaan fisik berpuncak ketika dua orang mendatangi tempat kost-nya dan mengancamnya jika dia tidak mau menuruti kemauannya, dia dikeroyok dan dipukul hingga pingsan lebih kurang 8 jam lamanya. Ia sadar dalam keadaannya bajunya robek dan darah mengalir segar dari tubuhnya.

Fase kehidupannya beralih ke wilayah Jagakarsa di Selatan Jakarta, bekerja di sebuah tempat yang cukup jauh memaksanya untuk naik kendaraan umum dan ojek yang menjadi langganannya. Ojek langgannya sangat baik sehingga selalu menjemput dan mengantarnya ke stasiun dalam beberapa waktu lamanya. Namun, kebaikan itu ada sesuatu di sebaliknya. Tukang ojek itu menyukainya dan diapun tidak bisa menolaknya, hingga beberapa kali kejadian serupa terjadi dalam hidupnya. Gundah-gulana kembali bergelayut dalam hidupnya, ia merasa menjadi manusia paling sengsara di dunia, namun ia coba terus bertahan.

Setelah tukang ojek itu hilang tanpa kabar ia pindah ke wilayah Bogor untuk melanjutkan kehidupannya. Lagi-lagi kesengsaraan hidup terus membuntutinya. Menumpang di rumah seorang kawan yang ternyata memiliki beberapa langganan memaksanya menyaksikan berbagai kemungkaran di depan mata. Bersyukur ia dapat kerja di sebuah kantor desa yang memberinya sedikit tempat di masyarakat. Masa lalunya hampir terlupakan ketika media sosial mulai dimasukinya. Media sosial yang memberikan ruang bagi siapa saja untuk mengupload photonya justru menjadi boomerang bagi dirinya. Kawan-kawan sesama yang dulu ada di dunia maya kini bertebaran di dunia maya, bahkan dengan mudah mengadakan pertemuan dengan janji bertemu di suatu tempat.

Media sosial inilah yang mempertemukannya dengan berbagai jenis manusia, sebagian besar memang adalah mereka yang terpesona dengan penampilan fisiknya. Photo-photo yang diunggah di media sosial inilah menjadi awal bencana bagi dirinya. Dari mulai mereka yang sekadar suka kemudian dapat bersua hingga yang suka dengan penuh hawa yang berusaha keras untuk memilikinya. Sayangnya hati tak dapat dipaksa, beberapa orang yang tergila-gila terhadapnya justru tidak disambut dengan semestinya hingga dendam penuh angkara menjadi bencana yang tidak ada habisnya. Photo-photonya disebarkan di beberapa media sosial dengan tulisan yang sangat menyakitkan. Menuduhnya sebagai manusia bayaran, hingga ancaman menaklukannya di atas dipan. Bukan hanya sekali namun sudah berkali-kali hal ini terjadi, hingga kemudian dia datang dan mencurahkan segala perasaan.

“Aku memang pencinta sesama, tapi aku bukan manusia bayaran”, ungkapnya dengan deraian air mata yang begitu deras mengalir. “Aku memang miskin, tapi aku tidak pernah morotin (meminta uang kepada orang)” lanjutan dari curhatannya. “Aku merasa menjadi orang yang paling sengsara di dunia, sejak lahir di dunia hingga sekarang adanya”. Itulah ucapan terakhirnya dengan deraian air mata yang terus mengalir di pipinya.

Merasa menjadi manusia paling sengsara, itulah yang sering juga menimpa manusia ketika ia berada di titik nadzir kehidupannya. Bagaimana menyikapinya? Islam sebagai pedoman hidup umat manusia telah memberikan bekalan bagaimana menyikapi setiap keadaan manusia. Merasa menjadi manusia paling sengsara adalah rasa di mana pengalaman hidup telah mengajarkannya tentang bagaimana pahit getir kehidupan. Tentu saja perasaan ini harus diselaraskan dengan syariah Islam yang mulia. Berikut adalah penjelasannya;

Pertama, sebagai seorang muslim kita harus meyakini bahwa semua hal yang menimpa manusia dan semesta sudah menjadi takdirNya. Sehingga semua kejadian yang ada dalam kehidupan kita sudah menjadi takdirNya, apalagi jika perkara tersebut sudah terjadi di masa yang sudah lama. Takdir ini bukan berarti buruk, tetapi menjadi pembelajaran bahkan penghapus kesalahan jika kita ridha dengan takdirNya. “Semua takdirNya adalah baik bagi manusia”, ini adalah kunci yang harus diyakini oleh semua muslim di dunia. Tidak boleh burung sangka dan menganggap Allah Ta’ala tidak adil atau menginginkannya hidup sengsara. Allah Maha Adil dan Maha Tahu tentang apa yang ada pada setiap hambaNya. Dia juga menginginkan agar semua manusia Bahagia, dengan berbagai keadaannya. Maka jika hidup kita sejak lama selalu dirundung duka, maka yakinlah bahwa itu semua adalah kuasaNya dan akan banyak hikmah di dalamnya.

Kedua, semua musibah yang menimpa kita sejatinya adalah satu sebab bagi terhapusnya dosa serta meninggikan derajat kita di sisiNya. Setiap musibah dengan berbagai keadaannya itu akan menghalus dosa dan kesalahan yang kita lakukan, tentu saja jika kita ikhlas dengannya. Misalnya seseorang yang tertusuk duri, jika dia yakin bahwa itu adalah takdirNya dan ridha dengannya maka itu adalah sebab pahala darinya. Demikian pula musibah yang melanda adalah sebab ditinggikannya derajat manusia di sisiNya. Misalnya seseorang yang tertimpa sakit yang parah, maka sakitnya itu akan menghapus dosa dan meninggikan derajatnya karena kesabaran atas sakit yang dideritanya. Semakin dia sakit maka semakin tinggi derajat di sisi Allah Ta’ala, inilah yang terjadi pada nabi dan hambaNya yang mulia.

Ketiga, yakin bahwa “kesengsaraan” yang kita rasa memiliki hikmah (pelajaran) luar biasa yang kita bisa rasakan di suatu masa. Misalnya seseorang yang kedua orang tuanya meninggal maka sejatinya dia terangkat dari berbuat baik kepada orang tua. Ia dapat lebih fokus kepada amal ibadah lainnya, ini terjadi pada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang mulia. Jika itu berupa kejadian yang sangat menyakitkan dan membuat kita trauma, maka sejatinya hikmah itu akan kita dapatkan selagi yakin bahwa itu adalah kuasaNya. Bahkan sering kali musibah yang menimpa kita dibarengi dengan anugerah yang tidak dimiliki oleh orang lainnya. Seorang yang masa kecilnya pernah mengalami kekerasan, maka ketika dewasa ia akan lebih lemah lembut dan menghindari segala bentuk kekerasan kepada anak-anaknya.

Selain itu masih banyak lagi bimbingan Islam dalam menghadapi setiap sendi kehidupan, maka teruslah belajar Islam agar kita semakin mampu untuk menyikapi segala hal dalam kehidupan insan. Jangan pernah merasa paling sengsara di dunia, karena dunia ini juga fana dan kesengsaraan itu akan berakhir juga. Takutlah pada kesengsaraan di akhirat sana, di mana tiada akhirnya, yang disebabkan karena kufur dengan segala nikmatNya. Biarlah sengsara di dunia tapi Bahagia di akhirat sana… Wallahu a’lam, 06 Maret 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...