Oleh: Misno Mohd Djahri
Allah Ta’ala menciptakan semua makhlukNya bersamaan dengan takdir
yang ada pada mereka, sehingga setiap makhluk termasuk manusia sudah memiliki
takdirnya masing-masing. Namun bukan berarti manusia hanya mengikuti takdir
tanpa adanya usaha, ia memiliki kehendak dan usaha agar kehidupannya menjadi
terus lebih baik, tentunya usahanya itu tidak lepas dari takdir Allah Ta’ala. Jika
dalam hidupnya manusia mendapatkan segala yang diinginkannya, kebahagiaan
selalu ada hidup hidup terasa paling Bahagia di dunia. Namun bagaimana jika
sebaliknya, hidup terasa termiskin sedunia, tersengsara di dunia, hingga merasa
kehidupannya penuh dengan duka nestapa sejak awal lahirnya hingga akhir usia?
Inilah kisah seorang teman yang hidupnya penuh dengan penderitaan,
sejak awal kelahiran hingga saat sekarang. Awal kisah hidupnya adalah ketika
hadir ke alam dunia, di mana Sang Ayah yang seharusnya menimang-nimangnya ternyata
sudah lebih dulu meninggal dunia. Bahkan tidak lama kemudian ibunda ternyata
menyusul ke alam baka, hingga yatim piatu harus dirasakannya. Hidup diasuh oleh
saudara dari orang tua yang tidak memiliki rasa sayang yang sebenarnya menyebabkannya
harus selalu diexploitasi tenaganya. Membantu bekerja dari pagi hingga senja
dengan jatah makanan seadanya menjadi kisah kehidupan kesehariannya. Hal ini
semakin diperparah oleh musibah yang menimpanya ketika berusia 8 tahun,
beberapa orang yang tidak dikenalnya menggagahinya hingga ia pingsan beberapa saat
lamanya.
Usia anak yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan bersama kedua
orang tua tidak pernah dirasakannya, bahkan ia harus bekerja sebagai ganti rugi
makanan dan tempat tinggal yang sejatinya tidak sepadan dengan tenaga yang
dikeluarkannya. Usia sekolah yang juga semestinya diisi dengan kegiatan belajar
dan mengulang pelajaran tidak pernah dirasakannya, bahkan terlambat masuk
sekolah dan mengantuk di kelas menjadi kebiasaannya karena kerja hingga larut
malam. Masih di lingkungan sekolah, dia berkali-kali mendapatkan cemoohan,
bullying dan pelecehan dari teman-temannya. Hal yang lebih parah adalah harus
mengalami derita dan trauma karena kembali digagahi oleh seorang guru yang
tidak bisa digugu dan ditiru.
Penderitaan berkepanjangan sejak sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas berakhir dengan berangkatnya ia ke Ibukota, mengharap kebahagiaan
dapat dirasakannya. Kembali sebuah musibah terjadi, baru saja dia mau turun
kapal setelah menyeberang Selat Sunda dan akan menginjakkan kakinya di tanah
Jawa sebuah pukulan keras menghantam kepalanya hingga ia tidak sadar diri dalam
waktu yang cukup lama. Sekitar lima tahun, di agila dan dirawat oleh seseorang
yang menemukannya dalam keadaan tanpa pakaian di pinggir jalan antara Merak dan
Jakarta.
Kesadarannya muncul ketika dia bertemu dengan kawan sekampungnya
yang masih mengenalnya, namun apa hendak dikata? Semua keluarganya telah tiada dan
tidak ada lagi yang dapat memberinya sekadar tumpangan hidup. Ia teringat
dengan seorang saudara di Jakarta yang pernah memberikan alamat kepadanya lima
tahun silam. Akhirnya ia dapat bertemu dan tinggal bersamanya, kembali
penderitaan diterimanya. Saudara laki-lakinya yang memiliki istri ternyata
tidak suka dengan kehadirannya hingga ia dianggap seperti pembantu yang setiap
hari mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk mencuci pakaiannya. Semua itu
masih disembunyikan dari saudara laki-lakinya hingga air matanya sering menetes
di antara cucian pakaian dalam saudaranya atau di bantal tidur kamar belakang
yang telah menjadi lukisan peta karena air mata yang selalu mengenainya.
Mengharap penderitaan berakhir, ia pergi dari rumah itu dan
mengembara ke selatan Jakarta, bertemu dengan seorang kenalannya yang kemudian
membawanya ke sebuah diskotik dan menjadi pelayan di sana. Awalnya dia sangat rishi
dengan tempat kerjanya, namun seiring berjalannya waktu dia mulai terbiasa
dengan beberapa tamu yang memberikan uang dengan kompensasi pelayanan
terhadapnya. Air matanya sudah mulai kering, bukan karena taka da lagi derita,
tapi karena setiap hari mengalir hingga tak ada lagi yang dapat mengalir. Berbagai
kejadian yang menyayat nuraninya dari para pelanggan dan beberapa teman dekat
menjadikannya mulai berfikir untuk meninggalkan dunia penuh warna.
Akhirnya ia hijrah ke daerah Cileungsi, melamar di sebuah pabrik di
sana dan mengontrak tidak jaug dari tempat kerjanya. Awal masuk kerja sudah ada
tiga orang yang tidak suka dengan dia, pertama keluarga dari bossnya dan yang
kedua adalah rekan kerja yang diam-diam memiliki rasa suka dengannya. Satu lagi,
seorang manager yang beberapa kali mengajaknya makan siang dan mengajaknya
jalan-jalan. Penderitaan di tempat kerja tidak begitu dirasakannya, mungkin
karena sudah sering menghadapi orang-orang yang memfitnah, mengadu domba atau
bahkan kekerasan fisik dengan memukulnya. Penderitaan terbesar adalah dari
seorang atasannya yaitu seorang manajer yang ternyata meminta “sesuatu” dari
dirinya. Walaupun mau tidak mau dia harus menurutinya namun menjadi penderitaan
baru dalam hidupnya. Ya… akhirnya dia mulai sadar bahwa dia bukan manusia
normal seperti biasa. Penderitaan fisik berpuncak ketika dua orang mendatangi
tempat kost-nya dan mengancamnya jika dia tidak mau menuruti kemauannya, dia
dikeroyok dan dipukul hingga pingsan lebih kurang 8 jam lamanya. Ia sadar dalam
keadaannya bajunya robek dan darah mengalir segar dari tubuhnya.
Fase kehidupannya beralih ke wilayah Jagakarsa di Selatan Jakarta,
bekerja di sebuah tempat yang cukup jauh memaksanya untuk naik kendaraan umum
dan ojek yang menjadi langganannya. Ojek langgannya sangat baik sehingga selalu
menjemput dan mengantarnya ke stasiun dalam beberapa waktu lamanya. Namun,
kebaikan itu ada sesuatu di sebaliknya. Tukang ojek itu menyukainya dan diapun
tidak bisa menolaknya, hingga beberapa kali kejadian serupa terjadi dalam hidupnya.
Gundah-gulana kembali bergelayut dalam hidupnya, ia merasa menjadi manusia
paling sengsara di dunia, namun ia coba terus bertahan.
Setelah tukang ojek itu hilang tanpa kabar ia pindah ke wilayah
Bogor untuk melanjutkan kehidupannya. Lagi-lagi kesengsaraan hidup terus
membuntutinya. Menumpang di rumah seorang kawan yang ternyata memiliki beberapa
langganan memaksanya menyaksikan berbagai kemungkaran di depan mata. Bersyukur ia
dapat kerja di sebuah kantor desa yang memberinya sedikit tempat di masyarakat.
Masa lalunya hampir terlupakan ketika media sosial mulai dimasukinya. Media sosial
yang memberikan ruang bagi siapa saja untuk mengupload photonya justru menjadi
boomerang bagi dirinya. Kawan-kawan sesama yang dulu ada di dunia maya kini
bertebaran di dunia maya, bahkan dengan mudah mengadakan pertemuan dengan janji
bertemu di suatu tempat.
Media sosial inilah yang mempertemukannya dengan berbagai jenis
manusia, sebagian besar memang adalah mereka yang terpesona dengan penampilan
fisiknya. Photo-photo yang diunggah di media sosial inilah menjadi awal bencana
bagi dirinya. Dari mulai mereka yang sekadar suka kemudian dapat bersua hingga
yang suka dengan penuh hawa yang berusaha keras untuk memilikinya. Sayangnya hati
tak dapat dipaksa, beberapa orang yang tergila-gila terhadapnya justru tidak
disambut dengan semestinya hingga dendam penuh angkara menjadi bencana yang
tidak ada habisnya. Photo-photonya disebarkan di beberapa media sosial dengan
tulisan yang sangat menyakitkan. Menuduhnya sebagai manusia bayaran, hingga
ancaman menaklukannya di atas dipan. Bukan hanya sekali namun sudah
berkali-kali hal ini terjadi, hingga kemudian dia datang dan mencurahkan segala
perasaan.
“Aku memang pencinta sesama, tapi aku bukan manusia bayaran”,
ungkapnya dengan deraian air mata yang begitu deras mengalir. “Aku memang
miskin, tapi aku tidak pernah morotin (meminta uang kepada orang)”
lanjutan dari curhatannya. “Aku merasa menjadi orang yang paling sengsara di
dunia, sejak lahir di dunia hingga sekarang adanya”. Itulah ucapan terakhirnya
dengan deraian air mata yang terus mengalir di pipinya.
Merasa menjadi manusia paling sengsara, itulah yang sering juga
menimpa manusia ketika ia berada di titik nadzir kehidupannya. Bagaimana menyikapinya?
Islam sebagai pedoman hidup umat manusia telah memberikan bekalan bagaimana
menyikapi setiap keadaan manusia. Merasa menjadi manusia paling sengsara adalah
rasa di mana pengalaman hidup telah mengajarkannya tentang bagaimana pahit getir
kehidupan. Tentu saja perasaan ini harus diselaraskan dengan syariah Islam yang
mulia. Berikut adalah penjelasannya;
Pertama, sebagai seorang muslim kita harus
meyakini bahwa semua hal yang menimpa manusia dan semesta sudah menjadi takdirNya.
Sehingga semua kejadian yang ada dalam kehidupan kita sudah menjadi takdirNya,
apalagi jika perkara tersebut sudah terjadi di masa yang sudah lama. Takdir ini
bukan berarti buruk, tetapi menjadi pembelajaran bahkan penghapus kesalahan jika
kita ridha dengan takdirNya. “Semua takdirNya adalah baik bagi manusia”, ini
adalah kunci yang harus diyakini oleh semua muslim di dunia. Tidak boleh burung
sangka dan menganggap Allah Ta’ala tidak adil atau menginginkannya hidup
sengsara. Allah Maha Adil dan Maha Tahu tentang apa yang ada pada setiap
hambaNya. Dia juga menginginkan agar semua manusia Bahagia, dengan berbagai
keadaannya. Maka jika hidup kita sejak lama selalu dirundung duka, maka yakinlah
bahwa itu semua adalah kuasaNya dan akan banyak hikmah di dalamnya.
Kedua, semua musibah yang menimpa kita
sejatinya adalah satu sebab bagi terhapusnya dosa serta meninggikan derajat
kita di sisiNya. Setiap musibah dengan berbagai keadaannya itu akan menghalus
dosa dan kesalahan yang kita lakukan, tentu saja jika kita ikhlas dengannya. Misalnya
seseorang yang tertusuk duri, jika dia yakin bahwa itu adalah takdirNya dan
ridha dengannya maka itu adalah sebab pahala darinya. Demikian pula musibah
yang melanda adalah sebab ditinggikannya derajat manusia di sisiNya. Misalnya seseorang
yang tertimpa sakit yang parah, maka sakitnya itu akan menghapus dosa dan
meninggikan derajatnya karena kesabaran atas sakit yang dideritanya. Semakin dia
sakit maka semakin tinggi derajat di sisi Allah Ta’ala, inilah yang terjadi pada
nabi dan hambaNya yang mulia.
Ketiga, yakin bahwa “kesengsaraan” yang
kita rasa memiliki hikmah (pelajaran) luar biasa yang kita bisa rasakan di
suatu masa. Misalnya seseorang yang kedua orang tuanya meninggal maka sejatinya
dia terangkat dari berbuat baik kepada orang tua. Ia dapat lebih fokus kepada
amal ibadah lainnya, ini terjadi pada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassalam yang mulia. Jika itu berupa kejadian yang sangat menyakitkan dan
membuat kita trauma, maka sejatinya hikmah itu akan kita dapatkan selagi yakin
bahwa itu adalah kuasaNya. Bahkan sering kali musibah yang menimpa kita
dibarengi dengan anugerah yang tidak dimiliki oleh orang lainnya. Seorang yang
masa kecilnya pernah mengalami kekerasan, maka ketika dewasa ia akan lebih
lemah lembut dan menghindari segala bentuk kekerasan kepada anak-anaknya.
Selain itu masih banyak lagi bimbingan Islam dalam menghadapi
setiap sendi kehidupan, maka teruslah belajar Islam agar kita semakin mampu
untuk menyikapi segala hal dalam kehidupan insan. Jangan pernah merasa paling
sengsara di dunia, karena dunia ini juga fana dan kesengsaraan itu akan
berakhir juga. Takutlah pada kesengsaraan di akhirat sana, di mana tiada
akhirnya, yang disebabkan karena kufur dengan segala nikmatNya. Biarlah
sengsara di dunia tapi Bahagia di akhirat sana… Wallahu a’lam, 06 Maret 2022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...