Oleh : Abu Aisyah
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. QS Al-Baqarah : 21
Hai manusia | يَاأَيُّهَا النَّاسُ |
sembahlah Tuhanmu | اعْبُدُوا رَبَّكُمُ |
yang telah menciptakanmu | الَّذِي خَلَقَكُمْ |
dan orang-orang yang sebelummu | خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ |
agar kamu bertakwa | لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ |
Syarah Ayat :
Ayat ini adalah sebuah perintah bagi seluruh manusia untuk menyembah Allah ta'ala. Karena Dialah yang telah menciptakan manusia. Baik manusia terdahulu ataupun manusia yang akan datang. Perintah menyembah atau beribadah dalam ayat ini memiliki makna yang luas, tidak hanya penyembahan dalam arti ibadah mahdhah saja, melainkan ibdah dalam arti luas. Ayat ini memiliki korelasi yang kuat dengan tujuan dari diciptakannya jin dan manusia, yaitu untuk beribdah kepadaNya saja.
Dalam ayat ini juga terdapat kewajiban untuk beribadah kepadaNya saja. Karena Alloh adalah Pencipta yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan menciptakan manusia dari ketiadaan, Dia juga telah menciptakan umat-umat sebelum kita. Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang nyata dan nikmat yang tidak nampak. Dan menjadikan bumi sebagai tempat tinggal dan tempat berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah menciptakan langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya matahari, bulan dan bintang.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di menyatakan bahwa perintah dalam ayat ini bersifat umum untuk seluruh manusia. Sifat perintahnya sendiri umum yaitu untuk beribadah dengan segala bentuk ibadah, yaitu melaksanakan semua yang diperintahkanNya dan menjauhi yang dilarangNya serta membenarkan kabar-kabarnya. Hal ini sebagaimana perintah Alloh ta'ala dalam QS Adz-Dzariyat : 56. Allah ta'ala berfirman :
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS Adz-Dzaariyat : 56.
Ayat ini menegaskan tentang tujuan diciptakannya jin dan manusia di muka bumi ini, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Makna ibdah dalam pengertian yang komprehensif disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, beliau menyebutkan :
العبادة هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Alloh dan yang diridhaiNya berupa perkataan atau perbuatan baik yang berupa amalan batin ataupun yang dhahir (nyata).
Dari pendapat ini berarti setiap aktifitas kita yang dicintai dan diridhaiNya maka semua itu adalah bagian dari ibadah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah (Al Khairaat / Al Ihsaan) adalah semua kerja manusia (baik perkataan maupun gerak fisik dan hati) yang mencakup kerja yang murni berhubungan dengan Khaliqnya maupun kerja yang berhubungan dengan sesamanya dalam manifestasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain serta kerja yang berhubungan dengan lingkungan hidup yang kesemuanya dengan syarat masuk dalam lingkup keridhaan dan kecintaan Allah.
Membahas tentang ibadah maka wajib bagi kita untuk mempersembahkan ibadah, seperti berdoa, meminta perlindungan, memohon pertolongan, bernazar, menyembelih kurban, tawakal, takut, berharap dan mencintai selain kepada Allah Ta'ala adalah perbuatan syirik, meskipun perbuatan itu dilakukan kepada malaikat, seorang nabi utusan, atau kepada hambaNya yang shaleh.
Salah satu sendi utama ibadah ialah beribadah kepada Allah dengan penuh rasa cinta, rasa takut dan penuh harap dengan menyeluruh. Beribadah kepada Allah dengan sebagian daripadanya tanpa yang lain, juga kesesatan.
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.
Pertama : Sebab.
Pertama : Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.
Kedua : Jenis
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga : Kadar (Bilangan).
Ketiga : Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat : Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.
Kelima : Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam : Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
"Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu : Pertama : Ikhlas dan kedua : Mutaba'ah.
1. Ikhlas, Hal ini berintikan 2 hal :
a. Iman : semua aktifitas harus dilandaskan pada keimanan.
b. Ihtisab : semua aktifitas harus bertujuan mencari ridha Allah
Dari Amirul mukminin Abu Hafshin Umar Ibnul Khothob t, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah r bersabda : Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niat, dan untuk setiap orang itu sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya akan diterima Allah dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ia inginkan atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang dia niatkan.”
Imam Asy Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Ali Ibnu Al Madini, Abu Daud, Ad Daruquthni dan lain-lain berkata : “Bahwa hadist ini sepertiga ilmu”…Al Baihaqi memberikan arahan tentang makna sepertiga ilmu tersebut “bahwa usaha / aktifitas seorang hamba dilakukan pada tiga hal : hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya. Maka, niat merupakan salah satu di antara tiga bagian tersebut. Bahkan, niat merupakan yang paling akurat, dikarenakan dia merupakan ibadah tersendiri yang dibutuhkan oleh ibadah lainnya”.
Ikhlas karena Allah I dalam beramal adalah salah satu syarat diterimanya amal. Karena, Allah I tidak menerima amal kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas karena-Nya.
Sedangkan 2 makna ikhlas yaitu iman dan ihtisab ada pada sabda Rasulullah :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa dengan penuh iman dan ihtisab (mencari ridha Allah), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta manusia, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan mereka. Nilai seseorang tidak terletak pada besarnya badan, mulianya keturunan, kerennya penampilan dan tidak pula pada popularitas dan kredibiltasnya di mata manusia. Nilai mereka yang sebenarnya di sisi Allah adalah terletak pada iman mereka, yang tercakup di dalamnya amal perbuatan yang lahir karena iman serta jiwa ikhlas yang menyertai amal. Hal tersebut berarti bahwa salah satu fokus perhatian utama manusia harus ditumpukan pada motif dan tujuan suatu pekerjaan; bukan sekedar bentuknya. Setiap pekerjaan itu ada tubuh dan ruhnya; tubuh adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar. Sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya pekerjaan itu dan jiwa ikhlas yang menyertainya. Tanpanya, sebuah pekerjaan tidak diterima Allah. Allah I berfirman :
وَ مَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus,. (QS. Al Bayyinah :5)
2. Mutaba’ah (sebuah amal harus mengikuti tuntutan dan tuntunan Rasulullah. Allah berfirman :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah r ada contoh tauladan yang baik orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir.” (Qs. Al Ahzaab : 21)
Contoh tauladan yang baik ada pada Rasulullah r. Karena, orang yang mengikuti beliau adalah orang yang menempuh jalan yang dapat mengarahkannya kepada kemulian Allah I yaitu Shirotol Mustaqim (Jalan yang lurus).
Maksudnya bahwa seluruh perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin harus sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah atau dilarang olehNya yang telah dituntunkan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam masalah mutaba`ah ini hendaknya kita memperhatikan beberapa kaedah di bawah ini :
فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر
Asal pada hukum ibadah murni adalah bathil sampai ada dalil yang memerintahkannya.
والأصل في العقود و المعاملات الصحة حتى يقوم دليل على المنع
Asal pada hukum akad dan Mu’amalah adalah sah sampai ada dalil yang melarangnya Dari keterangan tersebut dapat kita simpulkan : Bahwa mutaba’ah dalam ibadah ritual (seperti wudhu, shalat dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah apakah ada contoh dan perintah dari Rasulullah r atau tidak yang mencakup antara lain :
- caranya : Misalnya cara-cara shalat, wudhu dan lain-lain.
- Waktunya : Misalnya waktu shalat, waktu haji dan lain-lain.
- Jumlahnya : Misalnya jumlah bilangan shalat malam dan lain-lain.
- Jenisnya : Misalnya jenis binatang kurban dan lain-lain.
- Syaratnya : Misalnya syarat shalat dan lain-lain.
- Sebabnya : Misalnya sebab shalat malam dan lain-lain
Melanggar ketentuan tersebut berarti jatuh pada perkara bid’ah. Rasulullah r bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal tanpa landasan perintah kami, maka tertolak.”
1. Bahwa mutaba’ah dalam ibadah Mu’amalah (seperti perekonomian dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah adakah larangannya dari Rasulullah atau tidak serta tidak melanggar sistem dan etika bermuamalah yang diajarkan beliau. Yang mencakup antara lain :
a. Benda, barang atau bahan yang akan dikerjakan.
b. Caranya :
- Cara memperolehnya
- Cara mengolahnya
- Cara menyalurkannya
c. Lingkungan kerja :
- Orang-orang yang bekerja
- Kondisi/tempat bekerja
- Waktu bekerja dan lain-lain.
Hal tersebut perlu sekali diperhatikan dengan penuh seksama, agar semua perbuatan kita bernilai ibadah di sisi Allah I, dan tidak dipandang sia-sia.
Maka, dapat disimpulkan bahwa kita perlu menekankan pentingnya dua perkara dasar di mana suatu amal dapat diterima di sisi Allah dengan terpenuhinya dua perkara tersebut. Pertama, yaitu ikhlas, dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena riya, ingin dipuji atau cinta dunia. Kedua, dilakukan dengan benar dan sesuai dengan Sunnah Allah dalam ciptaanNya dan sejalan dengan petunjuk-petunjuk Allah dalam syari`ahNya.
Hal tersebut sesuai dengan penafsiran seorang imam, Fudhail bin `Iyadh ketika mentafsirkan firman Allah I :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk :2)
Dia berkata bahwa sebaik-baik perbuatan adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ditanyakan kepadanya : “Apa maksud yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Dia menjawab : “Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan benar. Jika perbuatan itu dikerjakan dengan benar tetapi tidak ikhlas, akan ditolak ; jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, juga ditolak, sampai amal itu ikhlas dan benar. Perbuatan yang ikhlas adalah perbuatan yang dilakukan hanya kepada dan karena Allah. Sedangkan perbuatan yang benar adalah yang sesuai dengan sunnah”.
Ibnu Rajab Al Hanbali ketika menjelaskan tiga hadits Rasulullah r yang tercantum dalam kitab Al Arba`in An Nawawiyah yang dinilai sebagai ushul Islam, yaitu :
1. إنما الأعمال بالنيات (hadits, No : 1)
2. من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد (Hadits, No : 5)
3. الحلال بين و الحرام بين (Hadits, No : 6)
Beliau mengatakan : “Sesungguhnya, seluruh ajaran agama bermuara kepada melaksanakan berbagai perintah, menjauhkan berbagai larangan dan tawaqquf terhadap masalah syubhat, itulah yang terkandung di dalam hadits An Nu`man bin Basyir (Hadits, No : 6). Sedangkan hal tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan perkara : Pertama, amal tersebut secara dzahir harus sesuai dengan Sunnah seperti yang terkandung di dalam hadits `Aisyah t (Hadits, No : 5). Kedua, amal tersebut secara bathin ditujukan mencari wajah dan keridhaan Allah U seperti yang terkandung di dalam hadits Umar (hadits, No : 1)”.
Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata :
لاَ يَصِحُّ الْقَوْلُ إِلاَّ بِعَمَلٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ وَ عَمَلٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ وَ عَمَلٌ وَ نِيَّةٌ إِلاَّ بِالسُّنَّةِ
“Perkataan tidak shah kecuali dengan amal. Perkataan dan amal perbuatan tidak shah kecuali dengan niat. Perkataan, amal perbuatan dan niat tidak shah kecuali dengan Sunnah”.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfaan” memberikan nasehat yang amat berharga. Beliau mengingatkan : “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluknya sia-sia tanpa arti. Akan tetapi, Dia menciptakan mereka guna menerima tugas taklif, mengemban amanah perintah dan larangan serta mengharuskan mereka untuk memahami apa yang ditunjukkan kepada mereka, baik secara global maupun secara rinci. Dia telah membagi mereka menjadi dua golongan, golongan yang sa`ied (berbahagia) dan golongan yang syaqiy (celaka). Dia telah menjadikan masing-masing mereka tempat kembali yang harus mereka tempati serta memberikan mereka bahan-bahan ilmu dan amal yang berwujud kalbu, pendengaran, penglihatan dan anggota tubuh lainnya sebagai sebuah kenikmatan dan anugerah yang diberikanNya kepada mereka. Maka, barangsiapa yang menggunakan semua itu dalam rangka menta`atiNya serta berupaya melangkah dalam menempuh jalan mengenal apa yang ditunjukiNya serta tidak menggantikannya dengan perkara lainnya, itu berarti dia telah sukses dalam mensyukuri apa yang diberikan kepadanya, juga berarti dia telah tepat dalam melangkah di jalan keridhaan Allah I. Dan barangsiapa yang menggunakan semua itu hanya untuk segala kemauannya dan hawa nafsunya serta tidak memperdulikan hak Penciptanya, maka pada waktunya dia akan merugi, saat ditanya tentang semua itu serta akan mendapatkan duka yang berkepanjangan. Karena, semua hak anggota tubuhnya itu pasti akan dimintakan pertanggungjawabannya untuk dihisab, berdasarkan firman Allah :
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertang-gunganjawabnya. (QS. Al Israa:36)
Sebagaian ulama salaf mengatakan : ‘Tidak ada satu perbuatanpun – sekalipun kecil – kecuali akan diajukan kepadanya dua lembar pertanyaan : mengapa ? dan bagaimana? Yaitu mengapa engkau lakukan ? dan bagaimana engkau lakukan? …
Pertanyaan pertama menyangkut apakah engkau melakukannya karena Allah I ataukah karena hawa nafsu dan keinginan-keinginan lain yang engkau harapkan?
Dan pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang mengikuti Rasul r dalam melakukan ibadah tersebut. Artinya, apakah amal tersebut adalah sesuatu yang Aku syari`atkan melalui lisan RasulKu ataukah amalan yang tidak Aku syari`atkan dan tidak Aku ridhai?
Jalan selamat dari pertanyaan pertama adalah memurnikan keikhlasan dan jalan selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutaba`ah (mengikuti dan mencontoh Rasulullah r, pent). Kalbu yang sejahtera berarti selamat dari kehendak yang bertentangan dengan keikhlasan serta hawa nafsu yang bertentangan dengan ittiba`. Inilah hakekat kesejanteraan kalbu yang membawa keselamatan dan kebahagiaan.”
Referensi
1. Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor – Jabar.
2. Menjadi Muslim Mandiri, Abdurrahman Ar-Rasyid, Hambali Swadaya Putra Jakarta, 2009.
3. Al-Ubudiyyah, Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
4. Taisir Karim Ar-Rohman Fi Tafsir Kalam Al-Manan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di.
5. Ilmu Ushul Al-Bida', Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...