Oleh: Abu Aisyah
Manusia diciptakan di Bumi Allah sebagai
khalifah untuk memimpin, sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah: 30.Allah menakdirkan manusia sebagai makhluk ekonomi yang
membutuhkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat
bertahan selama waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Manusia diberikan kebebasan hak untuk
memanfaat sumber daya yang ada di Bumi, mengeksploitasi alam sebanyak-banyak
dan sebesar-besarnya. Namun, kebebasan yang dimaksud pastinya adalah kebebasan
yang diiringi dengan tanggung jawab.
Manusia yang diberikan
akal dan perasaan oleh Allah sepatutnya memiliki rasa sayang yang tinggi, tak
hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada makhluk lain, yaitu hewan dan
tumbuhan atau lingkungan alam sekitarnya. Manusia yang hidup secara berkelompok
membentuk suatu organisasi, baik organisasi yang berorientasi profit maupun
yang tidak. Keduanya memang perlu pula sumber daya alam yang ada di muka bumi
untuk keberlangsungan hidup organisasi tersebut. Hanya saja dewasa ini
eksploitasi alam yang banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi yang ada
sudah sedikit melakukan pertanggung jawaban atas eksploitasi yang telah
dilakukan.
Dalam bukunya yang berjudul, An Inconvenieth Truth:
The Crisis of Global Warming al-Gore mengingatkan umat manusia akan bahaya pemanasan
global (global warming). Dalam
bukunya yang ditulis sebelumnya, al-Gore mengemukakan: “the disharmonisasi in our relationship to the earth, wich stems in part
fromour addiction to a pattern of cunsuming ever-large quantities of the
resources of the earth, is now manifest in succesive crises”. (Thohari,
2013).
Inti dari pendapat
al-Gore dalam buku tersebut bahwa terjadi ketidakharmonisan antara manusia
dengan bumi yang diakibatkan dari banyaknya konsumsi sumber daya alam di bumi
secara berlebihan dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan
kesadaran untuk dapat berperan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan dari semua
pihak, mulai dari kalangan rumah tangga, pejabat, tokoh masyarakat sampai
organisasi atau korporasi-korporasi. Pihak-pihak tersebut perlu pemahaman yang
lebih lanjut mengenai fiqih lingkungan guna mengetahui teori yang dapat
dipraktikkan dalam upaya menjaga lingkungan. Disitulah betapa pentingnya fiqih
lingkungan.
Sebagaimana diketahui
bahwa syariah pada prinsipnya mengacu pada kemaslahatan manusia. Tujuan utama
syariat Islam (maqashid syariah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia di dunia dan akhirat. Hal ini sesuai dengan misi Islam secara
keseluruhan yang rahmatan lil alamin.
Al-Syatibi dalam karangannya, al-Muwafaqat, menegaskan
bahwa telah diketahui tujuan syariat Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
makhluk secara mutlak. Dalam ungkapan lain, Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa
terdapat kemaslahatan, maka terdapat hukum Allah. (Thohari, 2013)
1.
Kajian Literatur
1.1.
Fiqih Lingkungan
Fiqih lingkungan (fiqh
al-bi’ah), secara etimologis terdiri dari dua kata yang tersusun secara idafah
yang termasuk kategori bayaniyyah (kata kedua/mudaf ilaih sebagai keterangan
dari kata pertama/mudaf).
Dengan demikian, kata lingkungan merupakan penjelasan fiqih
dan sekaligus sebagai tujuan dari kajian fiqih tersebut. Secara istilah, fiqih
lingkungan dapat diartikan sebagai seperangkat aturan tentang perilaku ekologis
manusia yang ditetapkan oleh ulama yang berkompeten berdasarkan dalil yang
terperinci untuk tujuan mencapai kemaslahatan kehidupan yang bernuansa
ekologis. Definisi ini sebagai pengembangan dari definisi fiqih seperti yang
termuat dalam kutipan-kutipan sebelumnya. (Thohari, 2013).
Dari definisi fiqih lingkungan tersebut, ada empat hal
yang perlu dijabarkan, yaitu :
1) Seperangkat aturan perilaku yang bermakna
bahwa aturan-aturan yang dirumuskan mengatur hubungan prilaku manusia dalam
interaksinya dengan alam. Rumusan aturan perilaku tersebut aka diwadahi dengan
hukum-hukum fiqih dalam lima wadah: al-wujub, an-nadb, alibahah, al-karahah,
dan al-hurmah. Dengan demikian, seperangkat interaksi tersebut mengacu pada
status hukum perbuatan mukallaf dalam interaksinya dengan lingkungan hidup.
Kategori-kategori aturan tersebut memiliki kekuatan spiritual bahkan kekuatan
eksekusi formal manakala aturan fiqih tersebut dapat disumbangkan kedalam
proses pengembangan dan pembinaan hukum positif/hukum nasional tentang
lingkungan hidup.
2) Perumusan fiqih lingkungan harus dilakukan
oleh ulama yang mengerti tentang lingkungan hidup dan menguasai sumber-sumber
normatif (al-Qur’an, hadits, dan ijtihad-ijtihad ulama) tentang aturan fiqih
lingkungan. Dengan demikian, mujtahid lingkungan mesti memiliki pengetahuan
ideal normatif dan pengetahuan tentang fakta-fakta empirik lingkungan hidup.
Oleh karena itu, perumusan fiqih lingkungan mesti melibatkan pengetahuan
tentang ekologi.
3) Penetapan hukum fiqih lingkungan harus
mengacu kepada dalil. Dalil dalam hal ini tidak hanya dipahami secara tekstual
dalam arti nass, tetapi mencakup dalil yang diekstrak atau digeneralisir dari
maksud syariat. Pada bagian yang terakhir ini, generalisasi dalil melalui qiyas
atau generalisasi maksud syariat melalui mashlahah mursalah akan dilakukan.
4) Sesuatu yang ingin dituju oleh fiqih
lingkungan yaitu kehidupan semua makhluk Tuhan. Hal ini menggambarkan aksiologi
fiqih lingkungan yang akan mengatur agar semua sepesies makhluk Tuhan dapat
hidup dalam space alam yang wajar
sehingga akan memberikan daya dukung optimum bagi kehidupan bersama yang
berprikemakhlukan, rahmatan li al-‘alamin. (Abdillah, 2005 dalam Thohari, 2013).
Secara umum, penggalian hukum fiqih tersimpul dalam tiga
pendekatan, yaitu deduktif, induktif dan integralistik. Deduktif atau istinbath
al-ahkam adalah metode berpikir yang dimulai dari dalil (teks). Dengan melalui
analisis ebahasaan, teks tersebut melahirkan hukum. Pada umumnya, metode deduksi
adalah cara yang ditempuh ulama-ulama hadis (muhaddis) dan ulama tafsir
(mufasir) karena salah stau tugas mereka adalah menjelaskan kandungan nass yang
bermula dari pendekatan nash itu sendiri. Tugas mufasir dan muhaddis adalah
memberikan interpretasi (bayan) terhadap nash. Metode induktif (istiqrai)
biasanya dirumuskan oleh mujtahid yang berorientasi sosiologis antropologis.
Bagi mereka, kenyataan-kenyataan sosial dapat menentukan rumusan hukum. Bagi kelompok
kedua ini terkenal sebuah kaidah taghayyur
al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah (hukum dapat berubah dengan
perubahan zaman dan tempat). Di antara mereka ada menggubungkan antara
istinbaty dan istiqra’iy secara integralistik, seperti dikembangkan
asy-Syatibi.
Baik model deduktif maupun induktif atau integralistik
sama-sama memberikan kesimpulan hukum fiqih tentang suruhan (amr) memelihara
dan memperbaiki lingkungan dan larangan (nahy) terhadap perilaku destruktif
terhadap lingkungan. Penalaran deduktif lebih bersifat doktrin, sedangkan
penalaran induktif lebih membumi dan rasional. Pendekatan integralistik akan
menjembatani kesenjangan yang mungkin terjadi anata kedua pendekatan tersebut.
(Thohari, 2013).
1.2.
Corporate
Social Responsibility (CSR)
Manusia yang diberikan
akal dan perasaan oleh Allah sepatutnya memiliki rasa sayang yang tinggi, tak
hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada makhluk lain, yaitu hewan dan
tumbuhan atau lingkungan alam sekitarnya. Manusia yang hidup secara berkelompok
membentuk suatu organisasi, baik organisasi yang berorientasi profit maupun
yang tidak. Keduanya memang perlu pula sumber daya alam yang ada di muka bumi
untuk keberlangsungan hidup organisasi tersebut. Hanya saja dewasa ini
eksploitasi alam yang banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi yang ada
sudah sedikit melakukan pertanggung jawaban atas eksploitasi yang telah
dilakukan. Pertanggungjawaban yang dimaksud tersebut dalam suatu organisasi
lebih dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).
CSR yang dilakukan oleh
kebanyakan organisasi adalah sekedar pertanggungjawaban organisasi terhadap
masyarakat dan eksternal organisasi yang sering tidak ada kesinambungan dan
dampak yang panjang terhadap internal organisasi sendiri. Kebanyakan organisasi
melakukan CSR dalam bidang sosial dan lingkungan melalui program-program
seminar, workshop dan kompetisi yang tanpa disadari justru semakin menambah
eksploitasi lingkungan.
CSR menurut Elisabeth
Garriga dan Domence
Mele dalam artikelnya Corporate
Social Responsibility Theory:
Mapping the Theory, CSR mempunyai
fokus pada empat aspek utama,
yaitu: (1) mencapai tujuan
untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan;
(2) menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab; (3) mengintegrasikan
kebutuhan-kebutuhan sosial; dan (4) berkontribusi ke dalam masyarakat dengan melakukan hal-hal
yang
beretika.
Di Indonesia regulasi yang mengatur soal tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) atau lebih spesifik lagi tentang
tanggung jawab sosial dan lingkungan memang telah membuat CSR tidak hanya menjadi suatu kegiatan yang bersifat
sukarela (voluntary), tetapi dengan sendirinya menjadi
suatu kewajiban (mandatory) yang bermakna liability. Memperkuat kewajiban dalam pelaksanaan CSR oleh semua perusahaan, maka pemerintah mengeluarkan regulasi diantaranya :
1) Undang-Undang Tentang Perseroaan Terbatas No 40 Tahun 2007, serta peraturan
pemerintah No. 47 tahun 2012 tentang tanggung
jawab sosial dan lingkungan perseroan erbatas (PP/47/2012). Salah satu aturan UUPT menyatakan bahwa “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
dibidang dan atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan CSR dalam bidang lingkungan”
(Pasal 74 ayat 1).
2) Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (UU25/2007) Dalam Pasal 15 huruf
(b) UU 25/2007
diatur bahwa setiap penanam
modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud
dengan TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf (b) UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
3) Undang-undang No.
32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab tersebut terdapat dalam Pasal 68.
4) Peraturan
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan sebagaimana
terakhir diubah dengan Peraturan
Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan
Badan Usaha Milik Negara Dengan
Usaha Kecil Dan Program
Bina
Lingkungan.
Regulasi-regulasi diatas menunjukkan bahwa tanggung
jawab sosial lingkungan merupakan kewajiban
perusahaan yang harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat empat model atau pola CSR yang pada umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia
antara lain yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, bermitra dengan pihak
lain, mendukung atau bergabung
dalam suatu konsorsium. (Darmawati, 2004).
Menurut Prince of Wales Foundation ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR,
yaitu menyangkut human capital
(pemberdayaan manusia), environments (lingkungan),
Good Corporate Governance, Social cohesion dan Economic strength. (Untung, 2008 dalam Wafda, 2016).
Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan merupakan tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan di perusahaan itu sendiri (internal) maupun di luar lingkungan perusahaan (eksternal). Perusahaan sebagai
suatu aktivitas yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar sudah selayaknya memikirkan kepentingan masyarakat di sekitarnya, karena perusahaan sebenarnya juga merupakan
bagian dari masyarakat.
Dengan demikian, dibalik penerapan CSR oleh perusahaan terdapat motivasi yang menonjol, yaitu demi menjamin
keberlangsungan hidup
perusahaan, meningkatkan citra perusahaan, dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis
dengan masyarakat. Di samping itu, faktor pendukung
utama penerapan CSR adalah adanya kesadaran dari perusahaan itu sendiri, meskipun
motifnya sebagai upaya untuk menjaga
hubungan baiknya dengan stakeholders.
(Kangihade, 2013).
2.
Analisis Maqashid Syariah
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al Qur‟an adalah
menegakkan sebuah tatanan
masyarakat yang adil (egalitarian) dan etis atau berdasarkan etika.
Tentu saja al Qur‟an tidak melarang manusia untuk
mencari kekayaan. Sebaliknya ia memberikan nilai yang tinggi kepada kekayaan
dengan sebutan sebagai
kelimpahan dari Allah atau fadhlullah. Sebagaimana QS al Jumu‟ah (62:10) yang artinya: “maka
bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah”.
(Rahman, 1196 dalam Wafda, 2016).
Tetapi penyalahgunaan kekayaaan dapat
menghalangi manusia didalam mencari
nilai-nilai yang luhur sehingga
kekayaan tersebut menjadi “sebagian kecil dari kelimpahan
dunia” dan “delusi dunia”. Tanpa keinginan
untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin, shalat
sekalipun akan berubah menjadi semacam
perbuatan munafik sebagaimana QS. Al-Maun
(107:1-7).
Maka dalam konteks diatas, bisnis yang memang dianjurkan oleh syariat Islam akan menjadi hal yang dicela oleh Allah swt. Tentu bila dari perilaku
bisnis tersebut menimbulkan fasad fi al Ardhi kerusakan di bumi, atau “penyelewengan di atas dunia”, yang juga bisa diartikan
“keadaan yang menjurus pada pengabaian hukum-hukum yang telah di tetapkan oleh Syariat.
Maka dalam pelaksanaan bisnis baik bagi pelaku bisnis individu perseorangan atau serikat
perusahaan, dalam mengambil kebijakan bisnisnya harus benar-benar berdasar pada Maqashid Syari‟ah. Terlebih pelaku bisnis yang berkaitan
langsung dengan
lingkungan. Sebab
yang diharapkan adalah mewujudkan
kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan itu dapat diwujudkan jika lima unsur pokok (usul al- khamsah)
dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu menurut al-Syatibi,
adalah din (agama),
nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta),
dan aql (akal). Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu dibagi kepada
tiga tingkatan kebutuhan, yaitu daruriyat
(kebutuhan primer, mesti), hajiyat (kebutuhan sekunder, dibutuhkan), tahsiniyat (kebutuhan tersier). Kebutuhan daruriyat
ialah tingkatan kebutuhan yang harus ada
sehingga disebut kebutuhan primer.
Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat.
Memang dari rumusan
tersebut tidak disebut secara jelas tentang pelestarian lingkungan (al Bi’ah), namun mempertimbangkan menjaga lingkungan (hifdzu al Bi’ah) atau menjaga alam semesta (hifdzu al’Alam) adalah bagian dari Maqashid syari’ah menjadi keniscayaan, setidaknya berikut
penjelasannya :
Pertama, memelihara alam semesta (hifdz al ‘alam) merupakan
pesan moral yang bersifat universal yang telah
disampaikan Allah kepada
manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup,
merupakan bagian
integral dari tingkat
keimananan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut pemeliharaan alam semesta (hifdz al ‘alam).atau pemeliharaan lingkungan (hidz al Bi’ah) dipandang
sebagai bagian dari maqashid
al-syariah, sebagaimana yang ditawarkan oleh Al Qardhawi. Bahwa pemeliharaan lingkungan
merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Hal ini sejalan dengan
maqasid al-syariah.
Dalam pandanganya, Al-Qaradhawi merumuskan istilah: hifzal-biah min al-muhafazah ‘ala ad-din (memelihara lingkungan adalah bagian
dari memelihara agama), hifz al-bi’ah min al-muhafazah ala an-nafs (memelihara lingkungan adalah
bagian dari memelihara jiwa), hifz al-bi’ah
min al-muhafazah ‘ala an-nasl (memelihara lingkungan adalah bagian dari memelihara keturunan) , hifz al-bi’ah min al-muhafazah ‘ala al-‘aql (memelihara lingkungan adalah
bagian dari memelihara akal), hifz al-bi’ah min al-muhafazah ‘ala al-mal (memelihara lingkungan adalah
bagian dari memelihara harta).
Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.
Kedua, tanpa merubah
struktur (alkulliyatul al-khamsah) sebagaimana rumusan
Al-Syatibi, namun dapat digunakan
kaidah ushul fiqh yang mengatakan “maala yatimmu
al-wajib illa bihi fahua wajib” (sesuatu yang menjadi
mediator pelaksanaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meski pun pemeliharaan alam semesta tidak termasuk dalam kategori
al-kulliyat al-khamsah, tetapi al-kulliyat al-khamsah itu tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila
pemeliharaan alam semesta diabaikan.
Atau dengan kata lain, meletakkan pemeliharaan lingkungan sebagai kebutuhan
yang Dharuri dan pembahasannya pun menjadi pioritas
(al Ashliyah).
(Thohari, 2013).
Sesuai dengan prinsip bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah
terikat dengan hukum syara’, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, maka pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syari‟at. Dengan kata lain, syariat atau hukum merupakan
kendali bisnis atau nilai utama yang menjadi payung
strategis maupun taktis bagi organisasi bisnis. Maslahah bertujuan melahirkan manfaat, persepsi yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan.
Konsep Maslahah tidak selaras dengan
kemudaratan, itulah sebabnya
dia melahirkan persepsi menolak kemudaratan (daf‟u mafsadah) seperti
barang- barang
haram, termasuk syubhat,
bentuk konsumsi yang
mengabaikan orang lain dan
membahayakan diri sendiri. (Bahsoan, 2011).
Dengan demikian maqasid
al-syari’ah tidak terlepas dari dimensi insani.
Dengan asumsi bahwa syariah Islam bertujuan
menuntun manusia
mencapai kebahagiaan. Tetapi bukan kemanusiaan yang berdiri
sendiri, melainkan kemanusiaan yang memancar
dari Ketuhanan (habl min al-nas yang memancar
dari habl min Allah). Kemanusiaan itu diwujudkan justru dengan tidak membatasi
tujuan hidup manusia hanya kepada nilai-nilai sementara (al-dunya) dalam hidup di bumi (terrestrial) ini saja, tetapi menerabas dan
menembus langit
(ecclesiastical), mencapai nilai-nilai tertinggi (al-matsal al-a’la) yang abadi
di akhirat. Karena itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai syar’ah, demikian
pula nilai syari’ah mustahil
berlawanan dengan nilai kemanusiaan.
(Jamaa, 2011).
Dengan kendali syari’at, bisnis bertujuan untuk mencapai
empat hal utama,
yaitutarget hasil yakni profit (materi) maupun benefit (non materi), pertumbuhan, keberlangsungan dalam kurun waktu selama
mungkin serta keberkahan dan keridhaan Allah. Tujuan
perusahaan atau pelaku
bisnis tidak hanya untuk
mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) sebanyak-banyaknya, tetapi
juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) non materi
kepada internal organisasi
perusahaan dan eksternal
(lingkungan), baik melalui pemberdayaan masyarakat dan lingkungan
secara sistematis, terencana
dan berkesinambungan. Sehingga
hasilnya adalah kelangsungan
keberkahan hidup.
3.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahan tersebut di atas, kesimpulan dari
artikel ini adalah sebagai berikut :
1) Perintah
untuk memelihara lingkungan, dan sebaliknya, larangan merusak lingkungan terdapat jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, dan termasuk
di dalamnya pemeliharan keberlangsungan pemenuhan
kebutuhan manusia. Ancaman bagi perusak lingkungan (mufsidin) berulang-ulang dinyatakan dalam al-Qur’an. Bahkan, sebagaimana dijelaskan, eksistensi alam sering
disandingkan dengan konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuhan
dan benda tak bernyawa adalah mahluk Tuhan, sehingga perintah
atau larangan menjadi bermuatan
teologis.
2) Secara teoritis bahwa
perusahaan harus menjalankan bisnisnya secara
etis dan bertanggung jawab moral dan sosial terhadap
lingkungan internal dan eksternal
perusahaan. Secara normatif tanggung jawab perusahaan sosial dan lingkungan telah diatur dalam tata perturan
oerundangan.
3) Dalam konteks hukum Islam, tanggung jawab pelaku bisnis (baik perseorangan ataupun badan usaha)
terhadap lingkungan tidak
bisa terlepas dari fiqh al Bi’ah, baik pendayagunaan dan pelestarian lingkungan hidup.
Bentuk tanggung jawab
pelaku bisnsi terhadap
lingkungan secara
umum yakni; pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya selain dengan
kendali syari’at,
dalam mengambil kebijakan perusahaan harus berdasarkan pada maqashid
syari’ah dan unsur kemaslahatan. Termasuk didalamnya mempertimbangkan hifdzu al Bi’ah, agar
tercipta kelestarian dan kelangsungan keberkahan hidup.