Senin, 19 Agustus 2019
MOU PPs INAIS dan FFHS UNSIQ
Labels:
Islamic Economi,
Islamic Economic,
My Suwar
Riba Menutup Pintu Berkah
Dr. Abdurrahman Misno BP, MEI
Keberkahan hidup adalah dambaan dari setiap insan, khususnya
keberkahan dalam anak-anak dan harta benda. Harta yang berkah tercermin dari
kebaikan yang terus-menerus ada pada harta tersebut, bahkan ia cenderung
bertambah dan berkembang. Jalan menuju keberkahan harta terkadang dihiasi
dengan hal-hal yang akan mengurangi keberkahannya, diantaranya adalah pengelolaan
harta yang mengandung unsur maisir (perjudian), gharar (ketidakjelasan),
riba dan akad yang diharamkan dalam Islam lainnya.
Riba menjadi salah satu dari sebab tertutupnya pintu keberkahan,
riba adalah tambahan pada akad utang-piutang dan jual beli barang-barang ribawiyah.
Riba dalam utang-piutang adalah ketika seseorang menghutangkan uang ke orang
lain kemudian adanya tambahan, atau utang yang jatuh tempo harus dibayarkan
tetapi orang yang berutang tersebut tidak mampu untuk menambahnya maka ini
adalah riba jahiliyah. Adapun riba pada jual beli barang-barang sejenis
adalah jual beli atau barter antara emas dengan emas, perak dengan perak, garam
dengan garam, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum. Maka apabila salah satu
dari barang tersebut ada kelebihan maka disebut dengan riba fadhl. Dasarnya
adalah sabda Nabi:
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum
ditukar dengan gandum, sya’iir (sejenis gandum) ditukar dengan sya’iir, kurma
ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam; dengan sepadan/seukuran
dan harus secara kontan. Apabila komoditasnya berlainan, maka juallah
sekehendak kalian asalkan secara kontan juga”
HR. Muslim
Islam mengharamkan riba secara jelas dalam firmanNya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. QS. Al-Baqaroh:
275.
Pada ayat yang lainnya Allah Ta’ala mengumumkan perang kepada para
pelaku riba, firmanNya:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا
تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya. QS. Al-Baqarah: 279.
Riba adalah termasuk dari dosa besar, Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassalam bersabda “Riba itu ada 70 jenis dosa dan yang paling
ringan adalah seperti seorang anak berzina dengan ibunya...”. HR. Ibnu
Maajah dan Bahaqi. Dalam sebuah riwayat disebutkan pula “Ketika Saya Isra’
diperlihatkan kepada saya satu kaum yang perut mereka sampai ke tangan mereka
(saking gendutnya), setiap mereka perutnya seperti rumah yang besar .........
mereka tidak bisa berjalan kecuali pastilah tumbang ...... itu merupakan azab di Alam Barzakh
.............. lalu saya bertanya pada
Jibril, wahai Jibril siapakah mereka?. Jibril menjawab :”merekalah orang yang
makan harta riba yang tidak berdiri kecuali seperti berdiri nya orang yang
diikat oleh syaithan”. HR. Baihaqi.
Hadits ini sangat jelas pedihnya adzab para pelaku riba, karena dia
memudharatkan orang-orang yang berhutang dengannya sehingga seperti lintah
dasart yang menghisap darah. Para pemakan riba mengambil harta orang lain
dengan cara yang batil dan tanpa keridhaan dari pemiliknya.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:
عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ اَلرِّبَا, وَمُوكِلَهُ, وَكَاتِبَهُ,
وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ )
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya,
dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat
Muslim.
Hadits ini mengharamkan dan melaknat para pelaku riba tidak hanya
yang mengonsumsi riba, namun juga yang memberi riba, penulis dan
saksi-saksinya. Laknat dalam riwayat ini bermakna dijauhkannya dari keberkahan
dan kebaikan di dunia dan akhirat.
Masih banyak riwayat lainnya yang menunjukan keharaman dari riba,
sehingga sangat jelas hukumnya bahwa riba dalam Islam diharamkan dan pelakunya
akan mendapatkan adzab yang pedih di akhirat kelak.
Sejatinya keharaman riba tidaklah hanya berlaku di akhirat saja,
bahkan dengan menyebarnya riba akan terjadi kehancuran, Abdullah bin Mas’ud
meriwayatkan “Jika zina dan riba sudah sedemikian vulgar di satu negeri maka
Allah mengizinkan kehancuran bagi negeri tersebut” dalam riwayat yang
lainnya disebutkan “Tidaklah tampak dalam suatu kaum perilaku riba kecuali
akan tampak pula penyakit gila...” maka riba akan berdampak negatif tidak
hanya bagi individu namun juga bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain
bahwa riba akan menutup pintu pintu keberkahan baik untuk individu ataupun
masyarakat.
Apabila kita perhatikan maka saat ini riba telah merebak dan
berkembang dalam berbagai bentuk, dalam dunia perbankan, asuransi, dan lembaga
keuangan lainnya. Efeknya bagaimana ekonomi saat ini hancur oleh adanya riba,
yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Terjadi jurang pemisah yang
sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin, semua itu terjadi karena riba
yang telah berjalan dan menjadi hal yang biasa di masyarakat. Ini menjadi sebab
kenapa keberkahan di negeri ini seolah-olah semakin berkurang. Padahal, sebagai
orang beriman maka meraih keberkahan adalah harapan dan cita-cita kita bersama.
Keberkahan bermakna النماء والزيادة an-namaa
wa ziyadah (tumbuh dan bertambah) keberkahan atas harta bermakna
bertambahnya harta dengan manfaat yang terus-menerus. Kamus Munawwir memaknai berkah
atau barokah البركة dengan nikmat. Sementara Kamus
Besar Bahasa Indonesia memberikan makna berkah dengan “Karunia Tuhan yang
mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”. Secara istilah keberkahan
bermakna ziyadatul khair (bertambahnya
kebaikan) atau sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup
berkah-berkah material dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan,
harta, anak, dan usia.
Sehingga keberkahan harta tercermin dari manfaat dari harta
tersebut yang optimal dan bertambah secara berkesinambungan. Ar-Raghib
Al-Ashfahani mendefinisikan keberkahan dengan:
ثبوت الخير
الألهي في الشيء
Tetapnya kebaikan Ilahi pada sesuatu.
Sementara Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah menyatakan bahwa hakikat
keberkahan adalah:
البركة حقيقتها
الثبوت واللزوم والاستقرار
Keberkahan pada hakikatnya adalah tetap, langgengnya kebaikan dan
berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan.
Merujuk pada makna keberkahan, maka sejatinya tanda-tanda dari keberkahan
ini nampak dari harta yang kita miliki. Ia akan memberikan manfaat positif
untuk diri kita, cenderung bertambah dan membawa kepada kebaikan kita di dunia
dan akhirat. Ciri lainnya dari keberkahan adalah harta yang kita miliki semakin
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka jika harta kita justru semakin
menjauhkan diri dari Allah Ta’ala maka itu tanda tidak adanya berkah dalam
harta kita. Mudah-mudahan Allah Ta’ala sentiasa memberikan keberkahan kepada
kita dan harta yang kita miliki.
Korelasi antara keberkahan dan riba adalah bahwa riba yang
dilakukan oleh seorang individu akan menutup pintu keberkahan. Lebih dari itu
ia akan membawa kemudharatan baik bagi individu ataupun masyarakat. Allah
Ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَنَّ
أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya. QS. Al A’raf: 96.
Ayat ini menunjukan bahwa keberkahan Allah Ta’ala adalah bagi
masyarakat yang bertakwa kepada Allah Ta’ala. Meninggalkan riba adalah salah
satu bukti ketakwaan seseorang sebagai firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
QS. Al-Baqarah: 278.
Merujuk pada ayat ini maka setiap orang beriman diperintahkan untuk
bertakwa kepada Allah Ta’ala, dan bukti ketakwaan ini teraplikasikan dalam meninggalkan
segala bentuk riba.
Sebagai seorang muslim kita harus meyakini bahwa seluruh syariat Allah Ta’ala adalah baik bagi
umat manusia. Setiap syariatNya memiliki mashlahat dalam arti memberikan
manfaat bagi manusia. Termasuk dalam hal keharaman riba, maka ia pasti memiliki
mudharat (bahaya) yang sangat besar bagi manusia. Lebih dari itu ia menutup
pintu keberkahan dari harta dan kehidupan kita. Dalam banyak hal keberadaan
riba telah merusak tatanan ekonomi masyarakat. Maka sebagai seorang muslim kita
wajib untuk taat kepada Allah dan RasulNya dengan tidak mencari-cari jalan lain
yang tidak disyariatkan sebagaimana firmanNya:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. QS. Al-Ahzab: 36.
Ayat ini menunjukan kepada kita bahwa sebagai mukmin dan muslim
maka tidak boleh untuk mencari hukum lain ketika Allah dan rasulNya telah
menetapkan suatu perkara. Termasuk dalam masalah keharaman Riba, tidak ada
alasan bagi kita untuk mencari-cari hukum selainnya atau alasan masih belum
mampu untuk meninggalkannya dan alasan keduniaan lainnya.
Semoga Allah Ta’ala sentiasa memberikan hidayah dan inayahNya
kepada kita semua sehingga kita akan mampu untuk terus melaksanakan syariatNya
dan menjauhi segala bentuk laranganNya. Aameen Ya Rabbal ‘Alamiin ...
Hari Kemerdekaan dan Impelementasi Kesyukuran
Oleh: Abdurrahman Misno BP
A.
Muqadimah
Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, satu-satunya Ilaah yang berhak
disembah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan alam, habibana
wa nabiyana Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, kepada seluruh ahli
baitnya, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak
sunnahnya hingga akhir zaman.
B.
Syukur atas Segala Kenikmatan
Syukur kepada Allah Ta’ala adalah sebuah keniscayaan, ia menjadi manifestasi
bagi iman seseorang. Syukur atas segala nikmat kehidupan yang telah
dianugerahkan kepada kita hingga hari, khususnya nikmat terbesar yaitu Iman,
Islam dan Ikhsan. Kenikmatan ini begitu banyak banyak, sehingga kita tidak akan
mampu untuk menghitung-hitungnya, sebagaimana firmanNya:
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا
تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. QS. An Nahl: 18.
Kenikmatan iman, Islam dan ikhsan diawali dengan nikmat hidayah
yang menyinari jiwa-jiwa kita. Ia membasuh kembali hati yang ternodai nafsu
syaithani, ia menggerakan anggota badan untuk melakukan amal kebajikan. Membimbing
hawa untuk tunduk patuh pada syaritaNya.
Namun, hidayah itu mahal harganya, berapa banyak manusia yang belum
menerima Islam, bahkan muncul Islamophobia yaitu orang-orang yang membenci
Islam dan meletakan stigma radikalisme, teorisme, fundamentalisme dan segala
bentuk kekerasan kepada Islam. Hidayah itu Mahal harganya, hingga mereka
yang sudah sejak lahir beragama Islam tetapi masih menganggap Islam tidak
sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan mahalnya hidayah hingga mereka yang
sudah digerakan langkah kakinya ke masjid untuk shalat Jum’at, namun ketika
khatib naik mimbar mereka sibuk dengan gadgetnya, hingga tujuan dari tadzkirah
jumat tidak didapatkannya.
C.
Nikmat Kemerdekaan
Kemerdekaan adalah salah satu dari sekian banyak nikmat yang telah
Allah Ta’ala anugerahkan kepada bangsa Indonesia, sebagaimana Allah Ta’ala
memberikan kemenangan saat Perjanjian Hudaibiyah dan Fathul Makkah kepada Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dan para shahabatnya, Allah Ta’ala
berfirman:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ
وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
وَيَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya
Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan
datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan
yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).
QS. Al-Fath: 1-3.
Terbebasnya kaum muslimin dari ancaman kaum Kafir Quraisy adalah
kemenangan terbesar, sebagaimana terbebasnya bangsa Indonesia dari kaum Kafir
Penjajah. Sehingga dengan kemerdekaan ini kita mampu berdiri di atas kaki
sendiri, menentukan nasib bangsa ini dan lebih dari itu lebih mudah dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala.
Nikmat kemerdekaan oleh bangsa Indonesia diyakini sebagai rahmat
dari Allah Ta’ala, sebagaimana dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945; “Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”. Maka, Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa ini harus
selalu kita jaga, kita pelihara, dan berikan kontribusi positif untuk negeri
tercinta ini.
Upaya memerdekakan bangsa ini bukanlah hal yang mudah, bahkan
bersimbah darah dan air mata, pekikan takbir dan tahlil mengisi setiap
perjuangan membela agama, bangsa dan negara. Lebih dari 350 tahun, bangsa ini
berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan, Dengarlah kembali ucapan Pangeran
Diponegoro (1830) berikut ini “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid.
Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah
Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata
orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). Dengarkan
kembali akhir dari Pidato Bung Tomo (1945) di Surabaya “Dan kita yakin
saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, Sebab
Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan
akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!”
D.
Implementasi Syukur Kemerdekaan
Syukur atas nikmat kemerdekaan bukan hanya sekadar ucapan, namun ia
harus didasari oleh keyakinan dalam hati dan implementasi tiada henti. Syaikhul
Islam menyatakan:
وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ
وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ
Syukur harus diwujudkan dengan hati, lisan dan anggota badan. (Majmu’
Al Fatawa, 11: 135).
Oleh karena itu, implementasi syukur atas Nikmat Kemerdekaan
seharusnyalah nampak dari tiga dimensi pemahaman:
1.
Syukur dalam Hati
Syukur dalam hati bermakna, keyakinan yang mendalam bahwasanya Allah
Ta’ala satu-satunya Rabb (Pencipta, Penguasa, Pemberi Rizqi, dll) yang telah
memberikan nikmat kemerdekaan ini. Keyakinan ini akan menumbuhkan tiga dimensi
implementasi, Allah sebagai Rabb, Ilaah dan Pemilik Nama dan Sifat Kemuliaan.
Tidak mungkin orang bersyukur atas nikmat kemerdekaan, kemudian
masih meyakini dan mempercayai adanya Pencipta selain Allah Ta’ala, atau alam
raya ini tercipta dengan sendirinya melalui teori Big Bang. Syukur kemerdekaan
tidak bermakna kalau ternyata kita masih meyakini bahwa manusia adalah
keturunan kera, padahal sejatinya Allah Ta’ala Sang Pencipta yang menciptakan
semua makhlukNya termasuk manusia.
رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا
بَيْنَهُمَا الرَّحْمَنِ
Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya; Yang Maha Pemurah. QS. An-Naba: 37.
Bahkan bisa jadi kita menjadi kufur ketika masih meyakini rizki
yang kita dapat berasal bukan dari Ar-Rahman, ketika ditanya siapa Sang Pemberi
Rizki? Bukan bosku kita yang memberi rizki, bukan atasan kita yang memberi
rizki tetapi Ar-Razzaq, Allah Azza wa Jalla.
Syukur Kemerdekaan haruslah terwujudkan dalam keyakinan bahwasanya
Allah Ta’ala adalah satu-satunya Ilaah (sesembahan) yang berhak untuk
diibadahi. Sehingga tidak dikatakan bersyukur ketika masih ada keyakinan adanya
tuhan, kekuatan, sesembahan, dan segala hal yang dicintai dan dipuja selain
Allah Ta’ala. Akankah ketaatan dan cinta kita kepada mahluk mengalahkan cinta
kita kepadaNya? Mana bukti cintamu kepadaNya? Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ
حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah.”(QS. Al Baqarah: 165).
Maka cinta kita, ketaatan kita, ibadah kita sudah selayaknya hanya
diberikan kepada Allah Ta’ala, inilah bukti dari syukur atas kemerdekaan ini.
Syukur atas nikmat kemerdekaan juga nampak dari keyakinan mendalam
bahwasanya Allah Ta’ala memiliki nama-nama yang Maha Indah dan sifat-sifat yang
mulia. Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
البَصِيرُ
Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
QS. Asy-Syuura: 11.
Allah Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha lainnya, maka tidaklah
orang bersyukur atas kemerdekaan jika dia masih keluar kantor ketika jam kerja
berlangsung, meninggalkan amanah ketika masih terikat dengan akad perjanjian
kerja. Apalagi sampai mengkhianati amanah jabatan yang diberikan kepadanya,
korupsi, kolusi dan tindakan haram lainnya.
Seseorang yang meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar tidak mungkin
akan mengucapkan kata-kata yang murkai olehNya, ghibah, adu domba, mencela,
merendahkan manusia, sombong dan yang lainnya.
2.
Syukur dengan Lisan
Syukur dengan lisan bermakna, mengucapkan Alhamdulillah, Syukru
lillah, bersyukur kepada Allah atas nikmat kemerdekaan ini. Ucapan syukur
ini menjadi aktifitas yang bernilai ibadah ketika diawali dengan niat untuk
mendapatkan ridhaNya. Ia juga harus dilandasi dengan ikhlas dan mutaba’aturasul
Shalallahu Alaihi Wassalam.
Maka hakikat syukur dengan lisan adalah sentiasa, mengucapkan
tahmid dan pujian untuk kenikmatan kemerdekaan. Dasarnya adalah firman Allah
Ta’ala:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya
(dengan bersyukur). QS. Adh Dhuha: 11.
Setiap selesai melakukan aktifitas kita diperintahkan untuk
bersyukur, setelah makan, minum, keluar dari hammaam dan segala
aktifitas maka selalu diakhir dengan syukur kepada Allah Ta’ala. Inilah makna
syukur dengan lisan, dimana setiap yang kita dapatkan harus senantiasa kita
syukuri dengan lisan, karena itulah kunci untuk mendapatkan keberkahan dan
bertambahnya segala kenikmatan.
3.
Syukur dengan Amal Anggota Badan
Syukur dengan anggota badan bermakna, melakukan segala amal ibadah
dan muamalah sesuai dengan aturan dari Sang Pemilik Kenikmatan. Allah Ta’ala
adalah Dzat yang memberikan semua kenikmatan tersebut, Dia lah yang memberikan
nikmat kemerdekaan sehingga sebuah keniscayaan ketika anggota tubuh kita harus
melaksanakan semua perintah Ar-Rahman. Sebagaimana firmanNya:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
Katakanlah:
"Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. QS. An-Nur: 54.
Dalam ayat
lainya disebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. QS. AN-Nisaa: 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan
janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. QS. Muhammad: 33.
Ayat-ayat
dalam Al-Qur’an ataupun Al-Hadits semuanya berujung kepada ketaatan secara
total kepada Allah dan RasulNya. Sehingga dalam konteks Syukur dengan Anggota
badan atas nikmat kemerdekaan, maka sebagai seorang muslim wajib kita untuk
melaksanakan seluruh syariat Allah Ta’ala sebagai bentuk syukur kita kepadaNya.
Dia yang telah memberikan nikmat kemerdekaan maka Dialah yang berhak untuk
ditaati seluruh perintahNya dan dijauhi semua laranganNya.
Syukur dengan
anggota badan atas nikmat kemerdekaan bermakna, kita harus mengisi kemerdekaan
itu dengan hal-hal positif berupa kontribusi positif untuk negeri ini.
sebaliknya janganlah mengisi nikmat kemerdekaan ini dengan hal-hal yang tidak
bermanfaat apalagi sampai ke hal-hal yang diharamkan dalam Islam.
E.
Penutup
Mari bersama
kita Syukuri Nikmat Kemerdekaan ini dengan “Meyakini dalam Hati bahwa
kemerdekaan ini dari Allah Taala, Ucapan Syukur dengan Lisan dan Amal usaha
positif untuk bangsa dan negara ini. Wallahua’lam (ambp).
Langganan:
Postingan (Atom)