Rabu, 30 Juni 2021
Islam di Tatar Sunda
Jumat, 25 Juni 2021
Mashlahat Syariat untuk Ummat
Senin, 07 Juni 2021
Maha Karya Pustaka di Tatar Sunda
Sabtu, 05 Juni 2021
Metodologi Penelitian Bidang Muamalah, Ekonomi dan Bisnis
Rabu, 02 Juni 2021
THE LIVING MAQASHID
THE LIVING MAQASHID
Memahami Tujuan Syariah Islam dalam Bingkai
Perubahan
Oleh: Dr. Abd Misno, MEI
PENDAHULUAN
=======
Islam adalah agama yang
paripurna, ia mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Dari
seseorang bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan ketika sedang terlelap tidur
telah ada aturannya dalam Islam. Demikian pula Islam mengatur dari masalah
aqidah dan kepercayaan, ibadah ritual hingga muamalah dengan sesama umat
manusia dan semesta. Islam mengatur masalah-masalah kecil semacam aturan dalam
buang air kecil, ia juga mengatur masalah besar semisal politik dan urusan
kenegaraan serta hubungan internasional.
Sifat paripurna dari Islam juga tampak dari maksud dan tujuan
kehadirannya bagi umat manusia. Ia hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam,
memberikan petunjuk dan pedoman dalam bertingkah laku, bermuamalah hingga
berbangsa dan bernegara. Maksud dan tujuan syariah Islam yang dikenal dengan Maqashid
Syariah memberikan perlindungan kepada seluruh umat manusia agar
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Imam Al-Ghazali dan Asy-Syathibi merumuskannya dalam maqashid
al-khmasah yaitu; melindungi agama, nyawa, akal, keturunan dan harta benda.
Perlindungan terhadap agama menjadi tujuan utama syariah, yaitu melindunginya
dari berbagai penyimpangan sehingga tujuan diciptakannya jin dan manusia akan
tercapai yaitu hanya beribadah kepada Allah Ta’ala. Selanjutnya adalah
melindungi segala hal terkait dengan kebutuhan dasar dari manusia, nyawa mereka
harus terlindungi, akal mereka harus senantiasa terpelihara, keturunan mereka
harus dijaga hingga harta bendanya tidak boleh dilanggar oleh yang lainnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka teori tentang Maqashid
Syariah juga terus berkembang, dalam makna term hifdz bukan hanya
sekadar menjaga atau melindungi namun lebih dari itu adalah mengembangkan dan
menstimulus agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada di
masyarakat. Maka berbagai pemikiran mengenai maqashid syariah yang
dihasilkan dari kajian mendalam melahirkan temuan-temuan baru terkait dengan hikmah
at-tasyri’ atau maksud dan tujuan syariah.
Jika pada awal perkembangannya maqashid syariah hanya membahas
lima hal saja yang dikenal dengan maqashid al-khamsah, maka saat ini
berkembang dengan adanya hifdz al-bi’ah (menjaga lingkungan), hifdz
daulah (menjaga negara) dan hifdz al-ummah (menjaga umat) Islam dari
segala bentuk penyimpangan baik dari sisi aqidah, ibadah ataupun muamalah.
Perkembangan dari maqashid syariah tidak lepas dari
perubahan karena waktu dan tempat di mana Islam berada. Kebutuhan manusia di
masa lalu berbeda dengan kebutuhan di masa sekarang, tentu saja selain
kebutuhan yang akan selalu ada seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat
tinggal. Demikian pula tempat yang berbeda meniscayakan adanya kebutuhan yang
berbeda di antara manusia yang tinggal di berbagai tempat di seluruh dunia.
Mereka yang tinggal di wilayah padang pasir memiliki kebutuhan yang
berbeda dengan yang tinggal di wilayah bersalju, demikian pula yang tinggal di
wilayah tropis akan berbeda kebutuhannya dengan mereka yang tinggal di wilayah
sub tropis. Maka, bagaimana syariah Islam menanggapi hal ini? apakah maksud dan
tujuan syariah tidak akan berubah karena perbedaan waktu dan tempat? Atau
mengalami dinamisasi bersamaan dengan perubahan tersebut?.
The Living Maqashid adalah maqashid syariah yang
terus bergerak secara dinamis seiring perubahan zaman. Kehidupan umat manusia
yang terus berubah karena perkembangan tekhnologi meniscayakan adanya
perkembangan dalam teori maqashid syariah. Demikian pula perubahan waktu
dan tempat di mana Islam berkembang meniscayakan adanya pergerakan tersebut.
Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in
menyatakan:
تغير الفتوى
بتغير الزمان والمكان والاحوال والعادة
Taghayyur
al-fatwa wakhtilafuhā bi sababi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwāl
wa an-niyah wa al-awā’id. (Perubahan fatwa dan perbedaanya disebabkan
berubahnya waktu dan tempat, kondisi masyarakat, niat dan adat).
Ibnu Qayyim menyatakan pula bahwa ijtihad, sebagai perwujudan
berfikir merdeka, bersifat kontekstual dengan perkembangan zaman, situasi dan
kondisi. Atas dasar hal tersebut, untuk melakukan ijtihad seorang mujtahid
harus memahami hal ihwal manusia, kultur masyarakat dan ilmu-ilmu bantu yang
senantiasa berubah, sehingga mujtahid dalam ijtihadnya dapat terhindar dari
kekeliruan. dan mengacu pada jiwa syari’at.
Pada bagian lainnya beliau mencatat:
وقد اتفقت كلمة فقهاء المذاهب على أن
الأحكام التي تتبدّل بتبدّل الزمان وأخلاق الناس هي الأحكام الاجتهادية من قياسية
ومصلحية، أي: التي قررها الاجتهاد بناء على القياس أو على دواعي المصلحة، وهي المقصودة
بالقاعدة الآنفة الذكر: "لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان". أمّا
الأحكام الأساسية التي جاءت الشريعة لتأسيسها وتوطيدها بنصوصها الأصلية الآمرة
الناهية كحرمة المحرمات المطلقة، فهذه لا
تتبدَّل بتبدُّل الأزمان بل هي الأصول التي جاءت بها الشريعة لإصلاح الأزمان
والأجيال
Dan
pendapat seluruh ulama madzhab telah sepakat bahwa hukum syariat yang bisa
berubah dengan berubahnya zaman dan perilaku manusia, adalah hukum-hukum yang
bersifat ijtihadi yang berlandaskan analogi dan maslahat, atau: yang ditetapkan
karena ijtihad yang berlandaskan qiyas dan maslahat, maka inilah maksud
daripada kaidah “tak diingkari perubahan hukum dengan perubahan zaman”.
Sedangkan hukum asasi yang dengannya satang syariat sebagai pondasinya melalui
nushus (quran dan hadits) yang asli menunjukkan perintah dan larangan seperti
keharaman mendekati hal-hal yang diharamkan secara mutlak, maka itu semua tidak
boleh berganti hanya dengan perubahan zaman akan tetapi dia tetap berdiri
sebagai pondasi yang datang syariat dengannya untuk mengevaluasi zaman dan
generasi. (Ibnu Al-Qayyim: 1/49).
Jika fatwa hukum akan mengalami perubahan karena berubahnya waktu
dan tempat, maka maksud dan tujuan syariah yang menjadi dasar dari perubahan
tersebut mestilah akan senantiasa mengikuti perkembangan zaman atau ada di
berbagai tempat sebagai wujud fitrah penciptaan Allah Ta’ala atas semua
makhlukNya.
Imam Al-Qarrafi juga berpendapat adanya perubahan karena kebiasaan
yang ada di masyarakat dalam kitabnya Al-furuq:
أَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُتَرَتِّبَةَ
عَلَى الْعَوَائِدِ تَدُورُ مَعَهَا كَيْفَمَا دَارَتْ وَتَبْطُلُ مَعَهَا إذَا
بَطَلَتْ كَالنُّقُودِ فِي الْمُعَامَلَاتِ فَإِذَا تَغَيَّرَتْ الْعَادَةُ فِي
النَّقْدِ وَالسِّكَّةِ إلَى سِكَّةٍ أُخْرَى حُمِلَ الثَّمَنُ فِي الْبَيْعِ
عِنْدَ الْإِطْلَاقِ عَلَى السِّكَّةِ الَّتِي تَجَدَّدَتْ الْعَادَةُ بِهَا دُونَ
مَا قَبْلَهَا
Sesungguhnya
Hukum yang tersusun atas kebiasaan maka akan eksis sebagaimana kebiasaan
tersebut, dan akan batal sebagaimana kebiasaan itu pula, seperti uang tunai
dalam muamalat. Maka apabila adat dalam pembayaran telah berubah kepada bentuk
mata uang yang lain, maka metode dan pembayarannya pun turut berubah kepada
yang telah diperbaharui (Al-Qarrafi: 1/176).
Perubahan yang ada di masyarakat akan berpengaruh terhadap
perubahan hukumnya, dan perubahan hukum tersebut salah satunya adalah karena
adanya kemashlahatan yang bisa diraih selain menhilangkan kesusahan yang ada.
Maka jelas sekali bahwa pada beberapa bagian khususnya yang bersifat haajiyat
maka perubahan dari maqashid Syariah menjadi sebuah keniscayaang.
Bagaimana maqashid syariah bergerak dinamis seiring
perubahan zaman? Buku ini akan membahas bagaimana sejatinya maksud dan tujuan
syariah itu akan senantiasa relevan kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan
bagaimanapun juga. Inilah sejatinya makna dari rahmatan lill’alamiin menjadi
rahmat untuk semua kapan saja dan di mana saja.
Selasa, 01 Juni 2021
Teori Maqashid Syariah Imam Asy-Syathibi
Kategori
pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan sebagai tujuan dari
ketentuan hukum Islam. Termasuk ke dalam kategori ini adalah kaidah-kaidah
sebagai berikut:
أَنَّ وَضْعَ الشَّرَائِعِ إِنَّمَا
هُوَ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ مَعًا
Penentuan hukum-hukum
syari’at adalah untuk kemaslahatan hamba, baik untuk saat ini maupun nanti.
أَنَّ الطَّاعَةَ أَوِ الْمَعْصِيَةَ تَعْظُمُ
بِحَسَبِ عِظَمِ الْمَصْلَحَةِ أَوِ الْمَفْسَدَةِ النَّاشِئَةِ عَنْهَا
Yang bisa dipahami dari
penentuan Tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat
kemaslahatan dan kemafsadatan yang ditimbulkannya.
فَالْأَوَامِرُ وَالنَّوَاهِي مِنْ جِهَةِ
اللَّفْظِ عَلَى تَسَاوٍ فِي دَلَالَةِ الِاقْتِضَاءِ وَالتَّفْرِقَةِ بَيْنَ مَا
هُوَ مِنْهَا أَمْرُ وُجُوبٍ ، أَوْ نَدْبٍ ، وَمَا هُوَ نَهْيُ تَحْرِيمٍ ، أَوْ
كَرَاهَةٍ لَا تُعْلَمُ مِنَ النُّصُوصِ ، وَإِنْ عُلِمَ مِنْهَا بَعْضٌ
فَالْأَكْثَرُ مِنْهَا غَيْرُ مَعْلُومٍ ، وَمَا حَصَلَ لَنَا الْفَرْقُ بَيْنَهَا
إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْمَعَانِي وَالنَّظَرِ إِلَى الْمَصَالِحِ وَفِي أَيِّ مَرْتَبَةٍ تَقَعُ
Perintah dan larangan dari
sisi teks adalah sama dalam hal kekuatan dalilnya, perbedaan antara apakah ia
berketetapan hukum wajib atau sunnah dan antara haram atau makruh tidak bisa
diketahui dari nash, tetapi dari makna dan
analisis dalam hal kemaslahatannya dan dalam tingkatan apa hal itu
terjadi.
فَالْمَصْلَحَةُ إِذَا كَانَتْ هِيَ
الْغَالِبَةَ عِنْدَ مُنَاظَرَتِهَا مَعَ الْمَفْسَدَةِ فِي حُكْمِ الِاعْتِيَادِ فَهِيَ الْمَقْصُودَةُ شَرْعًا ، وَلِتَحْصِيلِهَا وَقَعَ الطَّلَبُ
عَلَى الْعِبَادِ
Kemaslahatan jika bersifat
dominan dibandingkan kemafsadatan dalam hukum kebiasaan, maka kemaslahatan
itulah sesungguhnya yang dikehendaki secara syara’ yang perlu diwujudkan.
Berdasarkan
kaidah-kaidah kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai,
makna, dan eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hukum dan
diposisikan di atas otoritas teks, yang dalam fiqh klasik memiliki otoritas
sangat kuat.
Kategori
kedua adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan dasar berpikir
maqashid untuk menghilangkan kesulitan atau kesukaran. Kaidah-kaidah yang masuk
dalam kategorisasi kedua ini adalah:
مِنْ قَصْدِ الشَّارِعِ إِلَى
التَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ عَنْهُ مَفْسَدَةٌ فِي طَرِيقِ الْمَصْلَحَةِ
قَصْدُهُ إِلَى إِيقَاعِ الْمَفْسَدَةِ شَرْعًا
Syari’ (Allah) memberikan
beban taklif bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan.
لَا يُنَازَعُ فِي أَنَّ الشَّارِعَ قَاصِدٌ
لِلتَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ فِيهِ كُلْفَةٌ وَمَشَقَّةٌ , لكن يلاحظ على تلك المشقة اللازمة
للتكاليف
Tidak dipertentangkan bahwa
Allah telah menetapkan hukum taklif yang di dalamnya terdapat beban dan
kesulitan, tetapi bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dikehendaki,
melainkan kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang
menjalankannya.
الشَّرِيعَةُ جَارِيَةٌ فِي التَّكْلِيفِ
بِمُقْتَضَاهَا عَلَى الطَّرِيقِ الْوَسَطِ الْأَعْدَلِ
, بَلْ هُوَ
تَكْلِيفٌ جَارٍ عَلَى مُوَازَنَةٍ تَقْتَضِي فِي جَمِيعِ الْمُكَلَّفِينَ غَايَةَ
الِاعْتِدَالِ
Syari’at perlu dijalankan
dengan cara yang moderat dan adil, mengambil dari dua sisi secara seimbang,
yang bisa dilakukan oleh hamba tanpa kesulitan dan kelemahan.
الْأَصْلَ إِذَا أَدَّى الْقَوْلُ بِحَمْلِهِ
عَلَى عُمُومِهِ إِلَى الْحَرَجِ أَوْ إِلَى مَا لَا يُمْكِنُ شَرْعًا أَوْ
عَقْلًا ، فَهُوَ غَيْرُ جَارٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ وَلَا اطِّرَادٍ ، فَلَا
يَسْتَمِرُّ الْإِطْلَاقُ
Pada dasarnya, apabila
pelaksanaan suatu pendapat akan mengarahkan pada kesulitan atau pada hal yang
tidak mungkin secara logika dan syara’, maka hal tersebut tidak bisa dilakukan
dengan istiqamah (tetap) sehingga tidak perlu diteruskan.
Kaidah-kaidah
di atas menunjukkan bahwa ijtihad berbasis maqashid berpihak pada kemudahan dan
kemampuan mukallaf sebagai pelaksana hukum.
Sementara
itu, kategorisasi ketiga adalah sekelompok kaidah yang
berhubungan dengan akibat akhir dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan mukallaf itu
sendiri, yaitu:
النَّظَرُ
فِي مَآلَاتِ الْأَفْعَالِ مُعْتَبَرٌ مَقْصُودٌ شَرْعًا كَانَتِ الْأَفْعَالُ
مُوَافِقَةً أَوْ مُخَالِفَةً
Menganalisis akibat akhir
perbuatan hukum adalah diperintahkan oleh syara’, baik perbuatan itu sesuai
dengan tujuan syara’ maupun bertentangan.
فَإِنَّ عَلَى الْمُجْتَهِدِ أَنْ يَنْظُرَ فِي
الْأَسْبَابِ وَمُسَبَّبَاتِهَا
Mujtahid wajib menganalisis
sebab-sebab dan akibat-akibat hukum.
Berdasarkan
kategorisasi yang terakhir, bahwa ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil,
tapi juga pada konteks peristiwa atau perbuatan hukum dan pada sisi akibat sebagai upaya untuk mengetahui sisi
maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.
Berdasarkan
ketiga kategorisasi yang telah dibahas sebelumnya tampak bahwa kemaslahatan,
kemudahan, dan tujuan akhir suatu ketentuan hukum menjadi dasar utama yang
hendak dicapai oleh maqashid syari’ah.