Kategori
pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan sebagai tujuan dari
ketentuan hukum Islam. Termasuk ke dalam kategori ini adalah kaidah-kaidah
sebagai berikut:
أَنَّ وَضْعَ الشَّرَائِعِ إِنَّمَا
هُوَ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ مَعًا
Penentuan hukum-hukum
syari’at adalah untuk kemaslahatan hamba, baik untuk saat ini maupun nanti.
أَنَّ الطَّاعَةَ أَوِ الْمَعْصِيَةَ تَعْظُمُ
بِحَسَبِ عِظَمِ الْمَصْلَحَةِ أَوِ الْمَفْسَدَةِ النَّاشِئَةِ عَنْهَا
Yang bisa dipahami dari
penentuan Tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat
kemaslahatan dan kemafsadatan yang ditimbulkannya.
فَالْأَوَامِرُ وَالنَّوَاهِي مِنْ جِهَةِ
اللَّفْظِ عَلَى تَسَاوٍ فِي دَلَالَةِ الِاقْتِضَاءِ وَالتَّفْرِقَةِ بَيْنَ مَا
هُوَ مِنْهَا أَمْرُ وُجُوبٍ ، أَوْ نَدْبٍ ، وَمَا هُوَ نَهْيُ تَحْرِيمٍ ، أَوْ
كَرَاهَةٍ لَا تُعْلَمُ مِنَ النُّصُوصِ ، وَإِنْ عُلِمَ مِنْهَا بَعْضٌ
فَالْأَكْثَرُ مِنْهَا غَيْرُ مَعْلُومٍ ، وَمَا حَصَلَ لَنَا الْفَرْقُ بَيْنَهَا
إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْمَعَانِي وَالنَّظَرِ إِلَى الْمَصَالِحِ وَفِي أَيِّ مَرْتَبَةٍ تَقَعُ
Perintah dan larangan dari
sisi teks adalah sama dalam hal kekuatan dalilnya, perbedaan antara apakah ia
berketetapan hukum wajib atau sunnah dan antara haram atau makruh tidak bisa
diketahui dari nash, tetapi dari makna dan
analisis dalam hal kemaslahatannya dan dalam tingkatan apa hal itu
terjadi.
فَالْمَصْلَحَةُ إِذَا كَانَتْ هِيَ
الْغَالِبَةَ عِنْدَ مُنَاظَرَتِهَا مَعَ الْمَفْسَدَةِ فِي حُكْمِ الِاعْتِيَادِ فَهِيَ الْمَقْصُودَةُ شَرْعًا ، وَلِتَحْصِيلِهَا وَقَعَ الطَّلَبُ
عَلَى الْعِبَادِ
Kemaslahatan jika bersifat
dominan dibandingkan kemafsadatan dalam hukum kebiasaan, maka kemaslahatan
itulah sesungguhnya yang dikehendaki secara syara’ yang perlu diwujudkan.
Berdasarkan
kaidah-kaidah kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai,
makna, dan eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hukum dan
diposisikan di atas otoritas teks, yang dalam fiqh klasik memiliki otoritas
sangat kuat.
Kategori
kedua adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan dasar berpikir
maqashid untuk menghilangkan kesulitan atau kesukaran. Kaidah-kaidah yang masuk
dalam kategorisasi kedua ini adalah:
مِنْ قَصْدِ الشَّارِعِ إِلَى
التَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ عَنْهُ مَفْسَدَةٌ فِي طَرِيقِ الْمَصْلَحَةِ
قَصْدُهُ إِلَى إِيقَاعِ الْمَفْسَدَةِ شَرْعًا
Syari’ (Allah) memberikan
beban taklif bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan.
لَا يُنَازَعُ فِي أَنَّ الشَّارِعَ قَاصِدٌ
لِلتَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ فِيهِ كُلْفَةٌ وَمَشَقَّةٌ , لكن يلاحظ على تلك المشقة اللازمة
للتكاليف
Tidak dipertentangkan bahwa
Allah telah menetapkan hukum taklif yang di dalamnya terdapat beban dan
kesulitan, tetapi bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dikehendaki,
melainkan kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang
menjalankannya.
الشَّرِيعَةُ جَارِيَةٌ فِي التَّكْلِيفِ
بِمُقْتَضَاهَا عَلَى الطَّرِيقِ الْوَسَطِ الْأَعْدَلِ
, بَلْ هُوَ
تَكْلِيفٌ جَارٍ عَلَى مُوَازَنَةٍ تَقْتَضِي فِي جَمِيعِ الْمُكَلَّفِينَ غَايَةَ
الِاعْتِدَالِ
Syari’at perlu dijalankan
dengan cara yang moderat dan adil, mengambil dari dua sisi secara seimbang,
yang bisa dilakukan oleh hamba tanpa kesulitan dan kelemahan.
الْأَصْلَ إِذَا أَدَّى الْقَوْلُ بِحَمْلِهِ
عَلَى عُمُومِهِ إِلَى الْحَرَجِ أَوْ إِلَى مَا لَا يُمْكِنُ شَرْعًا أَوْ
عَقْلًا ، فَهُوَ غَيْرُ جَارٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ وَلَا اطِّرَادٍ ، فَلَا
يَسْتَمِرُّ الْإِطْلَاقُ
Pada dasarnya, apabila
pelaksanaan suatu pendapat akan mengarahkan pada kesulitan atau pada hal yang
tidak mungkin secara logika dan syara’, maka hal tersebut tidak bisa dilakukan
dengan istiqamah (tetap) sehingga tidak perlu diteruskan.
Kaidah-kaidah
di atas menunjukkan bahwa ijtihad berbasis maqashid berpihak pada kemudahan dan
kemampuan mukallaf sebagai pelaksana hukum.
Sementara
itu, kategorisasi ketiga adalah sekelompok kaidah yang
berhubungan dengan akibat akhir dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan mukallaf itu
sendiri, yaitu:
النَّظَرُ
فِي مَآلَاتِ الْأَفْعَالِ مُعْتَبَرٌ مَقْصُودٌ شَرْعًا كَانَتِ الْأَفْعَالُ
مُوَافِقَةً أَوْ مُخَالِفَةً
Menganalisis akibat akhir
perbuatan hukum adalah diperintahkan oleh syara’, baik perbuatan itu sesuai
dengan tujuan syara’ maupun bertentangan.
فَإِنَّ عَلَى الْمُجْتَهِدِ أَنْ يَنْظُرَ فِي
الْأَسْبَابِ وَمُسَبَّبَاتِهَا
Mujtahid wajib menganalisis
sebab-sebab dan akibat-akibat hukum.
Berdasarkan
kategorisasi yang terakhir, bahwa ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil,
tapi juga pada konteks peristiwa atau perbuatan hukum dan pada sisi akibat sebagai upaya untuk mengetahui sisi
maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.
Berdasarkan
ketiga kategorisasi yang telah dibahas sebelumnya tampak bahwa kemaslahatan,
kemudahan, dan tujuan akhir suatu ketentuan hukum menjadi dasar utama yang
hendak dicapai oleh maqashid syari’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...