Selasa, 01 Juni 2021

Teori Maqashid Syariah Imam Asy-Syathibi


Imam Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat menyusun kaidah-kaidah maqashid syari’ah yang harus dijadikan dasar dalam ijtihad dengan mendasarkan pada maqashid syari’ah. Seluruh kaidah-kaidah maqashid diklasifikasikan oleh Syathibi ke dalam tiga kategori besar: kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tema maslahat dan mafsadat, kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dasar penghilangan kesulitan, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan akibat-akibat perbuatan dan tujuan orang-orang mukallaf.

Kategori pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan sebagai tujuan dari ketentuan hukum Islam. Termasuk ke dalam kategori ini adalah kaidah-kaidah sebagai berikut:

أَنَّ وَضْعَ الشَّرَائِعِ إِنَّمَا هُوَ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ مَعًا

Penentuan hukum-hukum syari’at adalah untuk kemaslahatan hamba, baik untuk saat ini maupun nanti.

أَنَّ الطَّاعَةَ أَوِ الْمَعْصِيَةَ تَعْظُمُ بِحَسَبِ عِظَمِ الْمَصْلَحَةِ أَوِ الْمَفْسَدَةِ النَّاشِئَةِ عَنْهَا

Yang bisa dipahami dari penentuan Tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat kemaslahatan dan kemafsadatan yang ditimbulkannya.

فَالْأَوَامِرُ وَالنَّوَاهِي مِنْ جِهَةِ اللَّفْظِ عَلَى تَسَاوٍ فِي دَلَالَةِ الِاقْتِضَاءِ وَالتَّفْرِقَةِ بَيْنَ مَا هُوَ مِنْهَا أَمْرُ وُجُوبٍ ، أَوْ نَدْبٍ ، وَمَا هُوَ نَهْيُ تَحْرِيمٍ ، أَوْ كَرَاهَةٍ لَا تُعْلَمُ مِنَ النُّصُوصِ ، وَإِنْ عُلِمَ مِنْهَا بَعْضٌ فَالْأَكْثَرُ مِنْهَا غَيْرُ مَعْلُومٍ ، وَمَا حَصَلَ لَنَا الْفَرْقُ بَيْنَهَا إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْمَعَانِي وَالنَّظَرِ إِلَى الْمَصَالِحِ وَفِي أَيِّ مَرْتَبَةٍ تَقَعُ

Perintah dan larangan dari sisi teks adalah sama dalam hal kekuatan dalilnya, perbedaan antara apakah ia berketetapan hukum wajib atau sunnah dan antara haram atau makruh tidak bisa diketahui dari nash, tetapi dari makna dan  analisis dalam hal kemaslahatannya dan dalam tingkatan apa hal itu terjadi.

فَالْمَصْلَحَةُ إِذَا كَانَتْ هِيَ الْغَالِبَةَ عِنْدَ مُنَاظَرَتِهَا مَعَ الْمَفْسَدَةِ فِي حُكْمِ الِاعْتِيَادِ فَهِيَ الْمَقْصُودَةُ شَرْعًا ، وَلِتَحْصِيلِهَا وَقَعَ الطَّلَبُ عَلَى الْعِبَادِ

Kemaslahatan jika bersifat dominan dibandingkan kemafsadatan dalam hukum kebiasaan, maka kemaslahatan itulah sesungguhnya yang dikehendaki secara syara’ yang perlu diwujudkan.

Berdasarkan kaidah-kaidah kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai, makna, dan eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hukum dan diposisikan di atas otoritas teks, yang dalam fiqh klasik memiliki otoritas sangat kuat.

Kategori kedua adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan dasar berpikir maqashid untuk menghilangkan kesulitan atau kesukaran. Kaidah-kaidah yang masuk dalam kategorisasi kedua ini adalah:

مِنْ قَصْدِ الشَّارِعِ إِلَى التَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ عَنْهُ مَفْسَدَةٌ فِي طَرِيقِ الْمَصْلَحَةِ قَصْدُهُ إِلَى إِيقَاعِ الْمَفْسَدَةِ شَرْعًا

Syari’ (Allah) memberikan beban taklif bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan.

لَا يُنَازَعُ فِي أَنَّ الشَّارِعَ قَاصِدٌ لِلتَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ فِيهِ كُلْفَةٌ وَمَشَقَّةٌ , لكن يلاحظ على تلك المشقة اللازمة للتكاليف

Tidak dipertentangkan bahwa Allah telah menetapkan hukum taklif yang di dalamnya terdapat beban dan kesulitan, tetapi bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dikehendaki, melainkan kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang menjalankannya.

الشَّرِيعَةُ جَارِيَةٌ فِي التَّكْلِيفِ بِمُقْتَضَاهَا عَلَى الطَّرِيقِ الْوَسَطِ الْأَعْدَلِ , بَلْ هُوَ تَكْلِيفٌ جَارٍ عَلَى مُوَازَنَةٍ تَقْتَضِي فِي جَمِيعِ الْمُكَلَّفِينَ غَايَةَ الِاعْتِدَالِ

Syari’at perlu dijalankan dengan cara yang moderat dan adil, mengambil dari dua sisi secara seimbang, yang bisa dilakukan oleh hamba tanpa kesulitan dan kelemahan.

الْأَصْلَ إِذَا أَدَّى الْقَوْلُ بِحَمْلِهِ عَلَى عُمُومِهِ إِلَى الْحَرَجِ أَوْ إِلَى مَا لَا يُمْكِنُ شَرْعًا أَوْ عَقْلًا ، فَهُوَ غَيْرُ جَارٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ وَلَا اطِّرَادٍ ، فَلَا يَسْتَمِرُّ الْإِطْلَاقُ

Pada dasarnya, apabila pelaksanaan suatu pendapat akan mengarahkan pada kesulitan atau pada hal yang tidak mungkin secara logika dan syara’, maka hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan istiqamah (tetap) sehingga tidak perlu diteruskan.

Kaidah-kaidah di atas menunjukkan bahwa ijtihad berbasis maqashid berpihak pada kemudahan dan kemampuan mukallaf sebagai pelaksana hukum.

Sementara itu, kategorisasi ketiga adalah sekelompok kaidah yang berhubungan dengan akibat akhir dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan mukallaf itu sendiri, yaitu:

النَّظَرُ فِي مَآلَاتِ الْأَفْعَالِ مُعْتَبَرٌ مَقْصُودٌ شَرْعًا كَانَتِ الْأَفْعَالُ مُوَافِقَةً أَوْ مُخَالِفَةً

Menganalisis akibat akhir perbuatan hukum adalah diperintahkan oleh syara’, baik perbuatan itu sesuai dengan tujuan syara’ maupun bertentangan.

فَإِنَّ عَلَى الْمُجْتَهِدِ أَنْ يَنْظُرَ فِي الْأَسْبَابِ وَمُسَبَّبَاتِهَا

Mujtahid wajib menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat hukum.

Berdasarkan kategorisasi yang terakhir, bahwa ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil, tapi juga pada konteks peristiwa atau perbuatan hukum dan pada sisi  akibat sebagai upaya untuk mengetahui sisi maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.

Berdasarkan ketiga kategorisasi yang telah dibahas sebelumnya tampak bahwa kemaslahatan, kemudahan, dan tujuan akhir suatu ketentuan hukum menjadi dasar utama yang hendak dicapai oleh maqashid syari’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...