Oleh : Abu Aisyah
عَنْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ e يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَ فِي الشُبْهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبْهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ.
Diriwayatkan dari Abu Abdullah Nu’man bin Basyir t, ia berkata kudengar Rasulullah e bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya ada yang musytabihat (perkara-perkara yang samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui. Barangsiapa yang menjaga perkara subhat itu maka ia telah membersikan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh ke dalam syubhat itu maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram, seperti pengembala yang mengembalakan kambing-kambingnya di sekitar kawasan terlarang yang nyaris kambingnya itu merumput di dalamnya. Iangatlah bahwa setiap raja menpunyai kawasan terlarang! Ingatlah bahwa kawasan terlarang Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging; bila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan bila ia rusak maka rusaklah pula seluruh jasadnya. Ingatlah ia adalah hati.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-Iman, bab Man-Istabra’ah li Diinihi, nomor 52, juga dalam kitab al-Buyu’. Akhdzul Halal Wa Tarkusy-Syubhat, nomor 1599.
URGENSI HADITS
Hadits ini sangat agung dan memiliki manfaat yang sangat banyak, dan menjadi salah satu hadits yang padanya Islam beredar. Ada yang mengatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga dari Islam, sedang Abu Daud mengatakan seperempat dari Islam. Bahkan bagi mereka yang jeli sesunguhnya bisa melihat bahwa hadist ini mencakup segalanya, karena ia menjelaskan perkara-perkara yang halal, haram dan syubhat (samar), juga menerangkan hal-hal yang dapat merusak atau memperbaiki hati. Dengan demikian seorang ditutut untuk mengetahui berbagai hukum syara’, baik yang merupakan induk (ushul) maupun yang cabang (furu’). Hadits ini juga menjadi pijakan perihal keharusan untuk bersifar wara’, yaitu dengan cara meninggalkan perkara yang syubhat (samar).
MAKNA KATA DALAM HADITS
بَيِّنٌ Bermakna jelas, yaitu masalah-masalah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-nya, juga telah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para ulama perihal halal dan haram.
مُشْتَبِهَات Adalah bentuk jamak/plural dariمشتبه yang berarti musykil (samar), karena ketidakjelasan halal-haramnya perkara itu.
لاَ يَعْلَمُهُنَّ (tidak mengetahuinya). Artinya, tidak mengetahui hukumnya lantaran pertentangan dalilnya. Sekali waktu mirip halal, namun pada kali lain sepertinya haram.
)اِتَّقِ الشُّبْهَات menjaga perkara syubhat). Maksudnya adalah menjauhinya, yaitu dengan menjadikan perlindungan/perisai antara dirinya dengan perkara syubhat tersebut.
اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ Artinya, menuntut bersihnya nama baik dirinya dari segala tuduhan dan menuntut pembersihan agamanya dari kekurangan. Hal ini mengindikasikan bahwa di satu sisi berkaitan dengan manusia, dan di sisi yang lain bertautan dengan Allah Azaa wa Jalla.
وَقَعَ فِي الشُّبْهَات (jatuh kedalam perkara syubhat). Artinya, berani untuk jatuh ke perkara syubhat itu, yang di sisi mirip halal, namun di sisi lain seolah-olah haram.
اَلْحِمَى (kawasan terlarang) bermakna المحمى (tempat terlarang), yaitu sesuatu yang dilarang bagi yang bukan pemiliknya.
يُوْشِكُ Artinya, cepat atau hampir.
)أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ kambingnya merumput di dalamnya). Artinya binatang ternaknya makan dan tinggal di dalamnya.
)مَحَارِمُهُ apa yang diharamkan-Nya), maksudnya adalah kemaksiatan yang dilarang oleh Allah.
مُضْغَة Adalah segumpal daging yang besarnya satu kunyahan.
FIHQUL-HADITS (PEMAHAMAN ATAU PELAJARAN YANG BISA DIPETIK DARI HADITS)
1. Haram dan halal perkara yang jelas, dan diantara keduanya itu ada yang syubhat (samar)
Dalam mengomentari hadits ini, Imam Nawawi berkata: Artinya segala sesuatu dibagi menjadi tiga; pertama, halal dan ini sangat jelas, seperti makan roti, makan nasi, dan lain sebagainya. Kedua haram, dan ini juga sangat jelas, misalnya minum khamer, zina dan lain sebagainya. Ketiga, syubhat, yang tidak jelas halal haramnya, yang karenanya banyak orang yang tidak mengetahuinya. Sedang ulama bisa mengetahuinya melalui berbagai dalil Al-Qur’an, Sunnah, atau melalui Qiyas. Jika tidak melalui nash (Al-Qur’an atau Sunnah) dan tidak ada Ijma’, maka dilakukan ijtihad. Meski demikian jalan yang paling selamat meninggalkan perkara syubhat. Namun harus juga diingat bahwa perkara-perkara yang diragukan akibat was-was yang dibisikan syaitan, bukanlah perkara syubhat yang perlu ditinggalkan. Misalnya takut memakai air di tengah padang pasir, karena dikuatirkan mengandung benda najis.
2. Macam-macam syubhat
Ibnu Mundzir membagi syubhat menjadi tiga bagian:
a. Sesuatu yang diketahui keharamannya secara jelas, namum kemudian timbul keraguan karena tercampur dengan yang halal. Misalnya ada dua kambing, yang salah satunya disembelih oleh orang kafir, sedang daging lainnya tercampur sehingga susah dibedakan.
b. Kebalikannya, yaitu suatu yang jelas halalnya namun demikian timbul keraguan, seperti suami yang ragu-ragu apakah ia telah mentalak (menceraikan istrinya) dengan mengucapkan talak atau belum.
c. Suatu yang diragukan halal-haramnya. Dalam masalah ini lebih baik menghindarinya, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah e terhadap kurma yang beliau temukan diatas tikarnya. Beliau tidak memakan korma tersebut karena dikuatirkan korma sedekah.
- Beragam pendapat ulama tentang syubhat
Abu Darda berpendapat bahwa ketakwaan yang sempurna bagi seseorang hamba adalah dengan takut kepada Allah dalam segala hal, sekecil apapun. Termasuk meniggalkan beberapa hal yang halal karena takut terjerumus hal yang haram.
Hasan Al-Basri berujar: “ketakwaan manusia senantiasa melekat pada orang-orang yang bertakwa sehingga ia meninggalkan beberapa hal yang halal karena takut barang tersebut haram.”
Ats-Tsauri berkata: “Orang dikatakan sebagai muttakin (orang yang bertakwa), karena mereka takut pada hal-hal yang sepatutnya tidak ditakutkan.”
Ibnu Umar berucap: “Saya sungguh senang dalam meletakkan penghalang di antara aku dengan barang yang haram, dari hal-hal yang halal, dan aku tidak akan melanggarnya.”
Sufyan bin Uyainah berkata: “Seseorang tidak akan menemukan hakekat iman kecuali ia meletakkan penghalang antara dirinya dan hal-hal yang haram dengan sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara yang samar.”
Diriwayatkan suatu ketika Abu Bakar makan makanan yang syubhat, tanpa ia sadari. Ketika mengetahui bahwa ia telah makan barang syubhat, maka ia memasukkan jari tangannya ke mulutnya dan memuntahkannya makanan itu.
Ketika Ibrahim bin Adham ditanya kenapa tidak minum air zamzam, ia pun menjawab: “Seandainya saya punya timba maka saya akan meminumnya.” Maksudnya ia ragu-ragu dengan timba yang digunakan untuk mengambil air zamzam pada saat itu, karena timba tersebut milik pemerintah dan dikuatirkan tidak halal.
- Setiap raja mempunyai kawasan larangan dan kawasan larangan Allah adalah larangan-Nya.
Tujuan tamsil itu adalah untuk mengingatkan sesuatu yang gaib/tidak nyata dengan sesuatu yang tampak jelas; sesuatu yang tidak bisa diresap indra dengan sesuatu yang indrawi. Karena raja-raja Arab mempunyai areal terlarang yang khusus digunakan untuk tempat gembala ternaknya dan mengancam orang lain mendekatinya. Maka orang yang takut akan hukuman raja itu akan menjauhkan gembalanya dari areal tersebut lantaran kuatir terjebak ke daerah itu, sedang orang yang tidak takut akan tetap mendekatinya dan mengembalakan binatang ternaknya diareal terlarang itu. Tidak lama kemudian, ia pun terjebak ke dalamnya, hingga ia mendapatkan hukuman.
Sebagaimana para raja, Allah juga mempunyai kawasan terlarang di bumi-Nya ini, yaitu berbagai kemaksiatan dan larangan-Nya. Barangsiapa yang melanggar larangan-larangan tersebut maka akan mendapatkan hukuman, baik di dunia maupun diakhirat. Dan barangsiapa yang mendekati larangan, dengan melakukan perkara-perkara syubhat, maka ia pun nyaris terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang.
- Hati yang baik
Baik-buruknya seseorang tergantung hatinya, karena hati merupakan bagian yang terpenting dalam tubuh manusia. Demikian pula secara medis, hati merupakan penentu bagi seseorang; jika hati seseorang baik maka ia akan mampu menyaring darah dengan baik, yang karenanya akan baik pula seluruh badannya.
Melalui hadits ini pula Imam Syafi’i berpendapat bahwa sumber akal adalah hati, dan segala sesuatu yang berada di kepala sesungguhnya bersumber dari hati. Landasan yang mereka gunakan juga firman Allah Y berikut:
لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّيَفْقَهُونَ بِهَا
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) (QS. 7:179)
Sementara madzhab Hanafi berpendapat bahwa akal tetap terletak pada otak. Mereka beralasan jika otak seorang rusak, maka akalnya juga rusak. Ilmu kedoteran dan anatomi juga menjelaskan bahwa asal mula berfikir spontan ada pada otak, karena indra bisa bergerak jika ada perintah dari otak.
Pada saat yang sama hati juga merupakan al-mashdar al-asliy (sember yang pertama sekali) bagi kehidupan seluruh anggota tubuh, termasuk otak. Bila hadits diatas menegaskan bahwa kebaikan tubuh dan pikir/otak tergantung dengan hati, maka hal itu sesungguhnya bertautan dengan al-mashdar al-ashliy tersebut, sementara jika ayat diatas menyandarkan akal pada hati, hal itu karena hati adalah al-mashdar al-ba’id (sember yang jauh), sedang otak adalah al-mashdar al-qarib (sember yang dekat) yang bisa langsung digunakan untuk berpikir.
Adapun ‘kebaikan hati’ yang dimaksud di sini adalah baiknya hati secara maknawi, yaitu kebaikan jiwa terdalam manusia yang tidak diketahui kecuali Allah, dalam kitab Al-Mu’iin ala Tafahumil Arba’iin, Ibnu Mulqin Asy-Syafi’i menulis: kabaikan hati bisa dibentuk melalui lima perkara: membaca Al-Qur’an sambil mentadaburinya, menkosongkan perut, qiyamul lail (shalat malam), tadharru’ (merunduk dihadapan Allah) pada akhit malam, dan bergaul dengan orang-orang shalih. Namum kutambahkan pula dengan makan barang yang halal, karena ini adalah intinya. Maka sungguh indah orang yang berkata: “Makanan adalah benih dari segala perbuatan; jika masuk dengan halal maka keluarnya (perbuatannya) pun halal; jika masuk dengan haram maka keluarnya pun haram; dan jika masuk dengan syubhat maka keluarnya pun dengan syubhat pula.”
Hati yang baik adalah lambang kemenangan, Allah berfirman:
إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, (QS. 26:89)
Rasulullah e juga selalu berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيْمًا
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu hati yang bersih.”
Imam Nawawi berpendapat bahwa hati yang baik bisa diperoleh dengan membersihkannya dari segala penyakit, seperti benci, dendam, dengki, bakhil, sombong, riya, tamak, sum’ah (ingin didengar), dan lain sebagainya.
Ibnu Rajab berujar: “Hati yang bersih adalah hati yang selamat dari seluruh penyakit dan perkara yang dibenci, maka ia adalah hati yang dipenuhi dengan kecintaan dan rasa takut kepada Allah, juga takut bila menjauh dari-Nya.
Hasan Al-Bashri pernah berkata pada seorang: “Obati hatimu, karena yang dikehendaki Allah dari hambahnya adalah kebaikan hatinya.”
Karenanya jika hati seseorang baik, maka baik pula segala perbuatan anggota badannya, karena hati yang baik pada dasarnya hanya dipenuhi dengan keinginan untuk meraih ridha Allah dan keinginan untuk mengikuti apa yang dikehendaki-Nya, juga tidak akan mendorong anggota tubuh untuk melakukan selain yang diinginkan Allah. Maka hati yang baik akan bergegas menuju apa yang diridhai-Nya. Mengekang dari apa yang dibenci-Nya, dan menahan dari sesuatu yang dikuatirkan melahirkan kebenci-Nya jika sesuatu itu tidak dinyakininya.”
6. Hadits ini mendorong pada perbuatan yang halal, menjauhi perbuatan yang haram, meninggalkan perkara-perkara yang syubhat, menjaga agama dan kehormatan. Juga berisi anjuran agar tidak melakukan perkara yang memancing buruk sangka dan terjerumus ke dalam larangan.
7. Seruan agar mempertajam kemampuan akal (intelektual), dan menghaluskan jiwa terdalam manusia, yaitu dengan memperbaiki hati.
8. Anjuran untuk menutup pintu yang mengarah pada berbagai hal yang dilarang.
Haramnya segala sarana yang mengarah pada perbuatan haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...