Oleh : Abu Aisyah
Mendengar nama Kampung Naga, terpikir dalam benak saya adalah satu
kampung yang dihuni oleh seekor Naga atau minimal memiliki dongeng tentang
Naga, seekor ular raksasa dengan empat kaki berkuku tajam dan semburan api dari
mulutnya. Namun dari beberapa literatur yang saya baca dan hasil bertanya
dengan beberapa teman yang berasal dari wilayah Jawa Barat khususnya wilayah
Bandung, Sumedang, Tasik, dan Garut diketahui ternyata Kampung Naga adalah
sebuah kampung adat yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan hingga
kini masih tetap eksis memegang teguh adat istiadatnya.
Dari berita-berita yang saya dapatkan dalam bentuk
potongan-potongan yang tidak utuh menjadikan rasa penasaran saya muncul untuk
mengetahui lebih jauh tentang Kampung Naga. Rasa penasaran ini semakin terpatri
dalam hati ketika saya mulai terjun ke dunia penelitian kurang lebih lima tahun
lalu. Kebetulan obyek penelitian saya berkenaan dengan akulturasi Islam dan
budaya lokal. Penelitian pertama saya mengenai Akulturasi Islam dan Budaya
Jawa, kemudian Seren Taun Guru Bumi : Harmoni Islam dan Budaya Sunda, Kampung
Urug : Dialog Islam dan Sunda Wiwitan, Bedug sebagai Media Informasi dan
Komunikasi Masyarakat Pasundan, dan beberapa penelitian yang berkenaan dengan
hubungan Islam dengan budaya lokal khususnya Jawa dan Sunda.
Dari beberapa penelitian tersebut, saya memiliki azzam untuk
dapat meneliti seluruh komunitas adat yang ada di Tatar Sunda pada khususnya dan
wilayah lainnya di seluruh Indonesia pada umumnya. Tentu saja pertimbangan
geografis menjadi alas an kenapa memilih wilayah Pasundan. Hal ini pulalah yang
semakin menguatkan keinginan saya untuk datang ke Kampung Naga guna mengetahui keunikan
adat istiadatnya.
Pucuk Dicinta Ulampun Tiba, sebuah pepatah yang sangat sesuai
dengan keadaan saya saat itu. Kebetulan saya mengajukan proposal penelitian untuk
mengikuti Short Course Metodologi Etnografi yang diselenggarakan oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi Agama Islam Kementerian Agama Republik Indonesia dan
Alhamdulillah, Proposal tersebut diterima dan saya bisa mengikuti short
course tersebut kemudian akhirnya bisa mengunjungi Kampung Naga.
Kunjungan saya untuk pertama kalinya ke Kampung Naga adalah dalam
rangka survey lapangan sebagai persiapan tugas akhir short course.
Berangkat dari Tasikmalaya dengan teman-teman peserta short course menjadikan
kunjungan perdana ini membawa kesan sangat mendalam. Pertama kali menginjakkan
kaki di area parkir Kampung Naga saya disambut oleh para pemandu wisata dengan
pakaian dan ikat kepala khas Kampung Naga, mereka sangat ramah dan memiliki
dialek khas yang menambah minat saya terhadap Kampung Naga. Baru berjalan
beberapa langkah, sebuah Tugu Kujang Pusaka berdiri kokoh menyambut setiap tamu
yang datang. Sempat terbersit dalam benak saya kenapa harus Tugu Kujang Pusaka?
Pertanyaan itu saya simpan dan menjadi PR untuk ditanyakan kepada para pemangku
adat di Kampung Naga.
Kesan pertama mengunjungi Kampung Naga begitu menggoda, oleh karena
itu tanpa ragu-ragu saya memutuskan untuk mengambil tema penelitian tentang
Perayaan Hari Raya Idhul Adha di Kampung Naga. Tema ini saya pilih karena
dekatnya waktu penelitian dengan hari raya tersebut serta pertimbangan bahwa hari
raya Idhul Adha adalah hari raya yang berasal dari khazanah budaya Islam. Pertanyaan
yang akan menjadi fokus penelitian adalah bagaimana perayaan hari raya Idhul
Adha di Kampung Naga? Apakah sama dengan perayaan di wilayah lainnya? Apakah
terjadi akulturasi dalam perayaan ini? Namun setelah melakukan wawancara dengan
para pemangku adat di Kampung Naga serta diskusi dengan teman-teman short
course akhirnya saya menambahkan tema penelitian tersebut dengan perayaan ritual
Hajat Sasih lengkapnya adalah Studi Etnografi Perayaan Hari Raya Idhul Adha dan
Hajat Sasih di Kampung Naga.
Namun lagi-lagi setelah wawancara dan meminta pendapat dari Kuncen
Kampung Naga serta masukan dari pembimbing penelitian Prof. DR. Heddy Shri
Ahimsa, MA, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan penelitian hanya pada
Ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. Beberapa pertimbangan kenapa saya mengambil
tema ini adalah karena Ritual Hajat Sasih merupakan ritual kuno yang telah
dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga secara turun-temurun sejak awal
berdirinya kampung ini.
Jika mengutip pendapat Bapak Ade Suherlin sebagai Kuncen Kampung
Naga maka sesungguhnya ritual Hajat Sasih telah dilaksanakan jauh sebelum
kedatangan Islam. Maka ketika Islam masuk ke Kampung Naga dan masyarakat
Kampung Naga menerima Islam, ritual ini masih tetap dipertahankan. (Wawancara
dengan Kuncen Kampug Naga Bapak Ade Suherlin) Dari pertemuan antara Islam dan budaya lokal
inilah kemudian terjadi dialog, akulturasi dalam bentuk saling memberi dan
menerima sehingga terjadi satu harmoni di antara keduanya.
Harmoni yang terjadi antara Islam dan budaya lokal didasarkan pada
sifat dari keduanya yang terbuka dalam menerima budaya asing. Islam sebagai
agama universal memiliki sifat senantiasa adoptif dengan kondisi sosial
kebudayaan manusia kapan saja dan di mana saja. Sehingga ketika Islam
dihadapkan pada sistem budaya yang jauh berbeda dengan induk semangnya, ia
memberikan tempat bagi budaya tersebut untuk mengisi ruang-ruang yang selaras
dengan esensi dari ajarannya. Pemberian ruang gerak bagi budaya lain juga
tercermin dalam Kaidah Fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh para ahli
hukum Islam yang dikenal dengan asas “Al-Adah Muhakammah” yaitu Adat
kebiasaan bisa dijadikan bagian dari hukum Islam. (As-Suyuti : 1989). Budaya
lokal di Kampung Naga yang dalam hal ini adalah budaya Sunda juga memiliki
sifat yang sama, ia dengan mudah menerima unsur kebudayaan lain selama selaras
dengan nilai-nilai dasar yang dimiliknya.
Dari wawancara yang saya lakukan dengan Punduh Adat Kampung Naga
diperoleh informasi bahwa Ritual Hajat Sasih dilaksanakan sebanyak enam kali
dalam satu tahun. Di antaranya adalah setelah pelaksanaan shalat Idhul Fitri
dan Idhul Adha, penetapan kedua hari raya tersebut di Kampung Naga didasarkan
kepada keputusan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia. Penetapan
ini didasarkan pada nilai filosofi yang mereka anut yaitu Darigama,
nilai filosofi ini adalah berupa ketaatan terhadap hukum-hukum yang dibuat oleh
pemerintah. (Wawancara dengan Punduh Kampung Naga Bapak Maun).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...