FIQH INDONESIA
TENTANG WASIAT DAN HIBAH
(Studi Tentang Transformasi dan
Sinkronisasi Fiqh Wasiat dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia)
Oleh:
Abu Syhabudin
A.
Latar
Belakang Masalah
Secara historis,
sejak ratusan tahun silam Islam telah tersebar di Indonesia yang dibawa oleh
para ulama. Penyebaran Islam ke Indonesia terdapat beberapa versi tentang mulai
masuknya ke Indonesia. Salah satu versi itu menerangkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7-8 M.[1]
Versi lainnya menerangkan Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-13 Masehi.[2]
Sejak masuknya
ke Indonesia para ulama terus menyebarkan ajaran Islam hingga ke Nusantara.
Dengan tersebarnya Islam ke pelosok Nusantara, maka semakin banyak penganutnya.
Beratus-ratus tahun Islam telah tersebar di kepulauan Nusantara, sehingga Islam
menjadi agama mayoritas yang dianut bangsa Indonesia. Karena Islam tersebar
dalam waktu yang begitu lama hingga berabad-abad, maka ajaran Islam semakin
melekat dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Indonesia. Dalam penerapan ajaran Islam, umat Islam
berkeinginan agar ajaran Islam dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
secara menyeluruh baik dalam pengamalan masyarakat maupun dalam instansi
pemerintah terutama dalam penegakkan hukum negara. Sebagaimana firman Allah
Swt. dalam surat al-Baqarah (2) ayat 208:
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=äz÷$#
Îû
ÉOù=Åb¡9$#
Zp©ù!$2
wur
(#qãèÎ6®Ks?
ÅVºuqäÜäz
Ç`»sÜø¤±9$#
4
¼çm¯RÎ)
öNà6s9
Arßtã
×ûüÎ7B
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” [3]
Firman Allah di
atas menjelaskan bahwa seluruh umat Islam harus masuk Islam secara kâffat
(menyeluruh) artinya pengamalan ajaran Islam harus diamalkan seluruhnya, bukan
sebagian-sebagian. Bahkan Allah dengan tegas menjelaskan pada surat al-Maidah
(5) ayat 44:
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöqG9$# $pkÏù Wèd ÖqçRur 4
ãNä3øts $pkÍ5 cqÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rß$yd tbqÏY»/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà 4 xsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur wur (#rçtIô±n@ ÓÉL»t$t«Î/ $YYyJrO WxÎ=s% 4
`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang
alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah
kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.[4]
Ayat di atas
menjelaskan bagi orang yang memutuskan hukum tidak berdasarkan ketentuan Allah
disebut dengan kafir. Berarti ia telah keluar dari ajaran Allah. Ayat ini
menunjukkan keharusan menjalankan aturan yang disyari’atkan Allah.
Pada ayat lain
surat al-Maidat (5) ayat 45 dijelaskan pula dengan sebutan zhalim:
$oYö;tFx.ur
öNÍkön=tã
!$pkÏù
¨br&
}§øÿ¨Z9$#
ħøÿ¨Z9$$Î/
ú÷üyèø9$#ur
Èû÷üyèø9$$Î/
y#RF{$#ur
É#RF{$$Î/
cèW{$#ur
ÈbèW{$$Î/
£`Åb¡9$#ur
Çd`Åb¡9$$Î/
yyrãàfø9$#ur
ÒÉ$|ÁÏ%
4
`yJsù
X£|Ás?
¾ÏmÎ/
uqßgsù
×ou$¤ÿ2
¼ã&©!
4
`tBur
óO©9
Nà6øts
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqßJÎ=»©à9$#
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.[5]
Ayat di atas
menerangkan tentang hukum qishash. Menegakkan hukum qishahsh dalam syari’at
Islam menjadi suatu keharusan yang pasti. Jika tidak, maka kedzaliman telah
dilakukan bagi yang tidak melaksanakannya. Diterangkan pula pada ayat lain
dengan sebutan fasik, sebagaimana firman Allah Swt. surat al-Maidah (5) ayat
47:
ö/ä3ósuø9ur
ã@÷dr&
È@ÅgUM}$#
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
ÏmÏù
4
`tBur
óO©9
Nà6øts
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
cqà)Å¡»xÿø9$#
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang
yang fasik”.[6]
Semua ayat di
atas menjelaskan tentang ketatapan Allah bagi ummat terdahulu agar memutuskan
hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah Swt. Allah memvonis hukuman
bagi orang yang tidak memutuskan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Ayat-ayat
tersebut menjadi ibrat (pelajaran) bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Ketentuan melaksanakan aturan Allah menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam
untuk menjalankannya. Kewajiban memutuskan hukum berdasarkan ketentuan Allah
bukan hanya untuk umat terdahulu saja akan tetapi umat manusia setlah Nabi
Muhammad Saw. pun dituntut untuk melaksanakannya.
Secara hakiki
penjelasan ayat tersebut di atas penekannya bagi umat terdahulu sebelum Nabi
Muahammad Saw. akan tetapi secara majazi ayat tersebut juga implisit di
dalamnya mengisyaratkan meliputi umat setelah Nabi Muhammad Saw. Dengan
demikian semua ayat di atas menuntut pada setiap umat Islam untuk melaksanakan
syari’at Islam. Namun pada kenyataannya secara yuridis hukum Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara kâffah (menyeluruh) di
Indonesia belum dilaksanakan. Karena ketidaksinkronan antara hukum Islam dengan
hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
Hal tersebut di
atas dapat dimaklumi secara filosofis, karena bangsa Indonesia
penduduknya bukan hanya penganut agama Islam saja, akan tetapi terdapat
penganut agama lainnya, seperti Hindu, Kristen, Budha dan Kong Hucu. Sehingga
pemberlakuan hukum Islam di Indonesia tidak bisa diberlakukan sebelum terlebih
dahulu dijadikan hukum nasional. Pada prosesnya apabila hukum itu sudah
dijadikan undang-undang dan masuk dalam lembaran Negara, maka hukum itu menjadi
hukum nasional dan bisa diberlakukan di Indonesia.
Secara
sosiologis umat Islam yang ada di Indonesia berkeinginan agar ajaran
Islam bisa diterapkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun pada
implementasinya tidak begitu saja dapat dilaksanakan, karena bisa diterapkan
secara nasional untuk seluruh rakyat apabila sudah menjadi hukum nasional yang
diundangkan pemerintah. Terdapat beberapa persoalan yang harus diperhatikan,
karena paling tidak fakta sosial ikut berperan penting dalam pelaksanaannya di
samping kekuatan politik (political power).
Teori
Receptio in complexu [7] menyatakan
bahwa hukum Islam dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluknya dalam menjalankan
syari’at Islam apabila telah memenuhi beberapa unsur:
1.
Hukum Islam
dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam.
2.
Umat Islam
harus taat pada ajaran Islam.
3.
Hukum Islam berlaku
universal pada berbagai bidang ekonomi hukum Pidana dan hukum Perdata.
Berkenaan
dengan unsur yang ketiga hubungannya dengan undang-undang dapat memberikan
pemahaman bahwa ketika hukum Islam sudah menjadi qanûn maka hukum
tersebut dapat berlaku bagi umat Islam secara universal di Indonesia, sehingga
dalam pelaksanaannya tidak secara parsial.
Kenyataan
demikian, secara tidak langsung menguatkan teori receptive Snouck
Hurgronje, meskipun konteksnya agak berbeda. Jika teori Snouck menitikberatkan
pada relasi hukum adat dan hukum Islam, sedangkan pada masa Orde baru
menitikberatkan relasi antara Negara dengan hukum Islam. Konsekuensinya
menyebabkan terjadinya perubahahan paradigma. Yaitu dengan sebuah rumusan
proposisi bahwa “hukum Islam tidak sepenuhnya dapat berlaku kecuali setelah ditetapkan
Negara melalui legislasi”.[8]
Pembentukan
hukum Islam di Indonesia, secara historis terdapat sebuah kumpulan hukum
yang berbentuk bab, pasal dan ayat. Yang dibentuk dan disusun oleh sebuah
panitia kerja selama kurang lebih lima tahun. Dimulai pada tahun 1983, yaitu
setelah penandatanganan SKB [9]
Ketua mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Hal ini dilakukan untuk
keseragaman dan rujukan hakim-hakim pada pengadilan Agama. Sehingga pada tahun
1988 rumusan hukum tersebut diajukan kepada pemerintah untuk dijadikan sebuah
perundang-undangan. Selama tiga tahun lebih menanti akan disahkannya rancangan
tersebut. Sehingga akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Soeharto
menandatangani Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, yang
dekenal dengan nama Kompilasi Hukum Islam (KHI).[10]
Kompilasi Hukum
Islam walaupun hanya dengan kekuatan Inpres yang ditindaklanjuti dengan
Keputusan Menteri Agama. Akan tetapi, KHI merupakan sebuah produk hukum
Indonesia yang digali oleh para ulama dalam sebuah peraturan hukum yang
substansinya berbentuk undang-undang (qanûn). Hal ini mendapat respon
positif terutama kalangan umat Islam, karena meskipun ketetapannya berupa
Inpres, akan tetapi keberadaannya sangat berfungsi di Indonesia dan dapat
dijadikan sumber rujukan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia, terutama
para hakim pengadilan Agama dalam mengambil sebuah keputusan hukum.
Secara yuridis
Impres nomor 1 tahun 1991, KHI memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat.
Inpres No 1 tahun 1991 berdasarkan konsideran UUD pasal 4 ayat 1, bebunyi:
Kekuasaan presiden untuk memegang kekuasaan pemerintah Negara baik yang disebut
Keputusan Presiden (Kepres) ataupun Instruksi Presiden (Inpres) kedudukan
hukumnya adalah sama.[11]
Pelaksanaannya
diperkuat dengan terbitnya Keputusan Menteri Aagma No. 254/ 1991 tertanggal 22
Juli 1991, menyebutkan dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD
1945, berbunyi:
Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya
yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum
perkawinan, kewarisan, perwakafan sebagaimana dimaksud dalam dictum pertama
instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1/1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk
digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam
masalah-masalah di bidang tersebut. [12]
Perkembangannya,
untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut, pada bulan Maret 1985 secara politis
Presiden Soeharto mengambil prakarsa dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama
(SKB) Ketua Mahkamah Agung dan menteri Agama. SKB tersebut membentuk proyek
Kompilasi Hukum Islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing
tentang Hukum Perkawinan (Buku I), Hukum Kewarisan (Buku II) dan Hukum
Perwakafan (Buku III).[13]
Berdasar pada
hal demikian, Ketentuan penyelesaian masalah hukum perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan bagi pemeluk agama Islam adalah mengacu kepada KHI. Ia telah
ditetapkan melalui proses taqnîn dalam bentuk Inpres dan berlaku sebagai
hukum positif bagi umat Islam. Oleh karenanya, KHI yang memuat hukum materilnya
dapat diterima dan telah ditetapkan oleh Keputusan Hukum Presiden/ Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 dapat dipandang sebagai hukum tertulis. Bahkan
sebagian kalangan akademisi dan para pemikir Islam menyebut Inpres Nomor 1
tahun 1991 tentang KHI sebagai qanûn yang dibentuk, diinduksi dari Fiqh
versi Indonesia.[14]
Diperkuat dengan penjelasan umum yang terdapat dalam KHI nomor 1 bahwa:
Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin
kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus
merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat bangsa Indonesia. Dan pada
nomor 5 : Hukum materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu
dokumentasi Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan
pedoman bagi Hakim di lingkungan badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.[15]
Lalu dengan
terbentuknya KHI yang merupakan sebuah hasil karya para ulama Indonesia. Jika
dikembalikan kepada istinbâth-nya, setidaknya memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah KHI
merupakan tarnsforamasi dari Fiqh? Jika merupakan transformasi, kitab apakah
yang menjadi sumber rujukannya? Sudahkan sinkron dengan
sumber aslinya? Bagaimanakah sinkronisasinya dengan sistem hukum dan
perundang-undangan yang ada di Indonesia ?
KHI bab wasiat
dan hibah apabila dilihat dari isinya menggambarkan bahannya dari sumber Fiqh.
Dalam Fiqh dibahas tentang wasiat dan hibah secara khusus. Antara isi KHI
tentang wasiat dan hibah dengan Fiqh terdapat persamaan-persamaan. Jika dilihat
dalam Fiqh wasiat dan hibah pembahasannya berdasarkan teori ilmu, sedangkan
dalam KHI pembahasannya sudah berubah bentuk menjadi bab, pasal dan ayat,
perubahan ini berbentuk seperti perundang-perundangan (qanûn). Bentuk
seperti ini dikenal dengan istilah transformasi.[16]
Transformasi
berasal dari bahasa inggris dari kata transform (dalam bentuk kata
benda) yang berarti perubahan atau pergantian bentuk.[17]
Istilah transformasi yang tadinya digunakan dalam perubahan bentuk kebendaan,
maka dalam penelitian ini dipergunakan perubahan bentuk dari Fiqh menjadi
bentuk perundang-undangan. Yaitu bahwa transformasi merupakan perpindahan dan
perubahan bentuk yang tadinya teori ilmu menjadi bab, pasal dan ayat atau dalam
bentuk perundang-undangan (qanûn).
Penjelasan umum
KHI nomor 3 mengatakan: Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi
bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan Perwakafan. Berdasarkan
surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735 hukum
materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas
adalah bersumber pada 13 buah kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i”[18].
Kitab-kitab tersebut dalam penelitian ini ditelusuri akan kesesuaian antara apa
yang terdapat dalam 13 [19]
kitab dengan isi KHI tentang wasiat dan hibah. Terdapat persamaan-persamaan,
namun di samping terdapat persamaan terdapat pula hal-hal perbedaan. Di
antaranya dalam bab V tentang wasiat
pasal 194 ayat 1 berbunyi: orang
yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga.
Pada pasal 194
ayat 1 di atas terdapat kata orang yang telah beumur sekurang-kurangnya 21
tahun. Sedangkan dalam Fiqh syarat bagi yang berwasiat adalah bâligh.
Menurut madzhab Syafi’i, bâligh itu usia 15 tahun atau sudah keluar
seperma. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam KHI ketentuan usia tertulis
21 tahun ?
Berikutnya
masih bab V pasal 195 berbunyi: wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui
oleh semua ahli waris. Sedangkan dalam sabda Rasulullah Saw. ditegaskan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ نَجْدَةَ ، حَدَّثَنَا ابْنُ
عَيَّاشٍ ، عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ ، سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ ، سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ :
" إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ . رواه ابوداودالترمذي ابن ماجه النساء احمد
Abdul Wahab bin Najdah telah memberitakan hadits pada kami, Ibnu Abbasy
telah memberitakan hadits pada kami, dari Syurahbil bin Muslim, aku telah mendengar Abu Amamah, aku
telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah memberi hak tiap-tiap ahli waris, maka dengan
pemberian itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”.[20] Hadits Riwayat Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, Nasa’i dan Ahmad.
Selanjutnya dalam bab VI tentang hibah pasal 210 ayat 1 berbunyi: Orang yang telah
berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
Pada bab, pasal dan ayat di atas tentang hibah dismping
terdapat ketentuan usia 21 tahun juga terdapat batasan menghibahkan harta tidak
lebih dari 1/3. Ketentuan sepertiga tentang hibah dalam beberapa kitab Fiqh tentang hibah tidak ditemukan. Akan tetapi
ketentuan 1/3 itu yang ada adalah wasiat.
Pada bab VI bab VI pasal 211 berbunyi: Hibah dari orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Kalimat di atas meberikan pengertian tidak jelas antara warisan dengan hibah.
Warisan didapatkan ahli waris dari pewaris setelah pewaris meninggal dunia.
Sedangkan hibah bisa didapatkan ahli waris ketika pewaris masih
hidup. Dalam pasal ini perlu adanya penjelasan tentang perhitungan hibah.
Apakah semua pemberian dari orang tua pada anaknya dari sejak lahir hingga
dewasa itu dapat diperhitungkan sebagai hibah ? atau hibah itu semata-mata
pemberian dari orang tua pada anaknya sebatas ucapan (shighât)
orang tua pada ahli waris baik lisan maupun tulisan ? pada pasal ini belum ada
penjelasan pasti, sehingga kalau tidak ada penjelasan akan muncul berbagai penafsiran
yang bermacam-macam. Sehingga pada akhirnya akan muncul penafsiran sesuai dengan kepentingan
masing-masing.
Memperhatikan beberapa problem di atas berkenaan dengan pasal-pasal dalam KHI tentang
wasiat dan hibah. Dimungkinkan bahwa KHI tentang wasiat dan hibah merupakan transformasi dari Fiqh. Akan tetapi masih
terdapat beberapa pasal dan ayat yang tidak sinkron dengan Fiqh.
Mengingat dalam pembentukan perundang-undangan
hukum di Indonesia ada kemungkian dipengaruhi oleh beberapa hukum yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata (BW) dan Hukum Adat. Bangsa Indonesia termasuk masyarakat majemuk
yang dalam cara pengambilan sumber hukumnya beraneka ragam. Hal ini terjadi
sudah berlangsung berabad-abad. Warisan hukum Islam yang dibawa para ulama
Islam ke Indonesia, warisan hukum adat dari nenek moyang bangsa Indonesia
dan warisan hukum BW yang dibawa penjajah Belanda. Sehingga pembentukan hukum
di Indonesia tidak dapat diklaim murni dari salah satu sumber hukum saja.[21]
[1] Endang
Saifudin Anshari, Wawasan Islam (Pokok-pokok Fikiran Tentang Islam dan
Ummatnya), (Jakarta: CV Rajawali, 1986), Edisi ke-2, cet. Ke-1, h. 253-254.
Pendapat ini dikemukakan oleh H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayed Ali bin Thahir al-Hadad, H.M. Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold.
Dan menurut Hamka Islam dibawa oleh saudagar bangsa Arab
(Mekah), dan menurut P.A. Hoesein Djajadiningrat, Islam dibawa bangsa Persia.
Menurut Moens: Islam disebarkan oleh saudagar muslim dari Persia, Husein
Nainar; Islam dibawa oleh saudagar dari India.
[2] Ibid. Sedangkan pendapat ini dikemukakan oleh N.H.
Krom dan Van Den Berg, bangsa yang membawanya menurut Snouck Hurgronje, H.
Kramer dan Van Den Berg adalah bangsa Gujarat dari India, dan menurut Sayid
Alwi dan Van Den Berg Islam disebarkan oleh para mubaligh Muslim.
[3]
Soenarjo dkk., Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Mujamma’ Al-Malik Fahd
li Thiba’at al-Mushaf Asy-Syarif Medina Munawwarah P.O. Box 6262, Kerajaan Saudi Arabia, t.t.) h. 50.
[7] Juhaya S.
Praja, Teori-teori Hukum (Suatu Telaah Dengan Pendekatan Filsafat)
(Bandung: Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, 2009), h. 108. Teori Receptio
in complexu dikemukakan oleh Gibb yang mendapat dukungan dari Lodewijek
Willem Cristian Van Den Berg (1845-1927), menurut teori ini: Bagi orang Islam
berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam
pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan.
[8] Marzuki Wahid
& Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2001), cet. ke-1, h. 12.
[9] SKB merupakan
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Dan Menteri Agama Republik Indonesia
nomor 07/KMA/1985 nomor 25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek
Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi Ketua Mahkamah Agung Dan Menteri
Agama Republik Indonesia.
[10] Habiburrahman,
Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Perdana
Media Group, 2011), Edisi ke-2, cet. ke-1, h. 53.
[11] Ibid.,
h. 60.
[12]Ibid., h. 60.
Dikutif dari Ismail Suny, Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Sudut
Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia, (dalam Harian Pelita edisi 5 Agustus
1991).
[15]
Humaniora Utama
Press, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama
Press, t.t.), h. 97-98
[16] Abdul Gani
Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani, 2002), cet. ke-2, h. 24.
[17] John M. Echols
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian
Dictionary,) (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), cet. ke-26, h.
601.
[19] Dirjen Bimbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agam Islam Departemen Agama, 1993/ 1994), h. 129-130. Tiga belas kitab itu diantaranya adalah Al-Bajuriy, Fath al-Mu’in, Syarqawy ‘alâ al-Tahrîr, Qalyubi Mahaly, Fath al-Wahab dan Syarahnya,, Tuhfah, Targhîb al-Musytaq, Qawân Sayyid bin Yahya, Qawânin asy-Syar’iyat li al-Sayyid Sadaqah Dahlan, Syamsury fî al-Farâid, Bugiyat al-Musytarsyidîn, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Mughni al-Muhtaj.
[20]
Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijtany, Sunan
Abî Dâwud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414
H/ 1994 M), juz ke-2, h. 5. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Turmudzi, Ibnu
Majah. Dan dari jalur riwayat yang lain Ahmad dan Nasa’i
meriwayatkan dari jalur ‘Amr bin Kharijah. Dalam Maktabat al-Syamîlat
hadits nomor 2872 dan dalam Jawâmi’ al-Kalîm hadits nomor 2870/ 2490.
[21] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif, Adat, dan BW,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2007), cet. ke-2, h. 7-9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...