Fiqh Sunda: Dari
Membakar Kemenyan Hingga Haramnya Riba
Oleh: Dr. Abdurrahman
MBP, SHI., MEI
A. Pendahuluan
Islam masuk ke
Tatar Sunda (Jawa Barat) dalam keadaan masyarakatnya telah memiliki kepercayaan
yang diwarisi secara turun-temurun dari para karuhun (salaf).
Kepercayaan ini menjadi pedoman moral dan pemandu dalam setiap gerak-langkah (laku-lampah)
urang Sunda. Warisan kepercayaan masyarakat Sunda berakar dari
kepercayaan lokal di wilayah ini yang apabila diruntut merupakan akulturasi
dengan kepercayaan yang datang kemudian. Merujuk pada pendapat Edi S. Ekadjati
bahwa agama asli Sunda adalah Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Kepercayaan ini masih
eksis dianut oleh komunitas Baduy di Kanekes, Lebak Propinsi Banten.[1]
Kepercayaan
Sunda Wiwitan meyakini Batara Tunggal sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Ia
adalah pencipta alam semesta dan pengaturnya, semua kekuatan tunduk kepadanya. Ia
memiliki sebutan sesuai dengan fungsinya; Batara Jagat (Penguasa Alam), Batara
Seda Niskala (Yang Gaib), Nu Kawasa (Yang Berkuasa) dan Sang Hyang
Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki).
Batara Tunggal sebagai Tuhan bersemayam di Buana Panca Luhur (dunia
atas) atau Buana Nyungcung sebagai tempat paling tinggi (suci)
dalam kepercayaan Sunda Wiwitan. Selain sebagai Tuhan Batara Tunggal juga
sebagai manusia yang diyakini turun ke bumi menurunkan para Batara yang menjadi
nenek moyang puun sebagai tokoh spiritual tertinggi Baduy.[2]
Kepercayaan
Sunda Wiwitan menghasilkan berbagai aturan adat sebagai pedoman bagi masyarakatnya.
Aturan adat dalam bentuk larangan menjelma dalam bentuk pamali (makruh
li tahrim) yaitu sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Selain itu muncul pula
istilah musytari sebagai istilah waktu yang baik untuk melakukan sesuatu
(barakah). Haji Hasan Mustapa mencatat berbagai adat yang ada pada
masyarakat Sunda semisal; adat kehamilan, khitanan, nikahan, kematian, waktu
yang dimuliakan serta berbagai adat harian, bulanan dan tahunan lainnya.[3]
Semua adat tersebut dilaksanakan, diwariskan dan mumule (muhafadzah)
oleh masyarakat Sunda sebagai warisan (heritage) yang tak ternilai.
Kehadiran Islam
dengan sistem hukumnya (baca fiqh) di Tatar Sunda berdialog dengan
adat-istiadat Sunda, hingga menghasilkan satu sistem hukum yang memiliki
karakteristik Islam dengan bingkai Sunda atau Sunda berbingkai Islam. Sebagai
contoh, tradisi ziarah yang telah mengakar pada masyarakat Sunda bertemu dengan
tradisi ziarah Islam. Kesenian Sunda yang bertemu dengan tsaqafah Islam
hingga memunculkan seni Islam dengan cita rasa Sunda atau sebaliknya seni Sunda
dengan substansi nilai-nilai Islam.
Menjadi materi diskusi
menarik ketika kemudian saya memunculkan istilah Fiqh Sunda. Terdengar
kontroversial karena menjadi istilah baru yang belum familiar. Selama ini yang
muncul dalam pikiran kita fiqh adalah aturan dalam Islam yang sudah baku dan
tidak bisa dirubah. Pemikiran ini memunculkan keyakinan tidak adanya perubahan
dalam fiqh, hingga muncul berbagai perbedaan di masyarakat yang berkaitan
dengan fiqh. Tidak jarang kita dengar masyarakat berbeda pendapat tentang qunut
shubuh, shalat qabla jum’at, rakaat shalat tarawih, adzan dua kali dan lain
sebagainya. Pada komunitas Sunda terdapat berbagai adat-istiadat dan ritual
yang terkesan tidak ada kaitan dengan Islam atau berseberangan dengan
nilai-nilai Islam.
Merujuk pada lahirnya fiqh, maka ia berkaitan erat
dengan interaksi dan fakta kehidupan yang ada di masyarakat sekitarnya. Ulama
sebagai perumus mengadaptasikan antara teks yang tersurat maupun tersirat dalam
dalil dengan kontekstual yang ada di masyarakat. Sehingga melahirkan beraneka
ragam Fiqh sebagai bentuk pemikiran ulama. Keanekaragaman Fiqh sebagai buah
pemikiran para ulama. Terkadang dinisbahkan pada nama ualma pemikirnya. Seperti
Fiqh Abu Hanifah (w. 150H), Fiqh Malik bin Anas (w. 179H), Fiqh Muhammad bin
Idris al-Syafi’i (w. 204 H.) dan Fiqh Ahmad bin Hanbal (241H). Terkadang pula
dinisbahkan pada tempat wilayah kemunculannya, seperti Fiqh Irak, Fiqh Madinah,
Fiqh Syam dan Fiqh Maghrib. Serta keahlian disiplin ilmu, seperti Fiqh ahl
al-ra’yi dan Fiqh ahli
al-hadîts.[4]
Berdasarkan hal tersebut maka Fiqh Sunda adalah
pemikiran-pemikiran fiqh yang bersumber dari nilai-nilai yang ada dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan realitas yang ada pada masyarakat Sunda.
Sebagai sebuah gagasan tentu ia bisa dikritik dan disalahkan, namun sebagai
teori maka jika ia berdiri di atas pondasi keilmuan kokoh dan tidak
bertentangan dengan nila-nilai fundamen sumber-sumber hukum Islam, maka ia
sangat menantang untuk dijadikan bahan diskusi. Apalagi masyarakat Sunda saat
berada pada era transformasi, di mana nilai-nilai keislam semakin mengalami
kebangkitan namun mereka juga tidak mau melepaskan budaya Sundanya.
Para inohong Sunda sejak awal telah merumuskan
bagaimana korelasi antara agama dan adat Sunda. Sebagian mereka berteori “Tatali
Kumawula, Agama sareng Darigama” sehingga tidak ada alasan menganggap bahwa
budaya Sunda berseberangan dengan nilai-nilai Islam, sebaliknya Islam memberi
ruang bagi adat-istiadat Sunda.
[1] Misno, Bulan
Bintang di Bumi Parahyangan, Yogyakarta: Deepublish, 2015.
[2] Jacobs, Julius. 2012, De Badoej’s,
terj. Judistira K. Garna, Orang Baduy dari Banten. Bandung: Primaco
Akademika dan Judistira Garna Foundation. Hlm. 18.
[3] H. Hasan
mustapa, Adat Istiadat Sunda, Bandung: Penerbit Alumni, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...