(Realitas Kontras Komunitas
Tertindas)
Oleh: Abdi Misno
Sebuah film adalah hasil rasa,
cipta dan karya, terkadang ia adalah gambaran dari realitas yang ada di
masyarakat. Tentu saja sesuai dengan sudut pandang dari pembuatnya, apakah ia
akan membuatnya seobyektif mungkin atau menambahnya dengan pesan-pesan yang
diinginkannya.
Film dengan judul “My Flag – Merah Putih
VS Radikalisme” adalah sebuah karya yang tercipta karena pembuatnya melihat
realitas yang ada di masyarakat. Lepas dari prasangka dari mereka yang berniat
memunculkan perseteruan yang semakin tajam di antara umat Islam maka film ini
menurut saya memang mencerminkan keadaan umat Islam saat ini. Walaupun dalam
sebuah film tentu saja harus dikasih “bumbu” lebih pedas agar lebih terasa
konflik dan membuat penonton terkessan dengannya.
Sebelum menyaksikan film ini dengan
hanya berbekal kepada bacaan di beberapa media sosial saya berfikir bahwa ini
adalah ulah dari orang-orang yang benci dengan Islam dan ingin mengadu domba di
antara mereka. Memanfaatkan “api dalam sekam” yang ada pada internal umat Islam
adalah sejata paling ampuh untuk memantik api permusuhan itu tersulut dan
membakar amarah umat.
Saya akhirnya penasaran dan membuka
langsung kilasan dari film ini dari NU Channel pada 28 Oktober 2020. Jumlah
penonton telah mencapai 615 ribu dan telah tanyang sejak 4 hari lalu. Jumlah
ini bisa jadi akan bertambah karena kontroversi dari isinya, apalagi dengan
blow upa dari media akan semakin ramailah film pendek ini.
Film didominasi oleh sekumpulan
pemuda dan pemudi dengan atribut khas muslim Indonesia, memakai baju koko, peci
hitam dan sarung. Sementara perempuannya memakai jubah dan jilbab biasa. Fokus perhatian
pada kecintaan mereka kepada bendera, dari mulai membeli ke pasar,
membagi-bagikan ke pengguna jalan dan menempatkan di beberapa tempat.
“Cinta tanah air sebagian dari iman”
itulah pesan utamanya, dengan mencintai bendera murah putih maka itu adalah
bukti kecintaan tersebut. Maka kata-kata yang kemudian muncul ketika kelompok
pemuda dan pemudi ini bertemu dengan kelompok pemuda dan pemudi lainnya dengan
tampilan celana cingkrang, pemudinya memakai cadar dan membawa bendera dua
warna; merah dan putih.
Inilah fokus dari tulisan ini dan
menjadi kontroversi di masyarakat, “Tidak boleh ada bendera lain selain merah
putih” itulah ucapan seorang pemudi yang membawa merah putih ketika berhadapan
dengan pemudi lain yang menggunakan jilbab panjang dan cadar. Adegan dilanjutkan
dengan perkelahian antara mereka, oleh sutradara sepertinya dijadikan pesan
yang sangat mendalam. Khususnya ketika dengan gerakan lambat seorang pemudi
yang tadi berteriak membuka secara paksa cadar dari pemudi lawannya. Adegan ini
terjadi dua kali, hingga sangat jelas pesan yang ada di dalamnya. Bahwa memakai
cadar dan celana cingkrang adalah simbol dari radikalisme dan tidak cinta
dengan tanah air dan bendera merah putih.
Apabila kita memperhatikan adegan
dalam film ini, khususnya ketika dua kelompok pemuda tersebut berkelahi maka
jelaslah bahwa inilah realitas umat Islam saat ini. Di mana kelompok “tradisional”
dengan simbol peci hitam dan sarung berhadapan dengan kelompok celana cingkrang
dan cadar bagi wanitanya. Sebuah adegan yang menggambarkan realitas dari
masyarakat saat ini, di mana kelompok “tradisional” sangat khawatir dengan
kehadiran kelompok “baru” yang membawa simbol dan “ideologi” yang menurut
mereka berbeda. Realitas ini sudah terbaca oleh para pemerhati umat Islam
khususnya di Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya, di mana ada “api
dalam sekam” di antara umat Islam.
Namun, tentu saja film ini dalam
perspektif lain memberikan stigma yang tidak bagus tentang Islam apalagi bagi
generasi muda yang masih harus banyak belajar tentang Islam. Perlunya tabayun
(check and recheck) terhadap mereka yang menggunakan simbol-simbol yang
berbeda dengan kita adalah sebuah keniscyaan. Apalagi jika hanya terkait dengan
fiqh semisal celana cingkrang dan cadar. Jika berkaitan dengan “ideologi” pun
itu perlu di-check kembali, karena sejatinya umat Islam di Indonesia
sangat cinta dengan NKRI. Ketakutan munculnya gerakan radikalisme hanyalah
ilusi dari orang-orang yang ingin mengadu domba Islam. Celana cingkrang dan
cadar bukanlah simbol dari anti NKRI, bukan pula simbol dari tidak cinta dengan
Bendera Merah Putih. Itu adalah manifestasi agama dan kepercayaan anak negeri,
tidak mengurangi cinta pada NKRI.
Maka, hendaklah bagi kita semua
terus mempelajari Islam ini, jangan mudah terprovokasi dan berikanlah
pencerahan secara elegan kepada generasi muda kita. Perbedaan yang terjadi
jangan diperuncing dengan kepentingan duniawi, berikan qudwah (contoh) yang
terbaik bagi generasi muda kita. Jangan mudah menuduh saudara kita yang sedikit
berbeda dengan cap radikalisme atau ekstrimisme, karena sejatinya itu
menunjukan kurangnya ilmu pada diri kita.
Kepada teman-teman yang menggunakan
simbol-simbol yang belum terbiasa ada di masyarakat khususnya celana cingkrang,
cadar, bendera hitam dan putih dan yang lainnya maka teruslah belajar tentang
agama ini. Islam bukan hanya berhenti pada simbol-simbol tersebut, banyak hal
yang harus kita pelajari kembali. Bersyukurlah hidayah atas sunnah itu sudah
anda dapatkan, berikutnya adalah berikan pencerahan kepada masyarakat tentang
sunnah Nabi yang suci ini tentu saja dengan cara elegan. Jangan udah
menyalahkan apalagi kita belum memiliki ilmu tentangnya, teruslah belajar
karena di sanalah puncak dari kepahaman. Iman, amal dan akhlak adalah tiga hal
yang tidak bisa dipisahkan. Jika anda ingin mengamalkan sunnah Nabi maka
amalkanlah keseluruhannya, termasuk cinta beliau dengan sesama umat Islam,
menghormati agama lain dan cinta dengan negeri sendiri.
Kepada pemuda dan pemudi Islam
harapan bangsa, teruslah belajar... jangan mudah terprovokasi dengan film
seperti ini. Jangan pula mudah diadu domba oleh skenario untuk menghancurkan
Islam dan Indonesia. Kita semua adalah saudara, sesama muslim dan satu tanah
air. Teruslah belajar, dengan itu kita akan tahu arti dari toleransi, arti dari
Islam yang murni dan tidak mudah terprovokasi.
Pagi
cerah di Kota Hujan, Bogor.
28
Oktober 2020.