Oleh:
Misno bin Mohamad Djahri
Islam
adalah agama yang paripurna, bukti dari kesempurnaannya adalah mengatur seluruh
sendi kehidupan manusia, dari mulai manusia bangun tidur, sampai tidur lagi
bahkan Ketika sedang tidur. Permasalahan yang kecil seperti cara bersih, hingga
masalah besar semisal politk dan kenegaraan juga diatur oleh Islam.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang baru saja menyelsaikan Pemilihan Umum
(Pemilu), Inshaallah akan memiliki pemimpin yang baru, siapapun yang menjadi
Presiden dan wakil Presiden maka kita sebagai umat Islam wajib taat. Hal ini
sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اَطِيْـعُوا
اللّٰهَ وَاَ طِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُ ولِى الْاَ مْرِ مِنْكُمْ ۚ فَاِ نْ تَنَا
زَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَا لرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِا للّٰهِ وَا لْيَـوْمِ الْاٰ خِرِ ۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
"Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa' 4: Ayat
59)
Ibnu
Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu
Huzafah ibnu Qais ibnu Addi ketika ia diutus oleh Rasulullah Saw. untuk
memimpin suatu pasukan khusus. Mereka yang bersamanya wajib untuk taat dengan
perintah dan larangan yang ditetapkan, dalam makna harus satu komando dalam hal
yang ma’ruf.
Imam
Ibnu Katsir menyatakan “Nas-nas tersebut di atas merupakan dalil-dalil yang
memerintahkan agar taat kepada ulama dan pemerintah. Karena itulah dalam surat
ini disebutkan: Taatilah Allah. (An-Nisa: 59) Yakni ikutilah ajaran Kitab
(Al-Qur'an)-Nya. dan taatilah Rasul-(Nya). (An-Nisa: 59) Maksudnya, amalkanlah
sunnah-sunnahnya. Dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Yaitu dalam
semua perintahnya kepada kalian menyangkut masalah taat kepada Allah, bukan
durhaka kepada Allah; karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk
bila menganjurkan untuk berbuat durhaka terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta.
Al
Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Para fuqaha bersepakat atas wajibnya
taat kepada imam yang mutaghallib (berkuasa melalui perang , kudeta, atau cara
represif lainnya).
Kewajiban
taat kepada pemerintah, dikuatkan dengan sabda dari Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
…أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ آمَرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ…
“…Aku
wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi
Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian
adalah seorang budak hitam…“ HR. Ahmad, Abu Dawud dan Thirmidzi.
Ketaatan
kepada Ulil Amri, atau pemerintah yang sah tentu saja bukan secara mutlak,
tetapi ketaatan yang membawa kepada kebajikan dan kebaikan dunia dan akhirat. Jika
pemerintah memerintahkan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Syariah
Allah Ta’ala maka tentu saja tidak ada kewajiban dalam hal ini. Sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَطاَعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ
فِي الْمَعْرُوْفِ.
“Tidak
(boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada
Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” HR. Bukhari dan Muslim.
Imam
al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-‘Izz ad-Dimasqy (terkenal dengan
Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H
rahimahullah berkata: “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak
dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari
ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding
dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman
mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza
wa Jalla tak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan
kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal
perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat
dan memperbaiki amal perbuatan.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya
memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan
amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari
pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa
mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika
rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika
tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan
terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan
memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan
enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari
orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya
dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang
rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka
dari mereka dengan paksaan.
Maka
sebagai seorang muslim wajib kita taat kepada ulil amri atau pemerintah yang
sah, khususnya pada hal-hal yang membawa kepada kemashlahatan dunia dan
akhirat. Adapun jika pemerintah memerintahkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang
oleh Allah Ta’ala, maka tidak ada ketaatan. Namun bukan berarti kita melawan pemerintah,
tetapi berusaha untuk menasehatinya dengan baik dan menyampaikan aspirasi bahwa
hal tersebut dilarang dalam Islam. Wallahu a’alam, 15022024.