Created
by :
Musayyidah
dan Lu’lu’ Nishfu Laili
A. LATAR
BELAKANG
Dinamika
perkembangan ilmu tafsir dan karya-karya tafsir perlu diperhatikan dan diikuti
jejaknya. Meski lahirnya bidang ini jauh sebelum para tabi’in dan ulama
kontemporer merumuskan dan mengembangkannya, namun minat untuk mengkaji dan
merevolusi tak pernah habis dimakan zaman. Sehingga karya-karya tafsir ulama
era at-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari dan lainnya tersebut mengingspirasi
para mufasir baru sebagai penerus untuk mengembangkan model dalam bentuk karya
penafsiran, karena menjadi sebuah tuntutan bahwa al-Qur’an merupakan sumber
jawaban atas segala permasalahan yang terjadi di waktu dan tempat mana pun (Shohih
likulli zaman wal makan).
Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting dalam sejarah perkembangan
Islam, tak luput dari sentuhan tafsir. Sehingga lahirlah berbagai karya tafsir
dalam kurun waktu yang berbeda dengan corak, metode, dan subtansinya juga
berbeda. Seiring dengan latarbelakang tokoh atau penciptanya serta diwarnai
dengan alasan dibuatnya karya tersebut yang beragam pula maka perlu ditarik
sebuah garis panjang yang menghubungkan antara satu karya tafsir dari awal
hingga karya tafsir kontemporer.
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan
metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun
sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas
masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat
tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah
yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan
pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat
dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan
kemajuan peradaban masyarakat.
B.
METODE PENAFSIRAN
Dalam sekapur sirih volume 1 Quraish
Shihab menuturkan bahwa apa yang dihidangkan di Tafsir Al Mishbah bukan
sepenuhnya ijtihadnya sendiri. Namun merupakan gabungan hasil karya ulama-ulama
terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn Umar
al-Biqa’i (w. 885 H/1480) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip dan
menjadi bahan disertasi Quraish Shihab di Universitas al-Azhar, Kairo dua puluh
tahun lalu. Tak terlewatkan pula karya tafsir Pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa
ini, Sayyid Muhammad Tanthawi, Syeikh Mutawlli asy-Sya’rawi dan tidak
ketinggalan Sayyid Quthb, Muhammad Thohir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad Husein
Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lain.
Quraish Shihab tidak hanya mengutip
atau mengumpulkan buah pikir ulama-ulama yang disebutkan diatas, melainkan ia
lebih mengarahkan kutipan tersebut sebagai apresiasi atas kekagumannya terhadap
pemikiran ulama terdahulu yang dituangkan dalam karya tafsirnya ini. Bentuk
apresiasi itu terwujud dalam komentar yang ia berikan setelah mengutip karya
para ulama. Namun, tidak hanya memberikan apresiasi, ia juga memberikan
pendapat yang kontradiktif dari para ulama, jika dalam prespektifnya pendapat
tersebut tidak sesuai atau salah.
Sistematika penulisan tafsir
al-Mishbah ini dimulai dari penulisan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Setelah itu menguraikan makna-makna
penting dalam tiap kosa kata, makna kalimat, maksud ungkapan. Dalam hal ini
sangat kelihatan kalau dia sangat menguasai bahasa arab. Keahlian bahasa
tersebut bisa dilihat dalam surat Al Fatihah yang penulis kutip dibawah ini:
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
"Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."
Ayat pertama Surah Al Fatihah adalah
lafadz Basmalah seperti yang tertulis di atas,ini menurut pendapat Imam Syafi'i
yang sudah masyhur di kalangan para Ulama'. Walaupun ada sebagian ulama'
seperti Imam Malik yang berpendapat bahwa Basmalah bukan termasuk ayat pertama
Surah Al Fatihah, sehingga tidak wajib dibaca ketika shalat saat membaca Surah
Al Fatihah.
Basmalah merupakan pesan pertama
Allah kepada manusia, pesan agar manusia memulai setiap aktivitasnya dengan
nama Allah. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan huruf "ب" pada lafadz "بسم".
Kata Isim terambil dari kata as-Summun yang berarti tinggi, atau as-Simah yang
berarti tanda. Memang nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung
tinggi. Kini timbul pertanyaan: “kalau kata isim demikian itu maknanya dan kata
bismi seperti yang diuraikan diatas maksudnya, maka apa gunanya kata isim disebut disini. Tidak cukupkah
bila langsung saja dikata Dengan Allah? Sementara Ulama secara filosofis
menjawab bahwa nama menggambarkan substansi sesuatu, sehingga kalau disini
dikatakan Dengan Nama Allah maksudnya adalah Dengan Allah. Kata isim menurut
mereka digunakan disini sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah dari
kata tersebut tidak dimaksudkan disini. Memang dikenal dalam syair-syair lama
penyisipan kata Isim untuk tujuan tersebut.
Az-Zamakhsyari dan banyak ulama
tafsir mengemukakan bahwa orang-orang Arab, sebelum kehadiran Islam, memulai
pekerjaan-pekerjaan mereka dengan menyebut nama Tuhan mereka, misalnya Bismi
al-lata atau bismi al-‘uzza’, sementara bangsa-bangsa lain memulainya dengan
menyebut nama raja atau penguasa mereka. Kalau demikian, memulai pekerjaan
dengan nama Allah, berarti pekerjaan itu dilakukan atas perintah dan demi
karena Allah, bukan atas dorongan hawa nafsu.
Kesimpulannya adalah, setiap hal
yang diharapkan darinya keberkatan Allah atau dimaksudkan demi karena Allah,
maka disisipkan kata Isim, sedang bila dimaksudkan demi permohonan kemudahan
dan bantuan Allah maka kata yang digunakan langsung menyebut Allah / Tuhan
tanpa menyisipkan kata Isim. Dalam hadis nabi saw pun demikian itu halnya.
Salah satu do’a beliau adalah Allahuma bika nushbika wa numsi (Ya Allah dengan
Engkau kami memasuki waktu pagi dan petang) yakni dengan kekuasaan dan
iradat-Mu, kami memasukinya. Sebelum tidur beliau berdo’a Bismika Allahuma Ahya
Wa Amut/dengan nama-Mu Ya Allah aku tidur dan bangun yakni demi karena Engkau
aku hidup dan mati. Do’a ini sejalan dan semakna dengan perintah-Nya:
katakanlah : “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, tuhan semesta Alam” (QS al-An’am :162).
Oleh karena itu, ketika kita memulai
suatu pekerjaan dengan “nama” Allah, maka berdasarkan analisis diatas pekerjaan
tersebut diharapkan kekal disisi-Nya. Disini yang diharapkan kekal bukan
Allah-karena Dia adalah Maha Kekal, tetapi pekerjaan yang dilakukan itulah yang
kekal, dalam arti ganjaran yang kekal sehingga dapat diraih kelak di hari
kemudian. Memang banyak pekerjaan yang dilakukan seseorang, bahkan boleh jadi
pekerjaan besar, tetapi tidak berbekas sedikit pun serta tidak ada manfaatnya
bukan hanya diakhirat kelak, didunia pun dia tidak bermanfaat. Allah berfirman:
“Kami hadapi hasil karya merekakemudian kamijadikan ia (bagaikan) debu yang
berterbangan (sia-sia belaka)” (QS al-Furqan :23).
Penulisan kata “bismi” dalam
basmalah tidak menggunakan huruf “alif”, berbeda dengan kata yang sama pada
suroh Iqra’, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku yakni menggunakan
huruf alif. Persoalan ini menjadi bahasan para pakar dan Ulama. Pakar tafsir
al-qurthubi berpendapat bahwa penulisan tanpa huruf Alif pada Basmalah adalah
karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimat ini sering ditulis dan
diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa Alif.
Rasyad Khalifah
berpendapat bahwa ditanggalkannya huruf “alif” pada Basmalah, agar jumlah huruf-huruf
ayat ini menjadi sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Ini karena 19 mempunyai rahasia yang
berkaitan dengan al-Qur’an.Lafadz Ar-Rahman ar-Rahim adalah dua sifat yang
berakar dari kata yang sama. Agaknya kedua sifat ini dipilih karena sifat
inilah yang paling dominan. Para ulama' memahami kata Ar-Rahman sebagai sifat
Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedang
ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang
sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan
antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di
akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh
makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالمِيْنَ
"Segala
puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam."
Kata Hamd atau pujian adalah ucapan
yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik
walaupun ia tidak memberi sesuatu kepada yang memuji. Inilah bedanya antara
hamd dengan syukur. Ada tiga unsure dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh
yang dipuji sehingga dia wajar mendapat pujian, yaitu: indah(baik), dilakukan
secara sadar, dan tidak terpaksa atau dipaksa. Kata al-hamdu, dalam surah
al-Fatihah ini ditunjukkan kepada Allah. Ini berarti bahwa Allah dalam segala
perbuatan-Nya telah memenuhi ketiga unsure tersebut di atas.
Kalimat Robbil 'aalamin, merupakan
keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala puji hanya bagi Allah. Betapa
tidak, Dia adalah Robb dari seluruh alam. Al-hamdu lillahi robbil'alamin dalam
surah al-Fatihah ini mempunyai dua sisi makna. Pertama berupa pujian kepada
Allah dalam bentuk ucapan, dan kedua berupa syukur kepada Allah dalam bentuk
perbuatan.
Jika melihat sistematika penulisan
dari Tafsir al-Mishbah yang terperinci, maka dapat dikatakan bahwa metode yang
dipakainya dalam menafsirkan adalah metode tahlily. Quraish Shihab
banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak
semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata.
Menurut
Quraish Shihab, ada beberapa prinsip yang dipeganginya dalam karya Tafsir
Al-Mishbah, baik tahlily maupun maudhu’i, bahwa al-Qur’an
merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka tidak luput pembahasan ilmu
al-munasabat dalam karyanya ini.
C.
KESIMPULAN
Tafsir Al
Mishbah secara lengkap memiliki judul Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz dalam 15 volume. Ditulis oleh seorang
ulama’ Nusantara ahli Tafsir bernama Muhammad Quraish Shihab, berasal dari
Rappang, Sulawesi Selatan 16 Februari 1944.
Pengarang
Tafsir bercorak al-Adabi al-Ijtima’i ini menghabiskan waktunya selama 4 tahun
dalam menyusun karya monumental ini. Kecondongannya terhadap metode penafsirnya
maudhu’i memiliki kekurangan dan kelebihan yang bisa dilihat dalam
karyanya diantaranya yaitu Quraish Shihab menjelaskan mufradat dari setiap ayat
yang dikaji sehingga menghasilkan pemahaman yang mendalam terhadap ayat. Ia
juga termasuk orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia
menyebutkan pendapat orang yang berpendapat dalam karyanya.
Namun, menurut
sebagian umat Islam di Indonesia menganggap bahwa beberapa penafsiran Quraish
Shihab keluar batas kesepakatan pemahaman, sehingga tidak jarang Quraish Shihab
digolongkan dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya
mengenai jilbab dan isu-isu keagamaan lainnya.
Tafsir Quraish
Shihab oleh sebagian pengamat dinilai tidak spesifik. Argumen ini dikuatkan
dengan keraguan pengamat terhadap latar belakang penulisan tafsirnya yang
berangkat dari kesadaran pribadi penulis atau memang karena pilihan yang
didasari motivasi dari luar untuk mewujudkan karya tafsir ini.
Selain itu,
kritik yang diberikan kepada karyanya ini juga menitik beratkan pemahaman
tauhid Qurais Shihab yang bercorak syi’ah. Ketika menafsir ayat-ayat berkenaan
tentang akidah syi’ah, Qurais Shihab banyak mengutip pendapat ulama-ulama
Syi’ah seperti Thaba’ Thaba’i dan Zamakhsyari, yang olehnya pendapat tersebut
disepakati oleh Qurais Shihab. poin terakhir kekurangan yang juga tak luput
dari pengamat para kritikus, bahwa dalam mencantumkan hadis, Qurais Shihab
kurang memperhatikan keshahihannya.