Antropologi merupakan istilah yang berasal dari bahasa
yunani, yakni berasal dari kata “antropos” dan kata “logos”. Antropos dalam bahasa yunani berarti manusia sedangkan
logos dalam bahasa yunani berarti ilmu. Dengan demikian, pengertian antropologi
secara harafiah adalah ilmu tentang manusia. Antropologi merupakan bidang ilmu
yang mempelajari manusia sebagai makhluk biologis dan manusia sebagai makhluk
sosial.
B. Pendekatan Antropologi
Dalam memahami agama, pendekatan
antropologi dapat dilakukan dengan melihat wujud dari praktek keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak
akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya
menjelaskan dan memberikan jawabannya. Antropologi dalam kaitan ini lebih
mengutamakan pengamatan langsung yang cenderung bersifat partisipatif dan
mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif untuk mengimbangi
kesimpulan yang bersifat deduktif.
Pendekatan antropologis induktif
dengan grounded dilakukan dengan turun ke lapangan atau setidak-tidaknya dengan
upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya
sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dalam bidang sosiologi dan bahkan
ekonomi yang yang mempergunakan model-model matematis.
Dengan menggunakan pendekatan
antropologi banyak yang dapat diketahui, diantaranya adalah bahwa agama
memiliki korelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Oleh karena itu apabila ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang,
maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. Disamping itu
pendekatan antropologis ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara agama dengan Negara serta dapat pula dilakukan untuk mengetahui
keterkaitan antara agama dengan psikoterapi.
Demikian juga masalah hubungan
patologi sosial dengan agama sebagaimana yang dihasilkan oleh Sigmun Freud,
meskipun hasil penelitiannya berakhir kurang dengan simpati terhadap realitas
keberagamaan, namun C.G. Jung malah menemukan hasil temuan psikoanalisanya yang
berbalik arah dari apa yang ditemukan oleh Freud, menurutnya ada korelasi yang
sangat positif antara agama dengan kesehatan mental.
Berdasarkan dari paparan tersebut
diatas, jelas bahwa pendekatan antropologi dapat digunakan untuk mengetahui
beberapa hubungan antara agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia dan
demikian akan terlihat bahwa agama dapat dikorelasikan dengan berbagai fenomena
kehidupan manusia. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai
pranata social yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian pendekatan
antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran
agama tersebut terdapat pembahasan dan informasi yang dapat dijelaskan melalui
bantuan ilmu antropologi.
Dengan menggunakan pendekatan dan
perspektif antropologis tersebut dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan
fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah
terlepas dari adanya jaringan institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan
yang mendukung keberadaannya.
C. Kajian Antropologi Islam
Dalam kalangan pakar antropologi
sendiri, masing-masing pakar mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap
substansi kajian antropologi. Kecenderungan pertama
sebagian antropolog hanya memberikan perhatian pada kajian tentang fosil
manusia purba dan ukuran tengkorak mereka. Kecenderungan kedua memberikan perhatian pada kajian
tentang manusia pra-sejarah dan peninggalan mereka. Sedangkan kecenderungan ketiga memberikan perhatian pokok pada perilaku
aneh dalam tradisi bangsa-bangsa, terutama dalam perilaku seksual.
Fenomena agama adalah fenomena
universal manusia, walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi
dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam
masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan
menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat,
maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai
salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan
sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu
faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat
menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah
suatu fenomena abadi, akan memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak
lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik
keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan
realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Suatu
pendekatan yang berusaha menjelaskan keragaman kebudayaan pada tingkatan
tindakan keseharian harus selalu memperhitungkan persoalan bagaimana tindakan
itu dikerangka oleh kebudayaan. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri
di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang
lebih tua, selametan, perayaan megengan yang dilakukan sebelum datangnya bulan
ramadhan, telonan, tingkeban, nyambung tuwuh adalah sebuah bukti dari keterpautan
antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya
dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu
original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti
mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang
pasti dilingkari oleh budayanya.
Tradisi slametan suatu upacara makan yang terdiri atas
sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan do’a. Peserta slametan (orang
jawa) memandangnya sebagai ringkasan tradisi lokal, namun secara totalitas
slametan adalah peristiwa komunal, namun tiak mendefinikan komunitas secara
tegas; selamatan berlangsung melalui ungkapan verbal yang panjang dimana semua
orang setuju dengannya, walaupun hadirin secara peorangan belum sepakat akan
maknanya. Tetapi manakala upacara ini menyatukan semua orang dalam perspektif
yang bersama mengenai manusia, Tuhan, dan dunia, maka upacara yang dilakukan
tersebut tidak mewakili pendangan siapapun secara khusus. Apabila dilakukan
pengamatan tentang berbagai unsur dalam selamatan ini, maka selamatan merupakan
pola kompromi kebudayaan, sikap dan gaya retorik yang diwujudkannya dalam berbagai
variasi yang dibawa kedalam nuansa kehidupan keagamaan yang berbeda-beda.
Signifikansi selametan tergantung
pada apa dan bagaimana peserta selametan menggunakan konse-konsep kunci yang
sebagian berasal dari Islam. Sebagian menarik sebagai ajaran ortodok, ada pula
yang menempatkan konsep-konsep Islam dalam ajaran Jawa atau memahaminya sebagai
simbolisme universal manusia. Namun selametan juga mencerminkan suatu fungsi
kritis dari simbolisme dalam tatanan yang secara ideologis beranekaragam
kepentingan yang dapat mendorong kesadaran kolektif untuk menjadikan suatu
kesatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa selamatan sebagai “ambiguitas yang
teratur”.
Jika kembali pada persoalan
kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan
melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk
membantu mempelajari agama
secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman
aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris
dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya
agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi
keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan
yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus
diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka
pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari
pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya
dan masyarakat yang melingkupi
kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan
dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan
dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang
terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya
adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan
sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan
tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi,
berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang
kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan
hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk
mencari makna (meaning).
Kesulitan mempelajari agama
dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku
manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang
beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah
agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu
ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa
intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas
keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari
bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir
manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah
penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke
wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam
bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama
ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi
intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan
manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Secara garis besar kajian agama
dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist,
functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali
dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk
melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat
perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam
tradisi adalah dengan mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya
kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definisi
ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari
animisme sampai kepada agama monoteis.
Jamaluddin ‘Athiyyah, dalam
artikelnya di jurnal The
Contemporery Muslim menawarkan
bahwa obyek kajian dari antropologi Islam adalah sebagai berikut ini:
1. Penciptaan manusia, meliputi
awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian berkembang termasuk
teori evolusi Darwin sebagai komparasinya. Juga pertanyaan tentang apakah
sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan Iqbal, misalnya,
yang mengatakan dalam bukunya The
Reconstraction of Religious Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam
al Qur’an lebih banyak bersifat konsep tinimbang histories.
2. Susunan manusia, meliputi
susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati, mata hati dan
nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai dengan konsep
Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat, jin, hewan,
tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk
tersebut.
3. Macam-macam manusia, yaitu
perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa, perbedaan
bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
4. Tujuan diciptakannya manusia
dan apa misi yang dibawanya di atas bumi, pengkajian tentang ibadah, khilafah,
pembumidayaan dunia dan sebagainya.
5. Hubungan manusia dengan
semesta, yakni manusia sebagai pusat semesta dan pembahasan tentang lingkungan
hidup.
6. Hubungan manusia dengan
Tuhan-nya, yakni mengkaji tentang beragama manusia, peran nabi-nabi,
kitab-kitab suci dan ibadah.
7. Manusia masa depan, yang
mengkaji tentang rekayasa manusia masa depan yaitu tentang pembibitan buatan,
bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya.
8. Manusia setelah mati, yang
membahas bagaiman manusia setelah mati, serta apa yang harus ia persiapkan di
dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti.
Di Indonesia usaha para antropolog
untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali
karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an
menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di
Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya
trikotomi-santri, abangan dan priyayi di
dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan
analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara
agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan
budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat
lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa
dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir
Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz
tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh
terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik.
Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam
kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun
Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika
dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya
adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah
kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada
perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai
afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik
dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri
memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah
keagamaan.
D.
Aliran dan Tokoh Antropologi Islam
Setidaknya ada dua aliran dalam
antropologi yang kemudian banyak mempengaruhi antropologi modern. Aliran
pertama adalah aliran Inggris. Dengan memberi perhatin pada kajian tentang
hakikat-hakikat, eksprimen, serta deskripsi yang amat teliti tentang objek
kajian. Aliran ini dianut oleh banyak ilmuan Jerman dan Amerika. Dan aliran
kedua adalah aliran Perancis, yang menggunakan metode holistic analytic intellectualism.
Namun demikian, menurut Akbar S. Ahmad, pakar-pakar antropologi sosial tetap
saja hanya mencurahkan perhatian mereka pada sisi sosial kehidupan manusia.
Atau hubungan antara sesama manusia dalam sebuah lingkungan masyarakat tempat
mereka hidup. Sementara dimensi-dimensi lain yang demikian banyak tentang
kehidupan sosial dan peradaban, mereka tinggalkan.
Seperti disinggung sebelumnya,
timbulnya antropologi modern tidak terlepas dari kepentingan kolonialisme.
Ketika Napoleon menjajah Mesir, ia membawa serta sebanyak 150 ahli ilmu
pengetahuan, sebagian dari mereka adalah ahli sosiologi dan antropologi. Dari
tangan mereka kemudian diawali kajian-kajian antropologis terhadap
negara-negara jajahan di Asia, Afrika dan negara-negara sekitar lautan teduh.
Bukanlah sebuah kebetulan jika pakar-pakar antropologi Inggris yang paling
terkemuka pasca perang dunia I dan II adalah mantan pegawai di negara-negara
jajahan Inggris. Seperti Evan Pritchard, Leach dan Nadel. Bahkan yang terakhir,
menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat administrasi kolonial dalam penelitian
antropologisnya dengan memerintahkan polisi kolonial untuk mengumpulkan
penduduk sebagai objek questioner yang ia buat.
Jika antropologi modern lahir di
tangan ilmuan Barat, terutama kalangan missionaris dan pegawai administrasi
kolonial, itu tidak berarti bahwa antropologi adalah karya mutlak ilmuan Barat.
Sejarah ilmu pengetahuan justru mengukir dengan tinta emas bahwa ilmuan
Islamlah yang telah membangun dan menyusun konstruksi ilmu antropologi dan
ilmu-ilmu sosial lainnya. Tercatat nama-nama Ibn Khaldun, al Biruni, Ibn
Bathuthah, al Mas’udi, al Idrisi, Ibnu Zubair serta Raghib al Ashfahani yang
menulis kitab Tafshil ‘n Nasyatain wa Tahshil ‘s Sa’adatain. Pada era modern
ini, terdapat beberapa ilmuan Islam yang telah melakukan kajian antropologis,
seperti Dr. Bintu Syathi, ‘Abbas Mahmud al ‘Aqqad, Dr. Aminah Nushair, Abdul
Mun’im Allam, Muhammad Khadar, Dr. Zaki Isma’il, Dr. Akbar S. Ahmad, Kurshid
Ahmad, Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul Wafa at-taftazani, Al
‘Ajami dan ilmuan lainnya.
Karya Ibn Khaldun, dengan
teori-teori dan materi ilmiahnya, telah mendahului dan mengungguli karya-karya
ilmuan Barat seperti Karl Mark, Max Weber, Vilfredo Pareto, Ernest Gellner dan
ilmuan Barat lainnya. Teori kepemimpinan (typologi of leadership) yang
ditulis Weber, serta teori Pareto tentang sirkulasi
kepemimpinan (circulation
of elites) dalam masyarakat Islam, semua itu tak lebih dari modifikasi atas
teori-teori dan pemikiran yang telah digagas oleh Ibn Khaldun. Meskipun amat
disayangkan, usaha Ibn Khaldun tersebut tidak dilanjutkan oleh ilmuan pasca Ibn
Khaldun.
Menurut Akbar S. Ahmad, dari
sekian ilmuan Islam yang telah mencurahkan pemikiran mereka dalam bidang
antropologi tersebut, al Biruni berhak menyandang gelar Bapak antropologi.
Tentang alasan pemilihan al Biruni sebagai Bapak antropologi dijelaskan dengan
terperinci oleh Akbar S. Ahmad dalam tulisannya: Al-Biruni: The First
Anthropologist. Al Biruni,
menurut Akbar lagi, adalah ilmuan antropologi sejati dengan ukuran
karakteristik yang paling tinggi sekalipun. Dan buku yang ditulis al Biruni
tentang India yang berjudul Kitab Al Hind, terus menjadi salah satu referensi
yang paling penting tentang Asia Selatan. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, adalah ilmu-ilmu
yang lahir di tangan ilmuan muslim sekitar seribu tahun sebelum ilmuan Barat
mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka ketika umat Islam kembali mempelajari ilmu-ilmu
tersebut, yang dilakukannya adalah semacam “menemukan kembali” apa yang
sebelumnya dimiliki
E. Membangun kembali Antropologi
Islam
Usaha terberat ilmuan muslim
untuk membangun antropologi Islam adalah bagaimana mengelaborasi warisan
antropologis yang telah ditinggalkan oleh ilmuan muslim terdahulu, kemudian
merekonstruksi warisan keilmuan itu dalam format keilmuan modern. Oleh karena
itu, seperti disarankan oleh Akbar S. Ahmad, bahwa ilmuwan muslim tidak harus
membuang seluruh kajian ilmuan Barat. Setidaknya, kreatifitas yang telah mereka
hasilkan bisa dijadikan bahan komparatif untuk langkah-langkah yang akan
dilakukan oleh antropologi Islam. Yang dapat dilakukan kemudian adalah
melakukan Islamisasi ilmu
pengetahuan sebagaimana yang
digagas oleh Al Faruqi. Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dilakukan dengan
tujuan-tujuan, seperti didefinisikan oleh Al Faruqi yaitu dengan melakukan
penguasaan-penguasaan, antara lain : a. Penguasaan disiplin ilmu modern, b.
Penguasaan warisan Islam, c. Penentuan relevensi khusus Islam bagi setiap
bidang pengetahuan modern, d. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan
kreatif antara warisan dan pengetahuan modern, e. Pengarahan pemikiran Islam ke
jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiah dari Allah.
Oleh Al Faruqi, konsep tersebut
dijabarkan dalam 12 langkah sistematis untuk mengislamisasikan ilmu
pengetahuan. Kedua belas langkah tersebut yaitu:
1. Penguasaan
didiplin ilmu modern. Pada fase ini, disiplin ilmu modern harus dibagi menjadi
kategori, prinsip, metodologi, masalah dan tema.
2. Survei displin
ilmu. Setelah kategori-kategori dari disiplin-disiplin itu dibagi-bagi, suatu
survei pengetahuan harus ditulis mengenai masing-masing disiplin itu.
3. Penguasaan
warisan Islam. Warisan Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi di
sini yang diperlukan adalah bunga rampai mengenai warisan Muslim yang
menyinggung masing-masing disiplin tersebut.
4. Penguasaan warisan Islam.
Setelah bunga rampai selesai dipersiapkan, warisan Islam harus dianalisis dari
perspektif masalah-masalah masa kini.
5. Penentuan
relevansi khusus antara Islam dengan disiplin ilmu.
6. Penilaian kritis
terhadap disiplin modern. Begitu relevansi Islam dengan masing-masing disiplin
ditentukan, dia harus dinilai dan dianalisis dari sudut pandang Islam.
7. Penilaian kritis
terhdap warisan Islam. Begitu juga, sumbangan warisan Islam dalam setiap bidang
aktivitas manusia harus dianalisis dan relevansi masa kininya harus ditemukan.
8. Survei terhadap
masalah-masalah utama yang dihadapi ummah. Suatu kajian sistematis tentang
masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, moral dan
spiritual Muslim.
9. Survei
masalah-masalah kemanusiaan. Suatu kajian yang serupa, tetapi lebih terpusat
pada seluruh umat manusia, juga harus dibuat.
10. Analisis dan sintesis kreatif.
Pada tahap ini, pada sarjana Muslim sudah harus siap untuk memadukan warisan
Islam dengan disiplin-disiplin ilmu modern dan mendobrak kemandegan pembangunan
selama berabad-abad.
11. Menyusun kembali disiplin
ilmu modern ke dalam kerangka Islam. Begitu keseimbangan antara warisan antara
warisan Islam dan disiplin ilmu modern berhasil dicapai, buku daras Universitas
harus ditulis untuk menyusun disiplin-disiplin ilmu modern dalam cetakan Islam.
12. Menyebarkan pengetahuan
Islam. Karya intelektual yang dihasilkan dari langkah-langkah sebelumnya harus
digunakan untuk membangunkan, menerangi dan memperkaya umat manusia.
Meskipun gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan seperti yang ditawarkan al Faruqi tersebut dikritik oleh beberapa
orang ilmuan muslim sendiri, namun gaung gagasannya tersebut telah menggema ke
seluruh dunia Islam. Di Malaysia telah didirikan ISTAC, di Indonesia didirikan
ISTECS, dan untuk skala internasional telah berdiri International Institute of
Islamic Thought (IIIT), atau di dunia Arab dikenal dengan Ma’had ‘Alami lil Fikri aI islami untuk mengembangkan lebih lanjut
gagasan Al Faruqi untuk mengislamkan ilmu pengetahuan tersebut. Alternatif
lainnya adalah merekonstruksi antropologi Islam dengan secara kreatif
menciptakan teori, metodologi dan teknis sendiri. Tanpa menafikan secara total
pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Untuk mewujudkan hal itu, kita dapat
menggunakan tiga ciri pembeda pengetahuan, yakni tentang: apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
diketahui, disusun dan dimanfaatkan.
Usaha yang lebih meluas adalah
membentuk sebuah konsep keilmuan Islam, yang mencakup tidak saja antropologi
namun juga ilmu-ilmu sosial lainnya. Jamaluddin ‘Athiyyah menawarkan apa yang
ia namakan dengan ilmu umm mother knowledge, yang darinya filsafat ilmu Islam
digagas. Ilmu ini terdiri dari tauhid sebagai pokok dari sekalian ilmu. Darinya
akan berkembang ilmu-ilmu lain sebagai margin-margin yang menyerap cahaya ilmu
umm tersebut.
Secara cerdas, dengan substanssi
yang sama, Ziauddin Sardar menawarkan untuk membentuk world View/weltanschauung
Islam. Dalam konsep ini, epistemologi Islam disusun dari sintesa aqidah,
syari’ah dan akhlak. Epistemologi ini akan menjadi aksis bagi sistem pandangan
dunia Islam yang mencakup Sains dan tekhnologi, struktur politik dan sosial,
usaha ekonomi, serta teori lingkungan.
Kemudian, setelah sistem
pandangan dunia Islam tersebut dapat dirumuskan, langkah-langkah yang dapat
dilakukan adalah:
Mengembalikan wahyu sebagai
sumber antropologi. Dari al Qur’an dan Hadist ditelusuri konsep-konsep maupun
petunjuk tentang antropologi Islam. Nash-nash tersebut, sebagian memberikan
kata putus pada beberapa masalah antropologis, dan sebagian lain hanya
memberikan tuntunan dalam kajian antropologi. Di sini, dibutuhkan suatu usaha
untuk mengklasifikasikan sumber-sumber tersebut dan kemudian menyimpulkan inti
sari dari petunjuk- petunjuk tersebut, sehingga dihasilkan petunjuk konsep
antropologis Islami yang utuh.
Menjadikan tauhid sebagai dasar
teoritis-metodologis dalam melakukan riset-riset ilmiah. Dalam langkah ini,
konsep-konsep antropologi Barat yang materialis dibersihkan dari unsur-unsur
materialisme dan atheisme, kemudian ditiupkan didalamnya konsep tauhid sebagai
ganti dari kecenderungan materialis dan atheis tersebut.
Membebaskan anggitan keilmuan
antropologi dari metodologi empiris yang terbatas. Sebaliknya, dalam anggitan
antropologi Islam yang kita gagas menggunakan multi metodologi; induksi,
deduksi, exprimental, historis, palsafi, dan tekstual.
Menciptakan kedisiplinan ilmiah
dan membebaskan riset ilmiah dari pengaruh ideologis. Konsep antropologi Barat
yang amat dipengaruhi oleh paktor ideologis, pada gilirannya menghasilkan
kajian antropologis yang terbias oleh faktor ideologis yang dianut oleh
periset. Sehingga M. Grauvitz dalam bukunya Methodes de Sciences Sociales
mengatakan: Objektifitas
secara utuh dalam antropologi mustahil diwujudkan, dan usaha untuk menciptakan
suatu kesimpulan bersama terhadap suatu fenonema adalah suatu usaha yang
sia-sia. Maka, dalam kajian antropologi Islam harus dibedakan secara tegas
antara faktor ideologis diri dan kejujuran ilmiah terhadap riset yang ia
jalankan.
Mengembalikan unsur moral/akhlak
dalam riset ilmiah. Dalam konsep-konsep antropologi Barat, manusia
“ditelanjangi” dari nilai-nilai yang ia pegang serta kecenderungannya, maka
dalam konsep antropologi Islam unsur akhlak ini dimasukan sebagai bagian dari
konsep tersebut.
Membedakan antara yang sakral
yang profan dalam kajian antropologis. Dalam konsep antropologi Barat kenisbian
nilai telah menjadi taken for granted, dan tanpa membedakan antara yang sakral
dengan yang profan. Sedangkan dalam konsep antropologi Islam unsur ini amat
diperhatikan. Karena Islam mengatur kehidupan manusia dari semua segi; materi,
ruhani, intelektualitas dan akhlak yang berpedoman pada ajaran-ajaran yang
konstan (tsabit), sehingga bentuk perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam
tatanan masyarakat yang telah menyimpang dari nilai-nilai yang konstan ini
tidak akan diterima sebagai suatu kondisi final suatu masyarakat 30.
Setelah langkah-langkah di atas
dilaksanakan, maka kita sudah mendapatkan sebuah konsep antropologi Islam yang
utuh. Namun dengan terciptanya sebuah konsep tidak serta merta menghasilkan apa
yang diinginkan jika tidak dilakukan langkah aplikatif yang real. Oleh karena
itu, untuk mewujudkan secara real konsep-konsep antropologi Islam, Akbar S.
Ahmad menyarankan untuk menulis sejarah sosial yang ringkas tentang sirah
Rasulullah Saw. yang bisa dipahami oleh pembaca muslim maupun non-muslim.
Sehingga dari sejarah masyarakat Islam ideal tersebut dapat ditarik suatu
konsep tentang masyarakat Islam yang dicita-citakan.
F. Kesimpulan
Berdasarkan dari pemaparan dan
pengkajian tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa; antropologi Islam
adalah suatu ilmu yang mempelajari dan mengkaji tentang manusia yang meliputi
asal-usul manusia dan perkembangannya secara biologis, secara fisik, bahasa,
kebudayaan, dan asas-asas kebudayaan suku-suku bangsa sesuai dengan ajaran
Islam.
Pengkajian terhadap antropologi
Islam tidak dapat dilepaskan dengan kebudayaan, karena agama adalah fenomena
universal yang menyangkut seluruh peristiwa perubahan sosial manusia, sehingga
kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang
penting seiring dengan perkembangan perubahan manusia. Karena sifat
universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan
lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya, dan demikian pula
sebaliknya.
Agama adalah suatu fenomena abadi
manusia yang secara langsung memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak
lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik
keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya. Agama Islam adalah agama yang
diperuntukkan untuk mengatur manusia menuju kehidupan yang lebih baik, sehingga
pemahaman terhadap agama harus dilakukan melalui pengamatan secara empiris
tentang manusia itu sendiri. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang
agama tidak akan menjadi sempurna.
REFERENSI
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. ll, cet. l, Jakarta, Balai Pustaka, 1991.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I dan II,
cet. III, penerbit: Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.