Persepsi Komunitas Baduy terhadap
Perbankan Syariah
Studi Kasus di Kampung Kaduketug,
Desa Kenekes Kec. Leuwidamar, Kab. Lebak, Provinsi Banten
Oleh: Abdurrahman MBP
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan
perbankan syariah hingga saat ini masih kurang menunjukkan pertumbuhan yang
menggembirakan, baik jaringan maupun volume usaha, dibandingkan dengan
pertumbuhan bank konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah bank syariah
yang masih sedikit khususnya di daerah-daerah terpencil Indonesia.
Pendirian
bank syariah, merupakan suatu indikasi akan kemudharatan system bunga atau
riba. Hal ini ditegaskan dengan lahirnya fatwa MUI (16-12-2003) tentang
haramnnya berbagai bunga yang dikukuhkan Januari 2004. Keluarnya beberapa fatwa
MUI tentang ekonomi syariah, lebih mengukuhkan eksistensi perbankan syariah di
tengah prosesi pertumbuhan kegiatan usaha perbankan syariah di semua nusantara.
Eksistensi perbankan sebagai layanan jasa keuangan berbasis pada kepercayaan nasabah.
Bank
syariah mulai eksis setelah undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan
Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan mengakui keberadaan bank
konvensional dan bank syariah secara berdampingan ( dual banking sistem ).
Berdasarkan undang-undang tersebut bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
syariah yang memungkinkan kegiatan bank syariah menjadi lebih leluasa atau
luas. Eksistensi bank syariah bahkan semakin di perkuat dengan adanya undang-undang
Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah menjadi
Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 ( UU BI ). Penetapan Undang-undang ini
memungkinkan diterapkannya kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Dalam
menjalankan aktivitas bank, Bank syariah menganut prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1.
Prinsip keadilan.
Prinsip
ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan
margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah.
2.
Prinsip kesederajatan.
Bank
syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank
pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban,
resiko dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah
pengguna dana maupun bank.
3.
Prinsip ketentraman
Produk-produk
bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah muamalah Islam, antara lain
tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah
akan merasakan ketentraman lahir dan bathin Pelaksanaan prinsip-prinsip diataslah
yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional,
sebagaimana telah ditulis Dixon (1992) : .....the basic difference between
islamic and western banks is that the former operate on an aquity-based system
in which a predetermined rate of return is not guaranteed, whilst in the latter
case the system is based on enterest financing. This fundamental difference
stems from the sharia’s prohibition of riba ( usury or interest ) and gharar
(uncertainty, risk or speculation)”.
Konsep
riba tersebut sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami perkembangan
makna. Visser ( 1998 ), misalnya mengungkapkan perkembangan pengertian riba
tersebut. “ the concept of ‘usury’ has a long historical life, throughout
most of charging financial interest in excess of the principal a mount of a
loan, although in some instances, and more especially in more recent times, it
has been interpreted as interest above the legal or socially acceptable rate”
Pemungutan
riba dengan jelas dan tegas telah diharamkan Allah, sebagaimana termaktub dalam
Al-qur’an surah 2 : 278- 279 : “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba ( yang belum di pungut ) jika kamu
orang-orang yang beriman, maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertobat ( dari pengambilan riba ) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Pelarangan
riba ini tentunya terkait dengan keburukan-keburukan praktik riba. Yusuf
al-Qardawi mengemukakan setidaknya ada empat alasan pelarangan riba, yakni:
1.
Taking interest implies taking another person’s
property without giving him anything in exchange. The lender receives something
for nothing.
2.
Dependence on interest discourages people from
working to earn money. Money lent at interest will not be used in industry,
trade or commerce, all of which need capital, thus depriving society of
benefits.
3.
Permitting the taking of interest discourages
people from doing good. If interest is prohibited, people will lend to each
other with goodwill expecting nothing more back than they have loaned.
4.
The lender is likely to be wealthy and the
borrower poor. The poor will be exploited by the wealthy through the charging
of interest on loans. (Journal Ali Mutasowifin. 2003 ).
Kenyataan
ini harus diakui merupakan ironi, mengingat masyarakat Lebak mayoritas beragama
Islam, tetapi belum menunjukkan persepsi yang baik terhadap perbankan syariah.
Kehadiran bank syariah, ternyata belum mampu mengalihkan secara signifikan
persepsi nasabah bank konvensional ke bank syariah. Permasalahan tersebut
diidentifikasi dalam cetak biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia Bank
Indonesia (2002) sebagai hal-hal penting yang harus diperhatikan, dalam upaya
mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal-hal penting tersebut adalah
:
1.
Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap.
2.
Cakupan pasar yang masih terbatas
3.
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai produk dan jasa perbankan syariah
4.
Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif
5.
Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal
6.
Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi perbankan syariah yang masih
perlu ditingkatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...