Senin, 21 Februari 2022

TENTANG WAYANG

Oleh: Abdurrahman Misno


 Kembali masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita viral terkait dengan ucapan seorang dai yang “mengharamkan” wayang dan menganjurkan untuk memusnahkannya. Berita ini semakin panas karena dibantah dengan sangat keras oleh budayawan serta tokoh Islam yang terkenal dengan pembelaannya terhadap tradisi. Walaupun ucapan maaf dan klarifikasi sudah disampaikan oleh sang da’i, namun berita ini masih hangat diperbincangkan di tengah masyarakat. Beberapa da’i lain mencoba memberikan jalan tengah dengan mengungkapkan bahwa patung yang berbentuk secara jelas seperti berhala itu yang diharamkan dalam Islam, sementara wayang yang ada di Indonesia justru pada masa lalu digunkana oleh para da’i untuk menyebarkan Islam. Lantas, bagaimana sebenarnya kita sebagai umat Islam menyikapi tentang wayang?

Islam hadir di persada Nusantara ketika masyarakatnya sudah memiliki keyakinan dan berbagai system kepercayaan. Keyakinan kuno yang kemudian dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha menjadi fenomena nyata ketika Islam tiba. Maka tidak mudah untuk menyebarkan Islam kepada mereka yang telah memiliki keyakinan, perlu adanya strategi dan ijtihad dakwah agar mereka tertarik kepada Islam. Salah satunya adalah wayang yang menjadi tradisi dan kebiasaan masyarakat khususnya di pulau Jawa. maka para da’i memanfaatkannya sebagai wasilah (sarana) dalam menyebarkan Islam. Tentu saja modifikasi dan penyesuaian secara perlahan dengan keyakinan Islam dilakukan dengan tetap memperhatikan hal-hal sensitif di masyarakat yang belum boleh diganggu untuk sementara waktu.

Sejatinya penggunaan wasilah dakwah dan budaya lokal dilakukan dalam berbagai sendi dalam menyebarkan Islam. Bentuk bangunan masjid di Nusantara yang berbeda dengan masjid di India dan Timur tengah adalah bukti nyata yang saat ini masih terlihat adanya. Masjid Kudus dengan menaranya yang mirim dengan candi, serta bentuk atap masjid yang tidak menggunakan kubah adalah satu cara mendekatkan Islam kepada masyarakat. Demikian pula di wilayah Jawa, khususnya di Kudus, kurban tidak menggunakan sapi, karena pada masa itu sapi adalah binatang suci yang tidak boleh disembelih. Demikian pula penggunaan kebaya oleh para wanita Jawa yang merupakan adaptasi dari abaya timur tengah juga menjadi cara dalam menyebarkan Islam secara elegan dan perlahan. Masih banyak lagi berbagai sendi budaya di Nusantara yang digunakan oleh para dai dalam menyebarkan Islam di persada ini.

Tentang wayang, sebagai budaya yang ada di tengah masyarakat dan sudah mandarah daging tentu tidak mudah untuk meninggalkannya. Sehingga para dai memanfaatkannya untuk merubah keyakinan masyarakat dengan memasukan berbagai unsur Islam di dalamnya. Keyakinan mengenai dewa-dewa secara perlahan disisipi dengan adanya para Nabi dan Rasul di dalamnya. Demikian pula keyakinan adanya kayangan, yaitu alam di atas sana kemudian didekati dengan Jannah (surga) yang menjadi keyakinan dalam Islam. Neraka yang ada dalam keyakinan Islam sebagai tempat kembali orang-orang yang berdosa pun dimasukan ke dalam budaya wayang hingga secara perlahan para penonton terbawa dalam keyakinan Islam.

Tradisi wayang terus berlanjut sampai sekarang, walaupun peminatnya semakin berkurang tapi trend kebangkitan kembali kearifan lokal (local wisdom) memunculkan beberapa komunitas yang memperjuangkan tradisi lokal, termasuk juga wayang. Sementara di tengah masyarakat sudah banyak dalang wayang yang beragama Islam dan mempelajari Islam dengan baik sehingga mereka memasukan lebih banyak lagi unsur Islam ke dalam pertunjukan wayangnya. Misalnya dari segi penampilan, jika dulu dalang hanya menggunakan blankon saja, maka dalang sekarang ada yang menggunakan sorban di pundaknya dan sindennya pun sudah memakai kerudung. Belum lagi pertunjukan wayangnya yang diiringi dengan shalawatan serta pujian pada Ar-Rahman.

Sementara Gerakan Tajdid dan pembaharuan Islam dari kalangan modernis Islam yang berasal dari timur tengah semisal Mesir, Saudi Arabia, Yaman dan sekitarnya juga telah masuk ke Indonesia dengan pola pemahaman yang lebih tekstual dan ketat. Merujuk pada sejarah kelahiran dari Gerakan-gerakan ini memang tidak menempatkan budaya dalam dakwah mereka karena pemahaman yang cenderung tekstual. Dari segi pakaian misalnya mereka akan tampak berbeda dengan umat Islam pada umumnya, memakai celana cingkrang dan berjenggot bagi laki-laki serta memakai cadar dan jilbab lebar bagi para perempuannya. Lebih dalam lagi adalah keyakinan, kepercayaan dan amal ibadah yang dilakukan memang sedikit berbeda dengan amalan umat Islam kebanyakan di Indonesia yang bermadzhab syafi’i. hasilnya berbagai konflik baik skala kecil atau besar sering sekali terjadi, dari mulai perdebatan sengit, hingga pembakaran pesantren dan pelarangan pembangunan masjid. Berita viral di mana salah satu dari dai mereka mengharamkan wayang hanya satu bagian dari keyakinan mereka.

Bagaimana kita sebagai umat Islam dalam menyikapinya? Pertama kita harus belajar terlebih dahulu tentang agama Islam secara benar. Pahami betul-betul setiap dimensi dari Islam, mulai dari aqidah yang shahihah, syariah yang mutaba’ah serta muamalah yang mashlahah. Kedua, memahami waqi’ (kenyataan dan fakta) yang terjadi di masyarakat sebagai pertimbangan dalam menyampaikan setiap kebenaran. Karena faktanya tidak semua kebenaran yang disampaikan itu mendapatkan sambutan yang menyenangkan. Bisa jadi justru karena caranya tidak tepat, waktunya tidak sesuai serta belum siapnya masyarakat menerima kebenaran itu. Kita tidak mengecilkan mengenai tantangan dakwah, tapi bila caranya tidak benar tentu bukan tantangan tapi efek dari kebodohan dalam menyampaikan yang harus disalahkan. Ketiga adalah memahami prinsip amar makruf nahi mungkar dalam Islam serta yang telah dirumuskan oleh para ulama. Konteks masyarakat Indonesia yang masih terus belajar Islam haruslah kita pahami dan dakwah dilakukan dengan perlahan.

Kembali tentang wayang, jika pada masa lalu wayang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat di Nusantara sehingga para dai memanfaatkannya untuk berdakwah maka saat ini wayang juga masih ada di tengah masyarakat dan umat Islam, bahkan beberapa komunitas kembali menghidupkan tradisi lokal termasuk wayang. Hal ini didukung oleh pemerintah yang mencoba menghidupkan berbagai tradisi, baik untuk kepentingan karakter bangsa ataupun pariwisata yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan. Intinya adalah wayang masih ada di masyarakat dan dijadikan sebagai budaya bangsa. Sehingga kita sebagai dai harus betul-betul berhati-hati dalam menyikapinya, menafsir ulang mengenai makna suurah yang dilarang dalam Islam menjadi satu alternatif yang bisa dilakukan. Walaupun ini juga akan mengundang diskusi juga dari para cendekiawan. Sementara menjadikannya wasilah dakwah seperti yang dilakukan oleh dai terdahulu juga sudah dilakukan oleh para dalang yang juga memahami sebagian ajaran Islam. Selain itu menjadikannya sebagai sebuah budaya bangsa serta memberikan ruang bagi mereka menjadi jalan yang lebih bijaksana tentunya.

Inilah yang menjadi pilihan saya (penulis), bahwa wayang sebagai bagian dari budaya masyarakat yang saat ini masih ada hendaklah diberikan ruang khususnya bagi mereka yang masih menyukai atau melestarikannya. Secara perlahan teruskanlah dakwah Islam dengan memberikan pemahaman mengenai aqidah yang benar, syariah yang mashlahah serta akhlak yang mulia. Termasuk bagian dari akhlak yang mulia adalah bermuamalah dengan para peminat dan pelestari wayang, dengan memberikan berbagai pencerahan tentang Islam sehingga secara perlahan budaya ini tidak lagi bertentangan dengan unsur-unsur yang diharamkan oleh Islam. Perlahan dan secara bertahap, entah sampai kapan? Mungkin sampai kita dipanggil oleh Ar-Rahman, tapi kita harus yakin bahwa tugas kita adalah menyampaikan hasilnya kita serahkan kepada Allah Ta’ala Dzat Yang Maha Rahman. Wallahu a’lam. 21022022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...