Oleh : Abu Aisyah
1. Definisi Takhrij
Membahas tetang pengertian dari takhrij, maka ada tiga istilah yang berkaitan erat dengan istilah takhrij, yaitu kata takhrij (تخريج), ikhraj (إخراج), dan istikhraj (إستخراج). Kata takhrij secara etimologi berasal dari kata kharaja-yakhruju-khurujan (خَرَجَ يَخْرُجُ خُرُوجاً ومَخْرَجاً), yang berarti tampak atau jelas[1]. Kata ini memiliki pecahan kata dalam bentuk isim makan yaitu al-makhraj yang berarti tempat keluar. Bentuk lain dari kata kharaja :
Kharraja, akhraja dan akhtaraja yang bermakna lawan dari memasukan, yaitu mengeluarkan.[2] Dikatakan “akhraja al-hadits wa kharajahu” artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[3]
Mahmud al-Thahan dalam kitabnya Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, menjelaskan bahwa at-takhrij menurut pengertian asal bahasanya adalah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu الإستنباط (mengeluarkan dari sumbernya), التدريب (melatih atau membiasakan), dan التوجيه (mengarahkan dan menjelaskan duduk persoalan)[4].
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. Dalam pengertian yang lebih lengkap disebutkan bahwa Takhrij adalah :
عَزْوُ الاحَادِيْثِ الّتِى تُذْكَرُ فِي المُصَنَّفاَتِ مُعَلَّقَةً غَيْرَ مُسْنَدَةٍ وَلا مَعْزُوَّةٍ اِلَى كِتاَبٍ اَوْ كُتُبٍ مُسْنَدَةٍ اِمَّا مَعَ الْكَلاَمِ عَلَيْهَا تَصْحِيْحاً وَتَضْعِيْفًا وَرَدًّا وَقَبُوْلاً وَبَيَانِ مَافِيْهَا مِنَ اْلعِلَلِ وَاِمَّا بِالاِقْتِصَارِ عَلَى الْعَزْوِ اِلَى الاُصُوْلِ
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadits-hadits yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadits-hadits tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekadar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumber) nya.[5] Sementara Mahmud al-Thahan mendefinisikan takhrij al-hadits dengan :
التخريج هو الدلالة على موضع الحديث فى مصادره الاصلية التى اخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الحاجة
Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadits dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan.[6]
Ketiga definisi tersebut saling melengkapi pengertian dari takhrij al-hadits. Intinya bahwa takhrij adalah kegiatan mencari sumber asli dari suatu hadits yang belum diketahui keshahihannya. Perluasan dari makna takhrij adalah :
a. Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan penyampaian) hadits.
b. Penukilan hadits dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu.
c. Mengutip hadits-hadits dari kitab-kitab fan (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan sanad-sanadnya.
d. Membahas hadits-hadits sampai diketahui martabat kualitasnya (maqbul-mardudnya).
Dari sini kita dapat pahami bahwa takhrij hadits memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kajian ilmu hadits. Dengannya akan diketahui siapa mukharij yang mengeluarkan hadits tersebut dan derajatnya, sehingga kita akan mengetahui apakah suatu hadits bisa diterima dan diamalkan atau tidak.
2. Latar Belakang Munculnya Ilmu Takhrij al-Hadits
Pada awalnya ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan mantap. Selain itu, hubungan para ulama dengan sumber hadits aslinya pada waktu itu sangat dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits, mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai kitab hadits. Mereka mengetahui cara-cara kitab sumber hadits itu ditulis, sehingga dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki mereka tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengemukakan suatu hadits. Apabila dibacakan kepada mereka suatu hadits yang bukan dari kitab hadits, maka dengan mudah mereka menjelaskan sumber aslinya.
Beberapa abad kemudian, para ulama hadits merasa kesulitan untuk mengetahui hadits dari sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang Syari'ah yang banyak menggunakan hadits sebagai dasar ketetapan hukum, begitu juga dengan ilmu-ilmu yang lain seperti Tafsir, Sejarah, dan lainnya. Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama untuk melakukan takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan hadits kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan menentukan kualitas hadits sesuai dengan kedudukannya. Hasil jerih payah para ulama itu memunculkan kitab-kitab takhrij, di antaranya yang terkenal adalah :
· Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi’I (wafat 548 H). Kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi’I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
· Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
· Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’i (wafat 762 H).
· Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila’i. [Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi
· Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi’ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi’i; karya Umar bin ‘Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
· Al-Mughni ‘an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa’ minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-‘Iraqi (wafat tahun 806 H).
· Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-‘Iraqi juga.
· At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi’I; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (wafat 852 H).
· Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya Al-Hafidh Ibnu Hajar.
· Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya ‘Abdurrauf Ali Al-Manawi (wafat 1031 H).
· Fawaid al-Muntakhabah al-Shahah karya Abu Qasim al-Husaini, Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shahah wa al-Gharaib karya Abu Qasim al-Mahrawani.
Kitab-kitab takhrij tersebut adalah sebagai bukti perhatian para ulama terhadap ilmu hadits. Dalam perkembangan berikutnya bermunculan berbagai jenis buku yang memiliki karakteristik masing-masing namun tetap dalam rangkaian takhrij terhadap hadits-hadits nabi.
3. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadits itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadits.[7]
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadits dan ilmu hadits. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadits di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para Ulama pengkodifikasi hadits.
Dengan mengetahui hadits tersebut dari sumber aslinya, maka akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya. Dengan demikian Takhrij hadits bertujuan mengetahui sumber asal hadits yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadits-hadits tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadits-hadits yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadits yang berlaku. Sehingga hadits tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya. Secara ringkas dapat disebutkan bahwa manfaat dari takhrij Hadits antara lain sebagai berikut :
1. Dapat diketahui banyak atau sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang sedang menjadi topik kajian.
2. Dapat diketahui status hadits sahih li dzatih atau sahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairi dan yang lainnya. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadits mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.
3. Memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadits dha`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadits tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
4. Memperjelas perawi yang samar, karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
5. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
6. Memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya.
7. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
8. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.
9. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.
10. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadits tersebut adalah makbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadits tersebut mardud (ditolak).
11. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik dari segi sanad maupun matan
Manfaat dari ilmu takhrij hadits sangat banyak sekali sehingga sudah sewajarnya setiap cendekiawan muslim untuk memperhatikan ilmu ini dan mempelajarinya serta mengembangkannya sehingga akan jelas derajat suatu hadits.
4. Metode Takhrij Al-Hadits
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari ayat al-Qur'an. Untuk mencari ayat al-Qur'an cukup dengan sebuah kamus seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim dan sebuah mushaf al-Qur'an. Sedangkan hadits, karena ia terhimpun dalam banyak kitab, diperlukkan waktu yang lebih lama untuk menelusurinya sampai sumber asalnya. Meskipun begitu, para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanyalah merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athraf, dan lain-lainnya.
Ada beberapa metode yang digunakan oleh para ulama dalam mentakhrij suatu hadits, di antara metode tersebut adalah Al-Naql atau Al-Akhdzu, Tashhih dan I’tibar. Berikut adalah penjelasannya :
1. Takhrij An-Naql atau Akhdzu.
Takhrij dengan metode seperti ini adalah dengan cara penelusuran, penukilan dan pengambilan hadits dari beberapa kitab/diwan hadits (mashadir al-asliyah), sehingga dapat teridentifikasi hadits-hadits tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing. Berbagai cara pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para ahli hadits, diantaranya yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan yg menyebutkan lima tekhnik dalam menggunakan metode takhrij sebagai al-Naql sebagai berikut :
a. Takhrij dengan mengetahui nama shahabat Nabi sebagai perawi hadits pertama.
b. Takhrij dengan mengetahui lafadz awal suatu teks (matan) hadits.
c. Takhrij dengan cara mengetahui lafazh matan hadits yang kurang dikenal dan menjadi karakter khusus hadits tersebut.
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits.
Kelima metode ini dapat digunakan secara mandiri ataupun secara bersama-sama, tentunya pemilihan metode takhrij akan disesuaikan dengan riwayat yang akan ditakhrij. Berikut adalah penjelasannya :
a. Takhrij dengan mengetahui nama shahabat Nabi sebagai perawi hadits pertama.
Metode ini digunakan apabila nama shahabat Nabi yang menjadi rawi pertama itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij. Apabila nama shahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai. Apabila nama shahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dalam mencarinya menggunakan tiga macam kitab, yaitu :
(1.) Kitab-kitab Musnad
(2.) Kitab-kitab Mu’jam
(3.) Kitab-kitab Athraf.
Penelusuran nama shahabat Nabi yang meriwayatkan tertulis dalam kitab-kitab tersebut sesuai dengan karakteristik jenis kitab masing-masing. Jumlah kitab musnad, mu’jam dan athraf yang cukup banyak sangat memungkinkan bagi pentakhrij untuk menemukan sebuah riwayat yang dibawakan oleh seorang shahabat Nabi Muhammad shalallahu Alaihi wasalam.
Kitab-kitab Masanid/Musnad adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan nama shahabat, atau hadits-hadits para shahabat yang dikumpulkan secara tersendiri. Dengan mengetahui satu nama shahabat nabi yang meriwayatkan maka dapat kita telusuri dalam kitab musnad riwayat tersebut serta riwayat lainnya yang dibawakan oleh shahabat nabi tersebut. Kitab-kitab Musnad yang ditulis oleh para ahli hadits itu sangatlah banyak, sebagian diantaranya adalah :
1) Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 - 241 H).
2) Al-Musnad Abu Baqr Sulaiman ibn Dawud al-Thayalisi.
3) Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
4) Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
5) Al-Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
6) Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H).
7) Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307 H).
8) Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H ).
9) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani ( wafat 287 H ).
10) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani ( wafat 243 H ).
11) Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari ( wafat 282 H ).
12) Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai ( wafat 303 H ).
13) Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari ( wafat 280 H ).
14) Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin ( wafat 228 ).
15) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ).
16) Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ).
17) Al-Musnad oleh Imam Hawarizni ( wafat 425 H ).
18) Al-Musnad oleh Imam Ibnu Natsir ar-Razi ( wafat 385 H ).
Selain kitab-kitab musnad tersebut ada beberapa kitab musnad lainnya yang menuliskan seluruh hadits nabi sesuai dengan urutan perawinya, dimuali dari para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
Kitab Al-Ma’aajim /Mu’jam adalah kitab yang ditulis menurut nama-nama shahabat, guru, negeri atau yang lainnya, nama-nama tersebut diurutkan secara alfabetis. Sehingga memudahkan bagi para pentakhrij hadits untuk mencari sebuah riwayat yang dibawakan oleh para perawi awal tersebut beserta dengan informasi tentanngnya. Di antara contoh Kitab-kitab ma’ajim adalah :
a. Al-Mu'jam Al-Kabir Oleh At-Tabrani (W 320 H) tersusun berdasar musnad sahabat, mencakup 60.000 hadits.
b. Al-Mu'jam Al-Ausath, yang tersusun berdasar pada nama-nama para syaikh dari pengarangnya. Ada kurang lebih 1.000 orang dan 30,000 hadits.
c. Al-Mu'jam As-Saghir, menncakup dari apa yang disandarkan pada 1.000 syaikhnya.
d. Mu'jam sahabat, oleh Al-Hamdani ( W 398 H ).
e. Mu'jam sahabat, oleh Abu Ya'la Al-Mausuli ( W 307 H ).
Kitab-kitab mu’jam ini menjadi tempat untuk mencari seorang periwayat hadits yang telah membawakan sebuah riwayat dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam.
Kitab Athraf[9] adalah kitab yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadits yang menunjukan keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya, baik secara keseluruhan atau dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu. Kitab ini biasanya mengikuti musnad shahabat. Penggunaan kitab-kitab athraf ini akan lebih efektif jika pentahkrij mengetahui potongan dari sebuah riwayat yang akan ditakhrijnya. Hal ini sisebabkan kitab-kitab tersebut hanya memuat potongan dari suatu riwayat hadits saja. Adapun Kitab-kitab Athraf yang bisa digunakan diantaranya adalah :
1) Atraf Sahihain, oleh Ad-Dimsyiqi ( W 4001 H)
2) Atraf Sahihain, oleh Al-Washiti ( W 4001 H)
3) Al-Asyraf 'Ala Ma'rifat Asyraf, oleh Ibnu Asakir ( W 571 H )
4) Tuhfatul Asyraf, oleh Al-Mazi ( W 742 H )
5) Ittihadz Mahrah Bi Atraf Al-Asyrah, oleh Ibnu Hajar ( W 852 H )
6) Atraf Masanid Al-Asyrah, oleh Al-Bushairi ( W 840 H )
7) Dakhoir Al-Mawarits, oleh An-Nablusi ( W 1143 H )
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kitab-kitab athraf membantu bagi pentakhrij hadits mencarai suatu riwayat yang hanya diketahui sebagian isinya saja. Maka kitab-kitab ini memiliki manfaat yang sangat besar bagi proses takhrij. Secara rinci manfaat dari kitab-kitab Athraf tersebut adalah :
1) Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apakah hadits itu gharib, aziz, atau masyhur.
2) Memberitahu perihal siapa saja yg di antara para penyusun kitab-kitab hadits yg meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3) Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yg dibuat athrafnya.
Dalam kitab-kitab Athraf hanya diterangkan perihal sebagian matan hadits saja, maka untuk mengetahui lebih lengkap perlu merujuk pada kitab-kitab sumber yang populer, yang ditunjukan oleh kitab Athraf tersebut, misalnya :
1) Al-Tazkirah fi al-Ahadis al-Musytahirah karya Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah al-Zakarsyi (w.975 H).
2) Al-La’ali al-Mansurah fi al-Ahadis al-Musytahirah karya Ibn Hajar al-Asqalani (w.852 H).
3) Al-Maqasid al-Hasanah fi Bayan Kasir min al-Ahadis al-Musytahirah ’ala Alsinah karya al-Skhawi (w.902 H).
4) Tamyiz al-Tayyib min al-Khabis fi ma Yaduru ’ala Alsinah al-Nas min al-Hadis karya Abdurrahman ibn Ali ibn al-Diba’ al-Syaibani (w. 944 H).
5) Al-Durar al-Muntasirah fi al-Ahadis al-Musytahirah karya Jalaluddin Abdurrrahman al-Suyuti (w.911 H).
Demikian juga kitab-kitab yg disusun secara alfabetis, misalnya Al-Jami’ al’Shaghir min hadits al-Basyir al-Nadhir Li Jalal al-Din ‘Abdurahman Abi Bakr al-Suyuthi. Selain itu rujukan bagi kitab-kitab athraf juga bisa menggunakan kitab-kitab kunci atau indeks bagi kitab-kitab tertentu antara lain :
a) Untuk sahih al-Bukhari, yaitu Hady al-Bari ila Tartib Ahadis al-Bukhari.
b) Untuk sahih Muslim, yaitu Mu’jam al-Alfaz wa la Siyyama al-Garib minha.
c) Untuk Sahihayn, yaitu Miftah al-Sahihayn
d) Untuk al-Muwatta’, yaitu Miftah al-Muwatta’
e) Untuk Sunan ibn Majah, yaitu Miftah Sunan ibn Majah
f) Untuk Tarikh al-Bagdadi, yaitu Miftah al-Tartib li Ahadis Tarikh al-Khatib
Sebagai contoh penggunaan metode ini adalah sebagai berikut : misalnya kita akan mentakhrij sebuah hadits nabi yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda :
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764
Rawi pertama yang membawakan hadits ini adalah Ibnu Abbas, maka jika kita menggunakan metode ini hendaknya mencari nama Abdullah bin Abbas dalam kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
Keunggulan metode ini adalah cepat sampai pada sahabat yang meriwayatkan hadis karena alfabetis. Sedangkan kekurangannya adalah lamanya pencarian sampai pada hadits yang dicari jika sahabat tersebut banyak meriwayatkan hadits. Selain itu kita belum bisa menentukan apakah riwayat yang dibawakannya itu shahih atau tidak.
b. Takhrij dengan mengetahui teks matan Hadits
Metode ini paling mudah digunakan, karena dengan mengetahui teks suatu hadits seorang pentakhrij dapat menelusuri riwayat tersebut. Hal ini didasarkan isi redaksi atau teks hadits yang akan ditakhrijnya, tentunya dengan bantuan dari matan (isi) riwayat tersebut. Misalnya sebuah hadits yang berbunyi من غشانا فليس منا Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari hadits dengan awal kata tersebut, karena lafadz pertamanya adalah من , maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim ( م ). Langkah kedua mencari huruf nun ( ن ) setelah mim ( م ) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan demikian seterusnya.
Metode ini hanya menggunakan kitab penunjuk, yaitu : “Al-Mu’jam al-Mufarhas li alfazh al-Hadits al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat yang bernama Dr. A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘Abd al-Baqi. Kitab-kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya : Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini menggunakan rumus-rumus sebagai berikut: صح untuk hadits berkualitas shahih; ح untuk hadits berkualitas hasan; dan ض untuk hadits berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang bersangkutan digunakan kode خ untuk Bukhari, م untuk Muslim, حم untuk Ahmad, ت untuk Turmuzhi.
Selain itu kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan pentakhrij untuk cepat menemukan hadits yang dicari. Kesulitan yang mungkin dijumpai adalah apabila terdapat perbedaan lafadz pertama, seperti hadits yang berbunyi:
إذا اتــاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه
Menurut bunyi hadits di atas, lafadz pertamanya adalah إذا اتــاكم Tetapi, bila lafadz pertama yang kita ingat adalah لو اتــاكم, akan sulit menemukan hadits itu karena adanya perbedaan lafadz tersebut. Demikian juga apabila lafadz yang kita jumpai berbunyi إذا جاءكم , sekalipun semuanya memiliki pengertian yang sama.
Keunggulannya dari metode ini adalah walaupun tidak hafal semua hadits, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada hadits yang dicari. Selain itu pentakhrij juga akan menemukan hadis lain yang tidak menjadi objek pencarian dan mungkin dibutuhkan sehingga akan menambah perbendaharaan haditsnya. Adapun kelemahan metode ini adalah jika lafal yang dianggap awal hadis ternyata bukan awal hadist yang dicari sehingga tidak akan ditemukan. Selain itu jika terjadi penggantian lafal yang diucapkan Rasulullah juga tidak akan menyampaikan seorang pentakhrij kepada hadits yang ditakhrijnya tersebut.
c. Takhrij dengan mengetahui tema hadits
Dengan mengetahui suatu tema dari suatu hadits kita dapat melihat di mana hadits tersebut dikeluarkan. Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Orang yang awam akan hadits akan sulit untuk menggunakan metode ini. Karena yang dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits yang akan ditakhrijnya. Menurut Mahmud Thahhan metode ini digunakan untuk orang-orang yang mempunyai instink dalam menyimpulkan sebuah tema dari suatu hadits. Walaupun demikian setaip orang yang memiliki azzam untuk mentakhrij suatu riwayat bisa saja menggunakan metode ini.
Metode ini menggunakan beberapa jenis kitab yang dapat dijadikan alat untuk melacak suatu riwayat. Di antara kitab-kitab tersebut adalah :
1. Kitab-kitab yang membahas seluruh masalah keagamaan dalam bentuk Al-Jawami’, al-mustakhrajat, al-mustadrakat, al-majami’, al-zawa’id, miftah kunuz al-sunnah. Di antara kitab yang menjadi rujukan adalah :
- Al-Jami’ al-shahih karya Bukhari
- Al-Jami’ al-shahih karya Muslim
- Al-jami’ Abdurrazaq
- Al-jami’ al-Tsauri
- Al-Mustakhraj ‘ala Shahihi al-Bukhari karya al-Ismai’li (371 H)
- Al-Mustakhraj Shahihi al-Bukhari karya al-Ghatrifi (377 H)
- Al-Mustakhraj Shahihi al-Bukhari karya al-Dzuhl (378 H)
- Al-Mustakhraj Shahihi al-Muslim karya Abu Uwanah al-Isfiraini (310 H)
- Al-Mustakhraj Shahihi al-Muslim karya Abu Hamid al-Harawi (355 H)
- Al-Mustadrak ‘ala Shahihain karya Abu Abdullah al-Hakim (305 H)
- Jaami’ al-ushulu min ahadits al-Rasul karya Abu al-As’adaat al-Ma’ruf Ibnu ‘Atsiir (606 H)
- Al-Jami’ bainal al-Usul al-Sunnah karya Razain bin Mu’awiyah al-Andalusi (505 H). (Mahmud al-Thahhan, 1991: 95-102)
2 Kitab-kitab yang membahas sebagian besar masalah keagamaan dalam bentuk Al-Sunan, al-Mushannafat, al-Muwaththa’at, al-Mustakhrajat a’ala al-Sunnah. misalnya :
1. Sunan Abu Dawud al-Sijistani (275 H)
2. Sunan al-Nasa’i (303 H)
3. Sunan Ibn Majah (275 H)
4. Sunan al-Syafi’I (204 H)
5. Sunan al-Baihaqi (458 H)
6. Sunan al-Daruquthni (385 H)
7. Sunan al-Darimy (255 H)
8. Al-Mushannaf karya Abu Bakr Abdullah bin Muhammad Abu Syaibah al-Kufi (235 H)
9. Al-Mushannaf karya Abu Bakr Abdul Razaq bin Hammami al-Shana’i (211 H)
10. Al-Mushannaf karya Baqi’ bin Mukhallad al-Qurthubi (276 H)
11. Al-Mushannaf karya Abu Sufyan Waki’ bin al-Jarrah al-Kufi (196 H)
12. Al-Mushannaf karya Abu Salmah al-Bishri (167 H)
13. Al-Muwaththa’ karya Imam Malik (179 H)
14. Al-Muwaththa’ karya Abu dzi’b Muhammad bin Abdurrahman (185 H)
15. Al-Muwaththa’ karya Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad al-Marwazi al-Ma’rufi (293 H). (Mahmud al-Thahhan, 1991: 115-119 )
3. Kitab-kitab yang membahas topik-topik tertentu dari masalah keagamaan dalam bentuk Al-Ajza’, al-Targhib wa al-Tarhib, al-Zuhd wa al-Fadla’il wa al-Adab wa al-Akhlaq, al-Ahkam. Kitab-kitab jenis ini diantaranya :
1. Juz’ ma rawahu Abu Hanifah ‘an al-Shahabah karya Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abdul al-Shamad al-Thabari (178 H).
2. Al-Targhib wa Tarhib karya Zakiy al-Din Abdul Azim bin Abdul Qawi al-Munziri (656 H).
3. Al-Targhib wa Tarhib karya Abu Khafd Umar bin Ahmad al-Ma’ruf Ibnu Syaibah (385 H).
4. Kitab Zuhd karya Imam Ahmad Ibnu Hanbal (241 H).
5. Kitab Zuhd karya Imam Abdullah bin al-Mubarak (181 H)
6. Kitab Zuhd wa al-Du’a karya Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim al-Kufi (182 H)
7. Kitab fadhail al-Qur’an karya Imam al-Syafi’i
8. Kitab fadhail al-Shahabah karya Abu Na’im al-Ashbihani (430 H)
9. Kitab Riyaadl al-Shalihin karya Imam al-Nawawi (676 H)
10. Al-Ahkam al-Kubra karya Abu Muhammad Abd al-Haq bin al-Rahman al-Asyabili (581 H)
11. Al-Ahkam al-Sughra karya Abu Muhammad Abd al-Haq bin al-Rahman al-Asyabili (581 H).
12. Al-Ahkam karya Abd al-Ghani bin Abdul wahid al- Magdisi (600 H).
13. ‘Umdah al-Ahkam karya al-Ghani bin Abdul wahid al- Magdisi (600 H).[10]
Pada dasarnya takhrij dengan menggunakan metode ini bersandar pada pengenalan tema hadits. Setelah kita menentukan hadits yag akan kita takhrij, maka langkah selanjutnya yakni menyimpulkan tema hadits tersebut. Kemudian kita mencarinya melalui tema ini pada kita-kitab metode ini.
Kerap kali suatu hadits memiliki tema lebih dari satu. Sikap yang harus kita lakukan pada hadits yang seperti ini mencarinya pada tema-tema yang dikandungnya. Contohnya :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. رواه الترمذي ومسلم
“Islam dibangun atas lima dasar yaitu, syahadat (kesaksian) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa bulan ramadhan”. HR Thirmidzi dan Muslim.
Hadits ini dicantumkan pada kitab iman, tauhid, shalat, zakat, puasa, dan haji. Untuk itu kita harus mencarinya pada kitab tema-tema tentang ini. Sangatlah jelas bahwa metode ini sangat mendasar metodenya pada pengenalan tema hadits. Ketidak tahuan metode ini akan menyulitkan proses takhrij.
Metode tema hadits tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain di luar hadits seperti keabsahan lafal pertamanya,sebagaimana metode pertama, pengetahuan bahasa arab denga parubahan-perubahanya katanya sebagaimana metode yang kedua, dan pengenalan perawi teratas sebagaimana metode yang ketiga. Yang dituntut pada metode ini ialah pengetahuan akan kandungan haduts. Hal ini sangtalh logis dalam mempelajari etode ini.
Selain itu metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada dri penelti. Seorang peneliti setelah menggunakan metode ini beberapa kali akan memiliki kemampuan yang bertambah terhadap tema dan maksud hadits yang merupakan Fiqh Hadits. Selain itu ia juga memperkenalkan kepada peneliti maksud hadits yang dicarinya dan hadits-hadits yang senada dengannya. Ini tentunya akan menambah kesemangatan dan membantu memperdalam masalah.
Adapun kekurangan dari metode ini adalah terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti hingga tidak dapat menentukan temanya’ sebagai akibatnya pentakhrij tidak mungkin menggunakan metode ini. Demikian juga terkadang pemahaman peneliti tidak sesuai dengan penyusun kitab. Sebagai akibatnya penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut. Contoh ini banyak sekali, seperti hadits yang semula oleh peneliti disimpulkan sebagai hadits peperangan ternyata pada penyusunannya terletak pada hadits tafsir.
Kendati demikian, kedua kekurangan ini akan hilang dengan sendirinya dengan memperbanyak menela’ah kitab-litan hadits. Penela’ahan dengan berulang-ulang akan menimbulkan pengetahuan tentang metode para ulama dan tata letak tema hadits.
d. Mengetahui tentang sifat khusus matan atau sanad hadits
Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan sifat hadits yg baik yang ada pada matan dan sanadnya. Yang pertama diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada sanad lalu kemudian yang ada pada kedua-duanya.
Dari segi matan : apabila pada hadits itu tampak tanda-tanda kemaudhu’an, maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadits itu adalah mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits maudhu. Dalam kitab ini ada yang disusun secara alfabetis antara lain kitab al-mashnu’al-hadits al-maudhu’ li al syaikh ‘alal qori al-syari’ah. Dan ada yang secara matematis, antara lain kitab tanzih al-syari’ah al-marfu’ah ‘an al-ahadits al-syafiah al-maudhu’ah li al kanani.
Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadits ada ciri tertentu, misalnya isnad hadits itu mursal, maka hadits itu dapat dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mursal., atau mungkin ada seorang perowi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab mizan al-I’tidal li al- dzahabi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits semacam itu, yaitu :
• ‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi
• Al-mustafad min mubhamat al-matn wa al-isnad li abi zar’ah ahmad ibn al-rahim al-iraqi
2. Takhrij Tashhih
Takhrij dengan metode tashih adalah sebagai lanjutan dari cara yang pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrij dan al-naql. Tashhih dalam arti menganalisis keshahihan hadits yaitu dalam ruang lingkup ilmu mushthalah al-hadits. Metode ini mengkaji keadaann rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah ilmu hadits. Kegiatan tashih dilakukan dengan menggunakn kitab ‘Ulum al-Hadits yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa al-Ta’dil, Ma’ani al Hadits, Gharib al-Hadits dan lain-lain.
Metode ini memungkinkan bagi pentakhrij untuk melihat lebih jauh derajat suatu hadits yang dilihat dari segi kekuaran pada sanad, keterpercayaan rawi yang meriwayatkan, kandungan matan dan hal lain yang berkaitan dengan riwayat yang akan ditakhrijnya.
Metode takhrij biasanya dilakukan oleh mudawwin (kolektor) yaitu mereka yang telah mengumpulkan riwayat-riwayat dari guru-guru mereka. Metode ini telah berlangsung sejak Nabi Muhammad Shalalllahu Alaihi Wasalam sampai abad ke-III Hijriyyah. Di antara mereka adalah para penyusun kitab shahih, sunan dan musnad, setelah itu dilanjutkan oleh para syarih (komentator) sejak abad IV sampai kini.[11]
3. Takhrij dengan I’tibar
Metode takhrij selanjutnya adalah dengan I’tibar, cara ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas, I’tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli (diwan), kitab syarah dan kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang perlu ditempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
a. Dilihat, apakah teks hadits tersebut benar-benar sebagai hadits.
b. Dikenal unsur yang harus ada pada hadits, berupa rawi, sanad dan matan.
c. Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawinya, matannya dan sanadnya.
d. Bagaimana kualitas hadits tersebut?
e. Bila hadits itu maqbul, bagaimana ta’amulnya, apakah ma’mul bih (dapat diamalkan) atau ghoir ma’mul bih?
f. Teks hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
g. Memahami asbab wurud hadits
h. Apa isi kandungan hadits tersebut
i. Menganalisis problematika
Dengan langkah-langkah ini maka suatu hadits akan diketahui apakah ia adalah hadits yang shahih atau tidak, demikian juga bisa diamalkan atau tidak. Jika dalam riwayat tersebut ternyata termasuk riwayat yang mukhtalif maka bagaiamana cara kompromi dengan riwayat lainnya.
5. Takhrij Hadits dengan Metode Digital
Melakukan penelitian terhadap hadits-hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, mempunyai banyak faedah dan manfaat. Ulama-ulama terdahulu telah menunjukkan kelasnya yang luar biasa sebagai intelektual-intelektual hadits dalam menghimpun, meneliti dan melakukan telaah terhadap ribuan Hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam yang diabadikan dalam karya-karya mereka, dan merupakan khazanah ilmu pengetahuan ummat islam khususnya di bidang hadits.
Seiring dengan perkembangan zaman, meminjam istilah A. Hasan Asy’ari Ulama’i “kesibukan dunia ilmu pengetahuan” yang kemudian memberikan inspirasi kepada para scientis berupaya melakukan inovasi-inovasi dalam memudahkan penelusuran hadits secara lebih efektif dan efisien. Ulama-ulama Muta’akhirin selanjutnya melakukan terobosan dengan memberikan “sentuhan teknologi” dalam melakukan takhrij hadits melalui perangkat CD hadits yang telah di desain sedemikian rupa.
Secara ringkas langkah-langkah takhrij hadits digital yang penulis kutip dari A. Hasan Asy-ari al-Ulama’i (2006: 79-80) dalam bukunya “Melacak Hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam, Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital”. Berikut ini adalah langkah-langkahnya :
- Penelusuran hadits dengan menggunakan CD Hadits Nabi SAW, dapat dilakukan dengan berbagai macam cara: (sebagai catatan bahwa terlebih dahulu akan ditawarkan pilihan kitab rujukan yang dikehendaki, dalam hal ini CD Hadits yang tersedia membatasi pada 9 kitab hadits al-mu’tabar yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, jami’ al-Turmudzi, Sunan abi Dawud, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal.
- Penelususran hadits berangkat dari lafadz yang dikenal, contoh mencari hadits yang di dalamnya terdapat lafadz (وقنت رسول الله) maka dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui fasilitas pilihan huruf yang telah disediakan CD Hadits, atau dengan menuliskan sendiri lafadz itu pada tempat yang telah disediakan.
- Penelusuran Hadits Nabi SAW, berangkat dari bab yang umumnya memuat hadits tersebut, misalnya dibuka di bab qunut itu sendiri, bila tidak dijumpai, maka dapat diakses pada bab shalat, demikian seterusnya.
- Penelusuran hadits berangkat dari rawi yang paling atas, dalam hal ini lebih rumit karena harus mencari lebih detail haditsnya, misalnya hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang tidak hanya berbicara masalah qunut saja, tetapi bercampur dengan hadits-hadits tema lainnya.
- Penelusuran melalui nomor hadits, dan
- Penelusuran hadits melalui tema-tema yang disediakan CD hadits Nabi SAW, itu sendiri.
Pada dasarnya metode takhrij dengan menggunakan system digital tidak jauh berbeda dengan metode manual, pencarian dapat dilakukan dengan satu kata kunci yang kita ingat, tema hadits atau rawi dari hadits tersebut. Kekurangan dari metode ini adalah tidak semua orang terbiasa dengan metode digital ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994,Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang
Louis Ma’luf, 1986, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyariq
Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, 2003, Jakarta: Prenada Media
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994,Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang
Hasan Asy’ari Ulama’I, A, 2006, Melacak Hadits Nabi SAW, Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual hingga Digital, Semarang: Rasa’il
Louis Ma’luf, 1986, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyariq
Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif
M. Syuhudi Ismail, 1992, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang
Endang Soetari, Ilmu Hadits : Bandung
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, 2003, Jakarta: Prenada Media
Noor Sulaiman PL, 2008, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: GP Press
Said bin Abdillah bin al-Hamid, 2000, Thuruqu Takhrij al-Hadits, Riyadh: Daru Ulum al-Sunnah Linnasir
[1] Ibnu Al-Mandzur, Lisaan Al-Arab, Juz II hal. 249
[2]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, hal.330
[3] Ibnu Al-Mandzur, Lisaan Al-Arab, Juz II hal. 252
[4] Mahmud Thahan, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Hal.97
[6] Mahmud Thahan, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Hal.97
[7] Mahmud Thahan, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Hal.99
[8] Endang Soetari, dalam Ilmu Hadits, beliau menjelaskan secara panjang lebar metode-metode takhrij secara lengkap.
[9] Athraf adalah bagian, penggalan atau potongan kalimat sebuah hadits.
[10] Mahmud al-Thahhan, 1991: 121-124
[11] Endang Soetari, Ilmu Hadits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...