Sebelum mengeksplorasi sejarah dan konsepsi sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan terlebih dulu menjelaskan secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa Arab Jahiliyah pra-Islam dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi SAW tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Karena pada saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian berbagai persoalan tersebut. Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realitas bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka juga terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para “dukun” (kāhin) dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal saat itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai Saţīh al-Kāhin[1].
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan persengketaan mereka. Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator antara lain: `Abd Al-Muţallib, Zuhayr ibn Abu Sulma, Aktsam ibn Şayfi, Hājib ibn Zirārah, Qus ibn Sā`idah al-Iyādi, `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni[2], serta Ummayah ibn Abu Şalt dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama `Amrah binti Zurayb. Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraysh ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian ahir pembangunan Ka’bah.
Akan tetapi eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau arbritator-arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak punya instrumen untuk mengeksekusi keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitartor ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus tunduk atau menerima keputusan mereka. Sebagaimana pula keputusan yang diambil para arbitrator ini hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif mereka, atau tradisi mereka bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum tertentu.
Karena alasan-alasan tersebut di atas, arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl. Kesepakatan hilf al-fudlūl ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas. Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut dibentuk. Beberapa waktu kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seandainya beliau diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudlūl) di masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga.
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah memilih beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.
[1] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya dalam Al-A`lām adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara `Abd al-Muţallib ibn Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat itu– dengan sekolompok orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Ţāif.
[2] Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz al-`Udwāni, dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani Mudlar, dikenal sebagai orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang selalu diterima pendapatnya, serta termasuk salah satu diantara yang mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. III, hlm. 252
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...