Oleh: Abdurrahman MBP
A. Latar Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri ini
dikenal dengan istilah gregariousness, sehingga manusia disebut juga social animal (hewan sosial).[1]
Ia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, sehingga sering pula
disebut dengan zoon politicon (makhluk sosial). Sifat manusia ini
didasarkan kepada sifat biologis manusia yang memang tidak bisa memenuhi
kebutuhannya sendiri. Seorang bayi yang baru lahir tidak bisa langsung bisa
berjalan atau mencari makan sendiri. Bahkan ketika ia telah menginjak dewasa
ada dorongan biologis yang harus dipenuhi.
Membahas
tentang adaptasi
biologis, setiap
manusia pasti memilikinya. Ia membutuhkan orang lain untuk memenuhi hasrat
biologisnya. Seorang manusia yang telah
dewasa membutuhkan pasangan hidup sebagai penyaluran hasrat biologisnya.
Pernikahan adalah sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Seorang manusia yang normal membutuhkan seorang pasangan hidup dalam ikatan
pernikahan yang sah secara sosial. Mereka membutuhkan keluarga demi
perkembangan dirinya, sehingga dapat tercipta
generasi berikutnya sebagai penerus keluarga mereka kelak.
Pembentukan
sebuah keluarga diawali dengan pernikahan antara seorang laki-laki dan
perempuan. Peristiwa ini adalah hal sakral yang harus dilalui oleh setiap
manusia yang normal, bersatunya antara seorang laki-laki dan perempuan dalam
satu ikatan yang kuat yaitu pernikahan. Ikatan inilah yang akan mempersatukan dua manusia yang
berbeda (laki-laki dan perempuan)
dalam jiwa dan rasa untuk mencapai satu tujuan menjadi sebuah keluarga yang bahagia, sejahtera
dan kekal selamanya.
Dasar
dari pernikahan adalah terpenuhinya kebutuhan biologis baik laki-laki ataupun
perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan
perkawainan adalah puncak dari pemenuhan kebutuhan biologis manusia. Selain hal
tersebut pernikahan juga adalah penyatuan antara dua keluarga besar dari
seorang laki-laki dan perempuan yang melibatkan hubungan-hubungan emosi, perasaan, kasih sayang, hubungan
politik dan hubungan sosial.[2] Artinya
bahwa pernikahan selain merupakan ikatan antara seorang laki-laki dan
perempuan, ia juga penyatuan dua keluarga besar yang memiliki pola-pola
hubungan sosial yang berbeda-beda.
Inilah
makna luas dari perkawinan, ia bukan saja pertautan
antara dua manusia, namun juga merupakan pertautan antara dua keluarga yang sanggup
membawa diri dan melebur sebagai keluarga sendiri. Suatu perkawinan membutuhkan adanya suatu pembauran yang
bersifat positif antara kedua manusia yang mengalaminya, yang
mendukung terciptanya suatu kehidupan yang harmonis.
Sehingga akan lahir dari perkawinan ini generas-generasi yang akan melanjutkan
estafet kehidupan umat manusia.
Islam
memandang bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat
sebagai penghubung antara seorang pria dan seorang wanita dalam membentuk suatu
keluarga atau rumah tangga. Allah ta’ala menyebutnya dengan istilah miitsaqan
ghalidha (ikatan yang kokoh) yang bermakna satu ikatan antara laki0-laki
dan perempuan yang didasarkan pada niat karena Allah ta’ala dan sebagai sarana
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
Begitu besarnya perhatian Islam terhadap pernikahan ini sehingga
aturan-aturannya telah disebutkan secara qhat’i di dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Bahkan para ahli hukum Islam
telah merumuskan apa yang disebut dengan fiqh munakahat, yaitu hukum-hukum
Islam yang berkenaan dengan perkawinan.
Pembentukan
keluarga antara seorang laki-laki dan perempuan memerlukan adanya komitmen yang
kuat di antara keduanya. Komitmen terssebut dalam bentuk pemahaman terhadap hak
dan kewajiban dari masing-masing pasangan. Hak dan kewajiban tersebut diatur
dalam agama dan kepercayaan dari masing-masing individu. Sehingga dalam hal ini
Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatkan
bahwa suatu perkawinan dinyatakan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaan pasangan
yang melakukan pernikahan.
Landasan
hukum agama dan kepercayaan dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal
yang sangat penting dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan
boleh tidaknya dan sah batalnya suatu perkawinan tergantung pada ketentuan
agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak
boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum Negara. Berdasarkan undang-undang
tersebut maka apabila suatu agama melarang melakukan pernikahan dengan penganut
agama yang lain maka secara otomatis peraturan pemerintah melarangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...