PENGALAMAN
MENYUSUNAN DRAFT UNDANG- UNDANG OTONOMI ACEH
DAN MENGAMATI PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM
DI ACEH
Oleh:
Pendahuluan
Penulis mengucapkan terimakasih atas
kepercayaan Panitya untuk menyampaikan makalah pada hari ini. Makalah ini
adalah pengalaman penulis ketika mendapat tugas Menteri Agama, KH Tolhah Mansur
di era Presiden RI, KH Abdurahman Wahid. Ketika itu penulis ditugasi MENAG
untuk mewakili beliau dalam rangka mendampingi Menteri Kehakiman Bapak
Burhanudin Lopa dalam menyusun Undang undang Otomi Daerah istimewa Aceh tahun
1999. Dengan demikan, penulis sementara waktu berkantor bersama DIRJEN
PERUNDANG-UNDANGAN, pada waktu itu dijabat oleh Prof Dr A. Gani Abdullah SH,
gurubesar Fakultas Syariah UIN Bandung (sekarang Hakim Agung). Penulis bertugas
menyiapkan draf UU manakala pihak eksekutif dengar pendapat dengan DPR RI.
Setelah dengar pendapat dengan DPRRI, penulis merevisi draft sesuai dengan
masukan dari yth anggota DPR,. Demikian selanjutnya sampai ketuk palu
pengesahann RUU menjadi UU.
Di samping itu, makalah ini juga ditulis
berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi guru besar tamu Pascaarajana UIN
Ar Raniry Banda Aceh dan membimbing sejumlah kandidat doktor yang menulis
disertasinya tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
OTONOM
MELAKSANAKAN SYARIAT ISLAM
Otonomi
melaksanaan syariat Islam di Aceh disertai catatan-catatan dalam bentuk
undang-undang. Keuangan (termasuk bentuk mata uang), hubungan luar negeri dan
mengangkat Tentara tidak termasuk wilayah otonomi. Kecuali mengangkat prajurit
termasuk wilayah otonomi, tetapi mengangkat perwira pertama hingga tinggi
adalah hak dan wewenang pemerintah pusat
RI. Sedangkan bidang hukum pidana juga terbatas, yakni selama tidak
bertentangan dengan KUHPidana nasional. Ketika
ada beberapa pasal yang terasa
mengganjal, terbetik dalam hati penulis bahwa di kemudian hari akan menjadi
masalah, yaitu; Nama UU tentang nama Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), dan pasal yang mengatur otonomi di
bidang hukum pidana.
Ternyata
apa yang dikhawatirkan penulis menjadi kenyataan. Tentang nama Nangroe Aceh Darussalam (NAD), kemudian direvisi melalui Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) menjadi
Provinsi Aceh saja. Tentang partai
politik juga dinamis dimana diizinkan adanya partai lokal khusus Aceh.
Sekalipun demikian masalah masih tetap ada,
al, tentang Wali Nangroe yang sampai sekarang masih tarik ulur.
Walaupun
ada masalah, proses pelaksanaan syariat Islam, baik dalam bentuk Pembuatan
Qonun melalui DPRD, maupun pembentukan lembaga-lembaga syariah terus berkembang
dan berjalan. Terutama setelah dibentuknya Dinas Syariah, Mahkamah Syariah,
Wilayatul Hisbah (WH), dan terbitnya
Qanun tentang pelaksanaan syari’ah secara kaffah yang meliputi ibadah, solat
Jum’at, busana muslimah, maisir, minuman keras, berkhalwat, serta
sanksi-sanksinya berupa kurungan dan hukum cambuk.
DINAMIKA
SYARIAT ISLAM SELAMA 15 TAHUN
Dinamika
pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak bisa lepas dari peranan dan cara
pandang kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak bisa dipungkiri juga bahwa
bencana sunami juga berperan penting daalam dinamika masyarakat Aceh secara
menyeluruh. Yang paling menarik setelah lahirnya UUPA dimana Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) menjadi Aceh. Perubahan nomenklatur ini merubah semua papan
nama seuruh Aceh dan berbagai atribut lembaga birokrasi.
Segera
setelah terbit Qonun maka lembaga HW terbentuk dan merekrut sjumlah sarjana
untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam, mengarahkan bentuk bangunan
restoran, dan mengarahkan perilaku masyakakat Aceh maupun tamu atau wisatawan
yang berkunjung ke Aceh. Lembaga HW yang semula berdiri sendiri, kemudian
digabung dengan SATUAN POLISI PAMONG PRAJA.
Berbagai tindak pidana syariah
disidangkan di Mahkamah Syariah setelah melewati penyidikan pihak Polri dan
Dilanjutkan pihak Kejaksaan kemudian diputus oleh hakim dan kembali dieksekusi
pihak kejaksaan. Kendalanya ialah dalam masalah budgeting untuk eksekusi
sehingga banyak eksekusi yang terhambat karena budgeting.
Pelaksanaan
syariat Islam di Aceh menunjukkan kerja teori hukum Rouscou Pond yang menyatakan
hukum adalah tool of social engineering and tool of social control. Qonun
Aceh telah merubah tradisi busana Muslimah Aceh. Bahkan di Kabupaten Meulaboh
ada Perda Bupati yang mengatur busana Muslimah yang berkendaraan sepeda motor.
Ruang publik seperti rstoran, tinggi dinding ruang makan hanya boleh sekitar 60
cm, supaya tidk dijadikan tempat berkhlwat. Sanksi adat juga berlaku bagi
pelaku yang trtangkap tangan. Ada adat
yang memberi hukuman tambahan dengan membayar denda dengan 1, 2, atau 3 ekor kambing
plus dibanjur air comberan, baru setelah itu mereka dikawinkan.
Jika
hari Jumat datang, pada waktu solat Jumat pun jalanan sepi karena penduduk
solat Jumat, mereka yang tidak solat pun tidak berani berkeliaran di tempat
umum karena kalau tertangkap WH akan dijatuhi
sanksi. Wisatawan pun jika masuk
Aceh, umumnya berbusana Muslimah sekalipun non Muslim dan orang asing. Akan
tetapi, begitu meninggalkan Aceh, umpamanya sampai Medan, mulailah mereka
melepas busana Muslimah. Dalam acara resmi, jika ada wanita tidak berbusana
Muslimah akan diusir oleh Satpam, wartawati sekalipun.
Sisi
lain dari pelaksanaan syariat adalah adanya “keterpaksaan” aparat hukum
mempelajari syariat Islam, terutama polisi dan jaksa serta angota WH atau
Muhtasib atau polisi syariah. Hal ini berimbas pada dunia pendidikan dimana
kurikulum fakultas hukum memasukkan materi pelajaran syariat Islam
dsnlembags-lembaga syariah. Sementara peran ulama pun meningkat. Bagian ini
akan dibahas oleh Sdr Kandidat Doktor ilmu hukum Islam, Mursyididn AR., M.Ag, dosen STAIN(SEKOLAH
TINGI AGAMA ISLAM NEGERI) Langsa, Aceh yang sudah hadir di sini sejak kemarin.
[1] Guru Besar Filsafat
Hukum, Ketua Prodi S3 Hukum Islam Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung . Lulus DR UIN SYAHIDA Jakarta 1998; Visiting Fulbright
rofessor Denver University, Colorado USA, 1992; Columbia University, New York
City, 1993; Binghamton University/ State Univrsity of New York (SUNY), Negara
bagian New York, 2002-2003; Visiting Expert on TERRORISM, Universitas PBB (
UNAFEI), Fuchu si, Tokyo, Jepang; dan sejumlah universitas di Indonesia dan
Malaysia, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...