Rukun dan syarat adalah sesuatu bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah. Di
dalam rukun dan syarat pernikahan terdapat beberapa pendapat, yaitu sebagai
contoh menurut Abdullah Al-Jaziri dalam bukunya Fiqh ‘Ala Madzahib Al-‘arba’ah
menyebutkan yang termasuk rukun adalah Al-ijab dan Al-qabul dimana tidak ada
nikah tanpa keduanya. Menurut Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqoha’,
rukun nikah terdiri dari Al-ijab dan Al-qabul sedangkan yang lain termasuk ke
dalam syarat.
Menurut Hanafiyah, rukun nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang
dalam Sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubugan dengan
kesaksian. Menurut Syafiiyyah meliht syarat perkawinan itu ada kalanya
menyangkut Sighat, wali, calon suami-istri dan juga Syuhud. Menurut Malikiyah,
rukun nikah ada 5: wali, mahar, calon suami-istri, dan Sighat. Jelaslah para
ulama tidak saja membedakan dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga
berbeda dalam detailnya. Malikiyah tidak menetapkan saksi sebagai rukun,
sedangkn syafi’i menjadikan 2 orang saksi menjadi rukun.
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada 5, dan masing-masing rukun itu
mempunyai syarat tertentu. Syarat dan rukun adalah : shighat (ijab-kabul), kedua
calon mempelai, wali dan saksi.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali
nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab dan Qobul.[2]
1. Shighat (Ijab-Qabul)
Pengertian akad nikah menurut KHI dalam pasal 1 bagian c akad nikah
ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.
Di dalam fiqh ‘ala mazahibul ‘arba’ah syarat Ijab-Qabul adalah:
Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka
Jika pengucapan Ijab-Qabul pada satu majlis
Jika tidak bertentangan antara ijab dan Qobul. Contohnya ketika seorang
wali mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin
seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima
nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut.
Tidak boleh lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul
terbatas waktu maka hukumnya menjdi nikah mut’ah.[3]
. Boleh dengan maknanya bagi orang selain Arab/‘ajam.
Boleh menggunakan selain bahasa
Arab asal bisa dipahami oleh kedua belah pihak.
Syarat bentuk kalimat ijab dan Qabul: para fuqaha’ telah mensyaratkan
harus dalam bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya
dengan bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang).
Contoh untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan, Uzawwajtuka ibnatii (aku
nikahkan kamu dengan putriku), sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki
menjawab, Qabiltu (aku terima), sebagi bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi
bentuk kedua adalah si wali mengatakan: Uzawwijuka ibnatii (aku akan
menikahkanmu dengan putriku), sebagai bentuk mustakbal. Lalu si mempeli
laki-laki menjawab: Qabiltu (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.[4]
Mereka mensyaratkan hal itu, karena adanya persetujuan dari kedua belah
pihak merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan Ijab dan Qabul
hanya merupakan manifestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua
belah pihak harus memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan
kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat
yang dipakai menurut syari’at bagi sebuah akad nikah adalah bentuk madhi. Yang
demikian itu, juga karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang
bersifat pasti dan tidak mengandung persetujuan lain.
Di lain pihak, bentuk mustaqbal tidak menunjukkan secara pasti
persetujuan antara kedua belah pihak tersebut pada saat percakapan berlangsung.
Sehinggaa, jika salah seorang di antaranya mengatakan : Uzawwajtuka ibnatii
(aku nikahkan kamu dengan putriku). Lalu pihak yang lain menjawab : Aqbalu
nikahaha (aku akan menerima nikahnya). Maka, bentuk tersebut tidak dapat
mensahkan akad nikah. Karena, kalimat yang dikemukakan mengandung pengertian
yang bersifat janji, sedangkan perjanjian nikah untuk masa mendatang belum
disebut sebagai akad pada saat itu.
Seandainya mempelai laki-laki mengatakan zawwijnii ibnataka (nikahkan aku
dengan putrimu), lalu si wali mengatakan :
Zawwajtuha laka (aku telah menikahkannya untuk kamu). Maka dengan
demikian akad nikah pada saat itu telah terlaksana. Karena, kata Zawwijnii
(nikahkan aku) menunjukkan arti perwakilan dan akad nikah itu dibenarkan jika
diwakili oleh salah satu dari kedua belah pihak.
Menurut Kompilasi Hukum Islam :
pasal 27 :
1. Ijab dan Qabul antara wali
dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
pasal 28 :
1) Akad nikah dilaksanakan
sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat
mewakilkan pada orang lain.
Pasal 29 :
(1) Yang berhak mengucapkan Qabul
ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai
pria.[5]
2. Sifat-sifat/ syarat calon kedua mempelai yang baik
Sifat-sifat calon mempelai yang baik seperti yang digambarkan oleh nabi
Muhammad ialah
تنكح
المراءة لاربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها
“Nikahilah seorang wanita yang mempunyai ciri-ciri empat dari hartanya,
dari keturunannya , dari dari kecantikannya, dari agamanya. Diriwayatkan oleh
Bukhari“.
Untuk syarat seorang laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh
seorang wanita tinggal kebalikanya.
Syarat-syarat calon suami lainnya adalah:
Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.
Kehendak sendiri
Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan
dinikahi.
Jelas laki-laki
Syarat-syarat calon istri:
Tidak dalam keadaan ihrom
Tidak bersuami
Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)
Wanita.[6]
Dalam undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal
enam:
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus
mendapat izin orang tua.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk
kemasahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1
tahun 1974 yakni calon suami berumur 19 tahun dan calon istri sekurangnya
berumur 16 tahun.
Dalam pasal 16 ayat 1: perkawinan didasarkan atas persetujuan calon
mempelai.
3. Wali
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak
syah nikah tanpa wali laki-laki.
Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
Dalam hadis nabi :
لا
نكاح الا بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح غير ذالك فهو باطل
Yang artinya: Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil. Jika ada pernikahan tanpa itu maka pernikahan itu dianggap batal. (HR.
Ibnu Hiban)
Syarat-syarat wali :
1. Islam
2. Sudah baligh
3. Berakal sehat
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
7. Sedang tidak melakukan
ihram
yang diprioritaskan menjadi wali:
1. Bapak.
2. Kakek dari jalur Bapak
3. Saudara laki-laki kandung
4. Saudara laki-laki tunggal
bapak
5. Kemenakan laki-laki (anak
laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
6. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
7. Paman dari jalur bapak
8. Sepupu laki-laki anak paman
9. Hakim bila sudah tidak ada
wali –wali tersebut dari jalur nasab.
Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud
adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah
atau hakim kalau dalam masyarakat kita adalah naib.
وعن
سليمان ابن موسى عن الزهرى عن عروة عن عائشة رضى الله عنها ان النبى صلى الله عليه
وسلم قال : ايما امراءة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فاءن دخل
بها فلها المهر بمااستحلى من فرجها فاءن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له.
Wanita manapun yang kawin tanpa seizing walinya, maka pernikahannya
batal, pernikahannya batal. Bila (telah kawin dengan syah dan) telah
disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar) karena ia telah dinikmati
kemaluannya dengan halal. Namun bila terjadi pertengkaran diantara para wali,
maka pemerintah yang menjadi wali yang tidak mempunyai wali.
Wali dapat di pindah oleh hakim bila:
Jika terjadi pertentangan antar wali.
Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada
satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah
mendapatkan suami yang kufu’.
Berdasarkan hadis nabi:
ثلاث
لا يؤخرن. وهن: الصلاة اذا اتت, والجنازة اذا حضرت, والايم اذا وجدت كفؤا (رواه
البيهقي و غيره عن علي)
Pasal 20 ayat 1 menyatakan yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh.
Wali nikah terdiri dari: wali nasab dan wali hakim.
Pada pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang pembahasanya sama
dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus
keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan
keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerbat paman, yakni saudara
laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok
saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan
laki-laki mereka.
Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal
atau ghaibnya atau ‘adhalnya atau enggan.
Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali
tersebut.[7]
4. Saksi
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi
termasuk syarat dari beberapa syarat syahnya nikah. Dan ulama’ jumhur
berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam
pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan
saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau
memberitahukan kepada orang-orang.
KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1 saksi dalam perkawinan merupakan
rukun pelaksanaan akad nikah.
Dalam KHI pasal 26 saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad
nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dari nabi SAW
bersabda:
لا
نكاح الا بشاهدي عدل وولي مرشد
Dan sahabat tidak berselisih faham tentang hal itu.
Syarat-syarat saksi : Islam, Baligh, Berakal, mendengarkan langsung
perkataan Ijab-Qabul, dua orang laki-laki dan yang terpenting adil.
Abu Hanifah berpendapat bahwa jika pernikahan dihadiri oleh dua saksi
yang fasik tidak apa-apa karena maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman.
Untuk Imam Syafii mempunyi pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu
pengumuman dan penerimaan jadi disyaratkan saksi yang adil.
Dalam KHI pasal 24 ayat 2: setiap
perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.
Dalam hal kesaksian seorang wanita, Syafiiyyah dan Hanabilah mensyaratkan
dalam kesaksian adalah seorang laki-laki. Jika pernikahan saksinya adalah
seorang laki-laki dan dua orang wanita maka tidak syah pernikahan itu
berdasarkan hadis Nabi SAW:
ان
لا يجوز شهادة النساء في الحدود, ولا في النكاح, ولا في الطلاق.
Yang artinya tidak diperbolehkan kesaksian seorang wanita dalam hukuman,
pernikahan dan dalam percerian.
Tetapi Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu, dan berpendapat bahwa saksi
adalah dua orang laki-laki atau dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita.
Berdasarkan surat al Baqarah ayat 282:
وشتشهدوا
شهيدين من رجالكم فاءن لم يكونا رجلين فرجل وامراتان ممن ترضون من الشهداء.
Artinya :
Persaksian dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu,
jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.
KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1: saksi dalam perkawinan merupakan
rukun pelaksanaan akad nikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...