Oleh: Dr.
Abdurrahman Misno BP, MEI
Membahas
tentang politik seringkali yang muncul dalam benak kita adalah politik praktis
yaitu siasat untuk memperebutkan kekuasaan. Apalagi jika masanya berdekatan
dengan pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah, wakil rakyat atau presiden
maka yang terbersit adalah politik praktis yang terkadang menghalalkan segala
cara. Padahal sejatinya makna politik dalam perspektif Islam mengenai makna yang
agung yaitu mengayomi umat berdasarkan syariat.
Tentu saja artikel
ini tidak akan membahas mengenai politik praktis yang saat ini sedang ramai
dibincangkan oleh masyarakat Indonesia. Walaupun tidak lepas dari makna politik
yang dipahami dalam Islam. Ya... politik dalam Islam dipahami sebagai upaya
untuk mengayomi masyarakat melalui kemashalahatan yang diajarkan oleh syariat
Islam. Politik dalam bahasa Arab adalah siyasah , ia berasal dari kata sasa-yasusu-sisayatan
yang bermakna mengatur dan mengurus. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan
lisan Al-’Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Abdul Wahhab Khallaf
mengutip ungkapan Al-Maqrizi menyatakan bahwa makna siyasah berarti mengatur.
Padanan kata ini dalam bahasa Inggris bermakna to govern atau to lead.
Ibnu Mandzur dalam Lisaan Al-Arab memberikan makna siyasah dengan mengatur
atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di
dalam Al-Munjid di sebutkan, Siasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan
membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Implementasi dari aturan-aturan
yang dibuat dalam siyasah adalah berbagai peraturan dan kebijakan yang
diterapkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dengan berlandaskan
kemashalahatan.
Merujuk pada
definisi mengenai politik atau siyasah maka politik ekonomi Islam
bermakna mekanisme pembuatan kebijakan yang berkorelasi dengan ekonomi Islam
yang ada di Indonesia. Kebijakan tersebut berupa jaminan kebutuhan pokok,
sekunder dan tersier bagi seluruh warga negara. Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah bagaimana masa depan politik ekonomi Islam di Indonesia?
Sejak
berkembangnya ekonomi Islam yang ditandai dengan pendirian Bank Muamalah di
Indonesia, kebijakan pemerintah berkaitan dengan ekonomi Islam dapat dilihat
dari berbagai perundang-undangan, peraturan presiden, peraturan Bank Indonesia,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta peraturan lembaga resmi lainnya. Tentu
saja dalam konteks Indonesia kebijakan politik ini tidak lepas dari fatwa DSN
yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia. Sejatinya,
pendirian bank syariah di Indonesia yang mendahului munculnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan menjadi indikasi awal politik ekonomi
Islam di Indonesia. Terbukti kemudian disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang
secara legal formal mengakui eksistensi perbankan dengan prinsip Islam (Islamic
Banking).
Selanjutnya
politik ekonomi Islam di Indonesia terlihat semakin baik setelah masa reformasi
yaitu dengan disahkannya Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang No 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-undang no 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syari’ah Negara. Berbagai peraturan presiden dan lembaga negara
lainnya menjadi acuan teknis dalam pelaksanaan berbagai lini ekonomi syariah di
Indonesia.
Tentu saja
berbagai kebijakan tersebut patut untuk diapresiasi sebagai political will dari
pemerintah. Namun untuk kemajuan ke depan yang lebih baik maka sudah selayaknya
terus dilakukan perbaikan khususnya berkaitan dengan ekonomi syariah yang tidak
hanya setegah-setengah atau dilakukan secara parsial. Sebagai contoh, kebijakan
mengenai bidang-bidang ekonomi Islam yang belum tersentuh sudah selayaknya juga
untuk terus diperhatikan. Lambatnya peraturan presiden mengenai jaminan produk
halal yang merupakan acuan pelaksanaan Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH)
seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam untuk terus
memperjuangkan ekonomi Islam. Demikian pula jaminan kesehatan sosial yang masih
belum dipastikan kehalalannya juga menjadi polemik yang saat ini belum habis.
Apalagi jika membahas mengenai banyaknya kampus Islam yang masih menggunakan
bank ribawi hanya karena kebijakan dari atas yang belum memungkinkan, hingga
kesadaran masyarakat yang harus terus dibangkitkan dalam melaksanakan ekonomi
Islam ini.
Semua
permasalahan tersebut tidak lepas dari politik ekonomi Islam yang sudah
seharusnya dipahami oleh umat Islam. Jika selama ini kebijakan pemerintah
mengenai ekonomi Islam masih belum optimal maka sudah saatnya umat Islam
melakukan studi, mengembangkan ide dan gagasan serta terus berusaha untuk
mengimplementasikan ekonomi Islam di seluruh dendi kehidupan mereka. Dr.
Murniati Mukhlisin, M.Acc menyatakan bahwa jika ekonomi Islam ingin maksimal
dalam perkembangannya maka mau tidak mau umat Islam harus paham politik ekonomi
Islam. Ketua STEI Tazkia ini juga menyatakan bahwa disiplin ilmu ini harus
terus dikembangkan khususnya oleh perguruan tinggi Islam. STEI Tazkia sendiri
akan segera membuka konsentrasi Politik Ekonomi Islam sebagai salah satu
disiplin ilmu baru.
Mudah-mudahan
dengan semakin meningkatnya ghirah umat Islam, politik ekonomi Islam di
Indonesia di masa yang akan datang juga akan semakin lebih baik. Tentu saja
smeua itu bukanlah sim salabim namun butuh perjuangan dari seluruh
elemen umat Islam. Saya yakin sekali jika umat Islam terus belajar dan
melaksanakan seluruh aturan dalam Islam, maka masa depan ekonomi Islam di
Indonesia akan semakin menggembirakan. Wallahu a’lam... drm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...