Press
Release:
Stadium General
Bersama Bupati Aceh Besar Ir. Mawardi Ali
Qanun Syariah
di Aceh: Pengalaman dan Pembelajaran
Hukum Islam
sejatinya adalah sistem hukum yang memberikan rasa aman bagi seluruh umat
manusia, sebagaimana Islam adalah rahmat bagi seluruh alam sebagaimana firman
Allah Ta’ala dalam QS. Al Anbiya: 107. Namun, tidak semua umat manusia mampu
merasakan indahnya berada di bawah naungan hukum Islam, sehingga ketika suatu
wilayah melaksanakan hukum Islam sebagian mereka menolaknya.
Inilah
sejatinya yang terjadi di Aceh, pelaksanaan syariat Islam di sana memancing
kontroversi dan penolakan dari beberapa pihak khususnya mereka yang tidak suka
dengan pelaksanaan syariat Islam. Bagaimana sebenarnya pelaksanaan qanun
syariah di Aceh? Apakah benar adanya penolakan menjadikan Aceh semakin
konsisten dengan pelaksanaan syariat Islam di sana?
STEI Tazkia
sebagai kampus yang konsisten dengan nilai-nilai Islam mengundang Bupati Aceh
Besar untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. Melalui General Lecturing
yang diadakan oleh kampus Pelopor Ekonomi Syariah ini, pemateri membeberkan
secara detail mengenai qanun syariah di Aceh yang bisa dijadikan pembelajaran
bagi umat Islam.
Beliau
mengatakan bahwa eksistensi Aceh sebagai Daerah Khusus adalah dengan diberikan
otonomi oleh pemerintah Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Ruang lingkup dari keistimewaan Aceh adalah
diberikan kebebasan untuk menjalankan syariat Islam, menjalankan adat-istiadat,
melaksanakan sistem pendidikan, serta memberikan peran kepada para ulama di
Pemerintahan. Undang-undang ini kemudian diturunkan dalam bentuk Qanun pertama
di Aceh, yaitu Qanun Nomor, : 11 Tahun
2002. Tentang, : Pelaksanaan Syari'at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan syi'ar
Islam.
Tsunami yang
terjadi di Aceh pada tahun 2004 memberikan hikmah luar biasa bagi
masyarakatnya, salah satunya adalah tercapainya kesepakatan damai antara
Pmerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005.
Salah satu hasil dari perdamaian ini adalah keluarnya Undang-undang No. 11
tahun 2006 tentang Otonomi khusus, di mana Aceh diberikan anggaran APBD sebesar
2% dari Anggaran Umum Nasional, dan pada tahun 2022 hingga 2027 sebesar 1%.
Lebih dari itu, mereka semakin sadar bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh
bukan hanya kewajiban tetapi kebutuhan bagi mereka sebagai bukti keimanan
kepada Allah Taala.
Program ibadah
sehari-hari dilakukan sesuai dengan syariat Islam semisal shalat berjamaah bagi
laki-laki adalah wajib, termasuk para pedagang juga mereka wajib berhenti
berdagang ketika adzan berkumandang. Secara aturan, Provinsi mengeluarkan
kebijakan Qanun sedangkan yang melaksanakan penegakannya adalah kabupaten serta
kota.
Salah satu
bukti pelaksanaan syariat Islam bidang keuangan di Aceh adalah dilakukannya
konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah, yaitu bank yang menggunakan
prinsip-prinsip syariah Islam. Keberkahan dari konversi ini adalah meningkatnya
jumlah nasabah hingga 4 kali. Selain itu juga dibuat Program Aceh Besar
Sejahtera:, yaitu dengan memberikan bantuan tunai kepada masyarakat sebagai
dana konsumtif.
Upaya untuk
terus melaksanakan seluruh syariat Islam terus dilakukan, seluruh aktifitas
masyarakat di Aceh didasarkan kepada Islam. Bahkan tidak hanya masyarakat yang
tinggal di sana, namun juga mereka yang datang ke Aceh diharuskan untuk
mengikuti aturan tersebut. Salah satunya adalah para pramugari yang ke Aceh
diwajibkan untuk menggunakan hijab. Tentu saja ini mengundang beberpaa
kontroversi dari para pemilik maskapai penerbangan, walaupun sejatinya sebelum
aturan ini diberlakukan seluruh maskapai penerbangan yang memiliki rute ke Aceh
telah diberikan sosialisasi dan pendapatnya. Semua mereka setuju dengan aturan
tersebut. Sehingga seharusnya tidak ada lagi alasan untuk menolaknya, apalagi
mencari-cari kesalahanan dan kekurangan dalam pelaksanaannya.
Tentu saja
pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih terus dikembangkan dan diperbaiki, saat
ini hukuman bagi pencurian, tindakan korupsi, hukuman rajam bagi pezina dan
lain sebagainya. Adanya Wilayatul Hisbah adalah upaya untuk mencegah dan
menegakan hukum Islam yang ada di Indonesia khususnya dalam kasus khalwat,
pacaran, LGBT, dan pelanggaran lainnya.
Adanya beberapa
pelanggaran hukuman yang terjadi bukanlah menunjukan bahwa syariat Islam tidak
cocok dengan perkembangan zaman. Justru adanya aturan syariah adalah untuk
memberikan efek jera kepada para pelakunya. Adanya tidakan preventif sekaligus
coersive adalah upaya untuk menjadikan umat ini menjadi baik. Karena hanya
dengan syariah Islam negara ini akan menjadi Baldatun Thayybatun wa Rabbun
Gaffur. Demikian panjang lebar Sang Bupati menjelaskan bagaimana
pelaksanaan qanun syariah di Aceh adalah kunci bagi keberkahan wilayah ini.
General
Lecturing diakhiri dengan diskusi, Bapak Ahmad
Mukhlis mengawali diskusi mengenai bagaimana kebersamaan antara pemerintah dan
anggota dewan dapat terlaksana dengan baik. Maka H. Mawardi menjawab bahwa
komunikasi menjadi kunci utama kesuksesan terlaksananya komunikasi politik ini.
sementara Pak Sutopo bertanya mengenai apakah ada pihak-pihak yang tidak suka
dengan pelaksanaan syariat Islam ini? maka Sang Bupati menjawab bahwa banyak
sekali dari mereka yang tidak suka dan mengecam pelaksanaan syariah di Aceh
tapi kami jawab bahwa ini adalah wilayah kami, ini rakyat kami dan kami
memiliki kebebasan untuk menjalankan syariat kami ini. Kami tidak pernah
mengganggu aturan dan hak orang lain, maka biarkan kami melaksanakan syariat
Islam ini. Jika and hendak ke Aceh maka ikutilah aturan. Demikian Bapak H.
Mawardi Ali menjawab setiap pertanyaan yang disampaikan oleh seluruh peserta
diskusi. Diskusi diakhiri dengan pemberian cindera mata oleh Ketua STEI Tazkia
kepada Bapak H. Ir. Mawardi Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...