Oleh:
Abdurrahman Abu Aisyah
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, ia terkait erat dengan waktu,
tempat dan kebiasaan. Merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim
Al Jauziyah dalam kitabnya I’laam al-Muwaqi’in yaitu “Tagghayur al-fatwa bi
taghayur al-azminah wal-amkinah wa niyyah wal ‘awa’id (perubahan fatwa terjadi
karena perubahan waktu, tempat, niat dan adat kebiasaan), maka perubahan satu
hukum juga akan terkait dengan keempat faktor tersebut.
Sebagai contoh, warna jilbab bagi perempuan di wilayah Saudi Arabia
dan beberapa wilayah timur tengah lainnya adalah hitam. Karena hitam merupakan
pakaian khas perempuan di sana, sebaliknya laki-laki di sana menggunakan warna
putih. Sehingga kemudian seorang perempuan tidak disukai memakai pakaian
berwarna putih, termasuk jilbab mereka. Sementara di wilayah lainnya warna
hijab menjadi berbeda, di Indonesia misalnya hijab yang digunakan banyak
menggunakan warna putih.
Memahami teori mengenai perubahan khususnya berkaitan dengan hukum
Islam menjadi sangat penting, apalagi dalam konteks keindonesiaan. Di mana
Islam yang ada di Indonesia jelas adakan berbeda dengan Islam yang ada di
Saudia Arabia, Mesir, India, China, Eropa dan wilayah lainnya. Tentu saja
perbedaan ini bukan dalam hal-hal yang bersifat prinsip seperti masalah akidah
atau muamalah. Demikian juga bukan pada hal-hal yang bersifat qath’i(sudah
jelas dasar hukumnya), yaitu yang sudah jelas hukumnya dalam Islam dan tidak
ada perbedaan pendapat tentangnya.
Kembali kepada perubahan yang menjadi sebuah keniscayaan, maka
ketika Islam masuk ke Indonesia terjadilah dialog antara Islam dengan seluruh
dimensinya dengan budaya Indonesia yang telah ada sebelumnya. Dialog ini
menghasilkan berbagai kebudayaan khas yang merupakan karakter dari Islam yang
ada di Indonesia.
Ketika Islam datang ke Indonesia, para wanita memakai busana yang
sangat terbuka. Mereka hanya memakai kemben(satu helai kain yang
dililitkan di badan), bahkan sebagian hanya menutup aurat vitalnya saja.
Perlahan, bersama dengan hadirnya Islam dengan kebudayaan yang memberikan
pengharagaan terhadap wanita maka mereka (kaum wanita) mulai menutup auratnya. Maka
salah satu revolusi terbesar Islam adalah penggunaan pakaian yang menutup aurat
oleh para wanita di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman maka menutup
aurat dengan berbagai variasinya menjadi bagian tidak terpisahkan dari wanita
muslimah di Indonesia.
Fenomena penggunaan hijab oleh para muslimah di Indonesia menjadi
satu era baru menutup aurat yang sesuai dengan syariah Islam. Saya menyebut
fenomena karena memang sangat luar biasa gelombang perubahan ini. Bahkan kita
saksikan seorang pembalap motor muslimah menggunakan hijab, polisi memakai
hijab, hingga berbagai iklan yang sejak dahulu tidak terpikirkan dengan model
pakai hijab pun telah ada. Iklan shampo yang sepertinya tidak mungkin
menggunakan model berhijab kini telah muncul dan menjadi bagian dari perubahan
di tengah masyarakat.
Maka perubahan di masyarakat semisal penggunaan hijab oleh para
muslimah menjadi sebuah hal yang tidak mungkin dibendung. Ia adalah satu
keniscayaan yang muncul dari kesadaran beragama serta gencarnya kampaye hijab
di berbagai media sosial. Ia juga menjadi satu pilihan para muslimah karena
melihat pakaian wanita lain yang semakin terbuka.
Maka, ketika ada satu kampanye yaitu “No Hijab Day: Hari Tanpa
Hijab” menjadi satu hal yang sangat naif. Kenapa? Karena perubahan itu telah
terjadi, pilihan para muslimah di Indonesia untuk berhijab adalah salah satu
perubahan yang tidak bisa dibendung. Banyak analisis yang bisa dilakukan untuk
menyikapi kasus ini, perubahan hukum yang ada di masyarakat adalah salah
satunya.
Sejatinya kampaye ini hanya sekadar mencari muka atau kesempatan
dengan pola yang berbeda, istilahnya mau tampil beda. Sama dengan
pemikiran-pemikiran nyeleneh yang ada semisal liberalisme. Tentu saja
aktor di belakangnya adalah mereka yang tidak suka dengan Islam dari kalangan
Islamopobhia. Mereka mencari kesempatan dengan memanfaatkan keadaan agar umat
Islam ragu dengan agamanya, strategi ini sudah dilakukan sejak dahulu oleh
dedengkot mereka yaitu Orientalisme dan mereka yang membenci Islam.
Argumentasi mereka dengan kampanye kembali ke budaya Nusantara,
akan sangat mudah dibantah. Studi mengenai budaya telah menghasilkan satu teori
bahwa kebudayaan akan terus berubah. Jika dulu para wanita di Indonesia hanya
memakai kemben, itu karena masa itu memang budaya yang berkembang
seperti itu dan mereka memiliki keyakinan yang masih animisme dan dinamisme.
Dengan masuknya Islam sebagai agama mereka, maka memakai hijab adalah sebuah
kewajiban karena sudah jelas nash-nya di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’.
Para wanita di Indonesia berubah seiring perubahan keyakinan mereka.
Mereka juga mengkampanyekan bahwa hijab itu tidak wajib bagi para
wanita, maka jawabnya sangat mudah. Bahwa kewajiban menutup aurat itu sudah
sangat jelas, demikian pula menggunakan jilbab atau hijab. Perbedaan ulama
hanya dalam masalah tata cara berhijab saja. Kalaupun ada tokoh-tokoh yang
menyatakan bahwa hijab itu tidak wajib, maka dapat dipastikan bahwa dia adalah
tokoh yang tidak paham tentang Islam. Biasanya tokoh seperti ini hanya ingin
mencari sensasi, ia juga merupakan hasil didikan dari para orientalisme dan
para pengikutnya.
Demikian juga bila ada yang menyatakan bahwa sebagian istri dari
tokoh agama Islam pada masa lalu tidak memakai hijab. Maka dijawab bahwa masa itu
memang berbeda dengan masa sekarang, masa itu setiap wanita berpakaian rapi dan
tidak memamerkan auratnya. Sementara saat ini, sudah terlalu banyak wanita yang
memakai pakaian dengan sangat terbuka. Sehingga hukum kesimbangan pun terjadi,
ketika banyak wanita yang memakai pakaian yang semakin terbuka, maka juga akan
ada para wanita yang berpakaian semakin tertutup.
Memahami hijab dalam konteks keindonesiaan adalah memakani
perubahan yang terjadi di masyarakat khususnya penggunaan hijab oleh para
wanita. Kesadaran yang sangat baik ini haruslah terus dijaga, karena ia adalah
salah satu dari unsur budaya yang menjadikan suatu sistem budaya semakin
berkembang. Apakah dengan kampanye pakaian masa lalu yang terbuka akan
menjadikan ssistem budaya ini berkembang? Tentu saja jawabannya tidak. Bahwa
perubahan ke arah yang lebih baik merupakan hukum alam (sunatullah), sehingga
hijab yang digunakan oleh wanita-wanita di Indonesia khususnya adalah sebuah
perubahan yang lebih baik. Ia akan menjadikan budaya yang ada di Indonesia akan
semakin kaya, bukankah budaya itu berkembang seiring perubahan masyarakatnya?
Maka penggunaan hijab di Indonesia adalah fenomena yang menjadi Indonesia akan
semakin kaya dengan sistem budayanya.
Sehingga kampanye “Hari Tanpa Hijab” menjadi tidak bermakna, tidak
bermutu dan sama sekali bukan cara untuk menjaga dan melindungi budaya
Indonesia. Ia muncul dari orang-orang yang tidak suka dengan Islam, tidak suka
Islam tumbuh subur di Indoensia. Kampanye ini hanya satu dari strategi mereka
untuk menyerng Islam, ketika strategi ini tidak berhasil maka mereka akan
menggunakan strategi lainnya untuk terus meneyrang Islam. Maka wajib bagi umat
Islam terus mempelajari agamanya, mengamalkannya dan mendakwahkan ke sleuruh
penjuru dunia dengan semua media yang ada. Semoga Allah Ta’ala melindungi umat
Islam ini sehingga akan sentiasa dalam lindungan dan keberkahanNya. Wallahu
a’lam. ambp03022020.