Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.
Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).
Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.
Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.
Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (=Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama universal (untuk seluruh dunia). “Wajah” Islam pada berbagai masyarakat dunia tidaklah harus sama (monolitik). Namun, keberagaman tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat al-manhaj (kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-Muhammadiy.
Berangkat dari kesadaran “Bhinneka Tunggal Ika” inilah, Islam tidaklah harus disamakan dengan Arab. Islam merupakan sebuah manhaj yang bersifat universal, yang tidak bisa dibatasi oleh ke-Arab-an semata (Namun perlu diingat bahwa Arab [terutama bahasa Arab] dalam beberapa hal memang mempunyai posisi strategis dalam Islam).
Namun, harus disadari pula bahwa Islam diturunkan kepada Muhammad saw, seorang Arab, ditengah-tengah bangsa Arab. Implikasinya, Nabi tidak akan bisa lepas dari konteks/lingkungan Arab. Hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada pewahyuan, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah (sebagaimana dikatakan oleh para ushuliyyun dan mutakallimun bahwa perkataan [yang bukan Al-Qur’an] dan perbuatan Nabi merupakan “wahyu” karena Nabi senantiasa mendapat penjagaan dan ilham dari Allah).
Sebagai contoh, Al-Qur’an mau tidak mau mesti diturunkan dalam bahasa Arab agar bisa dipahami oleh komunitas dimana Al-Qur’an diturunkan. Demikian juga perkataan Nabi, mesti dinyatakan dalam bahasa Arab. Demikian pula penyebutan nama-nama benda dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidaklah akan keluar dari perbendaharaan yang bisa dipahami oleh masyarakat Arab saat itu. Kalaupun ada istilah yang tidak dimengerti, maka para sahabat mesti langsung menanyakannya kepada Nabi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap bentuk-bentuk tasyri’ yang melibatkan nama-nama benda, haruslah dilakukan secara esensial, lepas dari kungkungan bahasa, tempat, dan zaman. Sebuah contoh, tatkala Nabi memberitakan bahwa habbat al-sauda’ (jintan hitam) merupakan suatu obat yang mujarab bagi penyakit tertentu, maka itu tidak berarti bahwa tidak ada obat lain yang juga bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Adalah sangat mungkin akan ada berpuluh-puluh obat yang bisa berfungsi seperti habbat al-sauda’. Esensi dari berita Nabi tentang habbat al-sauda’ adalah zat yang dikandung oleh habbat al-sauda’, yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu, dan zat tersebut bisa juga terdapat pada benda lain. Atau barangkali esensinya lebih luas dari itu, yakni perintah Nabi agar umatnya giat melakukan riset di bidang farmasi untuk menemukan berbagai benda di alam ini, yang berkhasiat untuk mengobati penyakit. Namun pola pemahaman esensial ini tidak boleh sampai kepada interpretasi bahwa, misalnya, habbat al-sauda’ tidak lagi efektif untuk obat, karena Nabi sudah jelas-jelas mengatakan efektivitasnya. Jadi, interpretasi boleh meluas (berangkat dari teks) namun tidak boleh membatalkan teks itu sendiri (karena justeru teks itulah titik tolak interpretasi).
Demikian pula tradisi (sunnah) Nabi secara umum, haruslah dipahami secara esensial. Hal ini tidak lain karena Islam merupakan agama universal dan berlaku selamanya. Dengan pemahaman esensial, syariat akan dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, sampai ke relung-relungnya yang terkecil sekalipun. Pemahaman esensial juga akan menjadi “mimpi buruk (nightmare)” bagi orang-orang yang hendak melakukan hilat (intrik, manipulasi) terhadap syariat, dengan bertameng pada teks.
Adaptasi syariat terhadap adat juga bisa diamati pada materi wahyu. Imam Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menerangkan bahwa akibat ke-ummi-an bangsa Arab maka wahyu (yang berarti juga syariat) pun bersifat ummi. Maksudnya, wahyu turun dengan tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat berpikir bangsa Arab saat itu. Wahyu tidak dituntut untuk dipahami secara njelimet melebihi kemampuan berpikir bangsa Arab saat itu. Meskipun begitu, justeru generasi saat itulah yang merupakan generasi terbaik dalam pemahamannya terhadap wahyu.
Bagaimana Islam Menyikapi Adat?
Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.
Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...