Oleh : Abu Al-Jauzaa
Berikut beberapa paragraf kalimat yang pernah saya tulis saat ‘berbincang’ dengan mereka. Para ulama dalam membedakan hal ini (khilafah dan kerajaan) berdasarkan oleh beberapa hadits diantaranya :
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة , فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها , ثم تكون ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون خلافة على منهاج النبوة . ثم سكت " .
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat/menghilangkannya kalau Allah kehendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj Nubuwwah selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj Nubuwwah”.Kemudian beliau diam” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/273 dan Ath-Thayalisi no. 439; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 5].
2. Hadits Safiinah radliyallaahu ‘anhu Maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك
”Kekhilafahan umatku selama 30 tahun, kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4646,4647; At-Tirmidzi no. 2226; dan yang lainnya; shahih].
Dua hadits di atas (dan sebenarnya masih ada hadits-hadits yang lain) secara jelas menjelaskan periodisasi kepemerintahan Islam. Masa kekhilafahan awal dalam Islam adalah selama 30 tahun. Ini adalah tekstual (manthuq) hadits yang sangat jelas lagi tidak memerlukan ta’wil. Jika ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud kekhilafahan selama 30 tahun adalah kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah dan setelah itu tetap berbentuk kekhilafahan (yang tidak berdiri di atas manhaj nubuwwuah) – bukan kerajaan - ; maka itu sangat tidak bisa diterima. Kenapa? Tidak lain pemahaman itu menafikkan dhahir nash yang mengatakan bahwa setelah masa 30 tahun adalah kerajaan (الْمُلْكُ). Apakah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : tsumma takuunu mulkan ’aadldlan fayakuunu maasyaaa allaahu an-takuunu (”lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki”) dantsumma mulkun ba’da dzaalika (”kemudian setelah itu – yaitu setelah era 30 tahun - adalah masa kerajaan”) adalah sia-sia tanpa arti? Dan apakah mereka hendak menakwil bahwa kerajaan itu sama dengan khilafah dalam konteks sabda Nabishallallaahu ’alaihi wasallam di atas? Jika kekhawatiran kita terhadap mereka ini terjadi, tentu saja prasangka mereka itu sangat jauh dari kebenaran..... Para ulama telah menjelaskannya dalam banyak kesempatan ketika mereka mensyarah hadits di atas. Juga ketika mereka menjelaskan perbedaan antara khilafah dan kerajaan atau khalifah dan raja.
Para ulama berkata : Masa tiga puluh tahun itu adalah masa kekhilafahan. Era khulafaaur-raasyidiin yang terdiri dari masa kekhilafahan Abu Bakar, ’Umar, ’Utsman, ’Ali, dan Al-Hasan bin ’Ali radliyallaahu ’anhum (para ulama berbeda pendapat mengenai status Al-Hasan bin ’Ali – namun yang rajih, masa kepemerintahannya termasuk bagian dari masa kekhilafahan). Adapun setelah itu muncullah raja. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal (no. 52) membawakan satu riwayat dari Safiinahradliyallaahu ’anhu sebagai berikut :
أن أول الملوك معاوية رضي الله عنه
”Bahwasannya raja pertama dari raja-raja (dalam Islam) adalah Mu’awiyyahradliyallaahu ’anhu”.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 1203 [shahih].
Mengenai kalimat {ثم ملك بعد ذلك} ”kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” ; maka berkata Al-Munawi : ”yaitu setelah berakhirnya masa kekhilafahan nubuwwah, maka akan muncul kerajaan”. Dan bahkan secara tegas Ath-Thibi yang disitir oleh Al-’Adhim ’Abadiy dalam ’Aunul-Ma’bud (2/388) mengatakan bahwa masa setelah ’Ali radliyallaahu ’anhu adalah masa ’mulkan ’adluudlan’ (مُلْكاً عَضُوضاً = Kerajaan yang dhalim).
Lantas, apa perbedaan antara khalifah dan raja atau khilafah dan kerajaan itu? Mari kita perhatikan satu riwayat yang datang dari Salman ketika satu saat ’Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadanya tentang perbedaan raja dan khalifah, dimana Salman menjawab :
إن أنت جبيت من أرض المسلمين درهمًا أو أقل أو أكثر ثم وضعته في غير حقه فأنت ملك ، وأما الخليفة فهو الذي يعدل في الرعية ، ويقسم بينهم بالسوية ، ويشفق عليهم شفقة الرجل على أهل بيته ، والوالد على ولده ، ويقضي بينهم بكتاب الله
”Apabila engkau mengumpulkan dari bumi kaum muslimin dirham (harta) baik sedikit ataupun banyak, yang kemudian engkau pergunakan tidak sesuai dengan haknya, maka engkau adalah raja. Adapun khaliifah, maka ia berbuat adil kepada rakyat, membagi antara mereka dengan sama rata, sangat memperhatikan mereka (yaitu rakyatnya) sebagaimana perhatiannya seorang laki-laki terhadap anggota keluarganya atau seperti orang tua kepada anaknya, dan memutuskan perkara di antara mereka dengan Kitabullah” [Ath-Thabaqaatul-Kubraa oleh Ibnu Sa’ad 3/306].
Dan yang lain menambahkan bahwa kerajaan (mulk) itu biasanya dicapai melalui jalan pemaksaan, penundukan (dalam peperangan), pesan/amanat dari seorang ayah kepada anaknya (atau kepada kerabatnya – Abul-Jauzaa’), atau yang semisal dengan itu; tanpa merujuk/mengembalikannya kepada Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Adapun Khilafah, maka ia tidaklah terwujud kecuali dengan penetapan Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Sama saja, apakah melalui jalan pemilihan atau penunjukan [Al-Imaamatul-‘Udhmaa oleh Ad-Dumaiji hal. 40].
Ibnu Khaldun berkata tentang perbedaan antara khilafah dan kerajaan (mulk) :
إن الملك الطبيعي : هو حمل الكافة على مقتضى الغرض والشهوة ، والسياسي : هو حمل الكافة على مقتضى النظر العقلي في جلب المصالح الدنيوية ودفع المضار ، والخلافة هي : حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها
“Sesungguhnya (definisi) kerajaan secara thabi’iy adalah bertujuan membawa seluruh manusia kepada pemenuhan hawa nafsu dan syahwat. Secara siyasiy, kerajaan adalah bertujuan membawa manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan akal untuk mencapai kemaslahatan dunia dan mencegah kemudlaratannya. Dan khilafah adalah bertujuan membawa seluruh manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan syariat untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, yang kesemuanya itu dikembalikan kepada kemaslahatan akhirat” [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Khaldun hal. 190].
Bukankah secara jelas bahwa yang namanya khilafah secara siyasiy dan syar’iy telah berakhir setelah era Al-Hasan bin ‘Aliy? Dan setelah itu mulailah sejarah Islam mencatat munculnya berbagai macam Dinasti (Umayyah, ‘Abbasiyyah, dan seterusnya) dimana dalam pencapaian kekuasaan sangat menyelisihi apa yang dilakukan pada era Al-Khulafaur-Rasyidin? Pada masa-masa itu (sampai hari ini), jabatan khalifah diberikan kepada keluarga secara turun-temurun. Oleh karena itu dikenalnya Dinasti Umayyah adalah karena bergulirnya amir pada saat itu berputar pada keluarga Bani Umayyah. Begitu juga Dinasti ’Abbasiyyah dimana para amir pada saat itu turun-temurun jatuh pada keluarga Bani ’Abbasiyyah. Dan seterusnya dan seterusnya. Dan sejarah pun telah mencatat dengan tinta hitamnya bahwa banyak diantara memperoleh kekuasaannya dengan didahului dengan aneka kekerasan, pemberontakan, pembunuhan, atau yang semisalnya.
Ini adalah kenyataan sejarah yang sangat gamblang. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan memegang tampuk kekuasaannya setelah terlebih dahulu terjadi peperangan yang berlarut-larut dengan ’Aliy bin Abi Thaalib dan Al-Hasan bin ’Aliy radliyallaahu ’anhum.
NB : Tanbih !! Agar tidak terjadi kesalahpahaman, perlu saya jelaskan bahwa saya tidak mengatakan Mu’awiyyah memperoleh kekuasaannya dengan memberontak kepada ’Aliy atau Al-Hasan bin ’Aliy. Penekanan dalam bahasan ini adalah bahwa Mu’awiyyah berkedudukan sebagai raja secara siyasi dilihat dari sisi bahwa ia tidak memperolehnya melalui jalan penetapan Ahlul-Halli wal-’Aqdi. Namun ia adalah sebaik-baik raja dalam sejarah Islam. Bahkan sebagian ulama menjelaskan bahwa Mu’awiyyah tetap lebih utama dibandingkan dengan ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang terkenal keadilannya itu.
Bukankah Yazid bin Mu’awiyyah menduduki tampuk kepemimpinan setelah ia ditunjuk oleh ayahnya (yaitu Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radliyallaahu ’anhumaa) untuk menggantikannya? (yang kemudian setelah ia penduduk Syam membaiatnya – yaitu baiat taat – kecuali Al-Husain bin ’Ali, ’Abdullah bin Az-Zubair, dan yang sepaham dengan mereka berdua radliyallaahu ’anhum). Bukankah kita juga mendengar bahwa ’Abdul-Malik bin Marwan memperoleh kekuasaannya secara penuh setelah peperangannya melawan ’Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ’anhuma ?
Saya sisipkan satu riwayat menarik dalam Sunan At-Tirmidziy : Berkata Sa’id bin Jumhaan kepada Safiinah :
أَنَّ بَنِي أُمَيَّة يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلافَةَ فِيهِم؟ قَالَ : كَذابُوا بَنُوا الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ
”Bani Umayyah telah menganggap bahwasannya kekhilafahan ada pada diri mereka ?”. Maka Safiinah berkata : ”Bani Az-Zarqaa’ (yaitu Bani Marwan, dimana mereka termasuk bagian dari keluarga besar Bani Umayyah – Abul-Jauzaa’) telah berdusta. Bahkan mereka ini termasuk sejahat-jahat raja” [no. 2226; shahih].
Perkataan Safiinah bahwasannya Bani Az-Zarqaa’ (Bani Marwan) adalah sejahat-jahat raja dapatlah kita maklumi bahwa pada jaman tersebut terjadi sejumlah tragedi berdarah seperti penyerangan terhadap Al-Haramain untuk memerangi Abdullah bin Az-Zubair dan pasukannya sehingga terjadi pembunuhan terhadap ribuan kaum muslimin. Terkenal pula pada masa itu seorang pemimpin yang kejam sepanjang sejarah : Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafiy.
Bukankah kita juga membaca sejarah bahwa Yazid bin ’Abdil-Malik bin Marwan memegang tampuk kepemimpinan dengan wasiat saudaranya Sulaiman setelah didahului dengan pembunuhan terhadap ’Umar bin ’Abdil-’Aziz karena diracun oleh keluarganya ? Bukankah setelah Yazid bin ’Abdil-Malik meninggal, ia mewasiatkan kepemimpinan kepada Hisyam bin ’Abdil-Malik ? Bukankah Dinasti ’Umayyah berakhir dengan aneka macam pemberontakan yang menumbangkan Marwan bin Al-Himar sehingga diganti oleh Dinasti ’Abbasiyyah ? Dan seterusnya dan seterusnya.....
Namun perlu juga saya tekankan di sini – agar tidak ada anggapan menyimpan bayyinah - bahwa boleh dimutlakkan nama khalifah setelah era Khulafaur-Rasyidin dan Al-Hasan bin ’Ali ketika tidak ada tuntutan pembedaan dengan istilah malik (raja) atau mulk (kerajaan). Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah :
ويجوز تسمية من بعد الخلفاء الراشدين [خلفاء] وإن كانوا ملوكا، ولم يكونوا خلفاء الأنبياء بدليل ما رواه البخاري ومسلم في صحيحيهما عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (كانت بنو إسرائيل يسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر، قالوا فما تأمرنا ؟ قال: فوا ببيعةالأول فالأول، ثم أعطوهم حقهم، فإن الله سائلهم عما استرعاهم). فقوله:(فتكثر) دليل على من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا. وأيضا قوله:(فوا ببيعة الأول فالأول) دل على أنهم يختلفون، والراشدون لم يختلفوا
”Bolehnya menyebut khalifah terhadap orang-orang yang memimpin setelah era Khulafaur-Rasyidin, walaupun mereka sebenarnya adalah raja dan bukan pula sebagai pengganti para Nabi. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda : ”Adalah Bani Israail dibimbing oleh banyak nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Tidak ada Nabi lagi setelahku. Dan kelak akan ada beberapa khalifah yang kemudian menjadi banyak”. Mereka (para shahabat) bertanya : ”Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Patuhilah khalifah yang mendapatkan baiat yang pertama, dan penuhilah hak mereka. Karena Allah kelak akan meminta pertangungjawaban atas kepemimpinan mereka”. Sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : fataktsuru(فتكثر) adalah sebagai dalil bahwasanya yang beliau maksudkan adalah khalifah selain Al-Khulafaur-Rasyidin, karena Al-Khulafaur-Raasyidiin tidak banyak jumlahnya. Dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : fuu bi-bai’atil-ula fal-ulaa (فوا ببيعة الأول فالأول); menunjukkan bahwasannya mereka berselisih, padahal Khulafaur-Rasyidin itu tidaklah berselisih” [selesai perkataan Ibnu Taimiyyah – Lihat Majmu’ Al-Fataawaa35/20].
1. Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Al-Mubarakfury Daarul-Fikr, tanpa tahun (terutama pada juz 6 hal. 476-478).
2. ’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud oleh Muhammad Syamsul-Haqq Al-’Adhim ’Abadiy, Penerbit : Muhammad bin ’Abdil-Muhsin, shaahibu Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1488 (terutama juz 2/397-399).
3. Al-Imaamatul-’Udhmaa oleh Dr. ’Abdullah bin ’Umar Ad-Dumaiji, Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1408 (terutama hal. 37-42).
4. Silsilah Ash-Shahiihah oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif (terutama juz 1 hal. 34-36 dan 820-827).
5. Majmu’ Al-Fataawaa oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Daarul-Wafaa’, Cet. 3/1426 (terutama juz 35 hal. 20).
6. Tarikh Khulafaa’ oleh As-Suyuthi (terjemahan), Pustaka Al-Kautsar, Cet. 4/2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...